Selasa, Agustus 30, 2005

Beny Uleander

Terkoyak Pelor

Di antara gemuruh desingan peluru musuh, Samsul, Ahmad, Simatupang, Benyamin, Ngurah Rai dan seribu rekan setanah air terus merangsek maju. Tahun 1945-1950, periode mempertahankan kemerdekaan RI. Cuma waktu dan tempat mereka berbeda tapi musuh mereka satu dan sama: Belanda dan sekutunya. Gairah dan tekad mereka pun setali tiga uang: merdeka atau mati. Ahmad merintih kesakitan memegang perutnya yang terkoyak pelor saudara kulit putih. Simatupang bersembunyi di balik semak menatap nanar ayah dan adiknya membujur kaku disambar peluru nyasar, entah peluru kawan atau lawan. Benyamin Moerdani diam kaku ditutupi alang-alang saat serdadu Negeri Kincir Angin melakukan aksi sweeping. Di Pulau Dewata, terpampang aksi heroik. Ngurah Rai bersama pasukannya meregang nyawa satu persatu dalam optimisme puputan di Desa Margarana, Tabanan. Merdeka atau mati.
Darah dan gairah mereka melahirkan persatuan manusia yang hidup dari Sabang sampai Merauke selama hampir 60 tahun. Persatuan terbangun dengan darah. Darah muda lagi…. Kesatuan direkat dengan jiwa-jiwa yang melayang dalam kepedihan mahadahsyat. Jiwa anak-anak polos yang terpaksa memanggul bedil dan bambu runcing. Mereka yang menjadi saksi perjuangan berdarah telah tiada, termasuk Roeslan Abdulgani. Tapi mereka sadar untuk siapa mereka rela mati bersimbah darah. Kematian dihayati sebagai perayaan kemenangan untuk sebuah momentum: KEMERDEKAAN saat ini di negeri ini.
Di abad 21, kembali lahir berjuta-juta Samsul, Ahmad, Benyamin dan Ngurah di serumpun pulau yang kini jarang ditumbuhi pepohonan. Samsul, kepala keluarga yang miskin dan melarat. Hidupnya bersetubuh dengan kemiskinan. Ada bakat melarat mengalir dalam darahnya. Ada potensi apes mengendap dalam sumsumnya. Seperti Samsul, Ahmad pun bekerja rutin sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah kota. Begitu pula Benyamin yang kerja sampingannya sebagai kuli. Isterinya bekas babu dan dua anaknya penyemir sepatu. Rumah mereka di rimba raya Kota Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar. Orang-orang melecehkan mereka. Pemerintah menyepelekan eksistensi mereka. Di mall, Samsul, Ahmad, Benyamin dan Ngurah melihat orang belanja makanan mewah ratusan ribu harganya. Di jalan-jalan, mereka melihat kaum majikan naik Mercy dan Volvo. Di hotel-hotel, mereka melihat kaum majikan menggandeng mesra gadis bukan isterinya. Di koran-koran, mereka membaca bagaimana konglomerat dengan gampang mendapat kredit milyaran dengan agunan jadi-jadian.
Sementara orang melarat cuma menjadi penonton. Dalam mimpinya, Samsul cs merasa kalah dalam hidup mereka. Berjuta Samsul ada di sekitar kita. Mereka menahan benci melihat para penguasa dan pengusaha berkolusi menjarah harta negara. Mereka tak berkuasa melakukan aksi protes melihat polisi melindungi pencuri. Ahh…latahnya KEMERDEKAAN saat ini di negeri ini.
Ahmad merintih kesakitan memegang perutnya yang keroncongan. Simatupang bersembunyi di balik semak menatap nanar ayah dan adiknya membujur kaku disambar peluru aparat negara. Benyamin diam kaku ditutupi alang-alang saat aparat trantib dan tibum Republik melakukan razia penduduk pendatang di kota. Di Pulau Dewata. Terpampang aksi depatriotisme. Ngurah bersama ‘pasukannya’ menjual tanah are demi are kepada ‘orang asing’ dalam optimisme kaya dadakan. Sebuah ironi getir, tanah yang dipertahankan leluhur dengan percikan darah dijual anak cucu kepada neo-kolonial: kaum kapitalis.
Indonesia di awal kemerdekaan menjadi negeri selaksa potensi yang membikin ketar-ketir Amerika yang mulai beraksi sebagai polisi dunia. Fidel Castro, pejuang Kuba itu ‘kesengsem’ dengan kharisma seorang Soekarno yang berani berteriak anti kolonialisme dan imperialisme. Slogan berjiwa pun hidup di dada rakyat Republik. “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”. Reputasi Soekarno, pemimpin negeri yang baru merdeka ini dilihat sebagai Macan Asia yang baru bangun dari tidur panjang, 3,5 abad. Soekarno pun berani membangun mega proyek perasaan senasib sebagai bangsa terjajah dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, yang menjadi cikal bakal Gerakan Non Blok (GNB). Gerakan strategis yang sinergis dengan garis kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dalam menjaga perdamaian dunia sekaligus menjauhkan Indonesia dari gesekan pengaruh Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Indonesia yang pada awal kemerdekaannya diprediksi ‘negara maju’ bakal meroket menjadi bangsa yang besar. Sayang, bangsa ini cuma besar dalam jumlah wilayah, sumber daya alam dan tentu ratusan juta penduduk yang hidup terlantar. Tapi tak ada ‘kebesaran kualitas’ sebagai bangsa yang bisa berdiri sejajar dengan ‘negara maju’. Indonesia kini menjadi negara pesakitan yang dihimpit beban utang luar negeri. Ratusan juta penduduknya kini hidup hanya untuk membayar utang-utang negara yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Betapa sedihnya menjadi orang Indonesia. Kemerdekaan fisik dari penjajah disalahgunakan. Apes, dalam ‘manajemen kapitalis’, negeri ini masih dijajah…entah sampai kapan. Anak cucu pun masih harus menanggung tumpukan utang luar negeri.
Sanggupkah Indonesia keluar dari beban penjajahan bangsa asing lewat ‘borgol dana bantuan’? Jawabnya, bisa ya dan tidak. Tergantung kesadaran generasi muda negeri ini berpikir optimis, kritis dan korektif. Bukan generasi yang didoktrin sebagai pemegang kelanjutan tongkat estafet kepemimpinan tanpa parade regenerasi. Benar sindiran penyair kawakan W.S. Rendra, setiap generasi mempunyai tongkatnya sendiri.
Optimisme menjadi bangsa yang besar belum terlambat. Tak ada alasan untuk berjiwa pesimis. “Ah, negeri ini terlalu luas sehingga tak bisa seperti Singapura yang penduduknya sedikit”. Lihatlah China, negerinya luas dan penduduknya melebihi penduduk Indonesia tetapi kini perekonomian mereka sejajar dengan Amerika. Ketika industri tekstil China menguasai pasar Asia dan Eropa era 1980-an, Amerika dengan langkah gontai pindah ke industri senjata dan peralatan keamanan. Sebuah contoh, tak ada tempat bagi generasi yang berpikir kerdil.
Tahun 2005 merupakan momentum yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk memilih merdeka atau mati, pasca krisis moneter 1997. Merdeka dari jeratan hukum warisan kolonial, bebas dari pelayan publik yang berjiwa penguasa. Saat ini negara membutuhkan generasi pendobrak di bidang ‘kemapanan UUD’45’ yang disakralkan di pentas formalisme semata tetapi diperkosa habis-habisan di lapangan praktis. Generasi yang kritis bahwa banyak pembela Pancasila yang dituding anti RI sementara penggusuran, koruptor dan preman politik yang non Pancasilais dibela ‘alat-alat negara’. Munir seorang Pancasilais tulen jadi contoh super tragis. Pahlawan kemanusiaan dibantai sedangkan koruptor dibalut ‘kasih sayang’ hukum elastis. Saatnya, bangkit generasi baru Samsul, Ahmad, Simatupang, Benyamin atau Ngurah yang korektif: berani menyuarakan penyimpangan dalam tata kelola negara yang harus cepat dilawan. Itulah nasionalisme baru di negeri ini. Lewat dari tahun 2005, bangsa ini akan menjadi bangsa apatis. Menerima penindasan sesama saudara sebagai hal yang lumrah. Waktu untuk bangun dari ‘ketaksadaran’ ini menurut Anand Krishna membutuhkan penyembuhan dalam tahun-tahun yang amat panjang. Bisa-bisa… kita bangkit dari ‘ketakmederkaan’ 3,5 abad lagi. Semoga tidak!? (Beny Uleander/KPO EDISI 87/OKTOBER 2005)
Read More

