Senin, Juni 27, 2005

Beny Uleander

Harmonisasi ASEAN 2010, ‘PR’ GP Jamu Indonesia

Rakernas GP Jamu 2005

Pendulum: Akankah Harmonisasi ASEAN 2010 dalam bidang Obat Alami Indonesia dapat terwujud? Pertanyaan ini, terkait rencana perdagangan bebas jamu dan obat tradisional antar negara ASEAN pada tahun 2010. Ini tantangan sekaligus pekerjaan rumah bagi para pengusaha yang bergerak di bidang indusakan menjadi pekerjaan rumah alias ‘PR’ Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) dalam menanggapi tantangan industri tanaman obat ke depan. Berbeda dengan negara lain, mereka tengah giat berlomba-lomba membangun dan mengembangkan obat herbal. Walhasil, negara-negara lain, akan menjadi ancaman serius bagi industri obat herbal Indonesia jika tidak cepat dilakukan langkah-langkah antisipasi yang tepat dan komprehensif. Berikut laporan wartawan Koran Pak Oles dari Jakarta, Agus Salam yang menghadiri Rakernas GP Jamu 2005 di Jakarta.

Pengembangan pengobatan di Indonesia hingga kini masih terkategori ke dalam pengobatan taradisonal. Berbeda dengan Eropa, Amerika dan Jerman yang lazim menggunakan bahan alami atau fitofarmaka. Karena itu, pengobatan herbal sudah menjadi pilihan terutama dalam penyembuhan.

Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat di Indonesia memang terus berkembang sejalan dengan timbulnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya tanaman obat untuk kesehatan. Karena berdasarkan pengalaman empirik, hasilnya baik. Karena itulah tradisi tersebut diwariskan secara turun menurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Selain itu sekarang ini – walau masih jarang -- terdapat pula kecenderungan para dokter untuk menggunakan tanaman obat dalam pelayanan kesehatan formal. Pelayanan kesehatan formal yang menggunakan tanaman obat antara lain bisa ditemui di RSUD DR Sutomo Surabaya serta beberapa Puskesmas di Jawa Timur dan beberapa klinik swasta yang mulai ditemukan di beberapa kota.

Sayangnya dengan kemajuan ini, obat-obat yang berasal dari bahan alami hingga kini masih belum terangkat derajatnya dibandingkan dengan obat modern. Menurut Ketua Umum GP Jamu, Dr. Charles Saerang dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) GP Jamu 2005 di Hotel kartika Chandra (27/6) lalu, banyak faktor penyebabnya antara lain, terdapat kecendrungan dunia kedokteran di Indonesia masih berorienasi dan berkiblat kepada dunia medik ala barat, yakni belum sepenuhnya melirik dunia medik ala timur yang cendrung menggunakan obat-obatan alami.

Sebab lain adalah masih minimnya penelitian ilmiah untuk membuktikan secara medik prihal khasiat, mutu dan keamanan obat dari bahan alami. Sebagaimana diketahui di Indonesia tumbuh sekitar 7000 spesies dan dari jumlah tersebut sudah 283 yang telah digunakan dalam industri obat tradisional sebanyak 50 species telah dibudidayakan secara komersial.

Tanaman ini umumnya diperoleh bukan dari hasil budidaya melainkan diambil dari tanaman liar, dari hutan atau dari pekarangan. Akibatnya tidak ada jaminan kualitas yang memenuhi persyarakat industri. Untuk menelusuri khasaiat tanaman ini, ada kecendrungan menarik minat ini, kegiatan tersebut menjadi lahan proyek berbagai penelitian para akar diperguruan tinggi lembaga-lembaga penelitian berbagai instansi yang kadang-kadang tumpang tindih satu sama lain.

‘’Untuk menghindari hal-hal demikian, kami dari GP Jamu menghimbau dan mengharapkan peran Departemen Kesehatan, agar penelitian obat-obatan tradisional dapat dikoordinir dalam satu atap saja, sehingga mudah dimonitoring perkembangannya. Dengan mengkoordinir, penelitian tersebut dalam satu atap, Departemen Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan Bursa Tanaman Obat, penelitian obat-obat herbal terstandar secara periodik,’’ kata Charles kepada wartawan di Jakarta.

