Minggu, Agustus 15, 2004

Beny Uleander

Lokomotif Negara

Menelaah kamus Marxisme, kerja adalah suatu panggilan hidup individu dalam suatu negara. Karl Marx melihat, nilai kerja sebagai bentuk tanggung jawab individu atas kelangsungan hidup negara (komunitas sosial). Manusia pekerja adalah rakyat sejati dalam suatu negara. Kegiatan kerja menjadi tuntutan mutlak mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari suatu komunitas.
Dalam visi yang tegas, Marx menempatkan kerja sebagai napas eksistensi negara. Pada akhirnya, masyarakat pekerja diwajibkan jadi penggerak revolusi ketika sumber-sumber produksi dan kekayaaan hayati dipasok dalam gudang rumah tangga segelintir kalangan elite. Dengan begitu, di mata Marx, dunia kerja adalah lahan membenihkan kesadaran sosial tentang keadilan, persamaan nasib dan solidaritas absurd. Hanya saja, konsep Marx ini mengabaikan hakikat kemanusiaan. Begitu bernafsunya Marx mengejar ‘impian revolusi masyarakat tanpa kelas’ sampai-sampai bidang kerja sebagai ajang aktualisasi diri direduksi jadi lokomotif negara sosialis.
Dalam memaknai kerja, Marx sudah maju selangkah dari pemikir Inggris, Imannuel Kant yang memetakan kegiatan kerja sebagai tingkatan terendah perwujudan diri. Bagi Kant, penyempurnaan dunia intelek sebagai bidang pekerjaan terberi bagi setiap manusia yang terlempar ke dunia dari rahim ibu. Marx yang kepincut dengan dunia kaum buruh, lupa bahwa suatu pekerjaan akan menemukan artinya bagi manusia ketika manusia merasakan manfaaat pekerjaan itu bagi dirinya sendiri, dan baru berikutnya bagi dan untuk orang lain. Singkatnya, proses alienasi atau keterasingan antara manusia dan hasil pekerjaannya merupakan efek samping marxisme.
Dalam kajian ini, pekerjaan adalah aktivitas manusia yang dilandasi visi, pentahapan sistematis dan hasilnya pun dirasakan langsung sang pekerja. Amat naïf, jika menyama-ratakan semua aktivitas manusia sebagai pekerjaan. Sejauh, suatu kegiatan itu dirancang dalam terang akal budi dan diwujudkan dalam pola aktivitas, maka seperangkat tindakan disebut pekerjaan. Di sini, aktivitas tanpa konsep adalah kumpulan gerakan kosong. Inilah yang dialami orang yang lupa ingatan alias gila. Sesungguhnya dalam bekerja, manusia mewujudkan eksistensi. Artinya, manusia adalah makhluk pekerja (homo faber). Kreativitas, imajinasi, cita-cita dan visi menjadi roh. Sedangkan bidang kerja menjadi konduktor yang membentuk tubuh pekerjaan.
Secara terminologi, ada kerja intelektual dan kerja fisik. Ternyata, pembagian ini berakibat fatal dalam membentuk mainstream berpikir bahwa aktivitas manusia adalah gerakan-gerakan yang diatur, dikendalikan dan dikehendaki akal. Contoh, pekerja intelektual: dosen, wartawan atau konsultan keuangan. Pekerjaan fisik seperti menjadi pembantu rumah tangga, petani atau pemulung. Lantas, pembagian ini secara keliru memprodusir citra bahwa kerja intelektual lebih bergengsi daripada kerja fisik. Serta-merta, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencetak SDM yang berkualitas dan siap pakai. Kalau seseorang tidak berkualitas, maka ia harus siap-siap melakukan pekerjaan yang rendah karena kalah bersaing di dunia pekerjaan white colour.
Sadar atau tidak, orang-orang Indonesia yang mengharamkan Marxisme tetapi secara kasat mata menerima pemahaman Marxis tentang dunia kerja sebagai dunia eksistensi warga negara. Tanpa pekerjaan, angkatan penganggur memilih menjadi tamu di negeri orang, dan terus meningkat setiap tahun bagaikan barisan gerbong kereta api yang macet lantaran rel banyak yang terlepas. Artinya, lapangan pekerjaan kian terbatas dan kreativitas pun lumpuh. Banyak sarjana tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena ketimpangan dalam pola pikir dialektik antara Marx dan Kant.
Apa yang salah dalam situasi ini? Negara, sistem pendidikan atau ketiadaaan paradigma berpikir tentang kerja sebagai aktualitas diri. Bila konsep kerja sebagai perwujudan diri dimaknai secara esensial maka kisah pengusiran TKI dari Malaysia maupun kabar pemerkosaan para pembantu di negeri jasirah Arab tidak terdengar. Di satu sisi, masyarakat terperangkap dalam dikotomi pekerjaan intelektual dan pekerjaan fisik.
Di sini, paradigma berpikir baru perlu diciptakan, --menghapus pandangan kerja bersih dan kerja kotor. Meski secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang luas dan melimpah kekayaan alamnya, tetapi kenapa banyak anak negeri mesti mencari sesuap nasi di negeri orang? Kenapa malu jadi petani dan atau pemulung sampah? Kalau pemulung sampah ditatar menjadi profesional tentang manajemen kerja, bukan tidak mungkin bisa berpelesiran dengan mobil ke mana-mana. Pagi sampai tengah hari tetap menjadi pemulung sampah dengan wawasan baru. Pedagang K5 bila diarahkan untuk menjadi saudagar handal maka dalam perjalanan waktu bakal jadi milyader.
Di negeri ini, masyarakat berpola pikir bahwa para pekerja dan penganggur adalah asset negara. Hanya penganggur, asset yang tidak produktif. Akibatnya, kerangka kebijakan pemerintah cuma fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan. Meski lapangan kerja terbuka lebar tetapi tidak ada kesadaran bahwa kerja adalah aktualisasi diri maka kita tetap menemui orang-orang gila berpenampilan sehat. Mereka ini adalah virus yang menghancurkan perusahaan dan negara.
Sebaliknya, orang yang bekerja kasar tetapi disertai kesadaran bahwa dalam bekerja ia mengaktualisir bakat dan kemampuan, maka mereka adalah pribadi sejati. Kelompok inilah yang menjadi ‘lokomotif’ pertumbuhan dan peradaban bangsa yang lebih humanis. Sedangkan kelompok yang bekerja tanpa visi, inilah yang selalu jadi santapan empuk benih iri hati, dengki dan sumber berita dunia kriminal di Indonesia. Pekerja tanpa visi selalu menjadi pribadi terlunta-lunta baik di negeri sendiri maupun di luar negeri.
Lebih disesalkan, para cendekiawan gemar berkomentar bila SDM TKI rendah kualitasnya. Buktinya, mereka cuma menjadi pembantu. Padahal bagaimana menjadi pembantu yang profesional, sering lupa disinggung. Inilah kelemahan pola pikir dikotomis, kerja otak dan kerja otot. Sejatinya, pekerjaan adalah kesatuan aktivitas otak dan otot. Kerja otot tanpa otak, ibarat robot hidup dalam imajinasi konyol Karl Marx. Sebaliknya kerja otak tanpa fisik seperti orang yang bermimpi sedang bekerja padahal itu cuma pekerjaan menjaring angin. Khayalan sekalipun akan mencari bentuk penampilan dalam rupa guratan lukisan, coretan irama musik dan karya sastra yang terucap di mulut dan tertulis di buku. Fakta empirik ini sengaja diabaikan Kant yang juga menulis pikirannya di buku. Eh, Kant saja mau tidak mau masuk dalam dunia kerja, yakni aktivitas tulis-menulis. Hai, manusia Indonesia ingatlah hidup ini cuma sekali saja. Kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri tidak ditandai dengan pekerjaan glamour tetapi menghayati gerakan tangan, langkah kaki dan gerakan jiwa yang sadar. ‘’Cogito Ergo Sum; saya berpikir maka saya ada,’’ tegas Rene Descartes asal Perancis. KPO/EDISI 66
Read More

Jumat, Juli 30, 2004

Beny Uleander

Sebarkan Senyum, Pelaku Kekerasan Luluh

Wawancara Prabu Darmayasa
Kapan dan bagaimana perilaku kekerasan itu tumbuh dan terus berkembang biak dari satu generasi ke generasi berikutnya amat sulit ditentukan dan dijelaskan. Yang pasti tindak kekerasan itu setua kehadiran manusia di muka bumi ini. Perilaku kekerasan adalah buah kelakuan manusia yang tak terkontrol, merugikan sesama, kejam, beringas dan sesuai dengan kiat Machiaveli yakni homo homini lupus; manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Di samping itu, untuk memahami tumbuh-kembangnya perilaku kekerasan itu, kita tak bisa meneropongnya dari satu aspek saja seperti pengaruh lingkungan sosial atau pendidikan karena ada multi aspek yang mendukung terciptanya kekerasan itu sendiri. Umumnya, masyarakat cenderung mengutuki individu yang melakukan kekerasan seperti penganiayaan, penyiksaan, pemerkosaan dan yang paling sadis berakhir dengan pembunuhan. Pelaku kekerasan sulit diterima kembali sebagai sesama manusia dalam lingkungan sosial setelah menjalani masa hukumannya akibat perasaan traumatik yang terlanjur tumbuh di benak masyarakat apalagi korban dan saksi mata.
Trend sosial ‘memenjarakan pelaku kekerasan’ dari pergaulan bersama dinilai oleh spiritualis Prabu Darmayasa sebagai sikap batin yang keliru dan fatal. Alasannya, kekerasan itu adalah masalah bersama bukan masalah individu. Kemudian, salah satu faktor penyebabnya adalah getaran negatif yang ada dalam udara. Siapa saja yang tak mampu menyaring getaran negatif tersebut akan terjerumus dalam perilaku kejahatan, kebrutalan dan iri hati yang merupakan wajah kekerasan itu sendiri. Prabu Darmayasa yang bertahun-tahun berguru pada yogi kenamaan India, Shri Kamal Kishore Goswami Ji Maharaj (63) membeberkan tindakan apa saja yang perlu dilakukan sebagai langkah antisipatif. Berikut petikan tanya ikutilah wawancara berikut ini.

Perilaku kekerasan belakangan ini kian meningkat seperti perampokan dan aksi teror yang menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Apa yang menjadi latar belakang merebaknya fenomena kekerasan di Indonesia?

Kekerasan bisa menimpa siapa saja. Ada banyak faktor penyebab kekerasan. Pertama, pengaruh lingkungan dan keluarga. Kekerasan yang dilakukan orangtua cenderung diikuti anak-anaknya. Kedua, pengaruh pendidikan yang hanya menitikberatkan pada otak tetapi lupa penanaman budi pekerti, maka pendidikan itu akan gagal. Ketiga, adanya getaran-getaran tidak baik berasal dari kekuatan jahat yang berkeliaran di sekitar kita. Siapa saja yang bepergian ke mana saja kalau tidak ada persiapan diri terlebih dahulu akan mudah dipengaruhi dan dirasuki berbagai getaran negatif tersebut.

Dari mana berbagai getaran negatif itu muncul?

Sebenarnya getaran-getaran kurang bagus itu berasal dari kekuatan negatif yang ada di sekitar kita. Perlu diketahui, kekuatan buruk itu ada tingkatannya. Kekuatan itu masuk lewat kepala dan mempengaruhi kelakuan seseorang. Yang paling berbahaya adalah kekuatan buruk yang langsung menjadikan seseorang ahli dalam mengadu-domba sesama. Hanya orang-orang bijak yang memiliki pandangan batin bisa melihatnya dengan jelas.

Langkah apa yang perlu dilakukan untuk melawan kecenderungan aksi bergaya premanis itu?

Menurut saya, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekuatan-kekuatan buruk adalah lewat meditasi. Sayangnya, ada orang yang batinnya lemah dan membiarkan dirinya dikuasi kekuatan jahat. Memang, pada mulanya berbagai kekuatan jahat nampaknya bersifat positif sehingga orang menyangka berguna untuk hidupnya. Namun ia terkecoh karena kekuatan itu secara perlahan membuatnya menjadi sombong. Ia mulai berpikir, akulah yang terkuat dan terhebat. Padahal, sebenarnya mereka orang yang rendah dan tak beriman.

Sejauh mana korelasi meditasi dan cinta kasih?

Meditasi jalan menumbuhkan dan mempertajam cinta kasih. Dalam ajaran yoga disebut yogos artinya tinggallah di dalam yoga itu sendiri. Dia tidak akan tersentuh oleh rasa iri dan nafsu yang membuat dirinya terjatuh dalam kekerasan. Ia mampu melihat kebaikan orang tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Ia melihat sesamanya sebagai insan ciptaan Tuhan. Orang yang sudah tetap di dalam yoga akan memiliki cinta kasih. Ia berusaha menyempurnakan dirinya sendiri karena menyadari dirinyalah persembahan utuh bagi sesama. Dirinya adalah barang yang diberikan kepada orang lain.

Mampukah meditasi bisa merubah seseorang yang berprilaku brutal?

Ya. Karena itulah saya ada rencana untuk mengajarkan teknik meditasi yang benar dan tepat kepada orang-orang yang meringkuk di penjara. Sudah ada orang yang mengajak saya untuk membimbing para nara pidana agar dapat menemukan jati dirinya kembali.

Apakah ajakan itu karena ia melihat figur Anda sebagai tokoh spiritual yang memiliki kemampuan lebih untuk mengubah perilaku buruk seseorang?

Saya harus menekankan di sini bahwa saya bukan figur utama. Perlu digarisbawahi bahwa Tuhan adalah figur utama yang memberikan power (kekuatan –Red) bagi kita. Dalam peristiwa ini saya menggunakan power Tuhan. Tanpa power Tuhan tidak mungkin kita bisa membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dalam power Tuhan tidak ada hal yang mustahil. Segala sesuatu itu mungkin bagi Tuhan. Saya punya pengalaman di London, Inggris. Pernah ada seorang menderita lumpuh namun kemudian saya bantu lewat meditasi, akhirnya seminggu kemudian sembuh. Saya tetap berpendapat yang berperan di sini adalah kuasa, kehendak dan cinta kasih Tuhan. Saya hanya perantara. Memang saya diberi banyak gelar tetapi semuanya itu tidak saya pakai. Saya lebih senang dipanggil Pak Darmayasa saja. Yang lebih penting di sini adalah kalau orang mau ikut meditasi. Karena lewat meditasi, orang dibimbing dan diarahkan untuk bertemu Tuhan.