Minggu, Agustus 28, 2005

Beny Uleander

Ada Apa Denganmu Peterpan?

Sebuah moment kegamangan di Pulau Serangan, Sakenan, Bali, Minggu (28/8), melekat erat di benakku. Jam menunjukkan pukul 18.55 WITA. Rasa gamang itu seperti tarikan napas panjang yang menarik keluar kelelahan dari sekujur tubuhku menggantinya dengan sebuah refleksi. Maklum, sejak pagi, pukul 09.45 WITA, aku bersama fotografer Gede Sustrawan sudah berada di lokasi konser terakbar di tanah air A Mild Live Soundrenaline 2005 putaran terakhir.

Hadir 90 musisi, grup band dan para penyanyi papan atas serta pendatang baru di blantika musik Indonesia. Karena itu, kami harus membuat pengamatan lebih awal soal lokasi dan suasana jelang konser. Syukur, matahari tetap bersahabat meski menyengat kulitku. Aku tak peduli. Para penonton juga cuek akan sengatan mentari kala konser dimulai pukul 11.30 dengan penampilan Reza Herlambang.

Para wartawan dan fotografer standby di Media Center ditemani EO Prisma PR, Endah Dwi Ekowati yang selalu membagi keramahan kepada awak media. Lokasi Media Center berada di tengah antara kedua panggung Simpati Stage dan A Mild Stage yang berjarak 15 meter. Lalu lintas kesibukan merekam data dan berita kian meningkat ketika mulai digelar jumpa pers di Media Center. Setelah Reza Herlambang bergantian dengan Funky Kopral, Meteor, Melanie Subono, Suicidal Sinatra, Meta & Band, Navicula, Kara, Sunset, Don’z Gank, Galagasi, ROXX, Lolot, Sucker Head, Gamma, Crowned King Band dari Kanada, Ello & Band, PAS Band, Audy, SID dan Radja…...lalu Peterpan, Slank dan terakhir God Bless.

Peperangan informasi pun terjadi di antara wartawan walau secara diam-diam. Masing-masing media berusaha mencari kesempatan di tengah kesempitan waktu untuk wawancara ‘super eksklusif’ dengan para musisi berdasarkan ‘angle redaksi’. Para petugas keamanan selaku pengawal sangat ketat. Belum selesai wawancara pasca jumpa pers, sang artis atau personil grup band sudah digiring paksa ke tenda istirahat. Memang ketat. Betapa beratnya perjuangan wartawan untuk mencari sela-sela berita eksklusif yang berbeda dengan rekan media lainnya. Bukankah lain dapur, lain pula menu dan masakannya?

Aku sendiri memutuskan untuk berkonsentrasi meminta komentar singkat meski datar para artis maupun kelompok band yang menghipnotis 55 ribu penonton. Patokannya sederhana…saat para bintang akan melewati red carpet untuk difoto sebelum memasuki Media Centre, aku melihat reaksi penonton terutama para remaja yang berlarian dan berhimpitan di pagar pembatas. Mereka berdesakan ingin melihat dari jarak 5 meter para idola mereka. Ada yang berusaha mengabadikan wajah idolanya dengan kamera HP, digital maupun manual. Bila ada artis atau band yang diserbu penggemarnya, maka aku pun berusaha mengumpulkan data para artis/band ketika jumpa pers berlangsung. Bukankah aku harus mengetahui perkembangan terkini band maupun artis yang memiliki sejuta penggemar?

Tibalah moment kegamangan itu. Pukul 18.55 WITA, usai Radja Band, aku terpana melihat penampilan Peterpan yang menghipnotis penonton. Bayangkan, begitu Peterpan tampil di panggung A Mild Stage, WC umum yang sebelumnya penuh sesak dengan antrean penonton tiba-tiba kosong melompong. Akupun mulai bertanya. Ada apa denganmu Peterpan?

Aku menderita kesepian di tengah gemuruh suara penonton. Semua mata di arena itu berkonsentrasi memelototi Ariel (vocal), Loekman (lead guitar), Uki (guitar), Andika (keyboard), Reza (drum), dan Indra (bass) yang memanjakan penggemarnya dengan lagu-lagu favorit mereka.

