Kamis, April 29, 2004

Beny Uleander

Parkir Ibarat Bola Liar

Sejarah dunia mencatat kota-kota masyhur lahir di tepi pantai mulai dari Efesus, Florence, Iskandariah, Istambul, Lisabon, Malaka sampai Batavia di daratan Indonesia tempo doeloe. Letak strategis suatu wilayah menjadi kunci kemajuan di bidang perdagangan, ekonomi, pertukaran budaya dan sosio-politik. Kota-kota itu tercatat dalam sejarah sebagai miniatur kota peradaban bukan hanya karena terletak di garis pantai, yang kala itu menjadi pintu masuk utama manusia dari benua lain, tetapi juga keunggulan dalam arsitektur perkotaan.
Sekarang, laut bukan jalur tunggal masuknya orang-orang yang berbeda suku, agama dan ras ke sebuah benua. Sejak Orville dan Wilbur Wright bersaudara pada tahun 1903 menemukan pesawat terbang, mulailah era dirgantara.
Semula cuma Werdukoro alias Bima yang bisa terbang dalam kisah Mahabrata. Kini suatu daerah bisa dihubungkan lewat jalur laut, udara dan darat. Intinya manusia mulai mengenal alat-alat transportasi seperti kapal terbang, kapal laut, kendaraan bermotor baik roda empat, tiga maupun dua.
Tingkat mobilitas manusia yang tinggi dalam suatu wilayah perkotaan, menjadi tolok ukur kemajuan ekonomi. Tak pelak, kehadiran alat transportasi seperti ‘kacang goreng’. Industri kendaraan pun balapan merek mulai dari Zusuki Shogun kog dilawan, Kawasaki sampai Yamaha Jupiter, si bebek yang bandel atau jet metik Kymco wanita jangan mau ketinggalan. Itu baru sepeda motor. Belum lagi ‘adu jotos’ antara merek mobil. Pokoknya seru deh, pemasaran kendaraan bermotor zaman ini.
Sejak kuda ditukar dengan sepeda motor, pedati dan delman diganti mobil, manusia mulai sibuk dengan aksesoris kedua alat angkut itu. Selain BBM, produksi baja, hak paten pembuatan mesin dan ekspor-impor kendaraan, hal yang mulai digeluti secara harian adalah masalah kemacetan lalu-lintas termasuk soal tempat parkir.
Salah satu penyebab kemacetan lalu-lintas adalah melubernya kendaraan di pinggir jalan-jalan protokol. Mencari jalan alternatif, pengaturan tempat parkir menjadi bagian pemecahan keruwetan macetnya lalu lintas. Pemerintahpun menggolkan agenda parkir dalam bentuk Perda. Kebijakan retribusi parkir berlaku baik di pelabuhan, bandar udara maupun kendaraan bermotor di perkotaan yang dinilai bisa diandalkan untuk pendapatan asli daerah (PAD).
Belakangan, masalah retribusi parkir menjadi bias karena menjadi lahan basah menombok easy-money. Kelompok ‘swasta alias partikelir’ melakukan tender privat yakni penguasaan tempat parkir secara sepihak dan kreatif menciptakan arena parkir di tempat-tempat strategis. Uang parkir yang dipungut itulah sasarannya.
Alhasil, lahan parkir menjadi ladang pembantaian antara organisasi parkir versus kelompok preman yang seenak perut membuat pengkavelingan daerah parkir. Bukan pelayan kenyamanan parkir bagi yang empunya kendaraan tetapi ya itu tadi, UUD (ujung-ujungnya duit).
Adanya perebutan lahan parkir antara organisasi perparkiran hingga berujung perkelahian yang diakhiri dengan pertumpahan darah menjadi bukti dunia retribusi parkir bergelimang duit. Kasus penyerbuan para preman ke pasar Badung beberapa waktu lalu tidak lain dari ekspresi persaingan antara preman dalam memperebutkan lahan parkir yang menggelinding bagai bola liar.