Karena itulah, penggunaan obat alami itu harus diketahui secara pasti khasiat dan keamanannya dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai. Meskipun secara empiris obat herbal terbukti cukup aman dikonsumsi manusia -- mengingat pemanfaatan yang sudah diterapkan masyarakat selama ini – namun pembuktian secara ilmiah tetap merupakan tuntutan.

Peraturan tentang keamanan, efektifitas dan kuaitas obat herbal merupakan salahsatu langkah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya obat herbal yang banyak beredar digunakan oleh masyarakat. Selain itu memudahkan penelitian penunjang apabila obat herbal tersebut akan dikembangkan menjadi obat herbal berstandar dan fitofarmaka sesuai dengan kelompok obat alam Indonesia yang diatur pemerintah (Badan POM) yaitu jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka.

Perkembangan terakhir dalam bidang pengobatan herbal didorong oleh tekanan kebutuhan di masyarakat. Tekanan kebutuhan ditujukan oleh kenyataan bahwa, banyak jenis penyakit tidak bisa disembuhkan seperti diabetes, hipertensi dan penyakit-penyakit genetis. Banyak penyakit hanya dapat disembuhkan pada stadia awal seperti kanker, radang atau gagal ginja serta beberapa penyakit lain peluang keberhasilan kesembuhan relatif kecil. Kemudian, efek samping obat yang secara bertahap menimbulkan penyakit lain yang lebih serius telah mengkhawatirkan sebagian masyarakat serta harga obat dan biaya pengobatan yang tinggi menjadi beban serius bagi masyarakat baik di kelas bawah maupun kelas menengah.
Keadaan inilah yang mendorong masyarakat mencari pilihan (alternatif) pengobatan yang lain. Dengan dorongan iklim ‘’back to nature’’ maka desakan kebutuhan masyarakat yang sangat besar itu diarahkan terutama kepada obat-obat dan pengobatan yang bersifat alamiah khususnya pengobatan herbal. (Editing: Beny Uleander
/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Jamu Bisa Digunakan Sebagai Metode Pengobatan

Ketua Umum GP Jamu, Dr. Charles Saerang dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) GP Jamu 2005 di Hotel Kartika Chandra (27/6) lalu, menyayangkan tentang kondisi dunia obat-obat yang berasal dari bahan alami yang hingga kini masih belum terangkat derajatnya dibandingkan dengan obat modern. Menurut, banyak faktor penyebabnya antara lain, terdapat kecendrungan dunia kedokteran di Indonesia masih berorienasi dan berkiblat kepada dunia medik ala barat, yakni belum sepenuhnya melirik dunia medik ala timur yang cendrung menggunakan obat-obatan alami.
‘’Saya dan rekan-rekan pengusaha jamu selalu mendorong dan mendesak pemerintah agar jamu dapat dijadikan sebagai salah satu metode pengobatan dan bukan sekadar alternatif. Jamu harus disejajarkan dengan obat farmasi. Artinya, kalau sudah minum jamu, orang tak usah lagi minum obat farmasi,’’ katanya.
Memang, kata Boss Jamu Nonya Meneer, agenda GP Jamu adalah senantiasa menumbuhkan kreativitas para pengusaha jamu dan obat-obatan tradisional untuk menguasai pasar internasional. Misalnya, mulai memproduksi jamu dalam bentuk cair ataupun kapsul, karena Charles optimis jamu dan obat-obatan tradisional akan tetap punya penggemar tersendiri.