Akupun bergegas kembali ke Media Center menunggu kedatangan Peterpan. Saat itu tiba. Ribuan penonton beralih menyerbu pagar pembatas red carpet. “Pintar juga pihak panita membuat pagar pengaman dari besi baja. Kalau tidak bisa ambruk,” gumamku dalam hati. “Pak tolooong. Toloooong Pak. Tolong dong Paaa. Pliiiisss…,” pinta beberapa remaja dengan suara memelas memohon agar aku yang berada di dalam pagar bisa membantu memotret personil Peterpan dengan kamera yang mereka bawa dari rumah. Aku cuma tercengang dalam kegamangan. Ada aura dan energi apa yang dipancarkan personil Peterpan yang masih muda belia dengan tampang tak berdosa?

Di dalam Media Center, jelang konferensi pers, suasana lebih hiruk pikuk. Jumlah reporter seperti membengkak dua kali lipat dari sebelumnya. Kami berdesak-desakan. Para wartawan pun terserap dalam kharisma Peterpan. Semua melepaskan kartu pengenal di dada dan meletakkan di meja untuk ditandatangani Ariel dkk. “Ini wawancara atau jumpa penggemar,” tanyaku diam. Usai konferensi pers, wartawan pun masih antrean minta tanda tangan. Ini membuat kesal reporter sebuah media televisi yang sudah siap wawancara eksklusif pada akhirnya batal. Berujung, kejar-mengejar wartawan dengan Ariel yang dikawal ketat. Aku heran kenapa pada waktu konferensi pers semua wartawan seperti kehilangan bahan pertanyaan. Ada apa denganmu Peterpan?

Didorong rasa penasaran, aku menguntit Ariel dkk. Mereka masuk tenda paling pojok untuk bertemu para penggemar dan menandatangani pakaian segelintir fans yang diizinkan masuk. Petugas keamanan kewalahan ketika penggemar di luar pagar mulai berteriak histeris karena tak beruntung bertemu idolanya. Delapan menit kemudian, Ariel dkk sudah diamankan ke lokasi khusus. Aku kembali ke media center.

Tiba-tiba dua gadis remaja cantik menghampiriku dengan senyum ramah. “Mas wartawan ya,” tanya seorang di antaranya yang ternyata datang dari Surabaya untuk menonton aksi Peterpan. “Ya. Saya memang wartawan,’ jawabku ramah. Tanpa malu gadis yang satunya lagi memelukku manja dan menggesekkan buah dadanya di lenganku. Aku terbengong. “Mas..tolong ya foto Ariel dengan hapeku,” bujuknya. Aku merasa gamang. Koq bisa sampai begini penggila Peterpan. Ada apa denganmu Peterpan? Sudah lahir BonJovi di Indonesia. Bisakah para anak muda ini tak larut dalam ketenaran yang kadang memabukkan berujung pada kehancuran karir? Biarlah itu cuma dialami New Kids On The Block. (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Tak Pusing Soal Multi Karakter

Melanie Subono

Berkenalan dengan sosok Melanie Subono memang membingungkan. Publik pun tak bisa memahami siapa sih sebenarnya Melanie. Memang, Melanie dikenal sebagai presenter, pemain sinetron dan pendatang baru di blantika musik dengan satu album indie. Apa sih profesi atau aliran musik yang dipilihnya.

Di tengah kebingungan publik ini, Melanie mengeluarkan statement yang matang dan dewasa. “Omong imij memang susah. Soalnya orang Indonesia sudah terbiasa melihat orang yang suka ambil banyak pekerjaan dinilai nggak fokus. Aku masih ingin main film. Pokoknya aku tak ingin masuk dalam penilaian yang terkotak-kotak. Aku lempar imij ke publik untuk menilainya sendiri,” papar puteri sulung bos Java Musikindo, Adrie Soubono bersemangat.

Melanie pun mengaku tak mau membangun karir di bawah bayang-bayang nama besar ayahnya Adrie Subono yang terkenal sebagai promotor musik di tanah air. “Aku kalau ke mana-mana atau urus sesuatu tak pernah mau pakai nama orangtua. Memang ada teman yang sempat menyarankan pakai nama bapa sebagai keberuntungan tapi aku mau tampil dengan diri sendiri,” ujar mantan isteri Raja Simatupang yang bercerai 23 November 2004 lalu.

Di arena Konser A Mild Live 2005 di Serangan Bali akhir Agustus lalu, model video klip ‘’Gadis Galaksi’’ nyanyian grup Telephone ini memang tampil mengejutkan dengan tembang-tembangnya yang keras. Diakuinya, saat ini dirinya tengah berkonsentrari mempelajari karakter musik punk rock yang selama ini dianut SID, mantan band indie yang kini menjadi band jagoan label Sony BMG Music Indonesia. Dipilihnya aliran musik 'punk' yang identik dengan kejantanan laki-laki menjadi satu bentuk jati diri yang harus dihargai kaum Adam karena perempuan mampu berkreasi dan ekspresi laiknya mereka.

Soal gaya hidup, perempuan kelahiran hamburg 20 Oktober ini menyukai karakter punk. “Gue nggak suka yang slow,” tandas penyanyi yang sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa pembajakan kaset/album justru menguntungkan seorang artis karena karyanya akan semakin dikenal masyarakat. (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Diguyur Duit, Slank Mulai Berinvestasi

Sebagai band papan atas Indonesia, Slank memiliki sejuta penggemar yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ketenaran dan duit menumpuk di kantong Kaka (vokal), Bimbim (drum), Abdee (gitar), Ridho (gitar) dan Ivanka (bas). Lantas, slank pun mulai berinvestasi ala manajemen partai politik.

Massa Slank yang disebut Slanker membentuk organisasi di setiap kota yang memback-up kiprah Slank. Band yang bermarkas di Jl. Potlot Jakarta ini telah menyimpan fans fanatik terdaftar dalam komunitas Slankers sebanyak 400.000 orang. Slankers inilah pembeli fanatik kaset dan CD, merchandise Slank, dan penonton konser Slank, yang terus mencoba menghindari membeli barang bajakannya. “Kami selalu mengagendakan pertemuan dengan para slankers. Yang pasti di mana ada Slankers pasti kami akan konser di tempat mereka. Hanya jadwalnya harus disusun jauh hari sebelumnya. Kami berusaha sisihkan waktu untuk curhat,” ujar Kaka yang ditemui di arena Konser A Mild Soundrenaline 2005 di Serangan, Bali.

