Rabu, Agustus 30, 2006

Beny Uleander

Drama Hot Spot

Suatu hari, dada Copernicus berdegup kencang berhasil menyingkap rahasia alam; bumi berputar mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya. Matahari adalah pusat tata surya. Rahasia alam sedikit demi sedikit mengungkapkan dirinya kepada manusia. Tesingkap pula, Pluto bukanlah sebuah planet tapi sebuah bintang raksasa. Namun, pe­ngungkapan rahasia alam berjalan dalam hitungan abad demi abad. Masih banyak rahasia alam yang tersembunyi dan belum disentuh penelitian manusia. Uniknya, alam menyediakan segala kemungkinan terciptanya hal-hal baru. Sekarang, tinggal siapa yang bisa merangkum, menganalisis dan mendesain menjadi sebuah penemuan baru.
Wright bersaudara membuat baling-baling untuk mendo­rong pesawat terbang. Mereka pasti tambah kagum melihat manusia jaman ini menumpang pesawat jet tanpa baling-baling. Johan Guttenberg berseru riang berhasil membuat mesin cetak. Kini, komputer dan peralatan elektronik digital berkerja super cepat melampui kecepatan mesin percetakan konvensional. Masih banyak hal yang pada jaman sekarang dirasa mustahil tapi di masa mendatang bisa terwujud. Rahasia di balik semuanya itu adalah desain visi yang lahir dari intuisi dan kecerdasan spiritual individu tertentu.
Henry Ford hanya anak tukang kayu dan petani ladang yang tekun membuat percobaan kendaraan. Ia sempat dicemooh keluarganya dan ditertawai orang sekampungnya. Namun Ford tetap belajar jadi mekanik, mendalami otomotif dan te­rus membuat percobaan tiada henti. Tuan Henry tak membayangkan kalau mobil T rakitannya akan dikembangkan ge­nerasi kemudian dalam ragam varian dan jenis di abad 21. Sekelumit kisah Ford menunjukkan kekuatan visi seorang individu yang tak luntur dalam hidupnya meski cobaan dan kesulitan tingkat tinggi menghadang.
Visi adalah sebuah kesadaran batin ke mana saya harus berlangkah dan apa yang harus saya buat sekarang agar bisa mencapai keadaaan tertentu yang diidamkan. Orang sukses adalah orang yang menghidupi visinya secara cermat, konsisten dan terus menerus. Kesuksesan bukanlah sebuah keberuntungan belaka. Visi bisa diibaratkan sebagai mata batin yang bisa melihat kerajaan impian di masa depan. Orang yang memiliki visi adalah orang yang berani dianggap sebagai orang gila di jaman modern.
Visi memang ilmu yang abstrak sehingga tidak mudah dipahami banyak orang. Apalagi visi memiliki kepekaan untuk mempertemukan dan mempersatukan berbagai individu dalam suatu semangat, spirit dan cita-cita bersama. Perta­nyaan sekarang, apa visi kita sebagai bangsa Indonesia dalam konteks lokal dan global. Dalam ajang pemilihan Pu­teri Indonesia 2006, ada juri yang bertanya kepada salah satu kontestan, “Apa yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia? Jawaban salah satu puteri kontestan itu sangat tepat dan pasti mewakali kesadaran generasi muda saat ini. “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam hal suku, etnis, budaya, adat istiadat dan agama. Karena itu rasa nasionalisme menjadi kunci pemersatu bangsa ini”. Sebuah jawaban yang tepat.
Kunci pemersatu bangsa, itulah kajian historis, sistematis dan metodologis yang perlu digagas ulang berbagai elemen bangsa ini. Kenyataan di lapangan sekarang harus diungkap secara transparan dan jelas. Masyarakat perlu diberi tahu kondisi riil yang dialami warga bangsa kini. Pendidikan dan penanaman Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup diajarkan di sekolah-sekolah selama 30-an tahun bukan dalam semangat kebangsaan tetapi dalam alur kebijakan politis. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah bersatu dalam bahtera visi membangun bangsa. Etnis melawan etnis. Agama bangkit melawan agama. Anak-anak melawan ibu dan bapanya. Murid-murid menggelar demo menggugat guru dan kebijakan di sekolahnya. Partai politik saling memohok secara terbuka. Parahnya lagi, umat mulai melawan pemimpin agamanya. Ada gejala apa dengan bangsa Indonesia ini?
Rasa nasionalisme perlu digugat dan ditinjau kembali secara arif, jujur dan terbuka. Kita memang sudah merdeka dari penjajahan Belanda tetapi bangsa ini sama sekali masih hidup dalam ruang-ruang penjajahan yang sangat abstrak, terselubung dan rapi. Orang kaya semakin kaya. Sekolah-sekolah formal menjadi lembaga elitis yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi anak-anak konglomerat dan para cukong. Sementara, anak-anak dari keluarga miskin terpental dari ruang kelas akibat biaya sekolah yang mahal dan pungutan sukarela yang diwajibkan.
Jumlah orang miskin terus bertambah dari tahun ke tahun. Sementara, angka pengangguran di Cina dan Vietnam berkurang drastis. Angkatan pengangguran terus membludak. Rona kemiskinan dan kebodohan -kalau mau jujur-itulah situa­si riil ribuan anak bangsa saat ini. Kita bisa saja tertipu dengan tayangan televisi yang menampilkan kehidupan remaja dibalut kemewahan hidup. Daya beli masyarakat semakin menurun. Beban kehidupan terasa berat. Sementara di Senayan para wakil rakyat bergelimang uang tunjangan dari pajak yang dibayar rakyat.
Bangsa ini juga menderita penjajahan dalam bidang eko­logis. Hutan terus ditebang. Berita gencar di televisi tetapi lagi-lagi tidak ada penyelesaian. Siapa yang menjadi cukongnya tetaplah sebuah misteri. Maaf bukan rahasia, sebab sebuah rahasia pasti bisa terungkap suatu saat. Aksi pembakaran hutan terus terjadi, sementara alat-alat negara tidak berdaya sama sekali. Ributan titik api atau hotspot hanya menjadi tontonan jutaan pasang mata di layar kaca. Kemiskinan demikian telanjang mata dan kerusakan alam terpampang nyata, namun kita seakan merasa hal yang lumrah. Ada gejala apa dengan bangsa ini?
Bangsa ini membutuhkan seorang dokter jiwa yang mampu menginjeksi kesadaraan warga bangsa tentang sebuah visi yang satu, akbar dan terarah soal perjalanan bangsa ini. Biar bagaimanapun suatu saat ahli sejarah menulis sejarah perjalanan bangsa ini sebagai kisah perayaan dan selebrasi visi yang tertuang dalam program-program pembangunannya. Bangsa Cina menjadi bangsa yang besar karena sejarah mereka adalah sejarah bangsa yang lahir dari perayaan visi demi visi. Jepang menjadi bangsa yang paling disiplin di dunia karena mereka memiliki sebuah visi bagaimana menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.
Di tikungan kesadaran ini, manusia Indonesia sudah berjalan dalam lompatan sketsa sosial yang menggelinding cepat. Berbagai ideologi satu demi satu berguguran. Lokalitas keimanan maupun benteng-benteng primordialisme yang kokoh dan eksklusif mendadak runtuh ketika badai tsunami, lumpur panas dan kebakaran hutan menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup bersama. Kemarahan alam ke­rap menghancurkan dinding egoisme manusia. Akhirnya, visi soal bangsa yang besar dan mandiri adalah proyek masa depan yang mulai dirintis dalam skala kecil. Secara sederhana dimulai dari diri sendiri. Sudahkah kehadiran kita meri­ngankan beban orangtua, atasan, rekan kerja, isteri dan anak? Ataukah kehadiran kita ada di wilayah titik api (hotspot) antara ada dan tiada. Kita menjadi beban (baca: menjajah dan penjajah) yang memberatkan, membakar dan menghanguskan sesama. Revolusi visi selalu dimulai dari kesadaran individu yang mau mengartikan hidup sebagai lembaran pengabdian di dunia yang singkat dan fana. Apa sumbangsih kita untuk negara? Bertanyalah pada rumput yang bergoyang. (Beny Uleander/KPO EDISI 112/1-15 September 2006)
Read More

Selasa, Agustus 15, 2006

Beny Uleander

Kuli Kontrak

Mendengar kata kuli kontrak, ingatan kita mela­yang jauh akan wajah suram ratusan bahkan puluhan ribu ­orang Indonesia yang dipekerjakan penjajah Belanda di perkebunan besar Sumatera dan sebagian lagi di Suriname, Amerika Tengah, yang juga menjadi daerah jaja­han Belanda.
Nasib mereka memang amat mengenaskan. Pekerjaan berat harus dilakoni sepanjang hari. Sementara upah yang diterima jauh dari cukup. Mereka tidak memiliki surat jaminan kerja apalagi jaminan keselamatan. Kisah tragis mereka terungkap setelah seorang opsir Belanda menulis buku Max Havelaar yang membeber kisah pedih kuli kontrak di Pulau Jawa. Lapar, kurang makan dan asupan gizi.
Ceritera kuli kontrak kembali mencuat di abad 21 ketika terjadi kasus PHK 12 tenaga sekuriti (saptam) salah satu cabang BCA. Mereka mengadu ke Sekretariat DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) di Jakarta. Semula lamaran mereka dituju kepada BCA tetapi mereka dire­krut oleh perusahaan brooker CV Multi Jaya Lestari (MJL). Mereka bukan karyawan BCA dan tanpa sepengetahuan mereka, selama bekerja di BCA gaji mereka dipotong 20% oleh MJL. Itulah nasib kuli kontrak, dipecat tanpa pesangon dan tiada penghargaan sedikitpun atas karya dan prestasi mereka.
Rasanya teramat kasar menyanding kata kuli kontrak dan kuli karir. Lebih enak kedengaran ala eufemisme disebut pekerja kontrak dan pekerja karir. Keduanya sama-sama pekerja di sebuah perusahaan, lembaga atau orga­nisasi tertentu. Namun status kerjanya berbeda. Pekerja kontrak bekerja berdasarkan kesepakatan kontrak soal gaji dan masa bekerja. Jika salah satu klausul dilanggar, maka ada pihak yang dituding menyalahi kesepakatan kontrak. Perjanjian kontrak pun berakhir atau direvisi ulang. Sementara, pekerja karir merujuk pada karyawan atau pegawai yang bekerja di sebuah perusahaan/lembaga/korporasi secara permanen. Mereka bisa saja awalnya cleaning servis lalu naik karirnya menjadi satpam. Berkat pelatihan dan proses belajar, karirnya merangkak naik jadi tenaga administrasi. Bila menunjukan prestasi, dedikasi dan kreatifitas, mereka dipromosikan menjadi kepala biro kepegawaian. Intinya, kuli kontrak bekerja tanpa ada kesempatan mengembangkan karir.
Dalam dunia kerja perusahaan/swasta ada pembagian bertahap dalam proses perekrutan karyawan atau pekerja. Setelah tahapan tes penerimaan lewat wawancara dan ujian tertulis atau lisan, seorang karyawan mendapat status pekerja sementara (masa uji-coba/training) bisa selama 3 bulan, 6 bulan atau 9 bulan. Jarang ada perusahaan yang memperlakukan masa training selama setahun. Saat trai­ning adalah moment untuk mengenal dunia kerja, ada kesigapan dan pengorban waktu untuk belajar lebih keras bidang kerja yang digeluti. Sebab, ada hal-hal teknis yang tidak didapat di bangku kuliah. Bila lulus training, karyawan bersangkutan menandatangani konrak kerja, bisa selama 6 bulan atau setahun. Bila bakat dan kemampuannya terus berkembang serta dinilai manajemen bisa memperkuat kinerja perusahaan, biasanya pekerja bersangkutan diangkat menjadi karyawan tetap.
Bekerja di sektor swasta penuh dengan resiko ketidakpastian. Itulah sebabnya, banyak orang tua ‘memaksa’ dan berharap anak mereka lulus tes CPNS. Karena berprestasi atau tidak pasti ada jaminan hari tua. Namun maju mundurnya suatu negara sangat tergantung kepada kinerja dan pengembangan sektor swasta. Moment peringatan HUT Kemerdeaan RI ke-61 adalah saat yang tepat bagi para pe­ngusaha dan pekerja swasta untuk memantapkan jati diri sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi negara.
Meski saat ini, para pekerja di berbagai sektor lagi ketar-ketir akibat iklim ekonomi yang lesu. Bencana alam terus terjadi ‘secara sistematis’ dari Sabang menuju bumi Pa­pua, Merauke. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Sebagian perusahaan dengan pertimbangan efisiensi biaya operasional merumahkan separuh karyawannya. Di Indonesia, lantunan lagu PHK (pemutusan hubungan kerja) terus membahana di televisi maupun media cetak. Terakhir, pekerja sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terkesan ‘adem ayam’ tidak luput dari berita buruk PHK.
Rasanya pedih untuk kembali mencari pekerjaan baru. Apalagi bila termakan usia. Ada trend banyak perusahaan lebih merekrut karyawan muda dan baru yang lebih ener­gik dan potensial. Namun setidaknya, ancaman PHK secara internal-personal bisa diminimalisir. Pertama, perusahaan dalam proses PHK pasti akan menyeleksi mana karyawan bermental kuli dan mana yang bermental karir. Ada pergeseran makna antara kuli kontrak dan kuli karir. Dalam perspek­tif prestasi, kuli kontrak adalah karyawan yang bekerja sekedar untuk mencari makan, mengisi waktu ketimbang disebut penganggur dan tidak memiliki inisiatif untuk membesarkan perusahaan. Karyawan kuli adalah virus bagi kemajuan perusahaan dan harus segera dipangkas agar tidak merusak kinerja salah satu sektor swasta. Kedua, bekerjalah dengan mental kuli karir yaitu tipe pekerja yang bekerja untuk pengembangan diri. Mereka menyadari bahwa dunia yang luas ini terdiri dari ribuan kom­penen keterkaitan terselubung yang saling mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Pekerjaan kecil yang dilakukan dengan serius memang tidak bisa dihargai sebatas dengan uang. Namun, ada sebuah visi dan nilai plus bahwa sebentuk pengabdian akan berdampak bagi kesejahteraan orang lain. Contoh, tukang sapu taman yang be­kerja rajin dan tekun meski gajinya kecil. Namun kinerja­nya berpengaruh ‘dalam skala kecil’ yaitu kebersihan dan keindahan. Ada juga dampak pada skala besar. Program kebersihan yang digagas walikota dengan susah payah akhirnya terwujud, dan seterusnya. Sebuah contoh kecil yang mau menegaskan bahwa pekerjaan apapun adalah sebuah investasi masa depan. Sebab, sekarang banyak generasi muda yang sudah diserap dalam bursa kerja atau bekerja di sebuah perusahaan namun menjadi penganggur selubung. Ingat, ukuran prestasi di sektor swasta bukan pada selembar ijasah sarjana tetapi pada torehan prestasi yang diraih. Bila anak bangsa terus bekerja de­ngan mental kuli kontrak maka ia menempatkan diri di barisan terdepan generasi muda kuyu, layu, kehilangan orientasi hidup, sakit-sakitan, ngutang melulu, miskin dan menyu­sahkan banyak orang. Pada saat kita lahir, dunia bergembira. Kini saatnya kita membuat dunia tersenyum dengan kehadiran kita. Dirgahayu Republik Indonesia. Majulah bangsaku, bangkitlah saudaraku mari kita bersatu hati membangun desa, membangun bangsa!!! (Beny Uleander/KPO Edisi 111/16-31 AGUSTUS 2006)
Read More