Sementara segelintir orang memilih profesi sebagai ‘pengusaha lahan parkir’ karena menjanjikan pemasukan yang besar. Jika dulu seorang anak ditanya apa cita-citanya pasti menjawab, ‘Saya ingin menjadi presiden, dokter atau pilot’. Tetapi di zaman ini, ketika pengusaha parkir naik kelas dari lingkup ‘gembel’ menjadi OKB (Orang Kaya Baru), bukan tidak mungkin anak-anak kita membidik profesi tukang parkir sebagai cita-citanya.
Di Denpasar, kebijakan pemda menerapkan Sistem Parkir Tahunan (Siparta) tergelincir pada jurang dialektika antara retribusi dan pajak. Takaran penalaran menyiratkan metode Siparta upaya mengamankan aliran uang melalui satu pipa ke kas daerah dengan asumsi tak terjadi kebocoran dana. Caranya mudah; catat jumlah kendaraan pada saat samsat kendaraan dan dipungutlah iuran parkir. Beres ‘Kan! Mau mendeteksi jumlah pendapatan, eksekutif maupun legislatif tinggal minta data jumlah kendaraan. Gampang bukan?
Namun adilkah sistem ini. Ternyata tidak. Karena kebutuhan parkir per individu bervariasi, maka beragam pula biaya parkir yang dikeluarkan dari kantongnya. Lewat pisau bedah term retribusi parkir telah berganti wajah menjadi pajak. Parkir tidak parkir, ya harus bayar. Inilah sukarnya menjadi pengamat sepak bola liar ini. Sulit juga menebak ke mana arah gelinding uang retribusi. Apakah sering gelinding ke kantong ‘para drakula’ Koruptor Modern atau sesekali singgah di kas daerah?
Satu lagi arah gelindingnya yang sering acak, tak ada kesesuaian antara hitung-hitungan di atas meja dan hasil pungutan, karena tetap ada hitung-hitungan tertentu.
Pemerintah sah-sah saja menetapkan tarif dasar dan patokan pendapatan yang harus disetor setiap hari. Namun kita perlu mempertanyakan adakah sistem efektif dan mekanisme pengawasan baku dari Eksekutif, yang menjadi norma dasar dalam mengontrol dunia keparkiran? Jangan-jangan masih ada celah yang bisa dimainkan oknum-oknum tertentu di lapangan untuk meraup rupiah tanpa kontribusi sepeserpun bagi daerah.
Sudah bukan rahasia lagi kalau di lapangan beredar pungutan liar. Karcis retribusi ‘tanpa cap’ diedarkan kelompok tertentu. Realitas sosial ini adalah sisi buram kemajuan teknologi yang tak pernah dipikirkan Wright bersaudara maupun si jenius Albert Einstein menjadi pekerjaan rumah buat Dewan yang baru untuk membuat kebijakan tepat sasar demi terbentuknya miniatur kota peradaban.
Wright bersaudara, James Watt atau Tuan Honda dari Asia, tipikal manusia yang mampu membuat ‘loncatan garis-garis pikiran’ pola kembang kehidupan yang akan dilewati generasi jauh sesudah mereka. Namun kalau ketiganya tahu, buah gagasan brilian mereka kelak menghalangi manusia di kota besar membangun peradaban, pasti mereka berpikir 1001 kali untuk mengkonstruksi ide-ide cemerlang itu.
Mereka tak keliru mencipta buah kebebasan berpikir, cipta dan karsa, cuma kita generasi plagiator terhormat, yang tak cemerlang menata sistem sosial atas kehadiran sarana transportasi. Berapa lamakah uang memporak-porandakan perangkat sosial? Cuma agama dan hati yang bersih bisa menjawab tuntas!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 59/MINGGU I JUNI 2004)
Read More