Banyak orang mengetahui tentang pentingnya meditasi, tetapi malas menerapkannya. Apakah ada kiat khusus?

Cara efektif membangkitkan minat meditasi yakni harus ada orang yang mengkoordinir mereka untuk melakukan meditasi bersama. Dengan adanya koordinir tersebut, orang terpaksa mau ikut. Nah, dari kebersamaan itu muncul tambahan semangat dan perlahan-lahan rasa malas itu terusir. Pada umumnya kita semua malas sebab kita sendiri memiliki kekuatan yang kecil tetapi kalau kita bersama-sama melakukan meditasi maka ada kekuatan lebih yang kita miliki. Hal inilah yang perlu kita kembangkan. Ingat, bersatu kita teguh. Demikian juga dalam kehidupan bernegara. Kalau kita cuma memikirkan kelompok sendiri maka saat itu kita akan gagal. Sebaliknya kalau kita memikirkan kebersamaan bahwa kita berasal dari berbagai suku, etnis, golongan, kebudayaan dan agama maka akan timbul perasaan persatuan. Sebaliknya kalau kita menonjolkan perbedaan maka akan timbul perpecahan.

Apakah kegiatan meditasi efektif menyatukan orang yang berbeda suku, budaya dan agama?

Untuk memupuk persatuan, saya kira kita harus memantapkan dulu diri sendiri. Kalau diri kita sudah mantap dan matang maka kita tidak mudah iri atau berlaku tamak melihat kelebihan orang lain. Juga kita tidak menjadi sombong ketika memiliki keunggulan tertentu. Intinya, kita perlu memperkuat uniti lewat dan melalui meditasi sesudah itu kita membangun unitas atau persatuan. Tanpa uniti tidak ada unitas. Dalam meditasi, seseorang mau masuk ke dalam dirinya dan belajar mengenal dirinya sendiri. Ia akan insaf ketika menyadari berbagai kelemahan dirinya. Hasilnya, ia akan menjadi tenang, penuh kedamaian dan diselimuti kasih. Seseorang yang makin maju dalam meditasi akan lebih melihat kebaikan yang ada dalam diri orang lain. Sebaliknya, orang yang belum matang dalam meditasi cenderung membanggakan kehebatan dirinya.

Bisakah meditasi meluluhkan hati orang yang keras dan brutal?

Kuncinya adalah cinta kasih. Cinta kasih itu diperoleh lewat dan dalam meditasi. Sebarlah cinta kasih maka hati orang sekeras apapun akan luluh dengan sendirinya. Saya punya dua pengalaman konkrit. Suatu ketika di India, saya menabrak mobil orang yang berhenti mendadak. Pemilik mobil itu berbadan besar dan galak. Ia mendatangi saya dengan wajah beringas. Saya cuma senyum. Eh dia juga akhirnya tersenyum. Juga pernah mobil saya dilewati sebuah sedan yang berkecepatan tinggi. Kaca spionnya kena badan mobil saya dan langsung pecah. Pemilik mobil itu mendatangi saya dengan penuh amarah. Saya menyodorkan tangan berkenalan dan mengajaknya pesiar ke Bali. Ternyata orang itu perpangkat Laksamana Madya. Akhirnya kami berteman akrab hingga sekarang. Itulah contoh nyata, kapan kita harus menyebarkan kasih dan memberikan senyum persahabatan. Orang tidak akan galak terhadap kita.

Ada preman yang bertobat setelah ikut meditasi yang dipelopori sebuah kelompok spiritual tetapi wajah para preman tidak menunjukan kegembiraan. Sebenarnya peristiwa apa yang terjadi dalam hal ini?

Saya kira ada dua hal. Pertama, para preman itu tidak sungguh-sungguh berbalik dari kehidupan gelap mereka. Mereka sedang ada problem yang belum terselesaikan. Memang minat spiritualnya sudah dibangkitkan tetapi mereka belum menemukan cara untuk menyelesaikan problem praktis sedangkan mereka sudah ingin maju dalam jalan spiritualnya.
Kedua, ada kelompok meditasi gadungan. Ada roh-roh biasa yang semula dikira roh baik lalu disembah dan diikuti. Contohnya, ada orang diberi keris, batu permata dan kekuatan untuk mengobati orang lain. Orang yang kurang berhati-hati lantas berpikir kehebatannya itu berasal dari Tuhan. Padahal pemberian itu menyesatkan orang tersebut. Tuhan itu tidak semurah itu.

Adakah ciri-ciri lahiriahnya?

Ya, yang paling mudah bagi kita untuk menerkanya adalah melihat cara hidupnya, bagaimana tutur katanya, pergaulannya, pemikirannya dan apa makanannya. Kita tak bisa ditipu. Cara lain adalah lewat foto aura. Banyak paranormal sekarang ini yang menolak difoto auranya. Karena mereka takut pantatnya (kedoknya –Red) terlihat. Sebab dalam foto aura, kita akan melihat dengan jelas seseorang yang masih dinaungi keinginan duniawi diliputi sinar merah menyala karena komplikasi keinginan. Mereka itu belum mengerti apa itu dunia spiritual sehingga terperangkap menjadi tuhan kecil, seperti kebal, bisa makan beling dan sebagainya. Mereka melihat dirinya sebagai pusat dan lupa bahwa tujuan utama spiritual adalah ketenangan di dalam Tuhan. Kita harus menyeberangi kekuatan-kekuatan tersebut kalau mau sampai kepada Tuhan.

Bagaimana cara orang membebaskan diri dari ikatan roh jahat?

Orang harus mendekatkan dirinya pada Tuhan. Orang yang sudah mencapai tingkatan tertinggi dalam yogi bisa mengalahkan roh-roh jahat itu dalam tingkatan mana saja, termasuk yang halus sekalipun. Ada juga pemutusan ikatan lewat teknik adat setempat. Kalau roh-roh itu di Jawa kita menggunakan teknik adat Jawa. Kalau di Bali kita melakukan lewat bebantenan, upakara, dan simbol-simbol Bali seperti rerajahan. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)

Biodata:
Nama : Prabu Made Darmayasa
TTL : Ubud, Gianyar, 10 Oktober 1959
Isteri : Luh Sarvini
Anak : Hari Darmabusana
Veda Darmabusana
Giriraja Darmabusana
Darmayasasaswini
Alamat : KBRI New Delhi, India
Pendidikan : S1 Sansekerta di Delhi University
Jabatan : Pendiri dan Presiden Divine Love Society 2000-sekarang.
Read More
Beny Uleander

Obat Kesepian, Sebuah Catatan

“…Indonesia yang dilegendakan sebagai ‘Zamrud Katulistiwa’ kian nampak sebagai tali darah yang merentang dari Aceh sampai Dili…

Ungkapan tali darah di atas digunakan aktivis pembangkang Orde Baru, Nuku Soelaiman untuk mengungkapkan fakta kekerasan dan pembantaian dalam era rezim Soeharto yang merenggut nyawa ratusan ribu penduduk Indonesia. Darah itu telah tertumpah dan membasahi tanah pertiwi yang akan selalu haus menelan tetesan segar darah anak bangsa.
Gugatan Nuku Soelaiman merupakan bukti kesadaran seorang anggota masyarakat yang selalu merasa heran dengan aksi kekerasan itu sendiri. Apabila suatu masyarakat tidak merasa heran terhadap berbagai tindak kekerasan maka masyarakat itu telah kehilangan keberadabannya.
Erich Fromm (1900), kelahiran Frankfurt, Jerman adalah salah seorang psikoanalis yang membedah hubungan kepribadian manusia dengan bentuk masyarakat untuk mencari jawaban mengapa manusia gemar berlaku sadis, kejam dan brutal terhadap sesamanya. Dalam bukunya Escape From Freedom (1941), Fromm mengemukakan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, namun mereka semakin merasa kesepian. Kebebasan menjadi keadaan negatif dari mana manusia melarikan diri. Apakah jawaban Fromm terhadap dilema ini?
Seseorang dapat bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama atau dapat merasa aman dengan tunduk pada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Pertama, dalam cinta dan kerjasama, manusia menggunakan kebebasan untuk mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Kedua, dengan tunduk pada penguasa, manusia mendapat perbudakan baru. Dari gambaran ini, nampak bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia entah feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme atau komunisme menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar pada manusia.
Kontradiksi yang dimaksud seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia. Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisiologis tertentu yang harus dipuaskan. Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal. Pada titik ini, tersingkap pengalaman khas manusia yang lemah lembut, cinta, perasaan, kasihan, simpati, empati, tanggung jawab, identitas, integritas, bisa dilukai, transendensi, kebebasan nilai-nilai dan norma-norma.
Dua aspek individu, --manusia dan binatang-- merupakan kondisi-kondisi dasar eksistensi manusia. Tindakan mengatasi naluri kebinatangan disebut sebagai gerakan keterarahan atau transendensi diri pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kasih dan keindahan. Selama seseorang senang dan membiarkan tabiat kekerasan tumbuh mekar dalam dirinya, ia menjadi makhluk yang selalu merasa kesepian. Kesepian karena gagal mengintegrasikan nilai-nilai human being dan human becoming.
Obat mujarab membunuh kesepian adalah cinta, persaudaraan, solidaritas dan kerja sama. Karena itu masyarakat ideal yang ditawarkan Fromm adalah masyarakat yang dinamakan Komunitarian Humanistik. Mungkin seorang Niccolo Machivelli menganggap tipe masyarakat demikian sebagai suatu kebohongan atau kerinduan tiada tepi. Alasannya, masyarakat yang aman dan damai hanya bisa tercipta lewat ideologi stabilitas nasional, --meniadakan perbedaan dengan jalan dan cara apa saja-- termasuk kekerasan. Manusia menjadi srigala bagi sesamanya atau homo homini lupus secara inheren mengangkangi kodrat bawaan manusia yang adalah cinta dan kasih.
Tindakan kekerasan dan aksi premanisme tumbuh subur di negeri ini hanya karena pendidikan hati diabaikan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Lebih tepat dalam istilah Fromm, daya-daya kehidupan yang dinamakan aspek biofilous ditelantarkan seperti semangat cinta, persaudaraan, empati dan sayang. Sedangkan dorongan kematian atau yang bertentangan dengan kehidupan yakni aspek nekrofilous dipertajam seperti benci, intimidasi, iri, dendam atau dengki.
Dengan demikian, upaya efektif meminimalisir premanisme dalam segala bentuk hanya bisa ditempuh lewat pendidikan humaniora yang menekankan pentingnya mendengarkan suara hati, kemampuan berpikir jernih dan mempertajam daya kritis dan reflektif. Masyarakat yang sempurna berpulang pada individu itu sendiri sebab bentuk masyarakat apa saja merupakan hasil ciptaan manusia.
Upaya pemerintah menguasai masyarakat dengan ideologi penyeragaman justru menjadi lahan subur terbenihnya kekerasan itu. Sebab pembungkaman suara rakyat lewat dan melalui kekerasan berakibat bahwa generasi muda melihat pedang dan bedil sebagai cara menyelesaikan masalah. Premanisme yang marak di Indonesia karena para pelaku kerap melihat teror dan kekerasan ada di mana-mana. Hidup dilihat sebagai perjalanan yang keras dan lahirlah prinsip ‘Halalkan segala cara, agar bisa hidup’. Kita bersyukur, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang sakit karena masih dan selalu lahir Nuku Soelaiman yang baru. Anda terpanggil untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa cepat dan tepat melihat aneka ketimpangan baik dalam diri sendiri maupun masyarakat.
(Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)