Untuk Bali, pernah terbentuk Slankers di Singaraja tahun 1999 namun kepengurusan sempat vakum. “Di Bali, kami kukuhkan kembali funs club dengan nama Bidadari Penyelamat. Mereka mengenakan busana adat Bali. Kami resmikan ulang pengurus dengan ketua dan anggota yang baru,” tambah Kaka.

Kini ada 70 cabang Slankers di Indonesia. Karena itu, Slank tetap terobsesi menjaga keutuhan negeri ini dari bahaya pertikaian horizontal. Salah satunya, slank pada tanggal 5 desember mendatang akan menggelar konser perdamaian di Aceh. “Kami ingin melihat langsung realisasi perdamaian RI-GAM di Aceh. Udah lagu tentang kisah perjanjian Aceh

Jilid II. Kita akan lihat apakah perjanjian itu murni atau tidak,” tegas Bimbim. Kaka juga menegaskan bahwa slank tetap berkomitmen mengusung semangat muda sebagai diri nasionalisme.

Dikorek soal penggunaan duit yang mereka terima, jawaban personil Slank ini beragam. Tapi yang pasti mereka tak mengelak duit yang diterima sudah dipakai untuk memenuhi standar hidup layak dan membangun bisnis kecil-kecilan. “Saya mendirikan pabrik gitar dengan label Marlik Gitar. Usaha ini allhamdulilah sudah berjalan,” ujar Ridho. Untuk Abdee, penghasilan yang diterimanya digunakan untuk membangun rumah dan menjalankan bisnis-bisnis kecil yang ditawarkan relasi terdekatnya. Sedangkan Kaka dengan serius menyebutkan uang yuang didapat selama ini terus ditabung untuk masa tua. “Cita-cita saya nanti ingin keliling dunia dan membeli tanah di pesisir pantai. Suatu saat saya ingin menjadi nelayan,” ujar Kaka serius. Sementara Bimbim dengan guyon berkilah sedang merintis usaha penanaman cabe keriting. “Aah nggak. Cuma guyon,” elaknya menghindari rasa penasaran wartawan media ini.

Ditanya kiat menjaga kekompakan, Bimbim yang dituahkan menjawab bahwa kuncinya adalah saling percaya di antara sesama mereka. “Kami sering bertemu bukan hanya ada job untuk manggung atau latihan tetapi seperti keluarga kapan saja. Karena sering kumpul kami jadinya selalu saling percaya,” ujar Bimbin.

Slank berdiri pada Desember 1983 yang bermula dari Cikini Stones Complex (CSC), band yang terdiri dari anak-anak SMA perguruan Cikini. Di band inilah Bimo Setiawan alias Bimbim (dram), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bas), Uti (vokal) dan Well Welly (vokal) mengekspresikan kesukaan mereka terhadap karya-karya Rolling Stones.

Tapi sayang kemudian band ini dibubarkan. Bimo Setiawan atau lebih dikenal dengan sebutan Bimbim tetap bertekad untuk bermusik. Lalu bersama dua orang saudaranya Denny dan Erwan, ia membentuk Red Evil. Berbeda konsep dengan CSC, Red Evil mulai menyisipkan karya sendiri ketika mereka tampil membawakan karya-karya Van Halen.

Merasa tidak puas dengan satu gitaris, Bimbim pun mengajak serta Bongky yang saat itu tercatat sebagai gitaris Reseh Band. Namun kedatangan Bongky di Red Evil membuat mundur gitaris yang akan didampinginya. Penampilan mereka yang terkesan asal-asalan kadang urakan membuat mereka kerap disebut slenge’an oleh teman-temannya. Mulai saat itulah Red Evil pun berubah nama menjadi Slank dengan formasi awal, Bimbim (drum), Erwan (vokal), Bongky (gitar), Denny (bas) dan Kiki (gitar).

Sejak itu pula, rumah Bimbim di Jl. Potlot III/14 Pancoran, Jakarta Selatan dijadikan tempat ngumpul alias markas kelompok Slank.

Penampilan pertama Slank digelar di Universitas Nasional. Kendati berlangsung kacau, tapi kejadian ini tak menyurutkan Slank untuk ikut festival band KMSS di Istora Senayan, Jakarta.

Melihat Slank yang tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan Erwan pun memutuskan untuk keluar. Posisinya digantikan Uti dan Lala. Tapi tak lama kemudian posisi mereka digantikan Well Welly yang dulu menjadi vokalis CSC.

Formasi Slank terus berubah hingga menjadi solid ketika Bimbim dan Bongky merekrut Kaka (vokal), Pay (gitar) dan Indra Q. (kibor). Mereka kemudian memutuskan serius di jalur musik mereka dan mencari jalur untuk rekaman. Keunikan Slank adalah berani menampilkan warna musik yang berbeda dari pop, rock, sampai etnik.

Tahun 1991, dalam ajang BASF Award, Slank meraih predikat “Pendatang Baru Terbaik” dengan album album Suit-Suit... Hey Hey... (Gadis Sexy) yang menampilkan hits Memang dan Maafkan. Slank pun mulai panenprestasi danpenghargaan seperti MTV Asia Awards Nominator 2003 aaatau BASF Awards Best Selling Album 1994/1995for Rock category dengan meraih perikat Double Platinum Album Category

Sayang, formasi solid ini pun ternyata harus pecah. Pay, Bongky dan Indra memutuskan hengkang. Posisi mereka digantikan oleh tiga personel baru, yakni Abdee (gitar), Ridho (gitar) dan Ivanka (bas). Seiring dengan itu, semangat bermusik, penampilan Slank pun mulai berubah. Bagi Bimbim dan Kaka, tiga personil baru ini membawa gairah yang baru. Sampai saat ini, Slank sudah mengeluarkan 15 album: Suit-Suit Hehe/Gadis Sexy 1990, Kampungan 1991, Piss 1993, Generasi Biru 1994, Minoritas 1996, Lagi Sedih 1997, Tujuh 1998, Mata Hati Reformasi 1998, Konser piss 30 kota (Live Album) 1998, 999 + 09 (Double Album) 1999, Virus 2001, Slank Virus Road Show (Live Album) 2002, Satu Satu 2003 dan Slank Bajakan (Kompilasi Live 2003). (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Banteng Tua Menyodok Panggung Musik Cadas

God Bless Grup Rock Legendaris

Berkarya hingga uzur dan memompa semangat muda di usia senja. Itulah tekad God Bless, sebuah grup band rock legendaris di tanah air yang sudah berusia 32 tahun. Dari 5 personil God Bless, empat orang berusia di atas 55 tahun yaitu Achmad Albar (vokalis), Ian Antono (gitar), Dony Fatah (bas), Abadi Susman (keyboard). Termuda cuma Gilang Ramadhan (drum), 42 tahun.