Kamis, Juni 29, 2006

Beny Uleander

Merekam Jejak ‘’Membangun Desa Membangun Bangsa’’

Lima Tahun Membangun KORAN PAK Oles
OLEH: BENNY ULEANDER

Media massa dalam kiprahnya di jagad pemberitaan mengusung liputan berita bernilai pencerdasan kehidupan bangsa dan berisi sajian informasi. Ya, termasuk pernak-pernik hiburan. Itulah tipikal dasar institusi pers yang selalu bergulat sebagai media kontrol sosial dan media informasi. Peran pers sebagai media pencerdas diungkap wartawan senior Indonesia Rosihan Anwar sebagai suatu tugas terberi yang tidak bisa dihapus, mengalir dalam urat nadi pers dan menjadi napas pers hingga kekekalan. Jauh sebelum Republik ini terbentuk, sebelum adanya UUD 1945 maupun institusi TNI, tugas pers (Indonesia) dari dulu hingga kini tetap sama, --mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas pencerdasan kehidupan berbangsa secara inheren berkait lekat dengan eksistensi pers sebagai lembaga kemasyarakatan. Pers berada di tengah masyarakat tetapi bukan milik masyarakat. Pers berjalan bersama pemerintah tetapi bukan alat pemerintah. Sebaliknya pers bisa mempengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sementara masyarakat yang dinamis membawa banyak tuntutan perubahan dalam pengelolaan pers.
Langkah strategis terkait pencerdasan kehidupan bangsa dipahami Koran Pak Oles sebagai kesadaran untuk ikut ‘’memprovokasi’’ pola-pola fanatik pembangunan ekonomi kerakyatan. Barangkali di sinilah ‘neraka’ bagi eksistensi pers. Banyak media yang lahir lalu mati, dan kadang harus mati muda karena kegagalan menyuluh untuk perubahan-perubahan mendasar yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Mereka (media) gagal dalam berinvestasi visi karena ada kecenderungan media sekarang untuk sekedar ada sebagai bacaan alternatif. Padahal, masyarakat Indonesia yang masih tergolek di jurang kemiskinan membutuhkan pers yang mengawal segala upaya dalam merintis pilar-pilar pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Pers harus memiliki keberanian untuk terus menatap ‘menara mercusuar’ kesejahteraan. Apalagi di abad 21 ini semua aliran ideologis maupun mazhab yang tidak mampu membawa kesejahteraan akan ditinggalkan pengikutnya. Yang tertinggal adalah ‘ideologi kesejahteraan’. Dalam bilik ini, Koran Pak Oles menyatukan langkah dengan visi pengelolaan pertanian Indonesia berbasis organic, --teknologi Effective Microorganisms (EM) sebagai maskot. Menara mercusuar yang dibangun lalu dirangkum dalam kesetiaan memberitakan kesuksesan dan kepincangan pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan, plus peternakan, pengolahan limbah dan berdirinya sendi-sendi agrobisnis di pelosok-pelosok desa.
Koran Pak Oles berani tampil sebagai pionir media yang memberitakan pengembangan pertanian organik dengan sebuah teknologi ramah lingkungan yang dibutuhkan dunia terkini. Lingkungan alam tempat manusia menyandarkan hidup dan kehidupan anak cucunya telah rusak oleh praktek-praktek pertanian modern yang menggunakan bahan-bahan kimiawi dan pupuk pestisida. Siapa dan institusi manakah yang berani menggugat praktek pertanian di Indonesia yang ‘menipu’ petani dan akhirnya produksi pangan nasional menurun drastis setiap tahun? Akademisi manakah yang kini berani berteriak lantang sembari memberi contoh peningkatan kualitas dan kuantitas pangan kepada para petani di desa?
Koran Pak Oles telah memberi warna pembangunan pertanian dengan mengangkat sebuah ‘desa laboratorium’ yaitu Desa Bengkel, Banyuatis, Buleleng, Bali. Di sana berdiri Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA). Banyak petani, kalangan instansi pemerintah, pelajar, ilmuwan, praktisi pertanian dan peternakan datang dari Sabang sampai Merauke belajar pertanian organik dan aplikasi teknologi EM untuk peningkatan produksi tanaman, ternak, dan pengolahan limbah. Di Desa Bengkel juga mereka melihat langsung tanaman pertanian dan peternakan yang dikelola dengan teknologi EM, juga menyaksikan kegiatan industri pertanian dengan menyambangi pabrik yang memproduksi Ramuan Pak Oles, berbahan baku tanaman pertanian dan perkebunan. Di sana, mereka menyadari, masyarakat pedesaan tidak perlu berduyun-duyun pindah mencari kerja ke dan di kota. Karena bukankah urbanisasi tidak lain sebagai upaya memindahkan kemiskinan dari desa ke kota.
“Scripta manent verba volant,--Yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” Koran Pak Oles dalam rubrik-rubriknya akan terus merekam semua langkah, contoh dan upaya pembangunan desa yang identik dengan pembangunan negara. Desa maju, kota sukses dan negara pun sejahtera. Sebelum berlari seribu langkah, seseorang setidaknya mulai dengan satu langkah. Sebelum berwacana membangun negara, adalah tepat secara diam-diam memberi contoh pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Kalau Drs Moh Hatta masih hidup ia akan tersenyum bangga melihat ekonomi masyarakat pedesaan terus mengepul di sela-sela pucuk tanaman pertanian dan perkebunan. KPO/EDISI 109 JUNI 2006

Read More
Beny Uleander

Pendidikan Bukan Selembar Kertas

Ujian akhir nasional (UAN) telah usai. Hasilnya cukup mengejutkan para murid, orang tua, para guru, praktisi pendidikan, pemerintah dan berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Betapa tidak. Standar minimal kelulusan 4,26 rasanya sangat sulit dicapai peserta didik. Peserta didik yang memperoleh nilai di bawah standar minimal dinyatakan tidak lulus. Walaupun semua mata pelajaran memperoleh nilai 9, tetapi bila ada satu mata pelajaran yang tidak memenuhi standar minimal 4,26 maka peserta didik tersebut akan dinyatakan tidak lulus. Tidak heran jika banyak siswa yang berprestasi ternyata tidak lulus.
Dengan alasan ingin meningkat mutu pendidikan Indonesia, maka sistem yang diterapkan ini tidak dapat diganggu gugat. Bila menoleh ke belakang, kita akan mengetahui bahwa sistem yang ada pernah diterapkan di Indonesia, mulai tahun 1945 dan telah membuahkan hasil pada era 60-an sampai 70-an. Tidak heran jika pada waktu itu hanya sedikit orang yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai ke Perguruan Tinggi, karena seleksi yang sangat ketat. Walau demikian hasilnya sungguh luar biasa, karena banyak orang Indonesia yang menjadi guru di luar negeri alias diimport oleh berbagai negara tetangga Indonesia terutama Malaysia.
Pertanyaan muncul ketika ada orang yang berprestasi ternyata tidak lulus. Salah satu jawaban yang hampir pasti benar adalah bahwa sistem yang diterapkan perlu menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang ada. Teks (sistem) perlu disesuaikan dengan konteks. Pada zaman 45 sampai generasi tahun 70, penekanan utama lebih pada keunggulan atau kecerdasan intelektual. Keberhasilan seseorang hanya dilihat dari kemampuan yang ada di atas kertas. Kepincangan akan terjadi bahwa tidak semua soal yang keluar pada saat ujian adalah apa yang didapatkan dari keseluruhan proses pendidikan yang ada. Pada hal hasil akhir dari pendidikan yang diharapkan adalah pembentukan pribadi yang utuh dan integral dari peserta didik itu sendiri.
Idealnya, dalam proses pendidikan, para peserta didik perlu diberikan suatu gambaran kehidupan yang multi dimensi, yang disusun dalam suatu kurikulum yang menjawab semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik. Dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan berbagai peraturan dan birokrasinya, kurikulum yang bisa menjawabi semua bakat dan kemampuan peserta didik menjadi hal yang utopis. Namun sebenarnya, hal ini bisa dijalankan dengan sederhana, karena kemampuan seorang siswa tidak ditentukan oleh apa yang diraih di atas kertas saat ujian akhir berlangsung.
Kurikulum yang menjawabi semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik akan berkisar pada pembentukan kepribadian yang multiple intelligence atau inteligensi ganda. Teori ini dikemukakan oleh Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul “Frames of Mind” (1983). Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk alam dalam suatu seting atau kelompok tertentu yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Dalam pengertian ini, inteligensi bukan hanya kemampuan seseorang untuk menjawab suatu test tertulis dalam kamar tertutup atau dalam ruang kelas yang terlepas dari lingkungan sekitarnya. Inteligensi seseorang tampak dalam kemampuan untuk memecahkan persoalan yang nyata dalam situasi yang beragam, bukan kemampuan di atas kertas, walaupun kemampuan ini juga sangat penting.
Untuk itu, Gardner memberi klasifikasi inteligensi yang ada dalam diri manusia, yang terdiri dari 9 macam inteligensi yaitu, inteligensi linguistik, inteligensi matematis-logis, inteligensi ruang visual, inteligensi kinestik badani, inteligensi musikal, inteligensi interpersonal, inteligensi intrapersonal, inteligensi lingkungan, inteligensi eksistensial. Inteligensi linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis. Kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa. Kelompok ini akan berbicara dengan bahasa yang lancar, jelas, lengkap, mudah mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, mudah belajar beberapa bahasa, mudah mengerti urutan kata, arti kalimat, mampu menceriterakan dan menjelaskan pemikirannya kepada orang lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah penyair, orator, sastrawan, jurnalis, editor, aktor, dan dramawan.
Inteligensi matematis logis berkaitan dengan kemampuan dalam mengunakan bilangan dan logika. Mereka dapat memikirkan sistem-sistem yang abstrak seperti matematika dan filsafat. Pikirannya sangat rasional, mampu berpikir induktif, merangkumnya dalam suatu kesimpulan ilmiah, menjelaskan kenyataan fisis yang terjadi dengan sains. Inteligensi ruang visual, adalah kemampuan untuk menangkap ruang visual secara tepat, seperti para pemburu, navigator, arsitek, dekorator. Mereka mudah membayangkan benda dalam ruang berdimensi tiga, mengenal relasi benda-benda dalam ruang secara tepat, mampu melihat, memperkirakan, memandang dari segala sudut.
Inteligensi kinestik-badani adalah kemampuan untuk mengunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau pikiran, perasaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penari, pemahat, atlet, aktor, ahli bedah. Mereka dengan mudah mengungkapkan diri dalam gerak tubuh. Inteligensi musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Ada kepekaan yang tinggi terhadap ritme, melodi, intonasi, kemampuan memainkan alat musik, menyanyi, menciptakan lagu atau syair. Mereka mudah belajar dan memainkan musik secara baik.
Inteligensi interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain, mampu menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain, mudah bekerja sama dengan orang lain, pandai bergaul, dan bisa akrab dengan siapa saja tanpa perlu banyak persoalan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para fasilitator, komunikator, penggerak massa. Inteligensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri, bertindak secara adaptif berdasarkan pada pengenalan diri, serta mampu berrefleksi dalam keseimbangan. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan segala gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi, sadar akan tujuan hidupnya, pandai mengatur perasaan dan emosinya, sehinga kelihatan tetap tenang walau didera berbagai persoalan. Cirinya, tenang, kalem, suka menyepi, mampu bekerja sendiri,
Inteligensi lingkungan yaitu kemampuan akan pemahaman flora dan fauna, mampu membuat distinksi konsekuensi lain dalam alam natural, mampu memahami dan menikmati keindahan alam, mengembangkan pengetahuan akan alam, melestarikan alam, merawatnya dengan kesadaran yang tinggi. Cirinya, bisa hidup di luar rumah, di alam terbuka, bisa cepat akrab dengan situasi dan kondisi alam setempat. Inteligensi eksistensial yaitu kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam tentang keberadaan hidup, dunia, dan Tuhan. Ia suka mencari jawaban terdalam atas berbagai persoalan hidup secara eksistensial; mengapa aku ada, mengapa aku hidup, dari mana aku datang, dan kemana aku pergi. Untuk mengetahui inteligensi mana yang terdapat dalam diri peserta didik sangatlah sulit.
Dengan mengetahui inteligensi yang dimiliki oleh seorang anak, maka para guru dapat mengarahkan dan mendampingi para murid sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Inilah tugas lembaga pendidikan dan semua orang yang mengabdi dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak identik dengan format baku, yang bisa mencetak manusia sesuai dengan format tersebut. Bila sistem pendidikan yang ada mampu mengakomodir bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, maka keberhasilan seorang peserta didik bukan terletak pada pencapaian standar minimal yang ditetapkan dalam lembaran ujian melainkan kemampuan seorang manusia dalam menyelesaikan persoalan yang ada, termasuk persoalan ujian akhir nasional.
KPO/EDISI 109 JUNI 2006
Read More