GP Jamu di Indonesia beranggotakan industri obat tradisional besar dan kecil, usaha jamu racikan, usaha jamu gendong, penyalur, pengecer termasuk usaha bidang simplisia. Menurut data pada tahun 2004 tercatat ada sebanyak 1166 Industri Obat Tradisional terdiri dari 129 Industri kategori besar (IOT) dan selebihnya sebanyak 1037 adalah industri kecil obat tradisional (IKOT) termasuk industri rumah tangga.
Dari jumlah itu, 750 diantaranya terdiri dari 129 industri obat tradisional (IOT) dan selebihnya sebanyak 621 adalah industri kecil obat tradisional (IKOT) telah dibina oleh GP Jamu di 14 propinsi. Sedangkan selebihnya, belum dapat dibina antara lain di propinsi Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Maluku. ‘’Kami rencananya dalam waktu dekat di 4 propinsi akan membentuk pengurus DPD GP Jamu,’’jelasnya.
Namun demikian, Charles juga mengakui, masih banyak yang dihadapi GP Jamu misalnya saja dalam bidang penelitian obat tradisional, bidang pendidikan, bidang sosialisasi obat herbal terstandart & fitofarmaka, masalah jamu yang mengandung kimia, ekspor jamu dan lain-lain.’’Melalui Rakernas inilah bagaimana kita mencarikan solusi serta menyatukan persepsi untuk mensosialisasikan jamu dalam pelayanan kesehatan tentunya dengan dukungan yang maksimal dari pemerintah khususnya Departemen Kesehatan dan Pengawas Obat dan Makanan,’’ katanya.
Selain itu lanjut Charles, dengan adanya harmonisasi Asean 2010 ini, merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama, sebab negara-negara lain sedang berlomba-lomba membangun dan mengembangkan obat herbal. Jika lengah maka akan mengancam industri obat Indonesia, maka itu harus dilakukan langkah-langkah antisipasi yang tepat dan konfrehensif.“Bagaimanapun menjelang AFTA, kita butuh kerja sama yang baik antara pengusaha kecil dan juga besar,” tegasnya. (Reporter Agus Salam/Beny Uleander
/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Pemerintah Tengah Mengkaji Standarisasi Jamu

Standardisasi jamu tradisional hingga kini masih menjadi dilema bagi pemerintah. Dilemanya antara mutu dan biaya yang tinggi. ‘’Memang dunia per-jamu-an kita sedang sementara daya beli masyarakat masih kurang. Sementara itu, para dokter akan mengalami dilema dengan peuntukan jamu serta komposisi jamu. Kita tidak bisa hanya berpatokan jamu sebagai produk kesehatan yang sudah dipergunakan lama oleh nenek moyang kita,’’ kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika menghadiri Rakernas GP Jamu 2005 di Jakarta, 26 Juni 2005.

Menurutnya, saat ini obat-obatan herbal terstandar yang jumlahnya saat ini baru ada 17 produk maupun fitofarmaka yang terdiri atas 5 produk. Pemerintah tengah mengkaji solusi standardisasi jamu secara internasional yang tidak membuat harganya menjadi mahal. ‘’Untuk meningkatkan penerimaan jamu tradisional di tingkat internasional memang butuh standardisasi mutu tinggi. Caranya, dengan penerapan sistem uji klinis (fitofarmaka). Harus diteliti benar kandungan dan khasiatnya.Namun persoalannya, untuk uji itu pengusaha butuh biaya yang cukup besar, yaitu sekitar Rp 3-4 miliar,’’ katanya.

Tingginya biaya itu, jelas Fadilah, ujung-ujungnya bisa memicu mahalnya harga jamu di masyarakat. Padahal, menurut Siti, sebanyak 40 persen masyarakat Indonesia masih menggunakan jamu untuk pengobatan ketimbang obat-obatan dari dokter. ‘’Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sedang memikirkan solusinya. Dan kami sedang pikirkan standardisasi yang dapat diterima di luar negeri, namun tidak membuat harga jamu jadi mahal’’tandasnya.

Tentang produksi jamu sebagai sarana pelayanan sosial, Menteri Kesehatan ini menjelaskan bahwa, obat asli Indonesia kurang didukung oleh penelitian sebagai bukti ilmiah atas khasiat suatu produk. Akibatnya pemanfaatan obat asli Indonesia di sarana pelayanan kesehatan masih sangat sedikit atau baru pada tahap awal. Siti Fadilah Supari juga mengutarakan, penelitian terhadap obat asli terbentur kendala berupa waktu penelitian yang lama, biaya yang besar, serta prosedur untuk mendapatkan ethical clearance uji klinik yang cukup ketat.