Menyebut nama God Bless, orang langsung teringat akan si ‘kribo’ Achmad Albar yang menjadi ikonnya. Juga nama God Bless sudah tertancap kuat di benak generasi muda yang lahir di era 60 – 70-an. God Bless lahir di Jakarta tahun 1973 dan manggung pertama kali di ‘Teater Terbuka’ Taman Ismail Marzuki. Tempat ini pada jamannya dianggap sebagai test case praktisi seni menggelar karyanya.

Ketika ditemui di Serangan, Sakenan, Bali, Minggu (28/8), Achmad Albar bersama personil pendukung God Bless menyatakan niat come back. Memang ada keraguan menengok usia mereka sudah tak layak lagi tampil membawa musik rock yang membutuhkan energi yang besar. Namun melihat penampilan mereka di panggung A Mild Soundrenaline 2005 di Serangan yang tetap energik, ‘sangar’ dan menghipnotis ribuan penonton, keraguan itu lenyap seketika. God Bless kembali ke zaman keemasannya. Publik seakan tak percaya, God Bless tampil dengan jiwa sporty dan muda.

Soal latihan, Achmad Albar mengakui tidak membutuhkan waktu yang panjang. Karena tingkat kematangan yang memadai di antara personil God Bless maka penyesuaian dan penguasaan beberapa lagu cuma dalam satu sampai dua kali latihan bersama. “Untuk tampil di Surabaya lalu kami sempat latihan dua kali. Untuk tampil di Bali hanya latihan sekali saja,” ungkap Albar yang akrab dipanggil Bang Iyek kelahiran Surabaya, 16 Juli 1946 dari pasangan Farida Hasni dan Syech Albar.

Kini God Bless sedang merencanakan untuk meluncurkan album baru. “Materi memang sudah ada tetapi kami masih menunggu waktu yang tepat,” ujar Dony Fatah kelahiran Ujung Pandang, 24 September 1949. Hal ini ditanggapi Achmad Albar dengan menyebutkan kendala masih pada manajemen God Bless yang masih ditangani secara internal. Yang pasti ada target. Tahun 2006, God Bless akan melakukan tour Reinkarnasi keliling beberapa kota di Indonesia.

God Bless memang tak lepas dari sosok Achmad Albar yang kembali menyatakan tekad akan kembali menghidupkan God Bless. “Yah..saya berharap kami semua tetap bersatu dalam God Bless,” tekadnya.

Ketika masa kanak-kanak, Albar sempat membintangi sejumlah film layar lebar antara lain Jenderal Kancil. Tahun 1966-1967. Achmad berangkat ke Belanda dan bergabung dengan kelompok musik “Take Five” kemudian pindah grup band “Clover Leaf” hingga tahun 1972. Bersama Cloxer Leaf Achmad menghasilkan satu album dengan lima buah single hitsnya antara lain “Don’t spoil My Day” & “Grey Clouds”.

Sekembali dari negeri Belanda pada Desember 1972, Ahmad Albar bersama Dony Fattah membentuk God Bless tepatnya pada bulan Mei 1973.

Sulit mencari gitaris rock andal, Ahmad Albar harus merekrut teman sesama musisi asal Belanda, Ludwig Lemans. Gebrakan perdana pada konser musik bergengsi SUMMER 28 yang diselenggarakan di Ragunan, pasar Minggu, Jakarta Selatan. Formasi awalnya Fuad Hassan (drum), Ahmad Albar (vocal). Ludwig Lehmans (gitar), Donny Fattah (bas) dan Deddy Dores (keyboard) setahun kemudian (1973) ketika mereka tampil di Taman Ismail Marzuki, Deddy Dores posisinya digantikan banyak Jockie Suryoprayogo (keyboard) yang pada akhirnya banyak memberikan kontribusi pada group band ini.

Bongkar pasang personel di tubuh God Bless terus terjadi, apalagi ditinggal Ludwig ke negeri Belanda pada akhirnya 1973, otomatis harus mencari gitaris yang setara dengannya. Di posisi gitar pernah tercatat nama Dedy Dores dan Odink Nasution. Yang dramatis, ketika bulan Juni 1974, penggebuk drum berbakat Fuad Hasan dan Soman Lubis (keyboard) mengalami kecelakaan lalu lintas di Tugu Pancoran, Jakarta Selatan. Pecinta God Bless berkabung lama. Untuk mengisi kekosongan, direkrutlah Nasution bersaudara (Odink Nasution, keenam Nasution dan Debby Nasution ). Namun pada tahun 1975 terbentuk formasi solid untuk eksistensi God Bless di masa datang.

Album perdana GOD BLESS diluncurkan tahun 1975 dengan formasi Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fatah (bass), Teddy Sujaya, (drum) dan Yockie Suryoprayogo (keyboard). Lagu Hits andalan ‘Huma di Atas Bukit’ dan ‘She Passed Away’.

Nama God Bless semakin berkibar. Anak-anak band yang memilih aliran musik rock ini menguasai seluruh panggung pertunjukkan di Indonesia. Maka pada tahun 1980 mereka merilis album kedua “CERMIN” , dengan pemain keyboard Abadi Soesman yang menggantikan posisi Yockie yang harus mengerjakan sejumlah proyek musik di grup. Lagu hits CERMIN: Musisi, Selamat Pagi Indonesia dan Balada Sejuta Wajah.