Kamis, Juni 15, 2006

Beny Uleander

Sasar Ruang Publik, Buat Kunjungan Privat

Keelokan Kiprah SPG
Cukup gampang mencari sebab-sebab kehancuran suatu perusahaan tetapi amatlah sulit menemukan sisi lemah perusahaan-perusahaan sukses sepanjang sejarah dan dikelola dengan baik tetapi kehilangan posisi puncaknya. Praktik manajemen yang amat penting untuk kebaikan perusahaan –seperti memenuhi kebutuhan pelanggan terbaik dan memfokuskan investasi pada bidang yang sangat menguntungkan –pun dapat menyebabkan kegagalan. Demikian komentar Michael E Raynor dalam Solusi Sang Inovator.
Di penggalan situasi berbeda, kerap kita mendengar seruan, ‘’Jangan pakai kacamata kuda alias berjalan sendiri dalam membesarkan perusahaan tanpa mau menoleh pada dinamika pasar’’. Sebuah saran yang bercita rasa elegan tetapi harus dikritisi dengan berpijak pada visi dan misi perusahaan. Selama manajemen dan karyawan bersinergi dalam alur visi seirama dan selaras, maka dapatlah dipastikan bahwa ada sekelompok ‘orang gila’ yang sedang meretas sebuah masa depan gemilang. Titik-titik kelemahan dikelola bijak jadi ‘silabus’ pelajaran menuju perusahaan sukses. Itulah inti inovasi dalam perspektif E Raynor: ‘meng-upgrade’ kualitas intelektual bermuara pada peningkatan kualitas produk dan jasa.
Sesungguhnya, kejar-mengejar segmen pasar, kategori selera konsumen dan intrik persaingan bisnis perusahaan menuju pertumbuhan yang sukses berpangkal pada keelokan teoretis, cendekiawan yang keras hati, analisis data yang kreatif dan berjalannya fungsi manajerial.
Salah satu pendampingan manajerial adalah upaya melahirkan salesman atau sales promotion group (SPG) yang siap jadi ‘manusia gila’ tapi punya penghasilan halal untuk minum kopi di Bakery Corner atau beli kudapan. Indonesia yang dibandrol sebagai negeri 1001 keanehan terus berdiri. Rakyat negerinya tetap butuh pekerjaan dan pendidikan. Pekerjaan halal bermuara pada pembaktian diri kepada kesejahteraan sesama manusia. Meski dalam skala kuantitas amat kecil tapi bernilai dari segi kualitas. Itulah satu dimensi mulia kiprah para SPG PT Karya Pak Oles Tokcer yang menegakkan kesehatan manusia berbasis herbal, alami dan nyaman tanpa efek samping. SPG menjadi obor dan pembawa suara kehidupan bahwa alam menyiapkan berbagai fasilitas dan sarana untuk kesehatan manusia. Sebut saja madu organik/budidaya, tanaman berkhasiat obat atau segala jenis tanaman mengandung antioksidan yang mendukung revitalisasi hidup.
SPG atau salesman yang mampu menjual pasir ke Arab, daerah padang pasir, patut diacungi jempol. Benarkah ia akan sukses menjual apa saja? Termasuk menjual gigi palsu untuk orang yang giginya masih lengkap? Setiap orang punya potensi membeli tapi yang paling penting apakah ada kesesuaian antara produk dengan kebutuhannya? Kalau orangnya tidak membutuhkan, tapi kita bisa mengakali supaya dia membeli, bukankah itu aksi manipulatif? SPG Pak Oles memasarkan produk kesehatan dan jamu yang sudah merakyat. Tidak ada strategi manipulatif. Karena SPG berlogo GNW itu memasarkan sebuah produk yang berkualitas, bermerek dan dikawal dengan informasi, Koran Pak Oles dan Tabloid Montorku.
Berbekal pemahaman produk (product knowledges), mereka menggelar promosi, menyasar ruang publik dan kreatif melakukan kunjungan privat dari rumah ke rumah. Menyapa konsumen dan pelanggan. Mereka memahami marketing sebagai segala upaya untuk membuat orang membeli. Kalau menjelaskan manfaat produk dengan baik membuat orang membeli, ya itulah pemasaran. Penguasaan manfaat materi produk bukan sebatas hafalan tetapi merasuk menjadi kebanggaan diri, kegembiraan citra dan fanatisme merek.
Dalam film “Life is Beautiful”, ada kata-kata indah dari Uncle Alicio. “Menunduklah seperti bunga matahari mencari sinar matahari. Bunga matahari yang terlalu menunduk itu bunga mati. Melayanilah tapi kamu bukan pelayan. Seperti Tuhan melayani manusia, tapi Tuhan bukan pelayan’’. Dalam proses penjualan itu, SPG tidak harus “melacurkan diri” karena asal laku, tapi bangun sikap keperwiraan dalam menjual. Hormat bukan untuk merendahkan diri, meskipun tetap rendah hati. KPO/EDISI 108 JUNI 2006




Read More
Beny Uleander

Pertaruhkan Visi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Lima Tahun Membangun KORAN PAK OLES (1)
OLEH: BENNY ULEANDER

Kiprah dan eksistensi Koran Pak Oles di jagat informasi meninggalkan bertubi-tubi jejak pertanyaan di benak khalayak ramai termasuk para pelaku pers. Visi apa yang diembannya dan di mana letak kekhususannya dibanding dengan media cetak lain yang kala itu bertumbuh bak cendawan di musim hujan? Sementara insan pers dengan memicingkan mata berkomentar dingin. ‘’Ah, itu adalah media murni promosi. Reinkarnasi elegan dari brosur dan jurus lain dalam menyalurkan dana iklan Ramuan Pak Oles.’’ Wajar saja bila ada yang berkomentar lepas demikian. Karena saat ini berbicara tentang Pak Oles, orang langsung menunjuk pada Ramuan Pak Oles. Padahal kiprah Pak Oles tidak sebatas sebagai pengusaha jamu dan obat tradisional.
Tulisan bersambung ini ingin mengupas kembali potret lika-liku membangun media informasi yang dikelola Pak Oles Centre. Pembaca pun diajak untuk mengetahui lebih dalam bahwa media ini lahir dari sebuah pertaruhan visi dan pemikiran yang matang soal membangun dan merawat sebuah idealisme agar tetap tumbuh, terarah dan meraih sukses di lapangan praksis. Di negeri ini, banyak orang pintar dan sarjana genius yang terampil meramu wacana glamoritas soal pembangunan. Sayang hanya segelintir orang yang berani merintis jalan kecil menuju pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sekarang jalan itu telah berkembang menjadi sebuah konsep hidup yang harus terus didukung kiprahnya. Sebab di negeri maling ini, apa yang benar bagi rakyat belum tentu sejalan dengan kemauan dan kepentingan rezim penguasa.
Koran Pak Oles lahir dari sebuah rahim idealisme membangun, mengelola dan mengawal sebuah informasi secara terpadu. Isi idealisme itu bertaut erat dengan sepak terjang seorang Gede Ngurah Wididana yang berupaya membawa secercah perubahan dalam pembangunan bangsa. Langkah awal yang ditempuh terbilang baru di bumi pertiwi, yaitu pionir pertanian organik berbasis teknologi Effective Microorganisms (EM) pada tahun 1990-an. Pak Oles juga sudah merambah kesehatan dengan produksi obat tradisional dan bidang otomotif dengan produk Spontan Power di tahun 1997. Awalnya terbit dalam bentuk buletin dengan nama Majalah Sehat 2000. Dikelola Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) & Humas PT Karya Pak Oles Tokcer.
Pada tahun 2001, Majalah Sehat berubah format dalam bentuk koran dengan nama Koran Pak Oles. Moto yang diusung: Organik, Lestari, Sejahtera (OLES). Uniknya, koran ini terbit setiap hari raya keagamaan. Sudut atas dihiasi logo Bunga Padma bertulis GNW yang merujuk nama asli Pak Oles (Gede Ngurah Wididana). Organik artinya teknis pengelolaan pertanian yang menghasilkan produk berkualitas tanpa penggunaan pupuk kimiawi dengan tetap mengutamakan standar higienes. Penerapan sistem pertanian organik yang baik membuat tanah subur, hasil panen meningkat, lingkungan tetap lestari, dan masyarakat (petani pedesaan) dapat hidup sejahtera. Moto ini secara sederhana menggambarkan revolusi kelola pertanian mikro yang dirancang-bangun Pak Oles. Pengelolaan potensi mikroorganisme selaku tiang utama mendukung revitalisasi pertanian.
Konsep agrobisnis harus dimulai dari desa, tempat (lokasi) pusat pertanian berada. Lalu dibentuk unit bisnis yang didukung produksi dan pemasaran yang baik. Roda agroindustri akan berjalan bila didukung informasi yang baik. Jika semua komponen berjalan terarah dan fokus, maka pertanian makro akan terwujud. Koran Pak Oles menempatkan diri sebagai media informasi aplikasi EM di bidang pertanian, peternakan, pengolahan limbah/sampah, kesehatan dan otomotif.
Tidaklah berlebihan Koran Pak Oles pun menjadi roh yang menghidupi eksistensi teknologi EM. Di bawah kolong langit ini peran media sebagai pembangun opini publik dan pencitraan produk barang dan jasa belum tergantikan. Buktinya media pun berkembang dalam arah horizontal diversivikatif. Media cetak, media elektronik (televisi & radio) dan kini media digital (inter networking). Itulah sebabnya wacana teknologi EM tidak mati muda di lalu lintas revitalisasi pertanian Indonesia yang kini lagi jeblok akibat kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah!!!
Koran Pak Oles tidak distel menjadi "pers priyayi" yang beritanya melingkar-lingkar di wilayah kepriyayian. Kecenderungan eksekutif dan masyarakat Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi permasalahan dan etika. Koran Pak Oles mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan visi, menampilkan ragam dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak ke belakang. Itulah makna peran Pak Oles Centre selaku pengelola dan pengawal informasi. (Lanjutan tulisan ini ada di blog www.bukuputih-pakolescenter.blogspo.com) KPO/EDISI 108 JUNI 2006


Read More
Beny Uleander

Pasar Konsumen

Lalu lintas pemahaman ilmu marketing terus berkembang dan diperkaya terus dengan temuan gagasan teoretis dan trend pasar yang dinamis. Contohnya, pemahaman konsep pasar tidak lagi dipatok pada sebuah tempat, terjadi transaksi jual beli produk atau jasa dan adanya permintaan pembeli dan penawaran penjual.
Pasar telah menjelma menjadi hutan rimba yang ganas. Di rimba maha lebat, ada pertarungan bisnis, gemerisik kompetisi antar perusahaan memasarkan produknya, dentingan produksi produk yang meluber melebihi jumlah konsumen dan strategi membentuk citra untuk menjinakan konsumen yang telah dititahkan sebagai raja hutan.
Ketika konsumen membeli sebuah produk untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya maka di sana tercipta ‘pasar konsumen’. Saat produk yang dibeli siap diolah lagi untuk dijual kembali maka disebut karakteristik ‘pasar produsen’. Kala produk dibeli untuk dipasarkan lagi dengan selisih harga maka itu adalah ciri ‘pasar pedagang’.
Di celah ini kita bisa memotret potensi budidaya anggrek di Indonesia yang kini mulai menggeliat merekayasa ‘pasar konsumen’, menembus ‘pasar produsen’ dan para distributor anggrek telah membangun ‘pasar pedagang’.
Indonesia menyimpan sejumlah potensi kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan sumber daya manusia. Dari sumber daya alam, Indonesia termasuk dalam wilayah tropis yang bisa memungkinkan tumbuhnya berbagai tanaman atau pohon-pohon. Penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa dari 40000 spesies yang ada di bumi, ada 30000 spesies yang ada atau bertumbuh di Indonesia. Semua spesies tumbuhan ini bisa memberikan nilai guna bagi manusia, asalkan manusia Indonesia bisa mengelolanya. Berbagai jenis tumbuhan ini dapat menjadi sumber makanan, obat-obatan, kosmetik, tanaman hias atau diolah menjadi berbagai produk turunan.
Pertanyaan yang muncul adalah sudah berapa persenkah ribuan spesies yang ada telah diolah sehingga bisa bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup orang Indonesia? Bila secara prosentase tidak seimbang, apa faktor penyebabnya, apa kendalanya? Bisa dibayangkan bahwa cukup dengan 50% dari semua kekayaan yang ada bisa dikelolah secara optimal maka Indonesia akan tampil setara dengan negara-negara industri yang kaya dalam segala bidang kehidupan. Ironisnya, Indonesia ibarat tikus mati kelaparan dalam karung beras. Indonesia masih terus menjadi negara miskin dalam kegelimangan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Salah satu kekayaan spesies yang belum menjadi perhatian serius dari berbagai pihak adalah anggrek. Letak Indonesia pada daerah tropis, memungkinkan untuk spesies yang satu ini bertumbuh dengan subur. Tidak heran jika Indonesia dikenal dengan negeri kaya anggrek karena spesies anggrek terbanyak ada dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ada 5000 spesies anggrek yang bertumbuh di Indonesia. Hanya sebagian kecil spesies ini yang berhasil dibudidayakan, dikawin-silangkan, sehingga menghasilkan bibit unggul dengan kualitas tinggi.
Sebagai bunga, anggrek memiliki keunggulan tersendiri. Warnanya beragam, keindahannya mempesonakan mata setiap orang yang melihatnya, baunya harum semerbak. Bahkan, kembangnya paling bertahan dalam tempo yang cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu dan ada beberapa jenis yang bisa bertahan berbulan-bulan. Keragaman warna, keindahan, keharuman serta ketahanannya menyebabkan anggrek menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang mencintai keindahan. Keunggulan anggrek seperti ini bisa dikembangkan menjadi produk bisnis yang mendatangkan keuntungan.
Sayangnya, potensi terpendam ini sangat terlambat dikembangkan di Indonesia. Sejak abad lalu, anggrek-anggrek unggul Indonesia telah diambil dan dibawa keluar negeri baik secara legal maupun ilegal, terutama oleh para penjajah. Di sana, anggrek tersebut dikawin-silangkan sehingga menghasilkan bibit unggul dan dijual dengan harga yang mahal serta menguasai pasar anggrek internasional. Baru pada tahun 1970-an, kesadaran akan budidaya anggrek mulai muncul, yang dipelopori oleh almarhumah Ibu Tien Soeharto, dan berhasil membangun jaringan kerja sama dengan Singapura dalam usaha kawin silang anggrek dari Indonesia. Sejak saat itu, mulai bermunculan para petani, pengusaha, pemasok anggrek yang tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara, tetapi masih dalam skala kecil-kecilan.
Geliat bisnis anggrek mulai tampak sejak 10 tahun terakhir, dengan keyakinan bahwa anggrek dapat menjadi lahan alternatif pendapatan, mata pencaharian, membuka lapangan kerja bagi para pengangguran. Kebutuhan akan anggrek kini seakan menjadi kebutuhan pokok. Setangkai anggrek bisa dijual dengan harga ratusan ribu. Bisnis anggrek kini bukan monopoli kelompok tertentu, tetapi milik semua orang mulai dari petani kecil sampai konglomerat. Daya pikat anggrek serta peluang bisnis yang ada telah membius banyak orang untuk terjun langsung dalam usaha anggrek. Diharapkan, perkembangan usaha anggrek Indonesia mampu membawa keunggulan anggrek Indonesia dalam bursa anggrek internasional, serta mampu menduniakan anggrek Indonesia.
Sejumput harapan terkembang mekar di rahim hati. Kesadaran akan potensi ekonomis dalam budidaya anggrek telah merambah berbagai kota. Lihat kini ada pengusaha yang membuka show room anggrek, ada lahan anggrek yang dijadikan arena wisata yang mampu memikat para wisatawan nusantara maupun mancanegara dan event pameran anggrek di Bali telah masuk dalam kalender insan pariwisata. Kita menanti dan terus berharap, mereka yang kehilangan pekerjaan kini bisa menjadikan bisnis anggrek sebagai salah satu alternatif menderek ekonomi rumah tangga. Kita pun menanti kiprah investor untuk mengembangkan anggrek Indonesia. Tak lupa pula secercah himbauan agar pemerintah dan pihak keimigrasian kian tegas ‘melawan dan memberantas’ para penyelundup anggrek illegal ke luar negeri. Investasi dan proteksi menjadi pendulum menduniakan anggrek Indonesia. KPO/EDISI 108 JUNI 2006
Read More