Read More
Beny Uleander

Free Man Vs Preman

Secara harafiah, kata preman berasal dari kata Free dan Man (Free Man); yang berarti orang yang bebas atau merdeka, dan yang mempunyai hak penuh sebagai warga negara. (Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford University Press 1969). Paruh abad ke-16, masih ada jejak-jejak orang yang mengasingkan diri dari keramaian dunia (fuga mundi) untuk mencari makna kehidupan. Mereka tinggal di hutan, gua-gua atau di padang gurun dalam kesunyian dan doa. Masyarakat abad pertengahan menghormati mereka sebagai guru kebenaran. Sebab, mereka yang tidak mau sibuk dengan urusan duniawi itu dianggap manusia bijak yang bebas dari ambisi, aroma balas dendam dan apalagi intrik politik.
Mereka ini disebut manusia bebas (free-man). Dalam kultur feodal itu, figur manusia bebas dicari dan didambakan rakyat jelata sebagai tokoh pembebas. Karena mereka tidak tahan hidup dalam situasi tertekan dan tertindas oleh ulah kerakusan tuan-tuan tanah. Tokoh free man yang mendengarkan suara rakyat dan terlibat aktif memperjuangkan hak-hak pokok rakyat inilah yang disebut bandit, yang berani berbicara atas nama kebenaran dan terus mengutuki kelaliman penguasa. Alhasil, bandit adalah tokoh intelektual, pembebas rakyat dan musuh nomor wahid kalangan bangsawan dan penjilat raja.
Dalam perjalanan sejarah ada bandit yang tidak puas di jalan ahimsa ala Ghandi. Segelintir bandit tergoda menggunakan cara-cara kekerasan untuk membela kepentingan rakyat. Mereka menghasut rakyat untuk membakar ladang, merampas tanah kaum ningrat atau membunuhnya. Akhirnya, tokoh bandit merosot menjadi penjahat berbahaya, ditakuti rakyat dan penguasa tentunya. Di Indonesia, bandit identik dengan preman yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan suka mengganggu orang lain. Kaum preman di Indonesia berkembang pesat di era 1980-an mulai dari desa sampai kota. Sepertinya ada rasa bangga dan tidak malu menyebut dirinya sebagai seorang preman. Bentrok antara preman (gangster) sering terjadi dan menyisakan virus keresahan bagi warga sekitar. Jika belum ada terapi yang jitu, Indonesia ini bisa menjadi negara Barbar. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa.
Di sudut ini, preman sudah memasuki hampir semua lembaga institusi pemerintahan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka cukup lihai mencatur permainan di Indonesia termasuk suksesi kepala daerah. Mereka lantang berbicara tentang aspirasi tapi dalam aksinya sangat tidak aspiratif. Sering berbicara tentang HAM, tapi aksinya banyak yang melanggar HAM, berbicara tentang berantas korupsi tapi justru penyubur korupsi, bicara tentang membuka lapangan kerja, tetapi banyak selingkuh dengan pengusaha demi sebuah keputusan PHK sepihak, dan seterusnya.
Untuk itu, rakyat tidak boleh malu-malu berkata bahwa ada preman yang menjadi wakil rakyat. Sebelum duduk di kursi rakyat, mereka menampilkan citra diri sebagai pembebas masyarakat dari rezim otoriter dan penguasa diktator. Dalam pidato, mereka biasa menelanjangi kebobrokan pemerintah, lalu mengajak rakyat berkoalisi mendepak penguasa dan antek-anteknya untuk membangun negara dan pemerintahan baru. Rakyat jelata yang selama puluhan tahun dibekukan kesadaran politis sering terkecoh dengan ‘ketokohan’ orator tipe ini.
Ingat! Bukankah pohon yang baik dikenal dari buahnya? Berbagai kebijakan publik yang amburadul, membingungkan dan membawa perpecahan dalam masyarakat bisa menunjukkan sejauh mana kualitas para perumus dan pengambil keputusan. Misalnya, UU Penyiaran dan UU Pendidikan Nasional yang kontroversial tetap disahkan, padahal secara substansial berpotensi membawa perpecahan. Yang tak kalah seru adalah pembatalan UU Teroris oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalih lebih mengedepan hukum formal ketimbang memperhatikan fakta riil di lapangan.
Ada yang lupa bahwa saat dua bom diledakkan di Jl Legian Kuta, Bali, ratusan nyawa melayang sia-sia, denyut nadi lokomotif industri pariwisata Bali sempat terhenti, ribuan pekerja di-PHK. Lupa, kali. Singkatnya, banyak pejabat yang tidak rela menangis dengan rakyat banyak yang sedang menangis dan tidak ingin tertawa bila rakyatnya sedang tertawa seperti kata penerima Nobel Perdamaian 1997, Mgr Carlos Ximenes Belo, SDB dalam bukunya The Voice Of Voiceless (1997).
Di Bali sendiri, belakangan ini banyak warga yang mengelus dada menyaksikan tingkah wakil rakyatnya yang lantang berjuang untuk dapat Dana Purna Bhakti atau dana pengabdian (supaya agak halus). Ketika gaung purnabhakti mendapat sorotan dan penolakan dari berbagai unsur masyarakat, mereka bukannya minta maaf malah ngotot dengan dalih pengabdian wakil rakyat harus dihargai. Ini juga dalih mereduksi pengabdian sebatas uang. Bisakah kita memilah mana yang preman dan yang benar-benar free man. Mungkin lupa bahwa mereka itu wakil rakyat, ber-Bakti dan meng-Abdi karena dan demi rakyat banyak. Jika demikian, mengapa para wakil rakyat yang terhormat dan dihormati itu menuntut untuk tetap mendapat Dana Purna Bakti.
Pribadi yang tergolong dalam tipe free-man adalah mereka yang mengabdi dan bekerja tanpa pamrih serta menunjukkan kualitas diri sebagai solving maker bukan trouble maker. Memang setiap pekerja layak menuntut upah sebab untuk hidup manusia membutuhkan biaya alias duit, tapi bukan satu-satunya, melainkan dari semua yang disabdakan Tuhan. Tetapi besarnya angka Dana Purna Bhakti menunjukkan kurangnya kepekaan wakil rakyat akan situasi kemiskinan yang membelenggu rakyat akibat terpaan krisis ekonomi.
Kriteria seorang pejabat itu preman adalah saat kepentingan rakyat banyak terang-terangan diabaikan dan dirugikan. Contoh, pencemaran teluk Buyat yang diketahui ada pejabat yang super cuek dan mengeluarkan statemen bahwa kondisi itu lumrah dalam dunia industri. Menyakitkan sekali, kala mendengar mereka berbicara tanpa beban dalam dialog interaktif di TV.
Sudah saatnya, individu dalam masyarakat harus peka nurani --berani berbicara atas nama kebenaran guna melawan para ‘preman’ yang berbicara atas nama perut. Di tikungan ini, kehadiran seorang preman jalanan jelas meresahkan masyarakat tetapi keberadaan dan keberanian preman di lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif justru akan meruntuhkan negara. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Rabu, Juli 28, 2004

Beny Uleander

Dandanan Politis

Bumi kita hanya satu. Kata Barbara Ward. Kerusakan bumi tidak lain adalah kerusakan keseimbangan ekosistem yang semakin parah dari tahun ke tahun. Hutan Ethiopia atau Libanon dengan kayu aras yang terkenal 3.000 tahun SM tinggal ‘kenangan tinta emas’ zaman kejayaan Raja Sulaiman dari negeri Israel kuno. Kini, kawasan itu menjadi lautan padang gurun. Inilah contoh, betapa penebangan hutan secara brutal dan sadis sudah dimulai sejak zaman lelulur. Tandus, kering dan menjadi wilayah tak berpenghuni justru jadi saksi dan potret terkini bagi miliaran pasang mata.
Ralph Ducon dengan nada cemas mengungkapkan, duka cita terbesar manusia zaman ini adalah ancaman kepunahan hidup karena kerusakan lingkungan, baik darat, laut maupun udara. Namun gema tangisan Ducon hilang ditelan suara hingar-bingar mesin sensor kayu dan pidato-pidato politis tentang pelestarian lingkungan di alam wacana. Upaya membangkitkan kesadaran komunal bahwa bumi, tempat hidup terkini merupakan pinjaman dari generasi yang mendatang yang bisa dimentahkan dengan argumentasi ko-eksistensi. Sesuatu yang belum ada meski dimungkinkan ada dalam iklim potensialitas, namun tidak punya hak untuk meminta kewajiban tertentu. Generasi yang belum ada tidak punya kemungkinan menuntut kewajiban manusia saat ini untuk memelihara lingkungan hidup. Meski penalaran ko-eksistensi ada benarnya tetapi dari sudut tangggung-jawab dan solidaritas kemanusiaan, kewajiban menjaga bumi dari kerusakan merupakan bagian dari tindak kemanusian dan ciri peradaban humanistik.
Lagi, Barbara Ward berujar ada dua tanah yang harus dipertahankan yakni tanah air dan tanah bumi. Bila keberadaan bumi tidak dipelihara maka ancaman kematian sudah di ambang pintu. Manusia bertambah dari tahun ke tahun tetapi lahan tetap konstan bahkan kian menyempit. Ya, bumi diuntungkan dengan mekanisme alamiah --adanya mortalitas-- sebagai kunci keseimbangan. Tapi jangan lupa, alam yang telah rusak juga menciptakan mortalitas seperti banjir dan tanah longsor karena penggundulan hutan. Peningkatan suhu global dan efek rumah kaca disertai perubahan iklim akibat peningkatan berbagai gas beracun menyebabkan kekeringan dan kegagalan panen.
Di Indonesia, upaya pelestarian lingkungan tidak lebih dari panggung wacana yang berujung pada money game terselubung. Serangkaian proyek pelestarian lingkungan hidup dicanangkan sejak negeri ini merdeka sampai tahun ini tidak menunjukkan hasil hasil positif. Sesuai data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pada tahun 2003, terjadi 326 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, terjadi 111 longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Juga tercatat 78 peristiwa kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten. Belum lagi 263.071 hektar sawah terendam banjir dan 66.838 hektar sawah puso. Ini terjadi di 11 propinsi. Akhir tahun 2003, kerusakan keragaman hayati laut di beberapa tempat di Indonesia sudah terjadi overfishing seperti Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Makassar dan Flores, Laut Sulawesi dan Laut Arafura.
Meski kerusakan lingkungan Indonesia sudah demikian parah tetapi masih tetap terbingkai rapi dengan hadiah-hadiah Adipura yang menjadi incaran kaum birokrat yang berlagak genit. Maklum, hadiah ini kian jadi piala politis, --demi status dan penghargaan. Wajar, para pejabat di tingkat kota tetap berlomba percantik kawasan perkotaan agar asri, cantik, indah, pesona dan menawan hati meski secara artifisial. Bila kotanya terpilih, aparat birokrat juga harus siap mengenakan stelan jas dan dasi panjang untuk tampil di media elektronik dan cetak.
Ciri khas sebuah kota yang tengah mengalami tipu daya, justru pada hiasan lahiriah. Bagian belakangnya berantakan. Ini diperparah paradigma yang mendulukan dandanan ketimbang makna. Akibatnya, program kota lebih terfokus pada kecantikan luar, ketimbang kecantikan dalam. Bila kehadiran undian berhadiah seperti Porkas, SDSB ataupun judi togel ditentang habis-habisan oleh seluruh elemen mulai dari tingkat masyarakat biasa, kalangan kampus, kaum cerdik pandai, LSM hingga pejabat publik. Tetapi ketika sebuah program pemerintah untuk pelestarian lingkungan hidup dengan alokasi dana tertentu yang tidak jelas hasilnya, tidak ada satupun elemen masyarakat yang berteriak lantang bahwa telah terjadi proses perjudian terselubung dengan taruhan kelestarian lingkungan. Itulah wajah asli bangsa kita, Indonesia.
Dalam paradigma peradaban luhur, sungai dan air adalah sumber kehidupan. Ketika semua pihak berpegang pada paradigma ini, seluruh kehidupan diarahkan untuk melestarikan kehidupan itu, bagi kemanusiaan. Berarti, ketika pengelolaan sumber kehidupan itu mengalami tipu daya bagi kepentingan individual, seharusnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan bagi kehidupan. Kejahatan bagi kemanusiaan.
Di negeri ini, aparat dan birokrat bertindak ngawur dibilang salah prosedur, pencemaran dan kerusakan lingkungan menjadi granat yang dilemparkan antara LSM dan pemerintah. Padahal rakyat cuma butuh lingkungan yang sehat sebagai pemberian Tuhan untuk dinikmati. Bagaimana udara yang sudah dihirup gratis terus tercemar. Hal apa lagi yang bisa dinikmati rakyat jelata negeri ini.
Indonesia yang berada dalam jalur katulistiwa memiliki hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Jika puluhan hektar hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua setiap bulan terus digunduli tanpa upaya rehabilitasi maka hutan Indonesia mengikuti jejak tragis hutan Ethiopia dan Libanon. Hamparan padang pasir dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah tinggal menjual kembali Sukhoi atau pinjam dana IMF untuk mendatangkan unta jantan dan betina dari Timur Tengah. Nasib… Nasib. KPO/EDISI 65
Read More

Selasa, Juli 27, 2004

Beny Uleander

Saya Merasa Aman Di Bali

Shannon
Selasa siang, 27 Juli 2004 di pantai Kuta, Bali. Terik mentari terasa menyengat, membakar setiap tamu yang berjemur di bibir pantai sepanjang 8 km itu. Udara pantai yang menerpa wisatawan asing, termasuk wisman cilik tidak pernah digubris. Yang bisa direkam adalah impian keceriaan setiap raut wisatawan untuk bermandi matahari di pantai yang sudah melegenda itu. Wisatawan usia senja, remaja dan anak-anak tidak peduli terpaan hawa gerah yang menyatu dengan pasir putih. Ada yang mandi, bermain selancar, membaca buku di bawah tenda payung dan banyak yang lagi menikmati terik matahari dengan apa yang disebut sumur (susu berjemur) yang beralaskan kain pantai, produk pedagang asongan. Sebagian anak menguji kreatifitasnya dengan membuat rumah dari gundukan pasir, dan ada pula tertidur di pangkuan ibunya.
Shannon (24) merupakan salah seorang wisatawan yang juga asyik menikmati semilirnya angin laut dan hangatnya pasir putih tersebut. Gadis cantik kelahiran Denver, Kanada ini memilih Bali sebagai tempat liburan musim panas. Shannon berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMU Tokyo, Jepang. Sudah dua minggu, ia berada di Bali. Uniknya, semua waktu dihabiskan dengan berjemur diri di pantai Kuta. Sejak pagi, Shannon sudah datang ke pantai dan berenang, disusul jerjemur diri. Katanya, waktu berjemur diri, hatinya diselimuti sebuah perasaan damai dan tenang.
Shannon datang sendirian di Bali dan mengaku tidak takut dengan isu seputar terorisme. Buktinya, liburannya kali ini merupakan kunjungan keduanya ke Indonesia. “Saya merasa Bali sekarang sudah aman. Masyarakat internasional tahu bom Legian dilakukan kelompok yang menjadi musuh dunia saat ini. Saya menilai orang Indonesia itu baik dan bisa bergaul dengan orang dari bangsa lain. Orang Indonesia tidak tertutup. Saya merasa aman tinggal di sini,” ujar lajang ini polos.
Membludaknya jumlah wisman ini dimanfaatkan para pedagang asongan, kelompok pijat tradisional, pembuat lukisan tato dan penjual cinderamata untuk mengais rejeki. Tidak sedikit bule yang merasa kegiatan mereka di pantai terganggu dengan aksi mereka menawarkan jasa pijat dan tato. Ada juga yang sampai memaksa wisatawan untuk membeli, lukis tato di badan atau dipijat.
Banyak penjaja asongan, kaki lima, dan ‘kaum preman’ pada amburadul, liar, tidak mau tunduk pada peraturan, dan berbias pada terjadinya aksi pencopetan, jambret, setengah perampokan, pemaksaan dan kekerasan. Tak segan mereka membangunkan turis yang tengah tertidur saat berjemur itu. Padahal seorang turis datang berlibur untuk menikmati suasana nyaman, melepas rasa frustrasi, menghirup udara bebas, dan bebas dari segala gangguan yang terkesan membatasi ruang geraknya.
Shannon yang senang berdiam diri menikmati istirahatnya tak luput dari gangguan-gangguan kecil para pedagang asongan dan penawar jasa pijat dan tato itu. Meski mereka datang silih berganti, Shannon mau juga melayani tawaran mereka dengan senyum dan menolaknya secara halus. “Maaf, saya ingin sendiri,” tolaknya ketika seorang ibu menawarkan jasa pijat.
Shannon mengaku tidak merasa terganggu dengan ulah mereka. “Ya, saya memahami situasi di sini. Apalagi pekerjaan sulit dan banyak yang menganggur. Di sini banyak turis, jadi wajar kalau mereka mencari uang. It’s okey,” ungkapnya.
Tingkat pengertian Shannon yang lugas ini setidaknya menjadi cermin bahwa wisman yang berkunjung ke Indonesia telah mendapat informasi tentang situasi krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir. Hanya saja, suasana aman, nyaman, ketenangan dan kepastian yang dijanjikan pemerintah bagi para pelancong jangan dinodai dengan aksi kekerasan seperti penjambretan, perampokan dan penipuan.
Bercermin dari tragedi bom Bali, misalnya, roda industri pariwisata di Indonesia dan Bali khususnya, sempat macet. Dua bom, yang diledakkan tepat di jantung pariwisata Bali, Kuta melemahkan denyut nadi pariwisata Bali. Dampak empiris jelas terlihat, jumlah kunjungan langsung wisatawan asing ke Bali menurun drastis dan mencapai titik terendah sepanjang sejarah kunjungan wisman ke Bali.
Catatan Kantor Imigrasi Pelabuhan Udara Ngurah Rai per 18 Oktober 2002 menunjukkan, 4.202 orang meninggalkan Bali melalui bandara internasional, dan yang berani datang hanya 936 orang. Dampak terpuruk justru dialami para pemilik industri tanpa cerobong asap. Tingkat hunian hotel di Bali merosot hingga 9,9%, terjadi penghematan di berbagai bidang dan buntutnya, banyak pekerja di sektor pariwisata harus bersedia dirumahkan. Untuk itu, jangan dan jangan lagi biarkan The Last Paradise kehilangan taksunya. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Senin, Juli 26, 2004