Obat bahan alam dibagi menjadi tiga kelompok, terdiri dari jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah obat tradisional yang terbukti aman, bermanfaat, dan bermutu. ‘’Para menteri dari kawasan Asean, ditambah menteri kesehatan dari Cina, Jepang, dan Korea pada tahun lalu menandatangani kesepakatan mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional di negara masing-masing sepanjang memenuhi syarat keamanan, manfaat, mutu, serta dipergunakan secara rasional,’’ jelasnya.

Peningkatan mutu bahan baku atau simplisia, lanjut Siti Fadilah, sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pengembangan agroindustri tanaman obat yang saat ini belum berkembang. Dengan kondisi seperti ini bukannya semakin jauh jamu sebagai pelayanan nasional tetapi belum dekat.

Standardisasi Obat Tradisional 2010
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) H. Sampurno, mengatakan standardisasi obat tradisional dan makanan suplemen se-Asean akan dilaksanakan paling lambat 2010. Standardisasi tersebut sangat penting karena menyangkut kualitas bahan baku tanaman obat. "Kalau sudah ada harmonisasi regulasi dan standardisasi se-Asean, maka obat tradisional Indonesia akan mudah masuk ke negara-negara Asean. Begitu juga sebaliknya," katanya.

Menurutnya, bila sudah terjadi harmonisasi, maka akan menjadi potensi pasar yang besar. ‘’Prediksi saya pada tahun 2010 nanti, penduduk Asean berkisar 400 juta orang dan merupakan market besar. Sebab industri obat tradisional herbal di dunia pada 2000 termasuk bahan baku mentah, mampu meraup keuntungan sebesar US$43 miliar dan pertumbuhannya berkisar 5-15%,’’ katanya.

Dibandingkan negara Asian lainnya, Indonesia merupakan paling kaya sumber tanaman obat. Dari sekitar 1.000 jenis tanaman obat yang tumbuh di Indonesia, baru 200 jenis saja yang dimanfaatkan untuk obat tradisional.

Namun demikian diakui Sampurno, tidak mudah memasukkan obat Indonesia ke negara-negara Asean. Selama ini obat farmasi Indonesia bisa masuk ke Malaysia karena adanya hubungan bilateral dalam bentuk agreement antar-Badan POM negara masing-masing. Obat Indonesia boleh masuk ke Malaysia demikian juga sebaliknya.

Sebelum ada perjanjian bilateral, obat-obat farmasi yang jumlahnya sekitar 40 produk sulit masuk ke Malaysia. ‘’Dengan agremeent itu seluruh produk farmasi dari Indonesia sudah teregistrasi dan bisa masuk ke Malaysia.’’katanya

Kerja sama tersebut sudah dirintis sejak tiga bulan lalu dan Badan POM juga akan melakukan hal yang sama dengan Thailand maupun Filipina. Sampurno menambahkan, selain melakukan kerja sama, juga harus diikuti dengan upaya peningkatan kualitas bahan baku produk. ‘’Ini harus dipersiapkan secara khusus soal bahan baku ini,’’katanya.

Menurut Sampurno, Pemerintah dan BPOM terus menghimbau berbagai pihak untuk mengintensifkan penelitian obat-obat tradisional berbahan alami. BPOM sendiri sejak tahun 2004 sudah memprakarsai penelitian tanaman obat, dimulai dengan sembilan jenis tanaman unggulan, dan hingga tahun 2006 mendatang ada 19 tanaman unggulan yang akan dikembangkan.

‘’Ada 4 kriteria dalam pemilihan bahan alami berkhasiat obat tersebut, yakni sadah dikenal dan digunakan secara luas, baik untuk mencegahan maupun untuk pengobatan penyakit tertentu, mempunyai data-data awal yang cukup banyak dan menggunakan empirisnya cukup luas, tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia, serta memiliki prospek yang baik untuk menjadi komoditas atau tanaman obat unggulan,’’ katanya.