Senin, Mei 15, 2006

Beny Uleander

Harta Karun Dari Laut

Laut adalah sawah ladang yang tak terkira nilainya. Bayangkan saja, tanpa harus mencangkul sekuat tenaga ataukah mengolahnya repot-repot, kita tinggal menuai hasilnya. Kapan saja dan sesuka hati. Hasil laut memang tak didera paceklik, apalagi krisis yang selalu menghambat laju perekonomian. Bentangan keindahan taman laut nan memukau dan gulungan ombak yang eksotik menjadi magnet wisata bahari dan wisata tirta yang menggoda para pelancong mancabenua. Bisakah rakyat negari ini menjadikan laut sebagai fondasi pembangunan Indonesia masa depan?
Konsep wisata bahari menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, Yaqqub Abidin perlu ditopang dengan berbagai aktivitas wisata laut seperti menyelam, memancing, berenang, hotel atau restauran terapung yang didukung oleh ekosistim yang memiliki produktivitas hayati yang cukup tinggi seperti terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan hutan mangrove.
Selain pendapatan masyarakat meningkat, devisa negara pun turut terdongkrak. Secara tidak langsung, ekosistem laut pun akan terjaga dengan apik. Memang ini semua impian ideal yang bisa diwujudkan. Sebuah konsep bermakna ketika mampu diimplementasikan menjadi serpihan kebijakan lapangan yang membuahkan hasil. Sekalipun, hasil yang ditorehkan masih seumur jagung. Fakta di lapangan menyisakan rajutan keprihatinan dan balutan duka. Banyak terumbu karang yang hancur luluh lantak oleh aksi bom ikan nelayan-nelayan Indonesia yang ingin dapat hasil tangkapan secara mudah. Padahal pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang membutuhkan waktu puluhan tahun.
Gerakan masuk laut (Gemala) yang digalakkan pemerintah di tingkat lokal selama ini melulu menjadi program ‘ngetrend’ pejabat tertentu. Sesudah itu Gemala tinggal kenangan dan tersimpan rapi di kantor arsip daerah. Maaf, lengkap dengan coretan proposal semesteran. Alhasil, upaya membangun kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pemeliharaan laut sebagai sumber andalan masa depan masih jauh panggang dari api.
Padahal di tataran Internasional, Indonesia dikenal sebagai negeri maritim. Jauh sebelumnya, berabad-abad silam,
hamparan keindahan pulau-pulau Nusantara yang dipisahkan ratusan selat mengundang decak kagum para pengelana asing untuk menyambanginya. Elok kemilau mutiara timur yang dipersembahkan dari laut Nusantara menjadi buah bibir para pelaut, saudagar dan kaum cerdik cendekia di bandar-bandar pelabuhan. Merekapun menyiarkan cerita tentang negeri gemah ripah loh jinawi ini di negeri asal mereka.
Pertanyaan reflektif terlontar bagaimana konsep pemberdayaan potensi kelautan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat? Sudah turun-temurun anak bangsa menyandang predikat sebagai anak cucu pelaut. Sudah ribuan penduduk yang menetapkan laut sebagai ladang mereka mencari penghasilan. Sudahkah rakyat (baca: masyarakat nelayan) hidup sejahtera?
Gemala harus menjadi program nasional. Sebuah kebijakan mainstream yang mendorong, mengajak dan memotivasi rakyat negeri ini untuk membangun masa depan mereka di laut, bukan semata bertopang pada harta karun yang ada di daratan. Sebab, negeri ini adalah negeri maritim, sebuah negara kepulauan yang sambung-menyambung oleh selat demi selat.
Selama ini fokus pembangunan nasional lebih kepada konsep pengelolaan potensi darat atau wilayah. Karena itu, laut masih dilihati sebagai sebuah ruang penghalang komunikasi lintas daerah dan pulau. Padahl spirit keterpisahan oleh laut justru titik picu lahirnya keanekaragaman budaya, nilai pengetahuan lokal, budaya dan kualitas hidup masyarakat. Karena itu pembangunan maritim tidak dipusatkan pada daerah atau selat tertentu. Dengan kata lain, pendekatan parasistik/eksploitatif yang merugikan salah satu pihak harus ditiadakan. Sebaliknya, nilai dan asas manfaat bersifat non ekstratif yang harus dikedepankan. Pendekatan simbiotik mutualisme menjadi wacana tunggal dalam menjaga keutuhan kepulauan, memacu pertumbuhan sektor kelautan dan merekatkan rasa sebangsa dan setanah air. Masyarakat diberi keleluasaan dan dukungan sarana maupun prasarana untuk ikut berpartisipasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya.
Sejumlah fakta memang menghadang upaya pengembalian kejayaan bahari dalam optimalisasi bidang kelautan dan perikanan. Kualitas SDM yang masih rendah, penguasaan teknologi dan informasi bidang kelautan yang minim, perluasan jaringan kerja sama dan pemasaran, serta minimnya ketersediaan dana.
Mungkin kita perlu belajar dari sejarah tentang kejayaan Indonesia sebagai negeri bahari. Lautan Nusantara pernah mencatat torehan keemasannya sendiri. Pada zaman Kerajaan Majapahit, Patih Gadja Madah mengupayakan “effective occupation” wilayah-wilayah terluar Indonesia melalui laut. Pada zaman Kerajaan Sriwijaya dikenal dengan apa yang disebut “Good Administration” karena mampu menerapkan sistem administrasi pemungutan pajak bagi semua kapal asing yang masuk perairan Indonesia. Sistem ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan ekonomi Kerajaan Sriwijaya. Keemasan laut pun tampak juga saat kedaulatan Nusantara terancam invasi kolonial bangsa Eropa. Adipati Yunus berhasil mengusir Portugis dari perairan Malaka. Sultan Agung sukses mempertahankan Jayakarta (kemudian Batavia, dan sekarang Jakarta). Semua kemenangan ini diperoleh melalui kekuatan lautnya.
Untuk konteks sekarang, kejayaan kelautan tidak hanya berarti tentara dan angkatan perang secara “an sich”. Kejayaan kelautan kita mesti ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, perkapalan, pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir, konservasi biota laut yang hampir punah dan rusak, pemberdayaan masyarakat laut dan pesisir, memajukan pertumbuhan sektor ekonomi lewat optimalisasi kekayaan laut Indonesia. Bila semua unsur ini bisa berjalan, maka kita dapat menggapai kejayaan bahari yang pernah ada dalam sejarah, dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun yang akan datang.
Dalam peta dunia, wilayah Indonesia terletak antara 6­0 LU – 110 LS dan 950 – 1410 BT. Dua pertiganya tersusun dari lautan dengan luas 5,8 juta km2. Untaian pantai membentang sepanjang 17.504 km. Pulau-pulaunya mencapai 81.000 km. Pada hamparan inilah pusat keanekaragaman hayati di dunia berada. Ada 2000 jenis spesies ikan, dan baru 400 spesies yang sudah dimanfaatkan secara ekonomis. Jenis crustacean lebih dari 1502 spesies, termasuk 83 jenis udang dalam suku penaidae yang dikonsumsi. Ada 17% genus karang dunia berada di perairan Indonesia. Ada 18% terumbu karang, 30% mangrove dengan padang lamun (sea grass) terluas dan terbanyak.
Mungkinkah kita bisa menunjukkan kejayaan Indonesia sebagai negeri bahari yang disegani dunia? Jawaban hanya satu. Kejayaan bahari hanya bisa terwujud dengan pengelolaan terpadu dan berkelanjutan semua potensi dan kekayaan laut yang ada. Pengelolaan yang sinergis dengan upaya empowering masyarakat pesisir. Koordinasi sektoral juga diharapkan dapat menjawab persoalan seperti kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang serta penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Perlu keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, swasta dan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Bersama kita kembali berjaya sebagai negeri bahari. Selamat berjuang. KPO/EDISI 106 MEI 2006