Beny Uleander

Australia Minta Warganya Tetap Waspada

Nama Bali identik dengan kegiatan kepariwisataan. Bali, sebelum bom Legian 12 Oktober 2002 merupakan salah satu ‘perkampungan komunitas internasional’ di dunia. Kita bisa bertemu dengan bule dari berbagai belahan benua --Eropa, Amerika, Australia, Afrika dan saudara serumpun Asia--. Sayangnya, pasca bom Legian, pariwisata Bali benar-benar anjlok. Wisatawan asing diliputi perasaan traumatik untuk berkunjung ke Bali. Korban paling banyak berasal dari negeri Kanguru, Australia. Akibatnya, memasuki tahun baru 2003, tingkat hunian hotel menurun tajam.
Berdasarkan catatan dari Disparbud Bali, tingkat hunian dan pemesanan kamar hotel bintang tiga sampai bintang lima seperti di Kuta, Sanur, Ubud dan Nusa Dua menurun drastis, apalagi travel warning masih diberlakukan sejumlah negara. Kini pariwisata Bali kembali pulih meski sempat goyah akibat isu virus SARS dan Flu Burung. Namun ada ganjalan yang dirasa bisa memicu menurunnya tingkat kunjungan wisatawan asing yakni meningkatnya aksi kekerasan yang menimpa turis mancanegara.
Konjen Australia di Bali, Brian Diamond ketika dimintai pendapatnya seputar tindak kekerasan yang menyasar wisatawan asing hanya meminta pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Selebihnya, Diamond enggan berkomentar soal adanya bule Australia yang disasar maling. “Maaf, saya belum bisa berkomentar tanpa data yang akurat,” ujarnya. Namun, lanjutnya, Pemerintah Australia tidak melarang warganya untuk datang ke Indonesia termasuk Bali. “Memang pemerintah kami memberikan informasi soal keamanan di semua kepulauan Indonesia, termasuk Bali dan nasihat untuk selalu berhati-hati. Jadi sepenuhnya terserah pada warga kami sendiri,” imbuhnya.
Sebelumnya, guna mengantisipasi aksi kekerasan dan tindak terorisme, Kepolisian Federal Australia (AFP) telah membuka kantornya di Konsulat Jenderal Australia, Jl Muh Yamin, Renon, Denpasar pada 5 Juli lalu. Keberadaan kantor AFP yang diresmikan Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Australia, Christopher Ellison diharapkan bisa mengefektifkan upaya memerangi kejahatan lintas negara seperti terorisme, wisata seks anak-anak, perbudakan seks dan penyelundupan manusia.
Saat itu Kapolda Bali, Irjen Pol Mangku Pastika menilai, Bali bisa mengambil keuntungan dari keberadaan kantor AFP. Alasannya, sebagian besar wisman yang berkunjung ke Bali berasal dari Australia. Kehadiran kantor AFP tentu memberi rasa aman bagi turis asal Australia.
Pada paro pertama tahun 2004, keadaan di Bali terutama kawasan wisata seperti Kuta, Sanur dan sekitar Denpasar, terjadi kekerasan yang mengganggu kenyamanan turis. Banyak ‘kaum preman’ yang melakukan aksi pencopetan, jambret, setengah perampokan, pemaksaan dan kekerasan. Umumnya, wisman dianggap banyak uang, mudah diperas, ditipu dan diancam. Tercatat Alexdra Sonia Miranda Gonzales, guide dan pemandu wisata asal Timor Leste dibekuk 16 Mei lalu karena memasukkan bubuk obat bius ke minuman James Cristie, warga Australia. Dari tangan korban disita Rp 3 juta, 2 kartu kredit dan 1 bungkus bubuk obat bius.
Mengejutkan, perampok turis asal Taipeh, Chang Chuang Chieng (40), diduga oknum polisi yang bertugas di Polda Bali, Bripka Joan Anaka dan Kornelius. Chieng ditodong senjata api dan uangnya Rp 37,4 juta diembat. Kedua pelaku akhirnya diringkus petugas Sat Reskrim Poltabes Denpasar, 4 April lalu. Ada juga oknum pengacara, Ny Aryana Sary SH (36), spesialis penipu orang asing dengan nilai miliaran rupiah terkenal ‘licin’ dalam menghilangkan jejak kejahatannya. Ia akhirnya diringkus aparat Polda Bali, beberapa waktu lalu.
Secara umum, tujuan utama seorang wisatawan adalah mengenal dari dekat negeri tertentu. Mereka mau beristirahat, mau cari yang enak, yang bagus, yang menyenangkan, melepaskan stres, frustrasi, mencari suasana baru, menghirup udara baru, segar dan bebas dari segala ketidakenakan. Bagi para pelancong yang kembali ramai berkunjung ke Indonesia adalah soal kepuasan, kesenangan dan kenikmatan. Karena itu, jika seorang wisatawan banyak menemui gangguan –sekecil apapun-- di tempat yang dituju, baginya perjalanan berwisata dianggap cacat dan mungkin untuk ke daerah tersebut, dianggap yang pertama dan terakhir kalinya. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Sabtu, Juli 24, 2004

Beny Uleander

Teknologi Tak Bermaksud Lahirkan Manusia Besi

Etos Kerja Bushido
Sulit dipungkiri bahwa tantangan itu tetap ada sepanjang sejarah eksisnya sebuah perusahaan, apalagi di tengah era kekinian yang kian keras dan bias. Untuk itu, setiap karyawan wajib meningkatkan kerja keras dan disiplin tinggi dengan cepat, tepat dan dapat menghasilkan penjualan. Untuk menghadapi tantangan dunia perdagangan yang kian mengglobal, konsep etos kerja Jerman, Jepang dan Semberani patut dihayati dan dilaksanakan.
Penemu 27 jenis produk berbasis teknologi EM mengakui, kamajuan dan peningkatan usaha tidak terlepas dari produksi, teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Produksi dan teknologi dapat tercipta jika kualitas SDM memadai, ditunjang dengan managemen yang rasional, kerja keras dan disiplin tinggi. Khusus karyawan yang terjun di bidang penjualan, penting mengetahui kiat mendekati konsumen. Antara lain, saat bertatap muka dengan karyawan di NTB, adalah kemampuan untuk menggabungkan etos kerja Jerman, Jepang dan Semberani.
Teknik mendekati konsumen agar tertarik sama produk yakni keberanian, penampilan rapi, sopan santun, murah senyum, menjelaskan dengan gamblang mutu dan manfaat serta khasiat produk. Untuk lebih sukses, kedepankan tindakan rasional, disiplin tinggi, kerja keras, hemat bersahaja, tidak berfoya-foya, menabung dan investasi (etos kerja Jerman). Etos kerja Bushido dari Jepang, terletak pada aspek spiritual (semangat bushido) yang menjadikan sesorang satria sejati. Jika semua SPG menerapkan etos kerja ini, peningkatan penjualan justru jauh lebih gampang.
Dalam prakteknya, etos kerja Bushido ada yang dikenal dengan Gi (keputusan dan sikap yang benar), Yu (berani dan satria), Jin (murah hati), Re (sopan santun), Makoto (tulus), Melyo (moral) dan Chugo (mengabdi dan loyal) yang disokong dengan Semberani. Semberani juga menjadi kunci kesuksesan karena di dalamnya mencakup dasar keseimbangan, sejati, baik dan sabar yang dalam huruf kanji Cina dinamakan Zhen, Shan, Ren. Sejati dan sabar merupakan karakter alam semesta yang bersifat menumbuhkan dan membesarkan.
Karena itu agar SPG, organisasi bisa tumbuh dan berkembang, haruslah mengikuti karakter alam semesta. Disebutkan, ilmu pengetahuan harus dipraktekkan agar bisa menambah keyakinan. Keyakinan yang diperdalam dengan ilmu perkiraan akan menimbulkan kebijaksanaan. Dasar keberanian adalah cepat, tegas dan tanpa pamrih. Semberani menyangkut sikap hidup yang isinya sila adanya perbuatan baik, Samedi (pemusatan pikiran), panna (kebijaksanan). Sikap satria (kesederhanaan, cepat dan berani yang diikuti pengendalian pikiran dengan pernafasan. (Beny Uleander & Yuli Ekawati/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Rabu, Juli 21, 2004

Beny Uleander

Cepat, Tepat dan Dapat

Sejak didirikan tahun 1998, PT Karya Pak Oles Tokcer yang bergerak di bidang Industri Kecil Obat-obatan Tradisional (IKOT) mengalami perkembangan yang begitu cepat. Buktinya, baru beberapa tahun, sudah dibuka kantor cabang di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Bandar Lampung, NTB dan Sulawesi Selatan. Padahal, di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan ternama yang mengambil segmen pasar obat tradisional seperti PT Jamu Air Mancur, Sido Muncul, Mustika Ratu atau Jamu Jago.
Adalah Dr Ir GN Wididana, M Agr selaku pendiri dan direktur utama, sejak tahun 1990, berkecimpung di dunia teknologi Effective Microorganisms (EM) sebagai jantung pertanian organik. Melalui serangkaian penelitian komprehensif, Wididana berhasil menerapkan teknologi ini di bidang kesehatan dengan maskot Minyak Oles Bokashi, Spontan Power di bidang otomotif, Pupuk Bokashi Kotaku untuk pertanian organik serta sejumlah produk andalan untuk kesehatan.
Terkait kecepatan dan ketepatan selama ini, Wididana merasa perlu melakukan pembenahan menejemen perusahaan dan evaluasi lintas divisi melalui agenda Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I, 15-17 Juli 2004, bertempat di Gedung IPSA Bengkel, Busungbiu, Buleleng, sebagai ajang evaluasi menyeluruh terkait tuntutan perkembangan perusahaan dan pemasaran Ramuan Pak Oles di Indonesia.
Wididana menegaskan, paradigma kemajuan suatu perusahaan tidak terletak pada aspek kuantitas modal dan produk tetapi sistem menejemen yang bisa bergerak cepat, tepat dan mendapatkan hasil yang optimal. “Kalau dulu orang berpikir, perusahaan yang besar bisa mengalahkan perusahaan yang kecil, tetapi sekarang justru perusahaan yang cepatlah yang dapat mengalahkan perusahaan yang lambat, serta dibarengi dengan dukungan birokrasi yang rasional dan lancar.
Agar terwujud sesuai dengan visi misinya, diperlukan kualitas SDM yang memadai dari berbagai divisi. Rakernas I dinilainya amat strategis buat meneropong permasalahan di setiap cabang dan unit, mencari solusi dari tiap persoalan lintas divisi serta ajang memupuk soliditas yang terwujud dalam suasana kerja sama lintas produksi, marketing, keuangan, informasi, sirkulasi dan merancang master plan.
Rakernas I, juga menjadi titik start bagi perusahaan jamu terbesar di Bali membidik posisi lima besar di Indonesia dengan cara managemen rasional, kerja keras, disiplin tinggi, seimbang dan mampu menunjang kemajuan perusahaan ‘’Menyusun strategi dan menyiapkan sumber daya manusia merupakan langkah nyata yang harus ditempuh,’’ tegasnya.
Menejer Marketing IKOT Bokashi, Made Subamia mengajak peserta untuk memikirkan trik-trik khusus guna memotivasi Sales Promotion Group (SPG) dan salesman dalam meningkatkan penjualan produk Ramuan Pak Oles seperti tunjangan dan bonus. Ini sebagai modal untuk bisa bersaing di pasaran lokal, nasional dan internasional, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
‘’Rakernas ini bisa menjadi jembatan komunikasi antar kepala cabang yang satu dengan yang lainnya dalam membagikan ilmu dan trik memasarkan produk Ramuan Pak Oles. Juga bisa menjadi media untuk membenahi kerja dan kinerja baik antara produksi, teknologi dan SDM. Produksi dan teknologi dapat tercipta dan berjalan jika tercipta pula SDM berkualitas,’’ ujar Subamia. (Beny Uleander & Yuli Ekawati/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More
Beny Uleander