Sejak merilis CERMIN, God Bless lama vakum. Masing-masing personelnya sibuk. Donny Fatah, salah satu pendiri grup ini berangkat ke Amerika untuk memperdalam bisnis musik, sedangkan Achmad Albar sibuk sengan solo kariernya. Hingga tahun1986, sepulang Donny dari Amerika, God Bless kembali masuk rekaman dengan kembali ke format : Achmad Albar, Donny Fatah, Yockie Soeryoprayogo, Ian Antono dan Teddy Sujaya dengan merilis album Semut Hitam yang didanai Log Zhelebou8r, yang sekaligus menjadi promotor pertunjukan musik gaek ini dan meraih sukses dan penjualan albumnya. Lagu hits: Semut Hitam, Kehidupan dan Rumah Kita.

Di tahun 1989, Ian Antono cabut dari group dan posisinya digantikan Eet Syahranie, gitaris muda yang cukup potensial. Lahirlah album RAKSASA (1989) dengan lagu hits Menjilat Matahari dan Raksasa. Tahun 1990 mereka menggubah serangkaian hits God Bless dari album-album terdahulu yang dikemas dengan apik dalam THE STORY OF GOD BLESS sebagai almub V dengan hits panggung Sandiwara dan Sesat.

Kemudian terjadi kevakuman kali ini cukup lama. Masing-masing personil terpencar berkolaborasi dengan para musisi lain seperti Setiawan Djodi, Iwan Fals, Totok Tewl, Sawung Jabo dan beberapa musikus lain. Sedangkan Ahmad Albar dan Donny Fattah bergabung bersama Ian Antono dengan Yay Moekito (drum) dan Harry Anggoman (keyboard), yang menghasilkan album BARA TIMUR (1991) double album LIVE IN JAKARTA (1992), LASKAR (1993), PRAHARA-LIDAH PETAKA (1997).

Kejenuhan dari kesibukan masing-masing personel God Bless mulai terasa. Justru mereka merasa rindu dan kangen untuk bergabung kembali di God Bless yang mereka bangun dengan susah payah, Di tahun 1997 mereka sepakat untuk berkumpul dan terealisasilah formasi God Bless yang XII (1997-1999): Achmad Albar (Vocal),Ian Antono (Gitar), Eet Syahranie (Bass), Donny Fattah (Drum), Yockie Suryoprayogo (Keyboards). Lahir album “APA KABAR” tahun 1997.

Sampai dengan tahun 2003, perjalanan God Bless sudah diwarnai dengan formasi personil sampai XVIII. Group musik cadas God Bless masih tetap berdiri kokoh bagai ‘karang’. Kini ia sudah menjadi legenda bagi perjalanan musik rock di Indonesia. God Bless yang masih tetap berdiri bagai banteng tua. (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Sempat Tak Direstui Ortu

Kara Gunawan

Nama Kara Gunawan sebagai penyanyi belum setenar Agnes Monica, Audy atau Pinkan Mambo. Namun menengok kiprahnya di jalur musik, pemilik nama asli Tathya Sarasmi Astungkara bukan sekadar kebetulan menjadi penyanyi. Saat ditemui di Serangan, Bali, akhir Agustus lalu, dara cantik ini mengaku kian percaya diri bernyanyi di atas panggung dengan disaksikan ribuan penonton di ajang A Mild Soundrenaline 2005. Dengan goyangan atraktif, Kara membawakan lagu album pertama Beri Aku Waktu bernuansa pop R&B.

“Saya terkejut mendapat sambutan hangat di Bali,” ujar Kara yang didampingi Anindya Novianty Maharani (24) selaku backing vocal. Meski sebagai penyanyi solo, Kara tampil bersama band sendiri. “Dalam konsep band dan untuk live musik lebih bagus bawa band sendiri karena ada penyesuaian dan latihan bersama,” jelas Kara yang mengenakan celana pendek coklet muda dipadu tangtop putih.

Penyanyi dengan senyum indah ini awalnya tak ada niat menjadi penyanyi. Cewek kelahiran Jakarta 24 September 1984 sudah tertarik pada dunia musik sejak duduk di bangku SD. Kara pernah tercatat sebagai anggota paduan suara di SD Al-Azhar, Pondok Labu, Jakarta. Kala duduk di bangku kelas II di SMP Al-Azhar, Kara menjadi penyanyi lepas band sekolah.

Hobinya di dunia tarik suara terus berkembang. Ketika Kara menuntut ilmu di Ascham School, Sydney, Australia, Kara menjadi pemain bas dalam kelompok orkestra sekolah dan juga di band sekolahnya yang beraliran pop alternatif.

Saat kembali ke Jakarta, kurun waktu 2000-2002, buah hati Maxi dan Andang Gunawan menjadi penyanyi di band sekolahnya, Cita Buana Highschool. Ia biasanya mengusung lagu-lagu milik kelompok No Doubt.

Berkat dorongan rekan-rekannya yang melihat bakat besar Kara, akhirnya ia memberanikan diri untuk terjun ke dunia rekaman. Di bawah arahan kakak beradik, Iwang Noorsaid dan Imaniar, pada Mei 2003, album debut Kara yang berjudul Beri Aku Waktu dirilis Karabi Production dan diedarkan oleh EMI Indonesia.

Masuk ke lingkungan musik R&B menjadi pilihan yang berani bagi Kara sebagai penyanyi pendatang baru. ”Saya sudah pikir masak-masak, untuk meniti karir sebagai penyanyi jangan dilihat sebagai hobi sampingan,” tegasnya. Kara memang doyan musik kulit hitam. Ia mengidolakan Marvin Gaye, penyanyi Soul/R&B gaek yang legendaris. ”Tapi saya harus sadar dengan keterbatasan yang ada. Resepnya, saya masih harus belajar secara teknis,” ungkap gadis yang sejak bocah sudah gemar bersenandung.

Pada masa kecilnya, Kara terbiasa mendengar musik Rock dari Beatles, Rolling Stones, dan Led Zeppelin—karena ayahnya yang mantan personel band Big Man Robinson sering memutarkan lagu-lagu mereka. Dari situlah, unsur Pop Rock terasa di album debutan Kara yang menampilkan singel perdana, ”Beri Aku Waktu”.

Di usianya yang muda Kara sudah masuk dalam nominasi Rocketeer di ajang penghargaan Clear Top Ten 2003 bersama Shiva, Jackpot, Ratu dan Astrid. Penilaian itu dipantau langsung oleh Supervising Committee yang bertugas memantau perhitungan tangga lagu dan nominasi Awards Clear Top 10. Padahal awalnya berkarir, Kara tak mendapat restu orangtua karena ada Kara disuruh fokus dulu pada sekolahnya. ”Saya itu backstreet ke dunia rekaman. Waktu itu, saya ingat, tinggal sisa dua lagu lagi ketika ketauan, yang langsung menghasilkan rapat keluarga,” kenangnya.