Read More

Sabtu, April 15, 2006

Beny Uleander

Amanda Et Amiranda

‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’ (Demikian ungkap Erich Kastner dalam In Memoriam Memoriae).
Ungkapan Kastner kembali aktual dalam melukis-kenangkan situasi paradoksal yang menimpa negeri Indonesia sejak kemerdekaan hingga era SBY-Kalla berkuasa. Di mata Cornelis de Houtman, Nusantara adalah surga rempah-rempah yang selalu menggoda untuk dicintai dan dikagumi (amanda et admiranda). Alam yang indah, kekayaan flora dan fauna yang beragam, perut bumi menyimpan emas, besi dan tembaga dan letaknya strategis di jalur perdagangan dunia. Itulah keindahan Indonesia. Lantas muncul pertanyaan bernada kegusaran. Kenapa kekayaan alam melimpah tetapi rakyatnya berjubel di lorong kemelaratan. Hidup keseharian penuh dengan kegaduhan. Mengapa penduduknya yang banyak lebih membesarkan mata untuk menyorot kehidupan moral orang per orang. Sementara wajah kemiskinan, aktor koruptor dan pengangguran yang terus meningkat tidak dilihat sebagai persoalan mendesak untuk diselesaikan? Ada apa denganmu bangsaku?
Ada banyak analisis sosial, budaya, politik dan ekonomi untuk mencari akar kelemahan manajemen bangsa. Salah satu kajian kaum budayawan menyebutkan bangsa ini tidak memiliki tradisi tata kelola sebuah nasion yang kokoh di semua lini.
Tentu perbandingan atau kiblat selalu terarah kepada negara tetangga di Asia Raya maupun Asia Tenggara. Jepang, pernah menjalani sebuah periode isolasi diri yang cukup lama terhadap dunia luar. Setelah kehidupan internal sosial, budaya, politik dan ekonomi maupun pertahanan kokoh baru membuka diri terhadap dunia luar yang dirintis Kaisar Meiji (Restorasi Meiji). Kebijakan isolasionisme Tokugawa yang berlangsung selama 250 tahun itu sukses dari segi konsolidasi psikologi dan identitas nasional. Organisasi masyarakat dan kenegaraan yang konstan, kuat dan kokoh ketika terjun dalam percaturan dunia internasional. Adaptasi hasil kebudayaan luar tidak merusak tetapi justru memperkaya. Patokan moral umum adalah keseimbangan tempat antara kebaikan dan kejahatan. Ada tempat untuk hal yang indah dan jelek.
Dalam kurun waktu yang sama dengan Tokugawa, Amangkurat II langsung mengundang VOC untuk campur tangan militer langsung dalam negeri sendiri. Berbeda dengan China yang setali tiga uang dengan Jepang. Mao Zedong dan kawan-kawan juga menerapkan isolasionisme politik dan ekonomi RRC sekian dasawarsa, sehingga fase pembukaan diri kemudian oleh Deng Zioping terhadap adikuasa politik ekonomi Barat terasa tidak membahayakan lagi. Soekarno pun pernah mencobanya tetapi momentum kurun maupun taktik tekniknya kurang memadai. Persoalan dikacau lagi dengan revolusi sosial yang ingin dipercepat PKI. Akhirnya yang terjadi konsolidasi politik terdahulu lalu diikuti ekonomi. Di era Orba terjadi pergeseran, konsolidasi ekonomi sebagai panglima pembangunan diikuti bidang politik. Di era Reformasi, konsolidasi di bidang hukum menjadi trend. Lalu ada pembenahan sistem politik yang masih labil dan ekonomi sangat kocar-kacir. Kondisi keuangan negara yang cekak ‘memaksa’ SBY harus ambil komando nasional dengan paling awal membayar pajak yang disaksikan publik. Besar harapan para wajib pajak bisa mengikutinya.
Awal tahun 2006, ada ‘arah angin baru’ yaitu konsolidasi investasi asing. Langkah awal, pemerintah membabat habis semua perda maupun peraturan birokratis yang menghambat keluarnya izin usaha. Fakta di lapangan menyisakan kisah duka. Pejabat di daerah ‘enggan’ mengikuti gebrakan presiden. Alasannya, kurang koordinasi pusat atau daerah tidak bisa diterima secara moral. Seruan presiden di back-up media massa. Pasti didengar pula birokrat di penjuru Nusantara. Alasan yang tepat soal kelambanan yaitu mental pungli sukar dihapus hanya dengan seruan presiden. Sementara elite kekuasaan tidak melakukan ‘turba’ alias cek dan ri-cek. Keputusan yang diambil soal keengganan investor karena hak-hak kaum buruh terlalu ‘istimewa’ sehingga UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi. Sungguh tragis.
Bagaimana dengan kiprah DPR? Justru isu paling hot adalah bagaimana menggolkan UU Polisi Moral yang membuat kisruh di tingkat akar rumput. Kita dihadapkan pada sebuah parade kebodohan tentang ruwet-rentengnya relasi ranah publik dan privat. Yang privat dijadikan bahan pembicaraan publik, sementara urusan publik dicarikan penyelesaiannya secara privat, seperti debat para presiden Indonesia tentang ayam panggang atau para caleg yang malahan konsultasi ke juru kunci kuburan. Kita terjebak dalam permainan klise massal yang penuh kegenitan, gossip bernada fitnah (baca: lebih kejam dari membunuh). Kita bak gerbong kereta digiring melakukan distorsi terhadap logika dan common sense.
Di pojok kebingungan ini, kita bertanya kapan agenda konsolidasi sosial, keamanan dan kebudayaan? Masih amat jauh, entah sampai kapan. Hasilnya, bangsa ini menderita krisis identitas di tengah serbuan arus globalisasi politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Buktinya, secara politik kita belum siap menerima liberalisasi ekonomi tetapi secara de facto pemerintah sudah menerapkannya?
Lemahnya tata kelola kenegaraan dan sistem pendidikan menjadi titik keprihatinan menyorot keterpurukan ekonomi bangsa yang tak kunjung berubah pasca resesi global tahun 1997. Thailand kembali bangkit karena konsolidasi kemasyarakatan dan kenegaraan sudah kokoh. Thailand dan Korut bisa bangkit karena mereka pun pernah menerapkan kebijakan isolasionisme. Korea Utara masih berlangsung hingga kini. Intelijen maupun investor asing sukar masuk ke negaranya.
Persoalan terkini yang dihadapi bangsa ini adalah tingginya angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahun. Sementara lapangan kerja yang terbatas menyebabkan lebih dari setengah angkatan kerja yang tidak terserap pasar. Kondisi ini diperparah lagi dengan kegiatan ekonomi makro yang lesuh. Akibatnya, banyak perusahaan besar membatasi jumlah karyawan dan mengurangi/pemotongan gaji.
Sementara di tingkat global, berdasarkan laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pertumbuhan ekonomi global gagal menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi kemiskinan.
Saat ini, kata Direktur Jendral ILO, Juan Somavia, setengah pekerja di dunia memiliki penghasilan di bawah dua dolar AS per hari sehingga tidak mampu mengangkat dirinya dan keluarganya ke atas garis kemiskinan. Laporan tersebut menekankan bahwa di banyak negara berkembang, permasalahan utamanya bukan pengangguran namun sedikitnya kesempatan kerja dengan pendapatan yang memadai.
Di Indonesia, pada bulan Oktober 2005 lalu terdapat sebanyak 106,9 juta angkatan kerja dan 95,3 juta di antaranya bekerja serta 11,6 juta orang penganggur. Selama periode Agustus 2004 - Oktober 2005, jumlah angkatan kerja bertambah sekitar 2,9 juta, sementara dalam periode yang sama jumlah pertambahan tenaga kerja yang terserap hanya 1,6 juta orang. Perkembangan ini dengan jelas menunjukkan bahwa kesempatan kerja adalah masalah yang sangat serius bagi Indonesia. Langkah isolasi diri yang urgen saat ini (jangkah pendek dan pragmatis) adalah perbaharui UU demi melindungi hak-hak rakyat (buruh dan kelas pekerja) agar tidak sekedar jadi mesin produksi tetapi dijadikan mitra kerja. Kekayaan alam sudah terlanjur dijual seperti kasus Freeport dan Blok Cepu. Akankah kita menjual keindahan kita yang terakhir yaitu: manusia Indonesia yang sudah lama menderita? ‘’Siapa lupa akan apa yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan apa yang jelek, dia akan jadi bodoh…’’
KPO/EDISI 103 APRIL 2006

Read More
Beny Uleander

Parkinson Sosial Bikin Bonyok Wajah Tradisi

Wajah tradisi bonyok! Bukan disirimi air keras seperti dialami Liza yang kini sedang dirawat intensif di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Tapi diguyur fenomena plagiat dan wabah parkinson massal.
Ragam warisan khasanah kebudayaan dan teknis pengetahuan tradisional tidak dikumpul dalam ‘koridor kurikulum’ pendidikan formal. Akibatnya, manusia muda Indonesia gampang dan cenderung mengabaikan ‘peradaban leluhurnya’. Di sudut dunia yang lain, ada individu asing yang takjub melihat kekayaan warisan tradisional di Bumi Nusantara. Mereka datang mempelajari dengan cermat dan tuntas. Lantas warisan budaya itu dibawa pulang gratis ke negerinya untuk ditumbuh-kembangkan. Kita pun senang mencicipi tahu buatan Jepang dan memakai kebaya tenunan Inggris.
Sungguh ironis jika Rendang yang menjadi ciri khas masakan Padang dipatenkan di Malaysia, atau Tempe yang dipatenkan Amerika. Padahal kedua masakan itu sangat tidak asing lagi sebagai masakan tradisional Indonesia. Begitu juga dengan lagu tradisional kita, kalau tidak segera dipatenkan bisa diakui orang asing.
Kita pun terus berziarah di tengah kejutan-kejutan sosial (social shock) dalam jurang ketidakmengertian. Mengapa warisan budaya kita cepat menguap bagai embun di atas daun talas di pagi hari? Kita pun berlangkah tertatih-tatih untuk kembali mempelajari ‘ilmu-ilmu’ klasik. Ada tantangan internal. Selain ditertawai, literatur tertulis pun amat minim. Gulungan lontar hanya omong bisik-bisik soal sejarah politik. Arsitek mana yang mampu membuat kembali Borobodur. Siapa yang bisa menjelaskan tuntas teknik-teknik pengobatan tradisional yang ikut punah seiring meninggalnya sang dukun atau balian.
Parkinson sosial itulah pukulan kemajuan yang membuat bonyok wajah tradisi kita. PT Karya Pak Oles Tokcer dengan salah satu semboyan, ‘’Membangun Desa Membangun Bangsa’’ memahami secara filosofis dan fundamental makna pengembangan potensi lokal. Salah satunya pengembangan pengobatan tradisional dan fitofarmaka. Potensi obat alami Indonesia memang melimpah, seperti aneka produk jamu, mulai dari yang digosok, ditempel, dikumur sampai diminum, semuanya tersedia, juga encok, pegel linu, jerawat, pelangsing, penggemuk sampai penghancur batu ginjal, dan banyak pilihan obatnya. Kini tinggal ‘good will’ pemerintah dan berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengembangkannya agar pelayanan kesehatan tidak semata-mata tergantung pada obat-obat modern.
Departemen Kehakiman dan Perindustrian harus lebih agresif mengusahakan perlindungan hak paten dan hak cipta sebab zaman ini marak praktek tiru-meniru sebuah merk yang sudah dikenal masyarakat luas.
Menurut situs World Economic Forum, barang-barang palsu di seluruh dunia telah menimbulkan kerugian sekitar US$ 450 milyar bagi seluruh produsen aslinya. Disinyalir, usaha dan bisnis barang palsu ini telah menjadi usaha sindikat kriminal yang sangat rapi.
Kapan Standar Nasional Indonesia diberlakukan? Ingat jangan terlambat, liberalisasi ekonomi sudah berjalan di Indonesia meski masih ‘ngumpet’ ala Freeport atau Blok Cepu. Bila lamban, kita kembali terjebak dalam Parkinson sosial dan dikerjain terus plagiator dari negeri tetangga.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006

Read More
Beny Uleander

Semua Orang Bisa Jadi Pengusaha

Semua orang sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi pengusaha. Hal ini dapat diketahui dari bagaimana ia dapat memperoleh penghasilan untuk membiayai kehidupan hariannya. Menurut pengusaha perbankan, Alex Chandra, manusia dapat dikenal dari apa yang ia hasilkan dan apa yang ia kerjakan. “Kita dapat menyebut bahwa ia seorang pengusaha atau tidak dari apa ia kerjakan dan ia hasilkan,” urai Chandra dalam seminar sehari bertajuk “Semua Bisa Menjadi Pengusaha” di Hotel Orange Denpasar Bali, April 2006.
Di hadapan 500 peserta, Chandra menguraikan empat cara bagaimana manusia bisa memperoleh penghasilan. Pertama, dengan bekerja untuk orang lain (others employer), artinya orang lain yang menggaji. Ia hidup dari apa yang digaji tersebut dan ia bekerja hanya semata-mata memperoleh penghasilan. Contoh dari kelompok ini adalah para karyawan, pegawai negeri sipil, para buruh. Kedua, orang yang bekerja untuk dirinya sendiri (self employer). Artinya, ia bekerja dengan kekuatan sendiri, bakat dan pengetahuan yang dimilikinya, sekaligus ia hidup dari apa yang dikerjakannya tersebut. Contohnya para artis dan seniman. Ketiga, bisnis owner yaitu orang yang memiliki usaha sendiri. Ia hidup dari usaha tersebut tetapi ia sendiri tidak langsung bekerja. Ia memiliki tenaga-tenaga yang bekerja untuknya. Contoh dari kelompok ini adalah para pengusaha. Keempat, investor. Kelompok ini tidak memiliki usaha, bahkan tidak bekerja, tetapi mereka memperoleh penghasilan dari hasil investasi.
Klasifikasi cara memperoleh penghasilan seperti ini bisa membantu orang untuk menempatkan dirinya, bahwa ia sebenarnya berada di kelompok yang mana. Untuk menjadi seorang pengusaha, minimal orang harus masuk dalam kelompok bisnis owner sekalipun dalam skala yang sangat kecil. Syaratnya, harus memiliki pengetahuan dan wawasan, kerja keras, tekun, pandai membaca peluang, memiliki visi dan misi yang jelas, mengambil keputusan secara cepat dan tepat dan didukung oleh tenaga dan sarana yang memadai. Masalah modal bukan sesuatu yang sulit. Bila semua syarat dipenuhi dan dieksekusi secara tepat maka ia bisa dikatakan sebagai pengusaha sukses.
Kesuksesan seorang pengusaha ditandai oleh terpenuhinya empat kebutuhan dasariah dan dua kebutuhan spiritual. Kebutuhan dasariah adalah financial freedom (kepastian keuangan), time freedom (bebas menentukan waktu, tidak tergesa-gesa, tidak merasa dikejar-kejar waktu), control (manusia selalu ingin mengontrol, tetapi tidak mau dikontrol), growth (usaha selalu bertumbuh dan berkembang, dan sudah menjadi hukum alam, bila tidak bertumbuh maka ia sama dengan mati). Sedangkan kebutuhan spiritual adalah contribute (beramal, ada kepuasan untuk beramal dan tidak merasa rugi dan menyesal), kebutuhan akan penghargaan. Bila telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini maka ia bisa disebut sebagai pengusaha sukses.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More
Beny Uleander