Membangun Negara Harus Mulai Dari Desa

Mengapa lokasi Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) harus di sebuah desa yang terpencil dan jauh dari keramaian? Justru keanehan letak lokasi dan suasana desa itu menjadi daya pikat utama bagi Dr IR GN Wididana, M.Agr untuk memulai semboyan “Membangun Desa Membangun Bangsa”. Bengkel adalah kampung halamannya. Di atas tanah pekarangannya, pria yang populer dengan sapaan Pak Oles ini mendirikan sebuah gubuk sederhana.
Maklum, saat itu Pak Oles baru merintis usahanya dari nol. Ketiadaan modal merupakan salah satu kesulitan awal yang dihadapinya. Namun akhirnya berkat kerja keras dan fokus, Pak Oles berani membabat ratusan pohon cengkeh untuk ditanami aneka bunga berkhasiat obat. Di atas lahan tersebut, juga dibangun gedung penelitian IPSA berlantai dua dan 10 buah rumah inap berbentuk rumah panggung khas Bali (Glebek).
Sore hari sambil duduk di atas rumah panggung, Anda akan menikmati suasana alam pedesaan dengan hamparan sawah diselingi ratusan pohon kelapa yang ditanam warga Banjar Teben, Bengkel, Asem, Kalibondan, Bukit Telu, Betelan, Atuh, Uma Basa dan Banjar Salya. Hidung Anda juga dengan leluasa menghirup wewangian aroma dari 315 jenis tanaman bunga berkhasiat obat.
Aktivitas IPSA meliputi penyuluhan dan pelatihan kepada petani, mahasiswa, pemuda/i tentang pertanian akrab lingkungan dengan teknologi EM. Penelitian dan pengembangan sistem pertanian berkelanjutan yang hemat energi dan akrab lingkungan serta membina kerja sama antara lembaga pemerintahan dan swasta di bidang pertanian organik berbasis EM.
Pelatihan pertanian terpadu dengan teknologi EM, menurut Kepala Operasional IPSA, Asep Agus, dilakukan 3-4 hari pada minggu ke-4 setiap bulan. Materinya berupa penerapan teknologi EM dalam bidang pertanian, perikanan, peternakan, pengolahan limbah, budi daya jamur merang dan jamur tiram. Untuk praktek diberikan latihan pembuatan bokashi pupuk tanaman, bokashi pakan ternak, pembuatan EM5, pestisida alami, media dan bibit jamur. Pupuk Bokashi Kotaku kini menjadi pupuk andalan masyarakat Desa Bengkel, Banyuatis, Pelapuan, Kekeran, Umajero dan Busungbiu.
IPSA sebagai tempat magang penerapan pertanian organik berbasis teknologi EM, juga merupakan tempat penelitian dan pengembangan Teknologi EM ke segala bidang termasuk bidang kesehatan. Penelitian dalam bidang kesehatan atau pengobatan lebih ditekankan pada pengembangan obat-obat tradisional yang banyak sekali terdapat di bumi nusantara.
Pemicu ketertarikan Pak Oles di dunia kesehatan, ketika krisis ekonomi tahun 1997 harga obat-obatan melonjak tajam. Maklum bahan bakunya serba diimpor dari luar negeri. Ia tertarik untuk mempelajari aneka bahan pengobatan tradisional Bali yang tertulis dalam Usadha dan kumpulan lontar. Lewat teknologi EM, ia berhasil menemukan cara mengekstrak minyak rempah dari tanaman obat yang disebut Minyak Oles Bokashi. Dari sinilah, Sinshe Widi dihormati dengan panggilan populer Pak Oles.
Dalam perjalanan waktu, Pak Oles mendirikan pabrik untuk mengolah rempah-rempahan bunga yang dijadikan bahan baku pembuatan Minyak Oles Bokashi dan kini sudah menjadi maskot utama produk Ramuan Pak Oles. Akan tetapi, usaha ini tidak dapat berkembang karena adanya keterbatasan waktu simpan produk, aspek kebersihan dan dokumentasi.
Guna lebih fokus pada pengembangan dan produksi obat tradisional, tahun 1998 didirikan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) Bokashi. Kini karyawan IKOT berjumlah 20 orang dan 4 satpam. Konsentrasi IKOT pada produksi sedangkan pemasaran ditunjuk PT Brahmashiro Wididana (BSW) yang didirikan tahun 1994. Dengan kian meluasnya lingkup kerja, maka perusahaan ini disatukan dalam group PT Karya Pak Oles Tokcer (Holding Company), yang dalam perkembangannya dibagi menjadi divisi (bidang kerja). (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Selasa, Juli 20, 2004

Beny Uleander

Desa Bengkel, Tempat Menggagas Pertanian Organik

Akhir abad ke-20, penghuni dunia tercengang bahwa alam dan lingkungan tempat hidup mereka kini rusak parah akibat keserakahan ‘ideologi eksploitasi alam’. Kekayaan alam dikuras atas nama kebutuhan manusia. Bayangkan setiap tahun ribuan hektar hutan di dunia jadi gundul akibat penebangan liar dan pembakaran hutan.
Bahaya bocornya lapisan ozon yang ditakuti menjadi kenyataan berupa meningkatnya suhu bumi berujung pada dehidrasi yang menimpa masyarakat sekitar India setahun silam. Selain itu, bencana kekeringan dan banjir menjadi berita headline yang tak pernah basi dan ribuan hektar lahan pertanian terancam tandus karena penggunaan pupuk pestisida yang menghancurkan unsur hara dalam tanah.
Di tengah kegelisahan akan masa depan kelestarian alam dan kelangsungan hidup penghuni dunia, hadir seorang ilmuwan bidang Hortikultural dari Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang, Prof Dr Teruo Higa yang turun dari menara gading teoritis dan merintis teknologi Effective Microorganism (EM) sebagai pintu pengembangan pertanian organik yang murah dan ramah lingkungan.
Pengembangan teknologi EM dilakukan Prof Higa lewat penelitian dan percobaan di gedung laboratorium dan diterapkan di lahan kebun. Hasilnya, penemuan super gemilang ini membuat kesengsem seorang mahasiswanya asal Indonesia, Dr Ir GN Wididana, M. Agr untuk mendalaminya dan mengembangkan EM di Indonesia.
Teknologi EM adalah teknologi akrab lingkungan yang dapat diterapkan dalam bidang pertanian terpadu yang meliputi bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pengolahan limbah dan kesehatan. Teknologi ini menggunakan berbagai sumber daya alam yang selama ini tidak dimanfaatkan (dibuang) menjadi bahan yang berguna dan memiliki nilai tambah. Pada tahun 1990, Wididana kelahiran Buleleng perkenalkan teknologi EM di Indonesia melalui Yayasan Indonesian Kyusei Nature Farming Societies (IKNFS). Amat banyak tantangan bahkan tertawaan kaum cerdik pandai yang harus ditelannya dengan kesabaran disertai keyakinan bahwa teknologi ini merupakan kebutuhan dunia saat ini.
IKNFS adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang penelitian dan pembangunan pertanian akrab lingkungan khususnya Teknologi EM. Selain pelatihan, IKNFS juga melakukan penyuluhan kepada petani dan kelompok tani serta praktisi pertanian lainnya yang berminat terhadap pertanian organik dan kelestarian lingkungan.
Dalam tahun yang sama dibentuklah PT Songgolangit Persada guna memasarkan EM ke seluruh Indonesia, sesuai peraturan di Indonesia harus ada perbedaan antara produksi dan pemasaran. Dengan dibentuknya PT Songgo Langit Persada, untuk urusan pemasaran menjadi tugasnya sedangkan IKNFS konsentrasi pada produksi, penelitian dan pengembangan.
Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan teknologi EM yang kain pesat, dibutuhkan pusat pendidikan, pelatihan dan pengembangan teknologi ini. Untuk itu didirikanlah Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) pada tahun 1997. Lokasinya harus di desa yakni Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Buleleng atau sekitar 125 KM Utara Kota Denpasar. Sebagai Training Centre Tecnology EM, tahun 2003, Pusat Pendidikan Kilat (Pusdiklat) IPSA sudah menamatkan 2.467 siswa dari Sabang sampai Merauke termasuk negara Timor Leste. Tercatat, seorang lulusan IPSA Bengkel angkatan XII asal Lampung Utara, Ny Rose Sudjatmo sukses menerapkan teknologi mikro organisme EM di daerahnya dengan karyawan mencapai ratusan orang.
Tugas utama IPSA adalah mendidik dan melatih petani, profesional agribisnis, peneliti, penyuluh pertanian, widyaswara, mahasiswa dan pengusaha yang memiliki minat dalam pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan teknologi EM. Di tempat inilah tercatat sejarah digelarnya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Divisi Industri Kecil Obat-obatan Tradisional PT Karya Pak Oles Tokcer, yang dihadiri seluruh jajaran direksi, kepala cabang dan unit se Indonesia, pada 15-17 Juli 2003. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More
Beny Uleander

HUT IPSA VII 2004 Dipusatkan Di Bedugul

Sebagai lokasi riset dan pendidikan terpadu di bidang pertanian organik berbasis teknologi EM, nama Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA), yang terletak di Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng mulai dikenal berbagai kalangan masyarakat baik dalam dan luar negeri.
Menurut Wakil Direktur PT Karya Pak Oles Tokcer, Ir Agus Urson Hadi P elemen utama pengembangan pertanian organik adalah teknologi EM yang ramah lingkungan, murah dan gampang. IPSA berusaha membangkitkan kesadaran generasi muda untuk terjun di bidang pertanian. Selama ini di kalangan kaum muda, pertanian diidentikan dengan pekerjaan kotor dan rendah. “Generasi muda sekarang telah mengabaikan pertanian. Padahal dunia pertanian itu sangat luas seperti agribisnis, kegiatan budidaya, pengolahan bahan baku dan bahan jadi,” ujarnya.
Karena itu IPSA memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pelajar dari SD sampai tingkat perguruan tinggi untuk memperdalam pengetahuan di bidang pertanian organik berbasis teknologi EM.
Keunggulan dari ISPA sebagai Pusat Pendidikan Kilat (Pusdiklat), lanjut pria asal Pekalongan ini, terletak pada penyajian bahan dengan standar 40% teori dan 60% praktek. “Materi yang diberikan tidak seperti pidato tetapi lebih pada pertukaran informasi dan diskusi. Setelah itu kita ajak peserta untuk belajar langsung praktek pertanian organik,” imbuhnya.
Kegiatan pelatihan dibagi dalam dua jenis, yakni pelatihan selama 4 hari dan satu hari. Untuk pelatihan selama 4 hari itu, peserta tinggal di penginapan dalam kompleks IPSA. Usai pelatihan peserta memperoleh sertifikat. Sampai saat ini IPSA sudah mencetak 79 angkatan yang tersebar dari Irian sampai Aceh dengan jumlah 2500 orang.
Sedangkan dalam kunjungan sehari, jumlah peserta tidak terdata pasti sebab ada kunjungan dari siswa, mahasiswa dan peneliti dari luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Kostarika, Austria, Australia dan Korea Selatan. Lembaga IPSA sendiri sedang mengupayakan terbentuknya Ikatan Keluarga Alumni (KIA) IPSA agar jalinan komunikasi dalam praktek pengembangan pertanian organik terus terpelihara.
Khusus menyambut HUT IPSA VII, PT Karya Pak Oles Tokcer akan menggelar acara di sebuah Hotel di Bedugul, 2 Agustus mendatang. Menurut Agus Urson Hadi P, kegiatan sehari penuh itu diisi dengan acara hiburan, evaluasi perjalanan IPSA dan acara diskusi. “Kegiatan ulang tahun itu nantinya dibuat sesederhana mungkin. Yang penting menjadi ajang temu muka antar karyawan,” ujarnya. Apalagi pada kesempatan itu akan diundang karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer Cabang Surabaya yanh berhasil di bidangnya seperti kepala unit dan SPG. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More
Beny Uleander

Bangun IPSA Dengan Menjual Tesis

Pendulum: Yayasan Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA), pada 9 Agustus nanti, genap berusia 7 tahun. Berbicara tentang IPSA jelas kita berbicara tentang siapa, bagaimana dan mengapa lokasinya harus dibangun di desa, jauh dari keramaian hiruk-pikuk suasana perkotaan. Terkait peristiwa ini, Redaksi menurunkan 4 tulisan untuk kembali mengingatkan eksistensi, peran dan kiprah IPSA Bali sebagai sekolah praktis menuju petani profesional di era yang kian kompetitif. Masih dari lokasi yang sama, Redaksi menurunkan 1 tulisan terkait Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PT Karya Pak Oles Tokcer se-Indonesia 15-18 Juli yang digelar di Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng. Pusat Pelatihan Teknologi EM.