”Saya nantang, rekaman harus jalan terus dengan janji pasti lulus SMA. Saya bisa berkarier nyanyi sekaligus sekolah. Beri Aku Waktu,” sambung Kara meniru judul lagu debutannya.

Alhasil, album perdana Kara yang diperkuat dukungan Imaniar, Iwang Nursaid, Bagoes AA, Tohpati, dan Bintang Indiarto berhasil mendapatkan izin orang tua. Maxi, ayahnya, lantas ikut berkolaborasi sambil menyumbang lagu ”Dalam Bayangmu” dan ”I Promise”. Selain itu Kara menciptakan lirik lagu khusus buat ayahnya, yakni ”Your Love”.

Dia membuktikan bisa lulus dari sekolahnya di SMU Cita Buana. Kini Kara sadar jalan menuju tangga penyanyi ternama masih panjang tapi dalam hal kualitas, Kara kian pede. Karena itulah Kara harus rela menunda kelanjutan studinya di Monash University, Melbourne, Australia. (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Lolot Tak Mau Bohongi Diri

Siapa sih yang tidak mau dikenal seluruh masyarakat Indonesia bahkan ke manca negara? Mungkin Lolot adalah salah satu diantaranya. Meski telah memiliki nama besar di Bali sebagai seorang penyanyi beraliran Bali Rock Alternatif, Lolot tidak berani melebarkan sayapnya ke panggung nasional meski keinginan itu ada. Apa yang menghambat keinginannya tersebut? ‘Bahasa’ itulah jawaban yang keluar dari mulut ayah satu anak ini.

Memang benar, untuk bisa melejit ke panggung nasional bahkan internasional modal utama yang harus dipersiapkan adalah album berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Lolot yang terbiasa berkomunikasi dengan bahasa daerahnya yakni Bali, merasa canggung jika berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris. ‘’Memang anak muda sekarang lagi gila-gilanya dengan musik rock berbahasa Inggris, tapi mereka ngerti nggak artinya apa? Saya tidak mau membohongi diri saya sendiri. Buat apa saya bernyanyi jika saya sendiri tidak ngerti artinya. Selain itu bahasa Indonesia saya juga kaku,” katanya polos.

Meski tidak berdaya mencapai panggung nasional, namun Lolot yang dibantu teman-temannya Lanang pada Bas, Doni pada gitar melody dan Deni pada Drum, tetap merasa bangga karena telah berhasil mengisi blantika musik Bali, apalagi berhasil meraih anugrah dari SCTV Musik Award kategori Grub Band Indie Paling Ngetop. ‘’Sebenarnya kita tidak terlalu menargetkan untuk mendapat penghargaan, karena takut jika kita terlalu antusias ingin mendapatkan tapi akhirnya gagal, kita jadi stres sendiri. Biarlah mengalir seperti air. Tapi kalau dapat kita sangat bersyukur,” jelas pria kelahiran Denpasar 15 Mei 1976.

Lolot Band yang berdiri sejak tahun 2000, telah berhasil menelurkan tiga album berbahasa Bali dibawah rumah produksi Pregina. Masing-masing albumnya berjudul Gumi Mangkin tahun 2003 yang laku 70 ribu kopi, Bali Rock Alternative tahun 2004 yang laku 70 ribu kopi dan Meong Garong tahun 2005 yang sudah laku 30 ribu kopi. Nama Lolot sendiri, diambil dari nama masa kecilnya yang sering dipanggil Lolot karena kenakalan dan kebodohannya. ‘’Lolot itu nama saya waktu kecil. Saya baru tau kalau kata lolot itu dibalik jadinya tolol. Namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Pasti memiliki kekurangan bahkan kebodohan,” tuturnya. (Beny Uleander & Made Sutami/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More
Beny Uleander

Percayai Faktor X

Marcello ‘Ello’ Tahitu

Selamat tinggal kasih,
sampai kita jumpa lagi,
aku pergi ta'kan lama...

Secuil syair lagu pop klasik ‘’Pergi Untuk Kembali’’ itu menyentak kuping telinga pecinta lagu Tanah Air. Lagunya lama, dengan pendendang baru, plus cita rasa nan baru. Sentuhan lagu menjadi lebih jazzy ketimbang sebelumnya yang pop balada. Penyanyi baru itu adalah Ello dengan nama lengkap Marcello Tahitoe.

Meski terkategori pendatang baru, Ello sudah mampu mencuri simpati publik. Di manakah pesona dan keunggulan lajang 22 tahun ini? Ello adalah sosok penyanyi muda dengan segudang potensi. Darah musiknya mengalir deras dari kedua orang tuanya, Minggus Tahitoe, pelantun asli lagu Pergi Untuk Kembali dan ibunya Diana Nasution dengan hits Benci Tapi Rindu.

Penampilannya yang elok, senyum simpatik, suara yang oke dan kepiawaiannya bermain piano, membuat Ello segera merebut perhatian musik maniac. Tak heran jika debut album bertajuk sama dengan nama panggilannya itu, meledak di pasaran. Berdasarkan data perusahaan rekaman Sony BMG Music Entertainment (SBME), album Ello mencetak angka penjualan tertinggi untuk periode pertengahan April 2005. Vokalnya yang keren bisa dinikmati dalam album Audy berjudul 20-02, di mana ia berduet dalam lagu Silang Hati.

Kini jadwal manggung Ello cukup tinggi. Setiap penampilannya pun selalu disambut histeris para penggemarnya seperti terekam di konser akbar A Mild Live Soundrenaline 2005 di Serangan, Bali, Minggu (28/8) lalu.

Saat ini jadwal manggung Ello sudah lumayan tinggi. Mulai dari jadi pembuka konser Boyz II Men hingga manggung di berbagai kota di seluruh tanah air. “Dulu kegiatan Ello sebatas kampus dan gereja tetapi sekarang banyak jadwal manggung. Kebetulan gue lagi liburan kuliah sehingga dimanfaatkan untuk manggung. Bulan Juli lalu, kami hanya istirahat lima hari,” ujar mahasiswa FISIP UI.