Basis Kecerdasan

Indonesia sebuah negeri yang kaya dengan belitan pelik persoalan ketidakjelasan tatanan negara maupun kesimpang-siuran blue print proyek pembangunan. Payahnya lagi, anak-anak Indonesia di setiap pembabakan jaman selalu bertikai liar di antara bandul ‘ketunggalan’ dan kemajemukan. Ketika kebebasan dalam pluralisme dituai, rasa congkak ketunggalan (ika) mulai dihidupkan lagi. Kala, nafsu ketunggalan itu mengancam kesatuan bangsa yang majemuk maka kembali terdengar teriakan untuk bersama mengusung bendera kebhinekaan. Uniknya, api konflik kehancuran maupun gempa perpecahan sosial datang silih berganti, Republik ini tetap kokoh berdiri. Entah semu atau memang suatu saat Republik akan mengikuti tesis roboh atau hancur.
Dalam tesis roboh, ibarat bangunan tua yang dimakan rayap, rumah Republik akan keropos perlahan-lahan. Itulah gambaran yang cocok menyorot aksi jual beli asset negara yang penuh dengan trik keuntungan sekarang, rugi belakangan (baca: kesepakatan berdasarkan KKN). Perilaku korupsi ibarat rayap yang melemahkan pembangunan bangsa ini dari dalam.
Pemerintah dengan departemennya menggunakan ‘habis-habisan’ anggaran negara yang dikucurkan per semester dan per tahun anggaran. Tidak peduli anggaran negara sedang cekak. Langkah pemerintahan yang efisien bisa dihitung dengan jari, Pemkab Jembrana di Bali atau Solo di Jawa Tengah. Transaksi pinjaman demi pinjaman terus berlangsung yang akan dibayar ‘generasi impian’ tahun 2045. Secara diam-diam kedaulatan negara mulai digadaikan. Itulah kegelisahan eksitensial yang harus didiskusikan generasi muda saat ini.
Dalam tesis runtuh, arogansi mayoritas kadang kala tergoda untuk mendikte aturan normatifnya menjadi standar baku untuk seluruh bangsa. Sementara minoritas dalam kepongahan geografis dan kultur yang cantik kadang merasa bisa hidup mandiri tanpa perlu terdaftar dalam peta NKRI. Ruang dialog diganti parade demo tandingan sembari menebar aroma kemarahan di ujung golok. Bayangkan betapa sadis dan tragis jika kemarahan 200 jutaan penduduk negeri ini bermuara pada sabetan golok. Kekayaan heterogenitas menjadi lahan subur separatisme. Inilah masalah pencarian demokrasi yang sejati. Jika gagal, maka runtuhlah Republik ini.
Ketika, bangsa ini baru keluar dari penjara rezim Orba, DPR kini kembali bertingkah pola menjadi wakil pemerintah. Sebagian rakyat mulai gerah akibat hak-hak publiknya mulai terpinggirkan. Banyak persoalan kenegaraan yang tidak tuntas diurus hingga ke akar-akarnya karena kepentingan politis temporal lebih dilihat sebagai keabadian masa kini. Bentuk-bentuk investasi sosial, politis maupun ekonomi amat rapuh. Akibatnya di bidang ekonomi, rakyat yang produktif menjadi penganggur aktif. Geliat sektor swasta tertatih-tatih oleh urusan birokrasi maupun tagihan-tagihan pemerasan ‘super liar’. Biaya izin terlampau besar sehingga perusahaan akhirnya tutup sebelum bisa menjual produk barang maupun jasa. Sementara upaya pemerintah untuk mendukung sektor swasta khususnya UKM hanya basa-basi di ujung lidah yang memang tidak bertulang.
Suara-suara kegelisahan itu kian mencemaskan kala pemerintah pun mendandani dirinya menuju tatanan ordo kekuasaan. Kegelisahan tentang masa depan Indonesia terus mekar kala isi perut bumi nusantara mulai dikeruk tangan-tangan asing yang biasanya tidak peduli dengan masa depan anak cucu orang Papua, masyarakat Cepu, warga Kalimantan atau saudara-saudara kita di Lampung.
Adalah suatu hal yang wajar sekaligus suatu pujian bahwa di kalangan generasi muda saat ini kembali tumbuh sikap kritis untuk melembagakan ‘badan-badan’ oposisi sebagai sebuah opsi terkini mengagendakan tatanan demokratis. Tapi satu hal jelas, ungkap YB Mangunwijaya, demokrasi hanya dapat datang dari bangsa yang berkebiasaan berpikir rasional, emosi-emosinya yang wajar lazim dikendalikan oleh otak. Suatu nasion demokratis adalah nasion dari bangsa yang cerdas. Lebih tajam lagi, ungkapan sarkastik Mangunwijaya bahwa lelaki atau perempuan yang dungu dan tolol secara alamiah bukan orang demokratis.
Di tikungan kesadaran ini, kita layak meneropong gejala kehancuran ekologis dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, pemukiman maupun pedesaan karena kita dipimpin oleh mereka yang berpikiran idiot. Contoh sederhana, pengolahan sampah atau limbah organik maupun non organik di kota besar dan kecil di Indonesia tidak memiliki cetak biru yang konkrit untuk semua daerah. Padahal berbagai kemajuan teknologi dan peneletian pertanian terkini mengkondisikan bahwa sampah bisa didaur ulang menjadi produk pertanian maupun industri yang ramah lingkungan. Ada segelintir putra/i bangsa ini yang berjuang sendiri mengubah sampah menjadi gelembung ekonomi disertai penciptaan lapangan pekerjaan sekaligus pendidikan kesadaran ekologis.
Sampah kadang dijadikan sebagai lahan proyek untuk mencari bantuan lembaga keuangan dunia. Dalihnya bisa bermacam-macam seperti mengubah sampah menjadi energi listrik atau menjadi pupuk pertanian. Setelah uang datang, proyek sampah diresmikan secara meriah penuh glamoritas. Rakyat tersenyum bangga dalam kepolosan. Hasil akhir, sampah terus menumpuk sementara pengelola proyek yang mangkrak saling melempar tudingan. Itulah situasi riil yang perlu dilihat pemerintah sebagai tantangan agar pengolahan sampah ditangani secara profesional bukan demi proyek sesaat.
Memang banyak kendala dalam merumuskan satu persoalan untuk semua daerah kabupaten/kota se-Indonesia. Salah satunya, kuantitas begitu banyak penduduk Indonesia. Dua ratus juta orang, tesebar di sekian ribu pulau, terpisah oleh lautan-lautan luas, selalu memberi segudang dalih untuk mengesahkan kebijakan uji coba, selaku conditio sine qua non agar efektif penanganan suatu persoalan.
Akhirnya, pemerintah pusat maupun daerah dituntut ketegasan untuk menindak tegas proyek-proyek di bidang pemeliharaan lingkungan yang tidak jelas visi maupun implementasi program-programnya. Sebab, penanganan yang asal-asalan ibarat bom waktu yang akan menghancurkan keseimbangan ekologis. Alam Indonesia hancur berantakan karena proyek-proyek siluman yang terus bergentayang di mana-mana. Hak kelola hutan menjadi hak tebang, hak kelola sampah menjadi ajang bagi-bagi uang proyek di luar DAU maupun DAK dan hak pakai pulau menjadi ladang menyelundup sampah-sampah kimiawi dari luar negeri.
Pendidikan kecerdasan lingkungan adalah bagian integral dari membangun negara demokratis. Sebab, bangsa mana saja di bawah kolong langit ini mendiami sebuah wilayah (darat, udara dan atau laut). Pelanggaran terhadap keseimbangan ekologis merupakan sebuah tindakan melawan nilai-nilai demokrasi. Kita berharap anak bangsa yang konsisten mengelola sampah dengan tujuan mulia demi keseimbangan ekologis masih mendapat tempat di bumi Indonesia. Semoga.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More

Sabtu, April 08, 2006

Beny Uleander

Kerja Keras Dan Baca Peluang

Besarnya modal dan tingginya tingkat pendidikan tidak menjadi ukuran dalam berwirausaha. Keberhasilan dan kesuksesan dalam wirausaha sangat ditentukan oleh kerja keras dan kemampuan untuk melihat peluang dan tantangan yang ada. Untuk menjalankan usaha, modal utama adalah kualitas pribadi yang tinggi. Benarlah apa yang dikatakan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan legendaris dan aktor perubahan sosial Jepang. “Jika engkau seorang yang berkemampuan tinggi, jadilah seorang pedagang, tetapi jika engkau seorang yang setengah-setengah jadilah pegawai biasa.’’ Kata-kata Shibusawa ini perlu dicermati oleh setiap orang yang ingin memulai wirausaha, karena kualitas individulah yang akan menentukan usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak.
Di mata pengusaha jamu asal Bali, Dr Ir G.N. Wididana, M.Agr, kesuksesan suatu usaha bukanlah hal yang mudah, melainkan harus diperjuangkan dengan mata dan hati yang bersih, pikiran yang jernih dan semangat yang tak pernah padam. “Inilah modal dasar, agar usaha yang dijalankan tetap bertahan, sekalipun diterpa berbagai tantangan dan godaan, baik secara internal maupun secara eksternal,” urai Wididana di hadapan 40-an peserta pengusaha komputer yang tergabung dalam Assosiasi Perusahan Komputer Indonesia, di Hotel Nikki, Denpasar, Sabtu, (8/4/2006).
Menurutnya ada lima kunci utama agar wirausaha tetap bertahan di masa krisis yaitu fokus, produk yang dihasilkan, citra atau merk, pemasaran, dan SDM. Fokus akan kelihatan dalam keketapan hati, ketekunan, kesabaran dalam menjalankan wirausaha. Tindakan ini harus dimbangi dengan kekuatan doa, perumusan visi misi yang tepat sasar dan diwujudkan dalam aksi nyata. Aksi nyata ini akan menghasilkan produk tertentu entah berupa barang atau jasa. Produk yang dihasilkan harus memperhatikan kualitas, kuantitas, kontinuitas, diversifikasi, inovasi dan pengembangan. Citra atau merk produk yang dihasilkan juga perlu mendapat perhatian yang serius. Kekuatan citra atau merk akan mempengaruhi pasar. Kekuatan citra hanya bisa dibangun dengan komitmen yang teguh, manajemen merk, informasi dan jaringan. Semakin citra itu dibangun, maka kredibilitas dan image konsumen dan masyarakat pada umumnya terhadap produk tersebut akan semakin besar dan kuat, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi pasar.
Dalam suatu usaha, pemasaran menduduki posisi yang penting. Bila pemasaran tidak berjalan, maka semua produk yang dihasilkan akan mubazir dan masuk sampah. Pemasaran sangat menentukan eksistensi dan keuntungan suatu usaha. Pemasaran harus didukung sistem yang benar, jaringan dan informasi yang luas, dan ditangani oleh team pemasaran yang solid dengan SDM yang berkualitas. Kualitas SDM akan menentukan apakah usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak. Ada berbagai cara untuk meningkatkan kualitas SDM antara lain, motivasi, pendidikan dan latihan, kontrol, perbaikan, regenerasi. Peningkatan kualitas SDM ditandai dengan promosi, demosi, mutasi dan didukung oleh sistem penggajian, insentif dan bonus. Bila lima kunci utama ini diperhatikan secara serius maka usaha tersebut akan tetap bertahan sekalipun dilanda oleh berbagai krisis yang terjadi. Mudah-mudahan.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Read More

Selasa, Maret 28, 2006

Beny Uleander

Potret Realitas & Impian Sidik Jari

Jati Diri Museum Dalam Jejak Cap Jempol
Istilah sidik jari selalu identik dengan cap jempol untuk urusan pembuatan KTP, SIM dan persoalan kriminal dan kejahatan. Istilah ini akan berubah bila orang berkunjung ke Museum Sidik Jari di Jl Hayam Wuruk 175, Denpasar. Museum milik Ngurah Gede Pemecutan ini memajang berbagai ukuran lukisan sidik jari yang dikerjakan dengan sentuhan ujung jari tangannya sendiri.
Dengan sentuhan warna yang ingin ditampilkan, Ngurah, demikian sapaan pria asal Puri Pemecutan, Denpasar ini, mulai ‘menjempol’ kanvas atau kertas. Hasil sentuhan tersebut akan meninggalkan bekas-bekas guratan layaknya cap sidik jari. Itulah sebabnya, hasil lukisannya disebut lukisan sidik jari (pointilisme).
Gaya lukisan ini sebenarnya sama dengan aliran pointilisme barat, yang melukis hanya menggunakan sidik jari atau ujung jari tangan. Setiap lukisan sidik jari dari berbagai aliran mesti memiliki ciri, karakter dan pesan berbeda. Kesamaannya terletak pada pengerjaan dengan menggunakan sidik jari atau ujung jari tangan. Fungsi kuas dipakai saat proses pewarnaan dasar kanvas atau kertas.
Bagi pengunjung baru, sepintas akan kelihatan bahwa lukisan itu sudah jadi, lalu baru diberi titik-titik sidik jari. Semua dilukis dengan menggunakan sidik jari, baik yang kelihatan berupa garis maupun bentuk. Beda antara jauh dekat, cembung cekung hanya menggunakan permainan warna cerah dan gelap secara kontras.
Selaku pemilik museum, Ngurah Gede Pemecutan tentunya memiliki sejarah panjang penemuan jati diri lukisan sidik jari. Awalnya, Ngurah muda menapak karir sebagai pelukis biasa dengan menggunakan kuas. Suatu saat di awal tahun 1967, ada sebuah lukisan berjudul Tari Baris yang gagal diselesaikannya. ‘’Kegagalan ini membuat perasaan jengkel, marah, tidak senang. Karena perasaan ini muncul seketika, maka lukisan yang belum selesai tersebut diaduk-aduk dengan jari yang diberi cat warna,’’ kata seniman yang belajar melukis sejak duduk di bangku SD ini.
Ketika lukisan tersebut diperhatikan, ternyata punya efek, kesan yang indah dan memuaskan perasaan. Saat itulah timbul suatu pikiran dan niat bahwa kalau seandainya suatu lukisan seluruhnya hanya dikerjakan dengan sentuhan ujung jari pasti akan menjadi suatu lukisan yang indah dan luar biasa. Sejak itulah, perlahan-lahan penggunaan kuas dikurangi dan akhirnya tidak dipakai sama sekali. Hingga kini, Lukisan Sidik Jari menjadi jati diri museum itu.
KPO/EDISI 101 MARET 2006
Read More
Beny Uleander