Bila Anda datang ke Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, sekitar 125 Km arah Utara Denpasar, di situ ada sebuah tempat riset dan pendidikan kilat di bidang pertanian organik berbasis teknologi Effective Organisms (EM). Tempat riset dengan nama Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) ini terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat dan penduduk Indonesia untuk memperdalam pengetahuan di bidang teknologi EM yang ramah lingkungan, murah dan gampang. IPSA didirikan Dr Ir GN Wididana, M Agr pada tahun 1996 dan diresmikan 9 Agustus 1997 Bupati Buleleng saat itu Drs IK Wirata Sindhu.
Perjalanan IPSA yang akan memasuki HUT VII tidak terlepas dari sosok sederhana Wididana yang gandrung mengutak-atik teknologi EM sejak tahun 1989 di Indonesia. Ya, ia adalah pioner penerap Teknologi EM di Indonesia. Buah pikirannya yang diwujudkan dalam suatu karya nyata memberikan contoh kepada petani, membuktikan bahwa pria ‘bergelar’ Pak Oles ini perlu diperhitungkan sebagai Arsitek Reformasi Teknologi Pertanian di Indonesia, dengan teknologi EM sebagai jurus pemungkasnya. Wajar saja kalau dalam poling Bali Post tentang calon menteri dari Bali untuk kabinet mendatang, terdapat nama GN Wididana sebagai salah satu kandidat Menteri Pertanian Indonesia.
IPSA didirikan di atas lahan seluas 5 hektar. Desa Bengkel menjadi pilihan karena ayahnya yang tinggal di situ merelakan tanahnya digunakan sebagai ajang riset dan pendidikan. Menurut Pak Oles, tempat itu cocok untuk menanam 350 jenis tanaman bunga, yang tetap mekar dan harum semerbak sepanjang tahun, sebagai salah satu bahan dasar pembuatan obat-obatan tradisional Bokashi.
Di Desa berpenduduk sekitar 1500 orang itu, lembaga IPSA menawarkan aneka latihan praktis pertanian terpadu dengan teknologi EM, yang biayanya relatif murah. Seperti pembuatan pupuk organik, budidaya jamur atau lebah madu. Bagi peserta yang ingin menginap, sudah dibangun 10 gelebek berkapasitas 30 orang dengan harga Rp 60.000 semalam dan Rp 70.000 per satu hari latihan.
Saksi sejarah pendiri IPSA, Ir Agus Urson Hadi P, sebelum IPSA didirikan, Pak Oles sudah perkenalkan teknologi EM di Indonesia. Namun, saat itu teori-teori seputar EM yang digagas Prof Dr Teruo Higa dari Jepang itu masih diragukan kalangan peneliti. “Saat itu, kami sudah produksi pupuk cair EM yang diproduksi di Desa Bengkel dan di Bojong, Jakarta. Hanya saja, setelah pendirian IPSA, penjualan pupuk organik yang difermentasi dengan teknologi EM laku keras di pasaran.
IPSA sendiri memiliki 7 tenaga instruktur yaitu Dr Ir GN Wididana, M Agr, Ir Agus Urson Hadi P, Nyoman Darma, Asep Agus, dr Putu Aryana dan Made. Pak Oles sendiri mengakui, visi pendirian IPSA sebagai lembaga riset dan pendidikan di bidang pertanian organik karena teori tanpa praktek merupakan sebuah kebohongan belaka.
“Teknologi EM waktu itu ada konflik di atas, ke tingkat menteri. Saya, waktu itu sudah banyak teman-teman, ada yang menteri. Untuk mengantisipasi ini saya buat sekolah Pusat Pelatihan Teknologi EM di Bengkel. Saya buat aja sendiri. Soal biaya, Pak Oles mengaku, hanya bermodal nekad. Uangnya datang sendiri nanti, saya pikir. Pikiran saya, uang bukan masalah. Nanti dia itu datang. Saya jual hasil penelitian, jual tesis saya. Terjual 500 juta. Ternyata gampang,’’ kenangnya. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Senin, Juli 19, 2004

Beny Uleander

Rakernas Perdana Ditutup Dengan Tur Wisata

Dalam perjalanan waktu, PT Karya Pak Oles Tokcer yang berdiri tahun 1998 dan bergerak di bidang Industri Kecil Obat-obatan Tradisional (IKOT) Bokashi berbasis teknologi Effective Microorganism (EM) terbukti bisa membangun jaringan pemasaran tingkat lokal di Indonesia. Perusahaan yang dirintis Dr Ir GN Wididana, M Agr berhasil meramu aneka produk yang kini sudah beredar luas di pasaran baik di Bali, Jawa Timur, Sumatera, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bandung, NTB dan bahkan tembus manca negara.
Agar lebih punya kekuatan untuk menjangkau semua daerah di Indonesia, perusahaan ini menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I dengan peserta jajaran direksi, kepala divisi, kepala cabang dan kepala unit se-Indonesia pada 15-18 Juli 2003 di Gedung Pemuda Pelopor, IPSA, Desa Bengkel, Busungbiu, Buleleng.
Tercatat lima agenda utama yang dibahas pada Rakernas I seperti disampaikan Pak Oles acara pembukaan, Jumat (16/7). Pertama, menentukan kembali fokus sebagai industri kecil obat-obatan tradisional dengan pola menejemen dan sistem teknologi tertentu. Kedua, keseimbangan antara kegiatan produksi dan pemasaran. Ketiga, melakukan pembenahan struktur personalia dan upaya meningkatkan kualitas SDM karyawan. Keempat, perombakan menejemen dari menejemen birokrat menuju menejemen otonomi yang bertumpu pada faktor kecepatan sebagai kunci memperluas pemasaran dan penyelesaian secara cepat berbagai persoalan di daerah. Kelima, pemantapan visi dan misi perusahaan dalam mencapai sebuah target usaha dengan sasaran tunggal kesejahteraan semua karyawan dan membangun bangsa di bidang kesehatan dan pertanian organik.
Manager Marketing IKOT Bokashi, Made Subamia lebih menekankan pada upaya pemantapan langkah, visi dan misi perkembangan perusahaan yang begitu cepat. Karena itu, Subamia menilai, Rakernas I itu merupakan sebuah momentum bersejarah untuk kembali mengevaluasi secara menyeluruh keberhasilan dan kegagalan setiap karyawan untuk membangun perusahaan ini. Sebagai pemasar, Subamia menawarkan target penjualan dan pencapaian setiap kantor cabang pada 2004, pengembangan dan pembukaan kantor cabang di Yogyakarta, Solo, Mojokerto, Jember dan Pasuruan, pengembangan kapasitas produksi, perbaikan menejemen pemasaran dan distribusi Koran Pak Oles.
Rakernas ditutup oleh Direktur PT Karya Pak Oles Tokcer, Ir Agus Urson HP dan Dra Ketut Tisnawati sebagai Direktris untuk Perwakilan Jakarta. Adapun beberapa point terpenting yang dijadikan pegangan untuk lebih cepat, tepat dan dapat meraih sukses yang ditelurkan dalam Rakernas I adalah terapi menejemen secara kontinyu setiap 6 bulan, pembenahan administrasi di tingkat cabang, menetapkan asuransi kecelakaan untuk sales promotion group (SPG) dan perluasan unit baru di Pasuruan, Mojokerto, Jember dan Banyuwangi (Jatim), Jl Fatmawati (Jakarta), Tanjung dan Kopa (NTB), Kabupaten Maros (Sulsel) dan Cimahi (Jabar).Seusai Rakernas, semua peserta berkunjung ke obyek wisata seperti Pantai Lovina, Danau Batur, Kintamani, Ubud, Goa Gajah, Tampak Siring, Museum Ubud dan Pasar Seni Sukowati Gianyar dan berakhir pada Sabtu sore di Pandak Bandung, Kediri, Tabanan untuk menghadiri Pemlaspasan Kantor Radio, Pak Oles 98,8 FM Pasti Tokcer yang siap mengudara 1 Agustus 2004. (Beny Uleander/KPO EDISI 63/MINGGU I AGUSTUS 2004)
Read More

Minggu, Juli 18, 2004

Beny Uleander

Radio Pak Oles FM Dimelaspas, Karyawan Terkejut

Semua kepala cabang dan kepala Unit PT Karya Pak Oles Tokcer se-Indonesia tidak dapat menyembunyikan rasa heran berbaur bangga ketika mendatangi Gedung Radio Pak Oles FM, 89,8 Pasti Tokcer. Banyak yang kagum menyaksikan tower ketinggian 75 meter di Desa Pandak Bandung, Kediri, Tabanan sebagai wujud dari sebuah kerja keras, kerja sama tim penuh disiplin tinggi. Rasa haru dan bangga itu disampaikan mereka seusai Melaspas. Semua ruangpun sudah dilengkapi peralatan, pertanda siap mengudara.
Kepala Unit Surabaya, Moedjianto mengatakan bangga akan kerja dan usaha Pak Oles yang begitu gigih untuk membangun dan mengembangkan PT Karya Pak Oles. Radio Pak Oles FM menjadi bukti tuaian dari kerja keras itu. “Dana yang dikeluarkan untuk membangun sebuah radio megah seperti ini sangat besar, namun semuanya dapat dilakukan. Jujur, saya bangga menjadi karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer. Semua yang diharapkan bukan isapan jempol belaka tetapi tetap dibuktikan,’’ katanya.
Putu Bayu, Kacab Jakarta berharap dengan adanya Radio Pak Oles FM ini dapat membangun image positif di kalanganan masyarakat. Radio ini menjadi sarana informasi dan promosi yang cukup baik untuk memasarkan produk Ramuan Pak Oles di Bali, disamping media cetak.
Read More

Kamis, Juli 15, 2004

Beny Uleander

Panggung Sandiwara

William Shakespeare (1564), dramawan dan penyair kenamaan Inggris yang paling produktif melahirkan karya-karya sastra, suatu ketika dilanda kebingungan mengapa ia harus terus berpikir, menghayal dan menulis sebuah dunia angan-angan di atas kertas. Mengapa suatu impian tentang kebenaran, kesucian, kebaikan, cinta kasih, pengorbanan, ketulusan dan keindahan harus diungkapkan sebatas panggung sandiwara? Mengapa nilai-nilai kehidupan hanya bisa dijumpai di bioskop, teater dan gelanggang seni? Padahal semua insan mendambakan keberadaannya dalam alur kehidupan terberi ini.
Kemurungan sang penyair legendaris ini seakan menjadi akar kegelisahan eksistensial manusia zaman ini yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian antara cita-cita dan tuntutan kehidupan yang harus dijalani dan diatasi. Kehidupan itu seperti panggung sandiwara memang tepat, karena memang disajikan sebuah alur kisah kehidupan yang dikemas apik dan artistik agar 'pesan-pesan humaniora' tertanam menjadi sebongkah impian tak bertepi di hati dan benak penonton. Itulah tujuan akhir pementasan sebuah karya seni bagaimana melukis keindahan cinta lewat gerakan kanvas, memahat kesedihan batin dalam rupa patung, meneriakan dendam dan benci dalam karikatur yang konyol, mengekspresikan religiositas dalam penjiwaan sebuah tarian dan terakhir di atas panggung sandiwara, bagaimana 'segenggam hiruk-pikuk kehidupan' didandani epilog, dialog ataupun monolog agar penonton sadar, hidup itu indah, seni dan abadi.
Kebesaran seorang seniman tidak terletak pada kuantitas karya-karya artistik yang dilahirkan tetapi lebih pada kegelisahan eksistensial yang tumbuh, bergema, berdentang dan menabuh dinding-dinding hatinya. Raga, akhirnya mengalah pada panggilan jiwa untuk menuangkan suara kegelisahan dalam karya-karya puncaknya. Suara itu abadi, sejak kehidupan manusia bergulir, hadir dan ada di dunia. Anehnya, suara kegelisahan terngiang di telinga jiwa hanya ketika ada kekecewaan, kegagalan, duka cita dan kematian sendiri yang menggoncang kekekalan hidup.
Pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset tentang kekecewaan, dan dia menemukan di Library of Congress terdapat 1.500 judul buku tentang kesuksesan, sedangkan buku tentang kekecewaan hanya 16 judul. Ini mengherankan Gerhard karena observasi menunjukkan, kekecewaan sebetulnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Duka cita lebih sering terjadi daripada suka cita. Mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan suka cita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak?
Menurut kamus Webster, kekecewaan adalah perasaan yang terjadi karena menginginkan sesuatu namun tidak mendapatkan. Misalnya orang bekerja jujur, rajin dan sungguh-sungguh, tetapi sejawatnya yang brengsek dan cuma pandai menjilat atasan malahan naik pangkat, maka orang juga kecewa. Begitulah orang bisa kecewa pada bupati, kecewa pada Amerika, kecewa pada orang tua, kecewa pada anak, menantu, tetangga, kawan, suami, matahari, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan seterusnya. Bahkan orang pun bisa kecewa pada Tuhan.
Barisan kekecewaan yang kian tak bertepi ibarat pergantian babak demi babak sebuah sandiwara. Harapan akan kehidupan memacu setiap kita untuk tabah menyaksikan pergantian babak walau akhirnya kembali kecewa, entah bercermin diri sekalipun. Ada kekecewaan bodoh yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, namun terjadi juga karena kita bodoh. Akibatnya kegembiraan yang wajar terampas, suka cita yang sudah di tangan hilang. Dengan bodohnya kita mau kecewa dan membiarkan hati larut dalam kepahitan dan dendam, amarah dan duka cita, stres dan depresi, benci dan sungut-sungut, fitnah dan kekerasan.
Sebab utama kekecewaan bodoh adalah harapan yang tidak realistik, ambisi yang tidak masuk akal, keinginan yang mustahil, ilusi dan impian di siang bolong. Umumnya, tidak semua keinginan tercapai. Ingatlah, Tuhan saja tidak memperoleh semua yang diinginkan-Nya. Buktinya, adalah keinginan Tuhan agar semua manusia masuk surga tetapi kita tahu ada banyak yang masuk neraka. Jadi, jangan bodoh dengan berharap semua keinginan Anda bisa tercapai.
Agar terhindar dari kekecewaan bodoh, Pertama dan Ter-Utama; hiduplah yang realistik, jangan berharap yang aneh-aneh dan terus berharap-harap. Kedua, pelajarilah hukum alam dan kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, curigalah pada apa saja yang terlalu indah, terlalu muluk atau terlalu gampang. Biasanya, di balik itu ada penipuan. Keempat, ingatlah bahwa karya tangan Anda sendirilah yang akan membuat Anda senang, berkecukupan dan merasa bahagia. Apa yang Anda terima dengan sangat gampang akan lenyap dengan sangat gampang. Kelima, renungkanlah nasib orang-orang seperti Marcos, Shah Iran atau Mobutu Sese Seko (di Indonesia nama seperti mereka juga ada) serta manusia-manusia serakah lainnya.
Lawan kekecewaan bodoh ialah kekecewaan yang sehat, yaitu kekecewaan yang Anda rasakan ketika rasa keadilan diinjak-injak, kebenaran dijungkirbalikkan. Ketika kebaikan dibalas kejahatan, kekejian mendapat pujian. Ketika kerja keras dilecehkan, penipuan dihargai. Ketika cinta tulus dibalas pengkhianatan, kasih suci diimbali dosa. Ketika orang malas naik pangkat, orang jujur disingkirkan. Ketika kebaikan disepelekan, kesucian diolok-olok. Ketika orang kaya diperkaya, orang miskin dipermiskin. Ketika konglomerat dilindungi, seluruh rakyat dicurangi dan dimiskinkan, apalagi kemiskinan spiritual terus mendapat godaan murahan seperti kongkalikong, neko-neko yang terbias dari sebuah negosiation. Karena itulah, hidup, ada dan hadirnya kita di sini, (di manapun) pantas dan patut untuk tetap disyukuri.
Jika yang begini terjadi, maka kekecewaan adalah reaksi yang wajar. Bahkan jika Anda tidak marah dan kecewa ketika hal-hal di atas, barangkali hati nurani Anda sudah gelap, kotor pekat dan hitam kumuh. Kekecewaan ini berpotensi mengubah Anda menjadi orang besar. Kata orang bijak, kekecewaan seperti ini diberikan Tuhan agar 'manusia biasa' dapat menjadi 'manusia luar biasa'. Tengoklah, Abraham Lincoln. Hampir seluruh riwayat hidupnya diisi oleh rangkaian kegagalan dan kekecewaan. Tetapi ia selalu bangkit. "Tidak penting berapa kali engkau gagal," kata Lincoln, sebab yang penting, lanjutnya, berapa kali engkau bangkit. Ujung-ujungnya dia berhasil menjadi presiden pada tahun 1861, dan dicatat sebagai presiden Amerika tersohor dalam litani nama-nama besar lain di negeri Paman Sam itu.
Tokoh-tokoh besar dunia di bidang kemanusiaan menemukan kebenaran di balik kekecewaan yang mereka alami. Mahatma Gandhi yang ditendang dari kabin kereta api kelas I hanya karena kulitnya tidak putih, lalu berubah menjadi pejuang gerakan emansipasi tanpa kekerasan (satyagraha) yang kelak mampu mengusir penjajah Inggris dari bumi India.
Nelson Mandela yang hidup di penjara selama 29 tahun tanpa dendam dan sakit hati setelah menghirup udara segar. Nama Mandela lebih harum ketika dia mampu berdamai dengan penjajah kulit putih, bahkan bekerja sama meruntuhkan sistem aphartheid di negerinya. Dan, namanya jauh lebih mendunia kala ia dipercaya rakyatnya menjadi presiden demokratis Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam pada usia 76 tahun. Thomas Alva Edison yang pabrik dan laboratoriumnya terbakar habis namun sanggup mengagumi kobaran api yang hebat, seraya berkata, 'Biarlah semua ini terbakar habis karena sekarang kita memiliki kesempatan untuk membangun gedung yang lebih modern dan lebih besar'.
Pada akhir babak kekecewaan di atas panggung sandiwara, justru yang tertinggal cuma kesadaran akan kefanaan dan keabadian sebagai pintu gerbang menemukan arti cinta, pengabdian tanpa pamrih, pengorbanan yang tuntas dan tulus, penyerahan diri yang mutlak dan terutama adalah tujuan hidup itu sendiri. Kenapa aku terlempar dari rahim ibu, untuk apa aku hidup dan bagaimana mengisi kehidupan itu sendiri. Karya-karya seni, umumnya mengungkapkan suara kegelisahan eksistensial kemanusiaan manusia itu. Inilah kaidah mengukur kedalaman refleksi dan mutu sebuah karya seni dalam hidup dan kehidupan.
Sungguh tepat kita meletakkan kesenian sebagai bagian integral kehidupan. Di tepi ini pula, sebenarnya muara kesenian sebagai sarana membangun kesadaran sosial masyarakat yang lumpuh oleh egoisme dan etnosentrisme. Kesenian juga alat menyampaikan makna keabadian di balik kerapuhan dan kefanaan hidup. Kesenian bisa menjadi bensin dan api yang membakar kerakusan dan ketamakan sang tiran, asalkan tidak main pemantik di seberang sana lalu menyala di seberang sini. Kesenian menggerakan orang untuk berpikir dan bertindak adil, berbicara santun dan melawan nafsu setan dalam dirinya. Seni akhirnya merekatkan manusia yang berbeda suku, agama dan bangsa. Itulah khasanah kekuatan dahsyat kesenian dalam alam kehidupan ini plus meretas sekat-sekat perbedaan yang penuh bilur keserakahan. Lantas, Siapa AKU ini dan Siapa pula ENGKAU itu? Ah... Ada-Ada Saja....(Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)