Sampurno juga menjelaskan, negara-negara Asean mulai bersidang membahas standardisasi produk obat tradisional dan makanan kesehatan terkait dengan rencana implementasi harmonisasi regulasi di sektor tersebut pada 2010.

Kepala BPOM ini mengharapkan ada kesepakatan tentang ruang lingkup produk makanan kesehatan dan obat tradisional dan membahas kemungkinan dilakukannya mutual recognation agreement (MRA) di bidang tersebut serta menyusun pemetaannya. ‘’Sampai sekarang, benturan kepentingan antara negara Asean berkaitan dengan produk makanan kesehatan dan obat tradisional sangat sering terjadi, karena dua hal itu bukan komoditi dagang biasa melainkan produk berisiko tinggi terhadap keselamatan konsumen yang bersifat kompleks. (Reporter Agus Salam. Editing: Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Produksi Jamu Meluas Ke Mancanegara

BRA Mooryati Soedibyo. S.Sos, M.Hum

Dalam menghadapi era globalisasi dan harmonisasi Obat Tradisional Asean 2010, ekspor jamu Indonesia masih terbentur oleh beberapa kendala baik oleh peraturan pemerintahan sendiri maupun kendala dari negara tujuan eksport.’’Kita akan merevisi perundang-undangan mengenai tanaman obat atau jamu dan menjadikan jamu (obat tradisional) sebagai produk unggulan bangsa Indonesia yang sejajar dengan produk farmasi dan produk-produk lain di bidang kesehatan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas, baik secara nasional maupun internasional,’’kata BRA Mooryati Soedibyo. S.Sos, M.Hum yang saat ini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Rakernas GP Jamu di Hotel Kartika Jakarta, 26 Juni 2005.

Dan Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk ini optimisme dalam dunia jamu ini Indonesia akan tetap eksis di pasar dunia. Menurutnya, perdagangan jamu sudah meluas ke berbagai negara, mulai dari Asia, Amerika Serikat, eropa hingga Afrika. Bahkan jamu gendong sudah meluas hingga ke Malaysia Barat dan Malaysia Timur.

Mengenai bahan baku jamu, ia mengakui tidak pernah khawatir akan terjadi kekurangan. "Saya sudah puluhan tahun membina kerjasama dengan para petani untuk menamam bahan baku untuk jamu yang berlimpah di tanah air ini. Kita sangat kaya dengan bahan-bahan alami, untuk itu saya tidak khawatir akan tersaingi negara tetangga, seperti Malaysia," katanya.

Malaysia pun kini memang sudah mulai mengembangkan produk jamu, "Tapi, dengan kekayaan tumbuhan alami, dan juga keunikan yang kita miliki, Indonesia tidak mudah tersaingi," katanya.

Industri jamu di Indonesia memiliki dukungan yang sangat kuat alam Indonesia, berupa kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan yang sangat berlimpah dan tumbuh suburnya. ‘’Apapun yang ditanam, jika kita ingin mengembangkannya, maka relatif mudah karena didukung dengan tanah yang sangat subur. Namun sebagai sebuah industri, produk jamu hanya akan bertahan jika didukung dengan permintaan dari konsumen. Jika tidak ada pembeli jamu, tentu saja industri itu tidak akan berkembang,’’jelasnya.

Demikian juga dengan rakyat, dalam hal ini petani, juga tidak akan mendapat pekerjaan. Bahkan, bukan sesuatu hal yang mustahil kalau tanaman yang digunakan sebagai bahah dasar jamu juga berpotensi punah. Tentu masyarakat petani akan berpikir berkali-kali untuk menanam kencur, kunyit, temu lawak, kalau tidak ada yang membeli. Dengan kata lain, siklus perdagangan harus berlangsung secara ideal. Dimana ada permintaan (demand) harus ada penawaran (supply). Kalau demand tinggi, atau sebaliknya mengakibatkan oversupply.