Tawa Satu Dunia, Tangis Sendirian

”Ketika anda tertawa maka dunia dan segala isinya akan ikut tertawa bersamamu. Tetapi ketika anda menangis, maka anda akan menangis sendirian, karena dunia dan segala isinya akan menertawakan tangisan anda.” (Pepatah China).
Tertawa suatu sikap alami yang secara kodrati banyak ditinggalkan manusia akibat terlindas rutinitas. Padahal, tertawa bisa menjadi solusi untuk menyingkirkan efek-efek negatif stress yang menjadi pembunuh nomor satu dewasa ini. Lebih dari 70% penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kecemasan, depresi, insomnia, sakit kepala, sistem kekebalan tubuh dan bahkan kanker berkaitan dengan stress.
Terapi tertawa merupakan salah satu cara untuk menanggulangi stress dalam hidup dengan cara tertawa secara alami. “Tertawa alami adalah tertawa yang datang dengan sendirinya dari dalam diri tanpa bantuan atau rangsangan dari luar seperti lelucon, lawakan, atau nonton dagelan lainnya,” ungkap Adolfina Grace Tangkudung, pendiri klub tertawan di Bali.
Dalam penelitian Dr Micheal Titze, seorang psikolog Jerman (sekitar 1950), manusia biasa tertawa 18 menit sehari, tetapi dewasa ini tidak lebih dari enam menit per hari. Anak-anak tertawa hingga 300-400 kali sehari dan frekwensi turun hingga 15 kali sehari kala seseorang sudah tumbuh dewasa. Tertawa bermanfaat sebagai penangkal stress yang paling mudah dan murah sekaligus cara terbaik untuk mengendurkan otot, memperlebar pembuluh darah dan mengirim darah ke semua otot di seluruh tubuh. Tertawa juga tergolong bentuk meditasi dinamis atau relaksaksi. Saat di mana orang tertawa adalah saat di mana orang mengekspresikan kebahagiaan dengan tanpa syarat. Alasannya, saat tertawa, seluruh kemampuan nalar dan logika tidak berlaku. Pada saat tertawa lepas, kondisi otak manusia berada pada gelombang alfa zero mind. Inderanya secara alami dan spontan bersatu dalam saat yang selaras untuk memberikan suka cita, damai dan relaksasi.
Tawa juga berperan dalam menjaga kekebalan tubuh. Para psikoneuroimunolog mengatakan, semua emosi negatif seperti kecemasan, depresi (kemarahan) akan memperlemah sistem kekebalan tubuh. Di sisi lain, Dr Lee S Berk dari Universitas Loma Linda, California AS menyatakan, tertawa bisa meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan meningkatkan tingkat antibodi. Tertawa juga menjadi latihan aerobik terbaik tanpa sepatu dan pakaian khusus.
Menurut Dr William Fry dari Universitas Stanford, satu menit tertawa sebanding dengan 10 menit latihan mendayung. Berkaitan dengan penyakit jantung, tertawa memperbaiki sirkulasi darah dan pasokan oksigen ke otot-otot jantung yang mengurangi terjadinya penggumpalan, di samping menaikkan tingkat endorphin dalam tubuh yang merupakan penghilang rasa sakit. Yang paling menarik, tertawa mampu mengurangi bronkitis dan asma, karena saat tertawa seseorang mampu meningkatkan kapasitas paru-paru dan tingkat oksigen dalam darah.
KPO/EDISI 101 MARET 2006
Read More
Beny Uleander

Tawa Global

Deru gesek konflik global kian keras meruncing memekakkan gendang telinga makhluk di muka bumi ini. Hampir tiap sisi kehidupan menjadi akar perpecahan. Masih dan akan terus hangat bagaimana ketegangan George W. Bush sebagai pion negara adikuasa dengan Osama bin Laden sebagai sosok yang dicitrakan penghancur dunia. Bagaimana pula dengan kategorisasi Timur dan Barat yang menjadi identitas kemakmuran. Belum lagi perbedaan warna kulit yang tetap menjadi momok perselisihan di lapangan sepak bola hingga sekarang.
Sungguh mengerikan wajah bumi ini. Seakan Tuhan sengaja melahirkan kerusakan dan permusuhan dengan menciptakan makhluk yang berbeda-beda. Padahal perbedaan bukan untuk menjadi simbol dan identitas, tetapi lebih sebagai lahan kreatifitas Tuhan yang menginginkan makhluk-Nya memiliki keluasan hati dalam mengagumi ciptaan-Nya.
Sebagai bentuk imanen dan kepanjangan transenden, kasih sayang, persaudaraan, persahabatan dan keharmonisan seyogyanya menjadi dasar perilaku sosial dan interaksi di dalamnya. Sekat-sekat lokalitas berbasis suku, ras budaya kelas sosial dan agama hendaknya tidak menghalangi perdamaian universal yang hakiki.
Tertawa sebagai jelmaan bentuk ekspresi kemanusiaan yang lahir dari panggung ziarah imanen telah banyak ditinggalkan. Hidup terasa mencekam, kelam dan tidak variatif. Padahal tawa adalah salah satu peruntuh sekat yang menghinggapi setiap manusia. Dengan tertawa, manusia akan selalu merasa hidup dan memiliki kehidupan tanpa batas. Ketika tawa muncul secara massif, maka kebahagiaan dan keharmonisan lahir tanpa memandang identitas individu atau kelompok.
Keprihatian ini mencuri perhatian Dr Madan Kataria, seorang dokter yang lahir dari keluarga petani di India. Ia menciptakan sebuah klub tawa pada 13 Maret 1995 di sebuah taman umum di Bombay, India dengan lima orang anggota. Dari klub mini yang kemudian berkembang menjadi ribuan dan tersebar di seluruh penjuru dunia, ia merasakan manfaat luar biasa dari tertawa yang saat ini mulai hilang dari sisi behaviouritas manusia.
Madan menilai, saat ini manusia cenderung melupakan tawa sebagai ‘Kebijaksanaan Illahi’. Hal itu menyebabkan manusia terlelap dalam arus kehidupan yang tidak menentu dan mengikis rasa kasih sayang, persaudaraan dan perdamaian serta kerap melahirkan kekerasan horizontal.
Ketika tawa dianggap sebagai anugerah Tuhan yang dimiliki setiap manusia, maka secara eksplisit muncul iman dari dalam nurani. Dan ketika iman mencuat, maka segala bentuk sekat sosial yang membedakan individu akan lebur dan terganti oleh sebuah keharmonisan yang bernafaskan persamaan. Karena, menurut Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, kedudukan manusia dibangun berdasarkan hubungannya denganTuhan, sedangkan persaudaraan antar manusia dibangun atas landasan iman. Dengan kata lain, tawa memiliki potensi disketsa menjadi obor perdamaian.
Meleburnya sekat lokalitas dicontohkan ketika imperium Kristen-Romawi tidak saja menyatukan Eropa, tetapi juga masyarakat lain dengan latar budaya sangat berbeda. Bangsa-bangsa di wilayah Afrika Utara tetap disebut orang Romawi meskipun mereka mendiami Eropa Barat dan Selatan.
Dalam konteks masyarakat tradisional atau bahkan dalam transisi menuju masyarakat modern dan pascamodern, persaudaraan berdasarkan iman merupakan terobosan besar yang berhasil membongkar tembok pembatas. Bisa terlihat ketika pemuatan kartun Nabi Muhammad oleh salah satu media massa Denmark yang mengundang reaksi dari seluruh penjuru dunia.
Tawa dapat menjadi spirit pemersatu dunia. Karena tiap manusia diberi kemampuan untuk tertawa tanpa batasan apapun. Tidak terbayangkan jika Bush, Osama dan Saddam Hussein duduk bersama sembari tertawa bebas tanpa melihat ras, budaya maupun warna kulit. Damailah dunia ini.
Sudah saatnya kita membentuk sebuah telogi sosial baru, yaitu agama tawa. Dikatakan teologi, karena tawa merupakan karunia Tuhan yang sangat berharga dan berimplikasi sosial secara luas. Teologi tidak melulu berobyek agama, tapi lebih dari sebuah spirit untuk menciptakan sebuah tatanan global yang tenteram, aman, rukun dan sejahtera tanpa rasa takut oleh perbedaan. Jangan sampai kita terjebak dalam perilaku yang mengatasnamakan Tuhan dan menghancurkan sesama. Haruskah darah manusia terus tececer demi kekudusan Tuhan. Benarkah Tuhan memerlukan sikap brutal penganutnya dan jejeran mayat korban kekerasan demi kemulian-Nya? Saatnya kita meletakkan nilai-nilai humaniora tanpa dibalut dengan tafsiran agama maupun mazhab yang lahir dan tumbuh dalam suatu konteks kultur sosial.
Fenomena berkembang pesatnya klub-klub tawa di berbagai belahan dunia seperti di India, AS, Inggris, Australia, Jerman, Perancis, Italia, Swiss, Norwegia, Swedia, Denmark Singapura, Malaysia dan Dubai menjadi suatu realitas sosial yang perlu didukung keberadaannya. Sebab tertawa sebuah ekspresi kebahagiaan batin yang bisa dilakukan secara bersama tanpa memandang sekat budaya, perbedaan warna kulit ataupun keyakinan agama. Di tikungan reflektif ini, kita mengami bahwa tawa adalah personifikasi nilai-nilai kemanusiaan yang bisa hidup sejalan dengan nilai-nilai keabadiaan yang diusung setiap agama di bawah kolong langit ini. Mari kita tertawa secara alami mulai dari diri sendiri agar bisa melihat sesama sebagai saudara yang seudara. Semoga.
KPO/EDISI 101 MARET 2006
Read More
Beny Uleander

Tertawa Sebagai Obor Perdamaian Dunia

Kompetisi teknologi perang saat ini, kian memperuncing hubungan antar negara yang pernah terkoyak selama Perang Dunia I dan II. Fenomena tersebut diperpuruk dengan ketidakharmonisan antara Timur dan Barat, justru sangat potensial untuk melecut lagi perang. Tidak adakah cela lain, selain perang. Mungkinkah power tawa dan senyum bisa mencairkan suasana hati para petinggi yang sedang memegang tampuk komando? Ya, semua tetap diselimuti teka-teki. Tapi realita di simpang situasi yang tak menentu, bisa saja berujung dengan dan dalam tawa serta senyum, jika semua nurani para desision maker tersemai benih tertawa dan atau minimal tersenyum.
Siang itu, 11 Januari 1998. Lapangan yang biasa dijadikan arena pacuan kuda di Mahalaxmi, Mumbai, India sontak berbeda. Tidak ada suara derap kaki kuda yang terdengar dengan sambutan aplaus meriah. Suasana tampak sangat berbeda. Pun tidak ada erangan orang-orang yang kalah dan tawa ceria dari para pemenang lomba pacuan kuda. Yang terdengar justru gema tawa ria penuh bahagia yang menghiasi setiap raut muka ribuan orang dari berbagai penjuru India. Mereka berpakaian serba putih dengan topi berlogo TAWA dan memegang spanduk warna-warni menyunggingkan senyum seakan menyapa hamparan laut Arab di Worli Seaface.
Itulah perayaan hari tawa sedunia pertama yang dihadiri lebih dari 12.700 anggota yang terhimpun dari ragam Klub Tawa se-India. Dengan mengusung aneka plakat tertulis Perdamaian Dunia Melalui Tawa, Bergabunglah Dengan Klub Tawa, Gratis, dan sebagainya, mereka menyerukan Pawai Perdamaian sepanjang 4 km. Semua peserta penuh semangat menyampaikan pesan ke seantero dunia bahwa tawa bisa mencerahkan pikiran, meningkatkan semangat, memperbaiki kesehatan, menambah kesejahteraan, mendekatkan dan menyatukan setiap insan manusia.
Klub Tawa yang dirintis Madan Kataria, 13 Maret 1995 di sebuah taman kota Mumbai (Bombay) India, awalnya cuma lima orang anggota. Tidak diduga, hingga kini, gema klub tawa ini sudah menjadi sebuah gerakan damai yang pantas dilakukan hingga ke ujung-ujung dunia. Lebih dari 800 klub tersebar di seluruh penjuru dunia seperti India, AS, Australia, Jerman, Swedia, Norwegian, Denmark, Italia, Singapura dan Dubai.
Perayaan Hari Tawa pun terus digelar setiap tahun. Adalah Jan Thygesen Poulsen, seorang pemuda dinamis dari Copenhagen berinisiatif merayakan hari Tawa sedunia pada Januari 2000. Ia pun berhasil mencetak sejarah tawa dengan mengumpulkan hampir 10.000 orang di Town Hall Square, 9 Januari 2000. Kendati cuaca dingin, ribuan orang datang dan terhanyut dalam sesi tawa. Tidak heran bila peristiwa tersebut dicatat sebagai sebuah momen yang pantas diabadikan dalam Rekor Guiness Book.
Karena kondisi udara yang sangat dingin di sebagian besar negara Barat pada Januari, Klub Tawa Internasional memutuskan Minggu pertama bulan Mei sebagai Hari Tawa Sedunia (WLD: World Laughter Day). Pada tahun 2001, Hari Tawa Sedunia dirayakan di seluruh dunia. Di Bangalore, hampir 2000 orang berkumpul dekat gedung Pengadilan Tinggi. Di Puna, 800 anggota klub tawa gelar pawai sambil membawa spanduk Perdamaian Dunia bernada dasar tertawa.
Adapun di Baroda, India, perayaan Hari Tawa melibatkan 125 polisi bersama 100 anggota Klub Tawa lokal atas inisiatif Keshaf Kumar, Superintenden Polisi di Baroda. Di Copenhagen, Denmark, lebih dari 5000 orang berkumpul di Town Hall Square merayakan Hari Tawa sedunia. Hal serupa terjadi di New York, AS yang dihadiri 200 orang dari segala umur, suku, ras dan kebangsaan. Sementara di Berlin, Jerman, lebih dari 4000 orang berkumpul untuk merayakan Hari Tawa itu. Jika Klub Tawa bisa dibentuk di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, bisa saja rajutan hati yang penuh iri, curiga, tegang, dengki, dongkol dan terkesan terus saling menyalahkan, bisa berubah menjadi suasana yang penuh persaudaraan dan persatuan. Tertawa melahirkan perdamaian.
KPO/EDISI 101 MARET 2006
Read More
Beny Uleander

Sebar Tawa Global, Tebar Wabah Bahagia

Resensi Buku
Judul : Laugh For No Reason (Terapi Tertawa)
Penulis : Dr Madan Katarina
Alih Bahasa : A Wiratno
Diterjemahkan & Diterbitkan: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit Perdana : 1999
Tebal : x + 278 + 29 bab