Read More

Rabu, Juli 14, 2004

Beny Uleander

Geliat Pasar Malam Di Pentas Seni PKB XXVI 2004

Pesta Kesenian Bali (PKB) XXVI 2004 meninggalkan banyak catatan yang perlu dievaluasi secara cermat. Sebagai ajang tahunan apresiasi seni dan budaya, rangkaian acara yang dipentaskan tetap mendapat respon positif dari pengunjung. Membludaknya jumlah pengunjung terutama pada malam hari di areal Taman Budaya Art Centre, Denpasar ini menjadi indikasi tingginya minat masyarakat akan pementasan dan pameran karya-karya puncak para seniman.
Memang ajang PKB telah menjadi perhelatan seni baik lokal, nasional maupun internasional. Selain mengenal seni budaya Bali, para pengunjung juga dimanjakan dengan pementasan kesenian daerah dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat atau NTT. Di sisi lain, yang juga sangat menyita perhatian pengunjung adalah kehadiran pasar malam akibat disiapkan kavlingan tempat. Jumlahnya stand pasar malam jauh lebih menjamur dibanding stand pameran.
Ini penting dicatat dan menjadi bahan refleksi buat panitia, karena berbagai kalangan cukup serius menyoroti fenomena bisnis di tengah menggelindingnya acara PKB. Ada kesan bahwa PKB lebih ditonjolkan unsur bisnisnya, justru benar adanya. Ratusan stand yang dijadikan tempat berdagang bisa disaksikan para pengunjung. Di pasar tersebut, juga terjual obralan barang dengan harga, mulai setara super market, restoran hingga paling murah. Terkesan terjadi pemindahan tempat jualan bagi para pebisnis yang lihai membaca peluang pasar. Jika di Pekan Raya Jakarta, kesan yang mencuat adalah pemindahan mall, maka di PKB, terkesan pemindahan pasar rakyat dan taman mainan anak-anak. Bila ini dibiarkan, bagaimana regenerasi pelestarian budaya bisa ditanamkan kepada anak-anak.
Deretan los pakaian dan sepatu dengan jalan selebar 1 meter, pengunjung pada malam hari jauh lebih berdesakan. Kondisi ini menyiratkan plus membenarnya layak sebuah pasar, dan denyut nadi perekonomian jauh lebih terasa dibanding pementasan karya-karya seni yang sudah lama dipersiapkan. Banyak orang tua yang datang bersama anaknya cuma sekedar membeli sepatu sekolah, mainan atau menikmati ‘taman’ hiburan anak-anak. Ibu Angga, yang berdomisili di Banjar Geladag, Denpasar Selatan, mengaku mengunjungi lokasi PKB bersama anggota keluarganya sekedar membeli sepatu sekolah untuk anak keduanya yang siap duduk di bangku TK.
Beberapa pedagang sepatu dan pakaian mengakui, mereka menjual dagangannya dari pameran ke pameran. Dikatakan, kegiatan PKB selama sebulan penuh menjadi lahan subur memanen duit. Pasalnya, banyak pengunjung yang usai menikmati kegiatan seni bertandang ke los pakaian dan sepatu. Bahkan pantauan reporter pada malam hari, ada pengunjung yang langsung datang untuk berbelanja dan menonton pementasan kesenian.
Pada siang hari, los pakaian dan sepatu pun tetap ramai dikunjungi pembeli. Selain itu terdapat beberapa ‘stand judi’ yang masih bebas berkeliaran seperti mainan menebak angka, lemparan bola pingpong berhadiah dan gangsing berhadiah tape rekorder. Fakta ini seakan menciderai perhelatan seni adiluhung tersebut.
Padahal Ketua Panitia Penyelenggaraan PKB XXVI, Ir I Wayan Subagiarta menilai event tersebut bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai budaya bangsa. Kehadiran para pedagang yang begitu ramai bukan berarti mengurangi kadar pementasan karya-karya puncak para seniman di ajang ini. Hanya saja mutu penyelenggaraan yang ditangani kalangan birokrat perlu dievaluasi dan direfleksikan, demi perbaikan kualitas penyelenggaraan event bergengsi ini agar kesan terutama bukan pasarnya yang lebih mengundang pengunjung tetapi atraksi-atraksi para seniman. Eksploitasi
Pada sisi lain, sejumlah praktisi seni dan budaya baik di maupun di luar Bali menilai, PKB yang seharusnya dijadikan salah satu mosaik promosi wisata seni budaya Bali dan Indonesia umumnya, sedang digiring menjadi ‘lahan eksploitasi’. Sayangnya, Kadis Pariwisata Propinsi Bali, Drs Gede Nurjaya, MM ketika dimintai keterangannya malah mengungkapkan keengganannya untuk diwawancarai dengan alasan sakit. Padahal wartawan menyaksikan sendiri orang nomor satu bidang pariwisata ini dengan wajah segar menyambut dan menerima sejumlah tamu di ruang kerjanya. ‘’Maaf, Bapak sedang sakit,’’ kata Agung salah seorang sekretaris di kantor tersebut.
Bukan tidak mungkin, kalau acara PKB tak dikemas dengan baik, perhelatan seni ini menjadi bumbu di tengah hingar-bingar pasar malam. Akhirnya yang lebih mengemuka cuma komersialisasi PKB itu sendiri. PKB 2004 yang mengambil tema ‘Sabda Alam Kedamaian dan Keindahan dalam Kebhinekaan’ seharusnya menjadikan seni sebagai panglima perhelatan tersebut.
Menomorsatukan seni merupakan tuntutan mutlak bagi kelangsungan PKB itu sendiri yang telah menasional dan mendunia ini. ‘’Berkesenian bagi masyarakat Bali adalah sebuah persembahan, oleh karena seni merupakan sebuah karya cipta, maka yang dipersembahkan adalah karya terbaik, dan kekuatan inilah yang menjadikan kreativitas berkesenian orang Bali tidak pernah terhenti,’’ ungkap Subagiarta .
(Beny Uleander/KPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)
Read More
Beny Uleander

Berani Berkata TIDAK

Garuda Pancasila, Aku lelah mendukungmu
Sejak proklamasi, Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa
Rakyat adil makmurnya kapan
Pribadi bangsaku
Tidak maju-maju; tidak maju-maju
Tidak maju-maju

Plesetan lagu Garuda Pancasila ini dinyanyikan Harry Roesli pada HUT RI 2001, di kediaman Gus Dur. Meski Bang Harry sempat berurusan dengan pihak kepolisian, ia telah membuktikan adanya kekuatan kata di balik lagu nyeleneh tersebut yang mampu menelanjangi borok-borok pembangunan di negeri benalu ini. Bang Harry barangkali figur yang berani mewakili anak-anak bangsa yang mengatakan TIDAK untuk tetap berpegang pada kebersihan dan kebeningan nurani.
HUT Proklamasi RI ke-59; saat yang tepat untuk merefleksikan arah perjalanan bangsa, kesempatan memaknai kembali nilai-nilai kebangsaan yang telah luntur dan momen peneguhan bagi berbagai prestasi pembangunan kehidupan bangsa dan negara. Prinsip peneguhan berakar pada kepekaan dan kemampuan membaca tanda-tanda pembangunan kekinian yang sejalan dengan acuan ideologis negara yakni Pancasila dan semangat dasar pembukaan UUD 1945.
Salahkah Bang Harry ketika melihat bangsa yang besar dalam jumlah penduduk, luas wilayah dan kekayaan hayati yang melimpah tetapi lebih dari setengah penduduknya selalu menjerit kelaparan. Agak menyakitkan, jeritan kelaparan rakyat dibawa penguasa negeri ini ke telinga masyarakat internasional agar ada kucuran dana bantuan. Dana pinjaman pun bukan berkisar ratusan miliar tetapi ratusan triliunan. Namun lagi-lagi uang pinjaman itu identik dengan bayangan hantu; terlihat jelas kemudian cepat menghilang. Rakyat miskin itu kembali diberi beban baru yakni bayar hutang luar negeri beserta bunganya.
Nirmala Bonat dan kawan-kawan keheranan betapa sulitnya mencari uang hantu itu di negeri sendiri. Berbondong-bondong penduduk yang hidup di negeri kolam susu ini seperti didendangkan Koes Plus, memilih menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kelapa sawit di negeri Jiran, Malaysia. Pada zaman penjajahan Belanda dan masa pendudukan Jepang ada istilah kerja Rodi dan Romusha. Tenaga rakyat diperas sebagai suka relawan.
Demikian juga di era kemerdekaan, pemerintah senang ada rakyat Indonesia bekerja di luar negeri karena mereka akan mendatangkan devisa bagi negara. Lalu kas negara itu milik siapa? Tidak mungkin sepenuhnya menjadi milik negara karena banyak duit negara, seperti disinyalir ekonom vokal Kwik Gian Kie, yang menguap hilang seperti hantu per tahun. Siapa pencurinya? Hantu! Nyatanya, bukan.
Lantas? Ya, ada buktinya, lembaga peradilan di negeri ini kesulitan menemukan bukti kalau manusia Indonesia sebagai pelakunya. Kasihan Nirmala Bonat cs bekerja untuk hantu. Kalau zaman nenek moyang jelas, mereka kerja paksa untuk Tuan-tuan Belanda dan Shinse Nippon. Sejarah selalu terulang tetapi dengan wajah baru, dan bermerk tak berperikemanusian dan berperikeadilan, apalagi berperilaku sosial!
Kelirukah Bang Harry ketika berani berkata TIDAK. Tidak benar, kini rakyat adil makmur dan sejahtera. Tidak benar, rakyat Indonesia sudah menikmati kemerdekaan hidup dan hak-hak sipilnya. Pun tidak benar, substansi nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman pembangunan bangsa. Mungkin YA untuk kerangka dan sistem formal kenegaraan.
Pembangunan kembali Indonesia baru harus dimulai dengan keberanian berkata TIDAK, sepenggal kata yang biasa-biasa saja tetapi memiliki kekuatan dan energi kehidupan. Dengan berkata TIDAK (baca: dalam konteks di atas), generasi muda bangsa terlepas dari propaganda semu bahwa bangsa ini siap lepas landas menuju surga kesejahteraan. Katakan TIDAK, meski seruan itu akhirnya dibungkam dengan teror dan penyekapan. Tetapi energi kata TIDAK itu akan selalu menusuk dan menikam hantu-hantu yang bergentayangan di kanal-kanal kekuasaan negeri ini.
Kata TIDAK bukan sekedar seruan perlawanan tetapi juga permakluman diri kalau Saya, Anda dan Kita adalah pewaris sah negeri Katulistiwa ini. Katakan kalau Anda bukanlah pengkhianat saudara sebangsa, apalagi tergolong sekawanan hantu. Katakan Anda bukan hantu. Katakan Anda, Saya dan Kita bukanlah pelaku-pelaku pengkhianat dan jelas bukan hantu-hantu yang bergentayangan di siang bolong. Lebih baik mati daripada menjadi hantu. Itulah sebabnya ada kisah bahwa Gus Dur benar-benar percaya pada isyarat dari makam-makam leluhur. Kelihatannya dia memang percaya, sebab Gus Dur selalu siap dengan gigih dan sungguh-sungguh membela "ideologi"nya itu. Padahal hal tersebut sering membuat repot para koleganya. Tapi, ini mungkin jawaban yang benar, ketika ditanya kenapa Gus Dur sering berziarah ke makam para ulama dan leluhur. ‘’Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.’’
Berbagai kegiatan seputar HUT Proklamasi RI biasanya berubah menjadi ritus seremonial yang bermuara pada renungan politik, yang kebanyakan hanya jadi momentum politik buat penguasa yang tetap korup. Kendati pun merenung makna kemerdekaan dan untuk menghormati para pahlawan, adakah mereka menghargai pengorbanan jiwa dan raga pahlawan-pahlawan yang gugur karena melawan penjajah itu? Andaikan mereka sungguh menghargai, tidakkah mestinya korupsi dan kebobrokan manajemen kekuasaan tidak akan sampai seperti sekarang?
Suatu ketika Soekarno, seorang pemuda yang larut dalam idealisme perjuangan mencari jalan kemerdekaan bagi bangsanya dari kuk penjajahan, berjalan-jalan di sebuah daerah pedesaan yang sepi. Seperti sikap seorang filsuf yang tengah merenung, Soekarno tertegun kala menyaksikan seorang petani dengan tenang bekerja di sawah. Terlintas dalam benaknya, keasyikan bekerja membuat orang lupa akan keadaan di sekelilingnya. Petani itu bernama Marhaen.
Sejak saat itu, Soekarno terobsesi membangun sebuah negeri dengan semangat Marhaen dan hasil karya pembangunan harus menyentuh langsung kalangan Marhaen. Memang sekelebat ide Soekarno terasa dangkal namun bukan Soekarno namanya kalau tidak menuangkan ide Marhaen menjadi sebuah guratan ideologi pembangunan negara yang berpijak pada kepentingan wong cilik dan semangat kerja keras.
Menyedihkan sekali, khasanah marhaenisme mati suri di negeri ini. Bangsa ini bangkrut karena generasi penerusnya tergelincir dalam ideologi konsumtif paruh akhir abad 20, dengan menjunjung prinsip easy going dan carpe diem; nikmatilah hidup hari ini. Siklus kerja sang petani diabaikan: bangun pagi, mencangkul tanah, menabur benih, menyiram tanaman, membersihkan gulma, panen dan menjual hasilnya guna memperoleh uang untuk biaya hidup sehari-hari. Yang terpelihara cuma nafsu memburu kesuksesan instan tanpa melalui kerja keras.
Menjadi kaya tanpa usaha yang ditempuh lewat dua jalan lebar, --korupsi uang dan waktu, dan menjadi hantu di Legislatif, Yudikatif, Ekskutif, Pers, Lembaga Pendidikan, dan atau di Perusahaan Swasta--. Kehadiran hantu, kata orang, membuat bulu roma merinding, jantung berdegup ketakutan dan kengerian yang luar biasa. Betapa rakyat Indonesia masih dilanda kengerian, ketakutan dan trauma akan teror, penculikan, militerisme, pemerkosaan massal Mei 1998, penembakan gelap atau penataran P4 tanpa jemu. Individu yang bermental hantu cenderung menghancurkan persatuan negara sedangkan rekan kerja yang bertampang hantu merusak visi dan misi kekaryaan dengan gosip dan fitnah. Ngeri deh kalau ada hantu. Apalagi jadi hantu! Mari Kita, Anda dan Saya mengatakan TIDAK untuk YA di hari Kemerdekaan 17 Agustus ini. (Beny Uleander/KPO EDISI 64)
Read More
Beny Uleander

