Senin, Mei 15, 2006

Beny Uleander

Harta Karun Dari Laut

Laut adalah sawah ladang yang tak terkira nilainya. Bayangkan saja, tanpa harus mencangkul sekuat tenaga ataukah mengolahnya repot-repot, kita tinggal menuai hasilnya. Kapan saja dan sesuka hati. Hasil laut memang tak didera paceklik, apalagi krisis yang selalu menghambat laju perekonomian. Bentangan keindahan taman laut nan memukau dan gulungan ombak yang eksotik menjadi magnet wisata bahari dan wisata tirta yang menggoda para pelancong mancabenua. Bisakah rakyat negari ini menjadikan laut sebagai fondasi pembangunan Indonesia masa depan?
Konsep wisata bahari menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, Yaqqub Abidin perlu ditopang dengan berbagai aktivitas wisata laut seperti menyelam, memancing, berenang, hotel atau restauran terapung yang didukung oleh ekosistim yang memiliki produktivitas hayati yang cukup tinggi seperti terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan hutan mangrove.
Selain pendapatan masyarakat meningkat, devisa negara pun turut terdongkrak. Secara tidak langsung, ekosistem laut pun akan terjaga dengan apik. Memang ini semua impian ideal yang bisa diwujudkan. Sebuah konsep bermakna ketika mampu diimplementasikan menjadi serpihan kebijakan lapangan yang membuahkan hasil. Sekalipun, hasil yang ditorehkan masih seumur jagung. Fakta di lapangan menyisakan rajutan keprihatinan dan balutan duka. Banyak terumbu karang yang hancur luluh lantak oleh aksi bom ikan nelayan-nelayan Indonesia yang ingin dapat hasil tangkapan secara mudah. Padahal pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang membutuhkan waktu puluhan tahun.
Gerakan masuk laut (Gemala) yang digalakkan pemerintah di tingkat lokal selama ini melulu menjadi program ‘ngetrend’ pejabat tertentu. Sesudah itu Gemala tinggal kenangan dan tersimpan rapi di kantor arsip daerah. Maaf, lengkap dengan coretan proposal semesteran. Alhasil, upaya membangun kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pemeliharaan laut sebagai sumber andalan masa depan masih jauh panggang dari api.
Padahal di tataran Internasional, Indonesia dikenal sebagai negeri maritim. Jauh sebelumnya, berabad-abad silam,
hamparan keindahan pulau-pulau Nusantara yang dipisahkan ratusan selat mengundang decak kagum para pengelana asing untuk menyambanginya. Elok kemilau mutiara timur yang dipersembahkan dari laut Nusantara menjadi buah bibir para pelaut, saudagar dan kaum cerdik cendekia di bandar-bandar pelabuhan. Merekapun menyiarkan cerita tentang negeri gemah ripah loh jinawi ini di negeri asal mereka.
Pertanyaan reflektif terlontar bagaimana konsep pemberdayaan potensi kelautan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat? Sudah turun-temurun anak bangsa menyandang predikat sebagai anak cucu pelaut. Sudah ribuan penduduk yang menetapkan laut sebagai ladang mereka mencari penghasilan. Sudahkah rakyat (baca: masyarakat nelayan) hidup sejahtera?
Gemala harus menjadi program nasional. Sebuah kebijakan mainstream yang mendorong, mengajak dan memotivasi rakyat negeri ini untuk membangun masa depan mereka di laut, bukan semata bertopang pada harta karun yang ada di daratan. Sebab, negeri ini adalah negeri maritim, sebuah negara kepulauan yang sambung-menyambung oleh selat demi selat.