Kamis, April 15, 2004

Beny Uleander

Mesin Uang, Anak Durhaka Peradaban

Persoalan ketenagakerjaan mulai mencuat dalam rentang peradaban dunia ketika berhembusnya angin revolusi industri pada abad ke-17 di Eropa. Tatkala Johann Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak, manusia periode itu mulai memutar otak bagaimana mendesain sebuah alat yang sanggup mengerjakan sesuatu seperti yang dikerjakan manusia. Hanya saja lebih gampang, praktis, murah meriah dan efektif. Penemuan mesin uap, buah konstruksi mashyur seorang James Watt tahun 1769, merupakan era baru peradaban yang dinamai era industri. Sejak itu, pabrik-pabrik yang menghasilkan produk lewat sentuhan konkrit tangan manusia beralih ke suara-suara mesin. Rancang bangun mesin-mesin dari tahun ke tahun kian inovatif. Semula cuma memuaskan impian manusia yakni 'menggampangkan' hidup, namun rupanya melahirkan efek samping yang mengguncang tata sosial kehidupan masyarakat bangsa.
Mesin, seperangkat peralatan dengan sistem kerja tertentu, mencatat identitasnya sebagai 'anak durhaka' peradaban. Betapa tidak. Kehadiran mesin bagaikan raksasa kanibalis yang membantai tuannya sendiri. 'Kekejamannya' mulai tercium ketika petani-petani dari pelosok pedesaan Inggris banting stir menjadi buruh-buruh pabrik di daerah perkotaan terpaksa kehilangan lapangan pekerjaannya. Kebijakan rasionalisasi perusahaan yakni pemangkasan tenaga kerja terjadi karena tenaga mesin efektif menggeser tenaga manusia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran bukan potret baru keburaman manusia jaman ini. Sudah dari sononya akar konflik antara buruh dan perusahaan, antara beban biaya operasional dan target keuntungan yang harus dicapai.
Meneropong problem buruh versus perusahaan, kita harus menyatukan visi bahwa buruh; pekerja; karyawan dan pengusaha; owner; majikan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Meski kehadiran mesin dengan kategori perangkat keras dan perangkat lunak menjadi bagian kehidupan harian, namun tenaga manusia tetap diperlukan. Secanggih apapun, mesin itu dikendalikan oleh tenaga-tenaga terampil. Demikian juga kemajuan sebuah perusahaan amat didukung oleh faktor SDM. Investasi modal boleh triliunan rupiah, gedung atau pabrik tampil wah, tetapi kalau human investment diabaikan maka perusahaan itu mengalami pembusukan dari dalam. Ini berarti karyawan secara substantif merupakan patner kerja. Inilah roh prinsip sinergitas simbiosis mutualisme.
Ada banyak faktor penyebab perselisihan antara pekerja dan perusahaan seperti hak dan kewajiban atau antara jam kerja dan tunjangan hidup. Belakangan ini, akar konflik bersumber pada penghasilan atau upah yang tak sepadan dengan pekerjaan. Kembali, sejarah purba ditorehkan dalam modus baru yakni tragedi eksploitasi kemanusiaan. Kita seakan 'dipaksa' menikmati kebangkitan semangat imperialis leluhur yakni berperang bukan untuk menguasai wilayah tetapi menjadikan penduduk setempat sebagai tawanan yang akan dipekerjakan sebagai budak belian. Ketika karya kaum buruh mulai dihargai dengan lembaran uang semata sebenarnya di situ mulai terpampang secara halus pelecehan terhadap citra diri manusia dan kemunduran peradaban itu sendiri.
Sejak uang sebagai alat pertukaran nominal dikenal berakhirlah era barter; barang ditukarkan dengan barang mengikuti gairah hukum purba, nyawa diganti nyawa. Sebuah horison kehidupan baru terbuka, yakni pintu ekonomi. Paradigma klasik, barang dan jasa ditukar dengan uang mendorong sejumlah besar manusia 'menggadaikan' tenaganya, pikirannya dan ketrampilannya. Lahir pula paradigma terkini, uang menghasilkan uang melalui prinsip investasi lewat badan-badan keuangan. Dari situ, bermunculan sejumlah pengusaha yang menanamkan investasinya dalam sebuah bidang usaha. Sudah pasti ada prinsip ekonomi diterapkan, pengorbanan sekecil-kecilnya tapi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pemodal tergoda untuk menumpuk uang demi investasi. Justru inilah kecelakaan sejarah perusahaan. Juga kecelakaan politikus yang menjadikan kekuasaan sebagai mesin duit.
Kala perusahaan menjadi mesin uang secara inherent, kolektivitas tenaga kerja dalam perusahaan menjadi kolektivitas 'mesin hidup'. Padahal manusia berkarya untuk merealisasikan dirinya sebagai homo faber (manusia pekerja). Bukan sekedar menggemukkan diri. Karena itu kita harus mendukung upaya penegakan hak-hak buruh dan perusahaan yang berpijak pada kemanusiaan itu sendiri. Kita merindukan lahirnya pengusaha berjiwa Martin Luther King. I have a dream, lontar Luther King, yang merindukan suatu masa keruntuhan sendi-sendi ideologi-eksploitasisme. Tragis, bila perusahaan bermetamorfosis menjadi badan keuangan dan buruh menjadi mesin uang!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 58/MINGGU II MEI 2004)
Read More