NTT, Kaya Budaya Tapi Mandul Kreativitas

Ajang seni yang paling kesohor di tanah seribu pura ini adalah penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diadakan rutin setiap tahun sejak tahun 1978 silam. Uniknya, pesta kesenian ini diikuti juga juga daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Setiap kabupaten berusaha menonjolkan kekhasan budaya daerahnya yang tertuang dalam aneka barang kerajinan seni dan pentas kesenian seperti seni tari.
Hal yang patut disoroti dalam PKB adalah ketidakikutsertaan berbagai kabupaten di NTT dalam ajang kesenian di Art Centre, Denpasar. Yang patut diacungi jempol cuma Pemkab Alor di bawah Bupati Ir Anis Takalapeta yang berani menginvestasikan citra budaya Pulau Kenari di mata masyarakat internasional. Perlu diingat, Bali adalah ikon pariwisata Indonesia dan salah satu komunitas internasional. Amat disayangkan mayoritas kepala daerah di NTT tutup mata dan telinga dalam menangkap peluang dan kesempatan tersebut.
Di gedung Bali Production Export, pengunjung dan wisatawan asing tahu budaya dan kesenian NTT hanya lewat ‘miniatur tenunan khas Alor’. Padahal selama ini NTT berkoar-koar sebagai propinsi dengan ratusan pulau (ada 556 pulau di NTT) dan ratusan budaya dan bahasa daerah. Tetapi ‘kemegahan’ budaya itu cuma menjadi kepuasan semu dikandang sendiri.
Memang pemerintah daerah NTT perlu memiliki semangat generasi muda dalam diri Katrida Omalor, Farida Obail dan Imanuel Maateng yang setia memperkenalkan ‘mosaik kebudayaan NTT’. Ketiganya tanpa kenal lelah menunggui stand pameran Pemkab Alor hampir selama sebulan penuh.
Di stand Pemkab Alor ini dipamerkan tenunan ikat motif Alor bergambar binatang seperti kura-kura, kupu-kupu atau gajah yang berasal dari Kolana, Pura, Lembu dan Kuwi. Ada juga peninggalan zaman perunggu pertengahan seperti moko dan nekara. Hasil tanaman perkebunan daerah Alor yang diperkenalkan berupa cengkeh, vanili, buah pinang, biji kenari dan jagung titi.
“Saya ingin memperkenalkan kebudayaan khas daerah Alor kepada dunia. Saya ingin orang luar negeri itu tahu kekayaan seni budaya kami,” ungkap Katrida. Memang disayangkan, ajang ‘nasional’ pertukaran dan perkenalan budaya ini diabaikan pemda kabupaten se-NTT, kecuali Alor. NTT memang kaya akan khasanah budaya daerahnya tetapi miskin dalam kreativitasnya. Sayang.
Read More
Beny Uleander

Biarkan Di Bali, Kita Menari

Duduk berjam-jam menunggui barang dagangan ternyata menjadi pekerjaan yang ditekuni dara manis Ari Novianti sejak tamat bangku SMU di Kota Malang, Jatim, tahun 1998. Kini, Novi, demikian nama manisnya, mendapat tugas baru sebagai penjaga Stand Ayu Collection di areal pameran Pesta Kesenian Bali (PKB), Art Center, yang berlangsung selama sebulan penuh. Stand tersebut milik Wayan Rudiana, pengrajin sandal dan tas asal Singaraja.
Sehari-harinya, Novi, bekerja di toko Ayu, Jl Ratna Denpasar. Ia disuruh majikannya menjadi penjaga stand secara bergantian dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Penghasilan dari penjualan tas tangan, bantal hias, sepatu dan sandal hias setiap hari tidak sama. “Kalau ramai, terutama malam Minggu bisa laku sampai Rp 500 ribu. Tetapi kalau sepi penghasilannya di bawah Rp 100 ribu,” ungkap gadis kelahiran Malang Selatan, 23 Juli 1978 ini polos.
Ditanya kesannya tentang penyelenggaraan PKB pada tahun ini, gadis berbintang Leo ini, menilai kegiatan PKB selama ini amat menyenangkan sekali. Ada banyak kegiatan seni dan pertukaran budaya dari setiap daerah di Indonesia. Peristiwa unik ini hanya terjadi dan berlangsung di Pulau Dewata ini. “Mas biarkan orang lain tahu di Bali ini kita menari. Meski di daerah lain ada kerusuhan dan perkelahian,” tuturnya dengan mimik wajah serius.
Novi mengaku jenuh dengan hingar-bingar politik di tanah air saat ini. Masing-masing calon pemimpin bangsa berlomba-lomba mencari dukungan. Padahal baginya, siapa saja yang bakal menjadi presiden tidak akan membawa banyak perubahan. Pasalnya, terang Novi, seorang presiden dituntut melakukan perubahan instant hanya dalam beberapa bulan saja. “Bayangkan saja Mas, reformasi baru jalan beberapa tahun, Masa harus ada perubahan mendadak,” ucapnya kritis.
Lebih jauh Novi menyatakan dirinya tak banyak peduli dengan siapa yang bakal jadi presiden. Memang ia sering ikut berita di televisi. Hanya saja ia tak suka dengar adanya kerusuhan di tanah air ini. “Semoga kebiasaan menari dan pentas seni setiap tahun di Bali ini masih menunjukkan kita ternyata bisa bersaudara meski berbeda agama dan suku,” harap gadis yang mengaku tengah menjalin cinta yang serius dengan pemuda Bali ini.
Read More

Selasa, Juli 06, 2004

Beny Uleander

IB Indra Dalam Getaran Cinta Perempuan

Tanah Bali tak putus-putusnya melahirkan seniman muda penuh talenta. Ida Bagus Indra (30), seorang pelukis berbakat yang bakal menambah daftar seniman brilian Pulau Dewata ini. Dunia seni lukis menjadi pilihan hidup IB Indra, yang ditekuninya sejak kecil. Baginya dorongan untuk melukis adalah dorongan kehidupan yang harus diekspresikan lewat gerakan kanvas. Karena itu, Gus Indra, sapaan akrabnya, memutuskan mendalami dunia seni lukis meski awalnya ia mendapat penolakan yang amat keras dari ayahnya Ida Bagus Lolec.
Bakat seni yang mengalir di tubuhnya diwarisi dari sang ayah yang punya hobi melukis dan menggambar karikatur. Meski masih teramat muda, Gus Indra sudah menghasilkan 300 karya seni yang bermutu tinggi. Tak heran, Gus Indra berani menggelar pameran tunggal di Australia pada Mei lalu, di Lynne Wilton Gallery, Melbourne.
Kali ini, seniman bertubuh jangkung ini memamerkan 28 buah karya seninya di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Jimbaran 6-30 Juli 2004 dengan tajuk Women and Children. Karya-karya IBI dinilai kuat, memadukan kelihaian teknik, pewarnaan dan sudut pandang suatu tematik yang digarap dengan matang.
IBI adalah salah satu seniman otodidak yang tekun belajar menggambar dari lingkungannya. Seperti halnya kebanyakan anak-anak di Bali, dia menikmati berbagai suguhan seni tradisional yang kelak memberikan pengalaman visual yang memperkaya proses perjalanan kesenimannya. Berpijak dari seni tradisional, IBI menarik benang merahnya ke cakrawala seni modern melalui representasi karya sejak 1996 yang banyak mengambil tema seputar spiritual, humanisme, sosial-politik dan berbagai sisi kehidupan.
Perempuan dan anak-anak melengkapi deretan serial karyanya yang mewakili figur-figur anganan IBI dalam warna-warna mencolok dalam aksentuasi bidang-bidang kanvasnya. Pembagian ruang yang terkesan hati-hati menghadirkan nuansa tersendiri yang terjaga secara cermat. Ruang-ruang kosong dalam kanvas IBI memberikan kesempatan (meningatkan) perlunya melakukan perenungan.
Dalam menggerakkan kanvasnya, IBI menggali inspirasi dari pengalaman pergaulan dengan orang-orang terdekatnya. Anak perempuannya yang sedang lucu dan menggemaskan misalnya, banyak membantu IBI menerjemahkan sesuatu yang ia pikirkan menjadi pencitraan yang mewakili satu atau lebih pesan yang ingin disampaikan. IBI tidak memotret kehidupan anak-anak semata, tapi juga membuat komparasi dengan kehidupan para orangtuanya.
Upaya tersebut diharapkan menjadi semacam ‘cermin’ bagi kehidupan manusia dewasa yang masih saja rentan akan ketidakdewasaan. “Paling tidak hal itu bisa mengingatkan saya sendiri terhadap kearifan, kebijaksanaan, atau kematangan sebagaimana yang seharusnya dimiliki manusia yang beranjak dewasa,” tutur pria kelahiran Denpasar, 9 Mei 1974 ini.
Dia juga mengambil moment kelahiran anak keduanya belum lama ini sebagai gambaran perjuangan seorang ibu, kasih sayang dan mengingatkan awal perjalanan kehidupan manusia dengan kepolosan dan kesuciannya. Dalam beberapa karyanya memperlihatkan ketangkasan IBI mengamati lingkungan dan menyerap intisari hakikat kehidupan.
IBI merasa terpanggil pula mewacanakan fenomenan peran perempuan. Dalam kehidupan yang sepenuhnya ‘didesain’ kaum lelaki, posisiperempuan sangat subordinat.Tetapi belakangan ini keterdesakan kaum perempuan telah melahirkan pembangkangan fisik maupun kultural. IBI memotret berbagai perlawanan moral ini di antaranya melalui serial Kung Fu Master.
Dia mencontohkan, siapa sangka republik ini pernah dipimpin seorang ibu rumah tangga. Atau siapa mengira seorang Marsinah mampu mengilhami ribuan buruh pabrik untuk menuntut hak-haknya. Juga seorang Inul yang mampu mengebor dan menggoyang kemunafikan lelaki. Para Srikandi perempuan seperti itu kini banyak mewarnai sisi kehidupan di negeri ini.
Karya-karya lukis IBI menurut kritikus seni Jean Coutean menunjukkan peningkatan bersifat psikologis. IBI melihat ke dalam batin hubungan dengan sesama manusia. Perlahan IBI terus melakukan pencarian aliran seni yang mulai terarah pada ekspresionis karena mementingkan gerakan dan spontanitas.(Beny Uleander/KPPO EDISI 62/MINGGU II JULI 2004)
Read More