Sejalan dengan era globalisasi kata Mooryati, pemikiran hidup sehat juga semakin berkembang. Dan tampaknya, kebiasaan dan gaya hidup baru untuk kembali ke alam, back to nature di seluruh dunia akan semakin digandrungi. Karena orang makin sadar produk yang terbuat dari bahan alami proses produksinya tidak merusak kelestarian alam. Jadilah masyarakat kalangan bawah hingga elite menjadi pengguna fanatik jamu untuk menjaga kesehatan dan merawat kecantikan tubuh.

‘’Dengan masyarakat yang sudah modern sekarang ini, mau tidak mau kita ikuti gelombang globalisasi. Yang namanya eksport adalah perdagangan global, maka akan ada entry barrier ke negara lain, batasan-batasan untuk masuk. Nantinya akan diciptakan kesepakatan-kesepakatan seperti ASEAN, AFTA, WTO dan lainnya,’’katanya.

Tentang negara India lebih maju dari Indonesia tentang industri jamu, Mooryati mengatakan di India itu ada pendididan khusus untuk pengobatan alternatif yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Lulusan pendidikan ini disebut dengan ‘hakin’. Setelah menyelesaikan pendidikannya para hakin dapat berpraktek sebagai praktisioner seperti dokter. (Reporter Agus Salam. Editing: Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More
Beny Uleander

Harmonisasi Asean 2010

Industri tanaman obat memang sudah selayaknya berbasis pada riset, dan secara berkesinambungan memerlukan inovasi, memerlukan promosi, organisasi dan sistem pemasaran yang baik, serta produknya diatur secara ketat, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

Karena itulah, standardisasi obat tradisional menyangkut kualitas bahan baku tanaman obat sangat penting. "Kalau sudah ada harmonisasi regulasi dan standardisasi se-Asean, maka obat tradisional Indonesia akan mudah masuk ke negara-negara Asean. Begitu juga sebaliknya," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Sampurno, pada acara yang dengan tema ‘GP Jamu Menghadapi Era Globalisasi’ di Jakarta.

Dengan mengacu pada Asean Concord II, paling lambat 2010 harmonisasi di bidang obat tradisional dan makanan suplemen. ‘’Bila sudah terjadi harmonisasi, maka akan menjadi potensi pasar yang besar," lanjutnya.

Sampurno memprediksikan, pada 2010 nanti penduduk Asean berkisar 400 juta orang dan merupakan market besar. Sebab industri obat tradisional herbal di dunia pada 2000 termasuk bahan baku mentah mampu meraup keuntungan sebesar US$43 miliar dan pertumbuhannya berkisar 5-15%. ‘’Dibandingkan negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan paling kaya sumber tanaman obat. Dari sekitar 1.000 jenis tanaman obat yang tumbuh di Indonesia, baru 200 jenis saja yang dimanfaatkan untuk obat tradisional,’’jelasnya.

Tidak Mudah Masuk Asean
Diakui Sampurno, memang tidak mudah memasukkan obat Indonesia ke negara-negara Asean. "Selama ini obat alami Indonesia bisa masuk ke Malaysia karena adanya hubungan bilateral dalam bentuk agreement antar-Badan POM negara masing-masing. Obat Indonesia boleh masuk ke Malaysia demikian juga sebaliknya. Sebelum ada perjanjian bilateral, obat-obat alami yang jumlahnya sekitar 40 produk sulit masuk ke Malaysia. Dengan agremeent itu seluruh produk farmasi dari Indonesia sudah teregistrasi dan bisa masuk ke Malaysia.

Kerja sama tersebut sudah dirintis sejak tiga bulan lalu dan Badan POM juga akan melakukan hal yang sama dengan Thailand maupun Filipina. Selain itu juga harus diikuti dengan upaya peningkatan kualitas bahan baku produk. ‘’Ini harus dipersiapkan secara khusus soal bahan baku ini, agar produk kita bisa bersaing nantinya,’’jelasnya. (Reporter: Agus Salam. Editing: Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Read More