Saat ini banyak media massa, khususnya televisi, menyajikan acara hiburan yang mengocok perut. Dengan menghadirkan bintang komedi nasional, media mencoba memberikan hiburan bagi rakyat bangsa ini yang tengah ditempa beragam kesulitan. Tiap kali bintang komedi beraksi, tidak dapat ditahan gelak tawa pun keluar. Suasana pun berubah menjadi ceria seketika. Beban hidup seakan hilang entah ke mana.
Tawa yang memiliki banyak manfaat, seakan tersingkir oleh rutinitas keseharian manusia. Buku ini mencoba mengeksplorasi manfaat tawa yang saat ini banyak dilupakan banyak orang, sekaligus sebagai alternatif meningkatkan sistem imunitas agar terhindar dari berbagai penyakit. Gerakan tawa dalam pandangan, penulis Dr Madan Kataria –Guru Tertawa asal Mumbai, India- adalah sebuah ‘Kebijaksanaan Ilahi’ yang diterima setiap manusia. Oleh sebab itu, anugerah ini hendaknya dimanfaatkan dengan baik agar mampu mengambil manfaat yang dikandungnya. Tidak jarang orang-orang di kota-kota besar berusaha menahan tawa mereka untuk menjaga penampilan dan wibawa diri di hadapan orang lain. Sehingga mereka kehilangan manfaat dari tertawa.
Namun, samakah tawa dengan humor? Menurut Madan, tawa dan humor berjalan bersama, keduanya tidak dapat dipisahkan. Humor lebih halus dan merupakan kesadaran dan kemampuan seseorang untuk melihat sesuatu dengan cara yang lucu. Sedangkan tawa adalah salah satu ungkapan humor. Tawa dan humor memiliki hubungan kausalitas, humor adalah sebab dan tawa adalah akibatnya yang membawa perubahan fisiologis dan biokimia dalam tubuh (h.131).
Madan lebih menekankan tawa tanpa rangsangan humor, karena humor merupakan fenomena yang menuntut pemikiran dan kecerdasan. Sehingga tidak aneh, jika banyak orang mengaku tidak memiliki selera humor yang tinggi. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa banyak tertawa karena tidak memiliki rasa humor.
Lelucon tidak membuat kita tertawa sepanjang hari dan rasa humor tidak dimiliki setiap orang. Lantas, bagaimana cara membuat kita tertawa? Madan telah mengembangkan teknik baru membuat tertawa, yaitu tawa berdasarkan yoga (Hasya Yoga). Yaitu dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya seraya mengucapkan Ho-Ho, Ha-Ha dengan diikuti berbagai teknik merangsang tawa, seperti tawa bersemangat, tawa hening, tawa menengah, tawa singa dan sebagainya. Hal ini dilakukan setiap hari selama 15-20 menit dan terbukti dapat merangsang tawa tanpa mengunakan lelucon. Dengan tawa, hidup kita menjadi lebih indah, ceria dan terhindar dari sifat pemarah yang hanya menjerumuskan kita dalam sikap emosional dan tidak terkontrol. Selain itu, hubungan interpersonal pun lebih harmonis dan akrab dengan tertawa. Mulailah tertawa hooo..hooo…hooo, hiii.. hiii dan haaa…haaa!
KPO/EDISI 101 MARET 2006
Read More

Senin, Maret 20, 2006

Beny Uleander

Fanatisme Penggemar Harley Davidson


PENDULUM: Jogya Bike Rendesvous (JBR) 2006 yang berlangsung di Hall Jogya Expo Centre (JEC), selama tiga hari, 17-19 Maret 2006 lalu merupakan moment otomotif yang perlu dipublikasikan. Fenomena fanatisme penggemar harleymania dan mogemania mendapat catatan penting. Klub-klub bikers ‘didikan’ negeri Paman Sam, Amerika penuh dengan noda hitam perseteruan antara gengster. Bikers Indonesia ‘didikan’ pensiunan militer dan polri tampil lebih modis dan santun sebagai duta pariwisata, kolektor sejati motor lawas, dan mengembangkan kesadaran humanis maupun ekologis lewat serangkaian turing dan kegiatan sosial kemanusiaan. 

Kisah Kawan Setia & Isteri Kedua
OLEH: BENNY ULENDER

Kesan kemewahan dan glamoritas memang lengket erat menyertai eksistensi Harley Davidson (HD). Motor besar dengan kapasitas silinder rata-rata 100 cu.in (1000 cc ke atas) ciptaan William Harley dan Arthur Davidson di Milwaukee, Winsconsin, AS pada tahun 1903 bukan sekedar kuda besi yang dirancang untuk melahap tanjakan Milwaukee. Jika sepeda motor Jepang berorientasi pada manfaat fungsional (functional benefit), HD lebih mengunggulkan manfaat emosional dan ekpresi diri (emotional and self expressive benefit). Itulah karakter sosial yang dihidupi kaum Harleymania dan mogemania (sebutan untuk penggemar fanatik HD dan motor gede). HD pun menjelma menjadi kawan setia maupun isteri kedua yang paling dimanjakan para biker. 
Rata-rata pemilik HD (bikers) adalah kelompok sosial dengan tingkat pendapatan menengah ke atas. Bikers yang meramaikan JBR 2006 dari kalangan komisaris, direktur, mantan pejabat militer, kalangan profesional, eksekutif muda, banker, pengusaha kelas atas, public figur, seperti selebritis bahkan tokoh eksekutif puncak seperti gubernur, bupati atau walikota. Mereka mengaku benar-benar dapat menikmati asyiknya bermotor setelah berada di atas sadel Harley. 
Menilik segala sisi kehidupan bikers dan deskripsi transparan kehidupan mereka bukan hanya kesan eksklusif juga jati diri yang sangar, rambut kadang dibiarkan panjang atau dicukur botak, badan tegap, berotot dihiasi tato di lengan kiri dan kanan. Di tingkat internasional, perintis fanatisme HD dipelopori bekas pilot skuadron tempur PD I, pedagang obat bius hingga pribadi yang bangga disemat predikat antihukum. Ingat nama Hell's Angels Motorcycle Club terbentuk di San Bernandino, California, AS tahun 1948. Ada literatur yang menyebutkan bahwa cikal bakal kelompok ini adalah klub Pissed Off Bastards yang ada di Fontana, California.
Hell's Angels terkenal ke seantero jagat (ada 100 chapter di seluruh dunia dan sepertiganya di Amerika Serikat). Namun sekaligus sangat misterius. Baru Ralph ''Sonny'' Barger, lewat buku berjudul Hell's Angel, yang bisa menceritakan sepak terjang mereka. Yang membuat bulu kuduk merinding, 'Hell's Angels adalah sekumpulan laki-laki yang bersedia mati untuk teman-temannya apa pun taruhannya. Mereka menjadi dalang berbagai kerusuhan di stadion olahraga maupun saat konser musik Rolling Stones, November 1969. Merekalah yang menjadi pionir modifikasi Harley-Davidson menjadi motor-motor seram.
Ada Outlaws yaitu kaum bikers yang mengusung moto: God Forgives, Outlaws Don’t. Artinya, Tuhan mau memaafkan, tetapi mereka tidak. Itulah bikers antihukum di Florida dan Carolina Utara, AS, pada tahun 1974-1984 membunuh 80 orang dengan motif yang tidak jelas. The Pagan adalah kelompok bikers yang mengklaim diri sebagai penganut setan pada tahun 1950-an. Pemimpinnya dijuluki ‘Satan’. Mereka menjadi bikers yang ditakuti dan hidup nomaden di New York alias memiliki markas yang berpindah-pindah. Tahun 1970, putra Satan yaitu Vernom ‘Satan’ Marron ‘naik tahta’. Marron sangat agresif yang membangun kesetiaan di antara anggota dengan menebar rasa takut. Anggota yang berkhianat dibenamkan hingga tewas di dalam drum oli. 
Di Houston, Amerika pada Maret 1966, diproklamasikan kelompok bikers Bandidos dipimpin Donald Eugene Chambers yang berambisi melumat hegemoni Hells Angels, Outlaws dan Pagans. Simbol perlawanan dilambangkan dalam karikatur kobi Meksiko gendut memegang golok dan pistol sebagai sindiran bahwa anggotanya tidak boleh lamban. Memasuki tahun 1970, Bandidos dalam waktu singkat berkembang merajalela di Amerika meliputi Texas sampai Lousiana dengan markas besar di Corpus Chisti, ujung Selatan Amerika. Unik, tahun 1978, Bandidos bekerja sama dengan Outlaws. Tujuannya jelas untuk memperkokoh jaringan perdagangan obat bius, senjata, prostitusi hingga diskotek. 
Jauh sebelumnya, tahun 1938, sudah ada even balap motor dan lomba ketangkasan bermotor, dengan peserta 19 pembalap di track sepanjang ½ mil di Sturgis, sebuah kota di Selatan Dakota, AS. JC ‘Pappy’ Hoel menjadi perintis Sturgis Bike Week (SBW), yang Agustus nanti genap 68 tahun. Atraksi adu jangkrik motor dengan mobil dihelat dengan hadiah US $ 500. Dari tahun ke tahun, peserta dan pengunjung pun bertambah. Even Sturgis yang kembali dihelat seusai perang dunia II, pada tahun 1965, tercatat 1000-an biker, meningkat jadi 10 ribu biker di tahun 1980-an, lalu bertengger di angka 633 ribu di ulang tahun ke-60. Fakta itu, dicatat sebagai pesta rally terbesar yang pernah digelar di bawah kolong langit ini. Berada di Sturgis ibarat Anda sudah sedang berada di surganya dunia motor. (MONTORKU, Edisi XIX). 
Patut diakui klub moge dan harleymania yang tumbuh dan berkembang di Amerika erat dengan kehidupan liar para gangster. Meski begitu HD menjadi ikon sukses produk Amerika yang dicintai beragam penduduk dunia. Bagaimana pertumbuhan club HD di Indonesia? Menurut perkiraan, di seluruh Indonesia kini ada sekitar 10.000 unit motor Harley-Davidson dari berbagai tipe. Penjualan HD di Indonesia sampai tahun 2003 saja bisa menembus angka 1.000 unit atau rata-rata 200 unit per tahun. HD diimpor dalam bentuk CKD (Complete Knock Down) dari AS melalui Singapura. Harganya akan lebih mahal bila dipesan dalam bentuk CBU (Complete Build Up) karena terkena pajak barang mewah sebesar 75%. Tipe terbaru yang ada di negeri ini diperkirakan hanya 500 unit, selebihnya motor Harley tua dan hasil modifikasi bercorak stock custom, custom, full custom, , chopper, extrem chopper, hard core, psycodelic, rat bike atau resto classic.
Harga HD baru maupun klasik, menurut ‘pemburu’ HD asal Belanda yang berdomisili di Bogor, Mr Thijs Roosjen Sweek (49), relatif sama di atas Rp 150-an juta. 
Menurut Sweek, jenis HD favorit Sportster Sport, Touring, VRSCA V-ROD, Dyna Glide, Fat Boy dan Heritage Springer Softail yang digemari para mantan pejabat militer. Berat motor bervariasi dari 230 kg sampai 377 kg. Sportster Sport yang ramping dengan sadel tunggal cocok bagi pemula atau ladies bikers. Harganya pun tergolong paling murah yakni Rp 157 juta dengan kapasitas mesin 883 cc. Model Touring FLHTC Electra Glide Classic ideal bagi kendaraan keluarga dengan kapasitas mesin 1450 cc dihargai Rp 340-an juta. Untuk model VRSCA V-ROD dengan kapasitas mesin 1130 cc mencapai Rp 367 juta. 

Dirintis Pensiunan Militer
Pada periode PD II (1940-1945), armada militer AS dan sekutunya di daratan Asia termasuk Indonesia menggunakan HD sebagai kendaraan operasi. Pada periode perang revolusi, Pemerintah Indonesia pun ikut-ikutan memborong HD untuk memperkuat sarana operasi militer dan kepolisian. Usai perang, banyak veteran perang,pensiunan militer dan polisi yang kepincut performa motor itu, dan ingin mengembalikan romantisme. Pada tahun 1958 bermunculan penggemar Harley-Davidson ex Perang Dunia II, yang kepemilikannya melalui Dum AD,AU dan Kepolisian. Saat itu pada umumnya pemilik H-D adalah pensiunan ABRI dan sedikit masyarakat sipil. Dari kalangan pensiunan militer inilah mulai bertumbuh klub-klub moge di Indonesia
Sebelum terbentuk HOG (Harley Owners Group) Jakarta Chapter pada 29/9/1998 oleh HD Motor Company Internasional, sudah ada klub-klub penggemar fanatik HD. Ikatan Harley Cirebon ( IHC ) didirikan pada 20 Mei 1958. Harley Club Bandung ( HCB ) didirikan 1960, Harley Club Djakarta ( HCD ) dibentuk 1963, lalu menyusul Harley Club Tasikmalaya ( HCT ), Harley Davison Club Bogor (HDCB), Harley Club Sukabumi ( HCS ) dan terus menyebar.
Seluruh pengda/klub se-Indonesia dalam pertemuan di Jakarta 23 – 27 Mei 1990 sepakat meleburkan diri dengan nama Harley Davidson Club Indonesia (HDCI). Ketua pertama Kol.Pol. Suherman dan Sekjen Indro Warkop. Lalu ada biker Hell Driver yang berbau sport dengan nama Ikatan Sport Harley-Davidson (ISHD) pada tahun 1968. Pada akhir April 2003, ISHD membuat atraksi heboh saat ultah MACI Lampung, yakni membawa 21 penumpang di atas HD WLA tua sehingga tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Klub menjadi tempat para bikers berbagai pengetahuan maupun informasi soal perawatan, ajang temu kangen, saat refreshing, dan saling memperat tali persaudaraan lewat turing bersama, kegiatan bakti sosial. Jadi jangan berprasangka bikers tanah air itu serem, tidak berprikemanusiaan atau kehidupannya ‘penuh kabut hitam’. (Beny Uleander/KPO EDISI 103 APRIL 2006)

Read More