Ello sosok penyanyi religius yang selalu melihat campur tangan ilahi dalam setiap penmpilannya. “Kami sebelum tampil selalu berdoa bersama. Kalau penonton menyambut dengan baik itu karena faktor X,” ujar Ello yang masih bersaudara dengan Glenn Fredly merendah.

Soal kiprahnya di jalur musik, Ello menyatakan sudah menjadi keputusan final. “Dari kecil gue udah bercita-cita jadi penyanyi. Gue menyukai profesi ini. Apalagi gue lahir dari keluarga musik. Mereka selalu memberi support moral seperti kesabaran dan doa,” ujar pria yang berharap dirinya tak larut dengan ketenaran.

Pemuda kelahiran Jakarta 20 Februari 1983 itu sejak usia empat tahun sudah mengenal alat musik piano. Maklum, lingkungan keluarganya adalah kelompok pecinta musik. Waktu di bangku SMP, Ello sempat membentuk band yang kemudian bubar. Penggemar musik Jamiroquai, Maxwell dan Stevie Wonder tetap merawat cita-citanya untuk menjadi penyanyi.

Ello pun mulai menemukan eksplorasi bakatnya dalam menulis lagu. Karya-karya itu kemudian dikemas dalam bentuk demo yang diserahkan ke sejumlah perusahaan rekaman sejak tahun 2000. Berkat kesabarannya, demonya itu baru mendapat jawaban pada tahun 2003 dari Sony Music –kini berubah jadi SBME.

Sejak manajemennya dipegang oleh papanya sendiri, Ello tampil lebih jantan. Untuk menyiasati agar nilai jualnya tetap menggetarkan, Ello acapkali memanfaatkan kemampuannya sebagai player pada keyboards. Ia sering menyanyi sambil main keyboards, meski tetap dikawal oleh backing band yang dibangunnya sejak album Ello beredar awal tahun 2005.

Menyinggung, karakter penampilan dan suara dekat dengan Glenn Fredly, Ello tetap komit bahwa setiap penyanyi tetap punya jati diri. “Musisi dan penyanyi yang baik adalah mereka yang mampu menampilkan karakternya di panggung dan rekaman, tanpa harus dibanding-bandingkan dengan musisi atau penyanyi lain. Saya sedang menuju ke sana,” tambah Ello yakin.

Dari catatan sepanjang perjalanan A Mild Live Soundrenaline digelar dari tahun 2002, baru Ello seorang pemusik solo yang dapat sejajar dengan artis papan atas Indonesia. Ini bukan semata-mata karena Ello adalah hits maker, tapi itu lebih disebabkan, pada kapabilitasnya sebagai multi instrumentalis sekaligus vokalis, pencipta lagu dan arranger. (Beny Uleander/KPO EDISI 89/OKTOBER 2005)

Read More

Senin, Agustus 08, 2005

Beny Uleander

Bentengi Diri Dari Rematik Dengan Parem Antik

Pepatah Latin, Mensana in Corpore sano menyibak arti kesatuan integral pikiran/jiwa yang sehat mendukung kebugaran tubuh. Sebaliknya, jiwa yang sakit memicu ketakseimbangan badan. Jiwa yang sakit diterjemahkan sebagai situasi stres, perasaan traumatis, schizoferenia (keterpecahan jiwa) dan beban emosional yang tak tersalur. Akibatnya, tubuh mudah lesu, loyo dan pada akhirnya seseorang jatuh sakit. Inilah suatu kondisi riil keterkaitan utuh jiwa dan badan.

Namun ada penyakit yang diderita seseorang karena faktor fisik seperti ketuaan. Salah satunya, rematik yang bisa menyerang siapa saja karena proses penuaan tulang. Rematik memang amat menjengkelkan dan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Udara dingin, bekerja di sawah, mandi dengan air dingin dan makan makanan yang banyak mengandung kapur memperberat penyakit rematik.

Untuk mengatasi penyakit rematik yang amat menyiksa, Dr Ir GN Wididana, M.Agr selaku pakar pengobatan tradisional meracik ramuan tradisional, Parem Antik, sebuah parem anti rematik diproduksi Industri Kecil Obat-obatan Tradisional (IKOT) Bokashi.

Parem Antik dibuat dari berbagai jenis tanaman rempah yang berkhasiat obat melalui proses fermentasi dengan Teknologi Effective Microorganisms (EM)dapat mengobati atau mengurangi rasa sakit karena rematik. Antioksidan yang dikandung dalam tanaman rempah yang berkhasiat obat menyerap langsung ke tulang dan persendian sehingga rasa nyeri menjadi berkurang.

Parem Antik terdiri dari oleum cocos 60%, oleum cajuputi 5%, oleum citronellae 5%, oleum eugenol 5%, zingiberis rhizoma 5%, alocasiae rhizoma 5% dan bahan lainnya sampai 100%. Parem Antik selain mencegah rematik juga berkhasiat mengobati sakit pegal linu, salah urat dan keseleo.

Parem Antin sebelum digunakan dikocok terlebih dahulu. Sesudah itu diurutkan pada bagian tubuh yang sakit, digunakan untuk pijat dan urut, menghangatkan badan dan memperlancar peredaran darah. Sehingga amat cocok untuk penderita rematik yang tak tahan dengan udara dingin.

Nyoman Senden, warga Busungbiu, Buleleng telah merasakan khasiat alami Parem Antik. “Pada 5 Mei 1995 hingga November 2002, saya terserang rematik pada lutut sebelah kanan. Untuk bergerak ke mana-mana, sulitnya bukan main. Setelah hampir 5, saya mencoba gunakan Parem Antik dengan mengoleskan pada lutut yang terasa sakit itu sebanyak 4 X sehari,” tutur petani cengkeh tersebut. Hasilnya, rasa sakit dan nyeri pada lutut pun dari hari ke hari terus berkurang. Akhirnya hilang sama sekali.

Hal serupa dialami Hj Kalsum (51), warga Dr Cipto 31 A, Sumbawa Besar, NTB, kerap merasa sakit pada persendian dan siku-siku kakinya. “Kesemutan pada kaki dan tangan juga sangat sering menganggu saya. Almahdullillah, setelah saya memakai Parem Antik, siku-siku yang selama ini saya derita sudah hilang. Dulu kalau saya makan kangkung langsung sakit dan kambuh,” ujarnya. (Beny Uleander/KPO EDISI 86/AGUSTUS 2005)

Read More