Selama ini fokus pembangunan nasional lebih kepada konsep pengelolaan potensi darat atau wilayah. Karena itu, laut masih dilihati sebagai sebuah ruang penghalang komunikasi lintas daerah dan pulau. Padahl spirit keterpisahan oleh laut justru titik picu lahirnya keanekaragaman budaya, nilai pengetahuan lokal, budaya dan kualitas hidup masyarakat. Karena itu pembangunan maritim tidak dipusatkan pada daerah atau selat tertentu. Dengan kata lain, pendekatan parasistik/eksploitatif yang merugikan salah satu pihak harus ditiadakan. Sebaliknya, nilai dan asas manfaat bersifat non ekstratif yang harus dikedepankan. Pendekatan simbiotik mutualisme menjadi wacana tunggal dalam menjaga keutuhan kepulauan, memacu pertumbuhan sektor kelautan dan merekatkan rasa sebangsa dan setanah air. Masyarakat diberi keleluasaan dan dukungan sarana maupun prasarana untuk ikut berpartisipasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya.
Sejumlah fakta memang menghadang upaya pengembalian kejayaan bahari dalam optimalisasi bidang kelautan dan perikanan. Kualitas SDM yang masih rendah, penguasaan teknologi dan informasi bidang kelautan yang minim, perluasan jaringan kerja sama dan pemasaran, serta minimnya ketersediaan dana.
Mungkin kita perlu belajar dari sejarah tentang kejayaan Indonesia sebagai negeri bahari. Lautan Nusantara pernah mencatat torehan keemasannya sendiri. Pada zaman Kerajaan Majapahit, Patih Gadja Madah mengupayakan “effective occupation” wilayah-wilayah terluar Indonesia melalui laut. Pada zaman Kerajaan Sriwijaya dikenal dengan apa yang disebut “Good Administration” karena mampu menerapkan sistem administrasi pemungutan pajak bagi semua kapal asing yang masuk perairan Indonesia. Sistem ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan ekonomi Kerajaan Sriwijaya. Keemasan laut pun tampak juga saat kedaulatan Nusantara terancam invasi kolonial bangsa Eropa. Adipati Yunus berhasil mengusir Portugis dari perairan Malaka. Sultan Agung sukses mempertahankan Jayakarta (kemudian Batavia, dan sekarang Jakarta). Semua kemenangan ini diperoleh melalui kekuatan lautnya.
Untuk konteks sekarang, kejayaan kelautan tidak hanya berarti tentara dan angkatan perang secara “an sich”. Kejayaan kelautan kita mesti ditunjukkan lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, perkapalan, pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir, konservasi biota laut yang hampir punah dan rusak, pemberdayaan masyarakat laut dan pesisir, memajukan pertumbuhan sektor ekonomi lewat optimalisasi kekayaan laut Indonesia. Bila semua unsur ini bisa berjalan, maka kita dapat menggapai kejayaan bahari yang pernah ada dalam sejarah, dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun yang akan datang.
Dalam peta dunia, wilayah Indonesia terletak antara 6­0 LU – 110 LS dan 950 – 1410 BT. Dua pertiganya tersusun dari lautan dengan luas 5,8 juta km2. Untaian pantai membentang sepanjang 17.504 km. Pulau-pulaunya mencapai 81.000 km. Pada hamparan inilah pusat keanekaragaman hayati di dunia berada. Ada 2000 jenis spesies ikan, dan baru 400 spesies yang sudah dimanfaatkan secara ekonomis. Jenis crustacean lebih dari 1502 spesies, termasuk 83 jenis udang dalam suku penaidae yang dikonsumsi. Ada 17% genus karang dunia berada di perairan Indonesia. Ada 18% terumbu karang, 30% mangrove dengan padang lamun (sea grass) terluas dan terbanyak.
Mungkinkah kita bisa menunjukkan kejayaan Indonesia sebagai negeri bahari yang disegani dunia? Jawaban hanya satu. Kejayaan bahari hanya bisa terwujud dengan pengelolaan terpadu dan berkelanjutan semua potensi dan kekayaan laut yang ada. Pengelolaan yang sinergis dengan upaya empowering masyarakat pesisir. Koordinasi sektoral juga diharapkan dapat menjawab persoalan seperti kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang serta penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Perlu keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, swasta dan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Bersama kita kembali berjaya sebagai negeri bahari. Selamat berjuang. KPO/EDISI 106 MEI 2006

Read More