Kamis, Juni 29, 2006

Beny Uleander

Merekam Jejak ‘’Membangun Desa Membangun Bangsa’’

Lima Tahun Membangun KORAN PAK Oles
OLEH: BENNY ULEANDER

Media massa dalam kiprahnya di jagad pemberitaan mengusung liputan berita bernilai pencerdasan kehidupan bangsa dan berisi sajian informasi. Ya, termasuk pernak-pernik hiburan. Itulah tipikal dasar institusi pers yang selalu bergulat sebagai media kontrol sosial dan media informasi. Peran pers sebagai media pencerdas diungkap wartawan senior Indonesia Rosihan Anwar sebagai suatu tugas terberi yang tidak bisa dihapus, mengalir dalam urat nadi pers dan menjadi napas pers hingga kekekalan. Jauh sebelum Republik ini terbentuk, sebelum adanya UUD 1945 maupun institusi TNI, tugas pers (Indonesia) dari dulu hingga kini tetap sama, --mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas pencerdasan kehidupan berbangsa secara inheren berkait lekat dengan eksistensi pers sebagai lembaga kemasyarakatan. Pers berada di tengah masyarakat tetapi bukan milik masyarakat. Pers berjalan bersama pemerintah tetapi bukan alat pemerintah. Sebaliknya pers bisa mempengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sementara masyarakat yang dinamis membawa banyak tuntutan perubahan dalam pengelolaan pers.
Langkah strategis terkait pencerdasan kehidupan bangsa dipahami Koran Pak Oles sebagai kesadaran untuk ikut ‘’memprovokasi’’ pola-pola fanatik pembangunan ekonomi kerakyatan. Barangkali di sinilah ‘neraka’ bagi eksistensi pers. Banyak media yang lahir lalu mati, dan kadang harus mati muda karena kegagalan menyuluh untuk perubahan-perubahan mendasar yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Mereka (media) gagal dalam berinvestasi visi karena ada kecenderungan media sekarang untuk sekedar ada sebagai bacaan alternatif. Padahal, masyarakat Indonesia yang masih tergolek di jurang kemiskinan membutuhkan pers yang mengawal segala upaya dalam merintis pilar-pilar pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Pers harus memiliki keberanian untuk terus menatap ‘menara mercusuar’ kesejahteraan. Apalagi di abad 21 ini semua aliran ideologis maupun mazhab yang tidak mampu membawa kesejahteraan akan ditinggalkan pengikutnya. Yang tertinggal adalah ‘ideologi kesejahteraan’. Dalam bilik ini, Koran Pak Oles menyatukan langkah dengan visi pengelolaan pertanian Indonesia berbasis organic, --teknologi Effective Microorganisms (EM) sebagai maskot. Menara mercusuar yang dibangun lalu dirangkum dalam kesetiaan memberitakan kesuksesan dan kepincangan pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan, plus peternakan, pengolahan limbah dan berdirinya sendi-sendi agrobisnis di pelosok-pelosok desa.
Koran Pak Oles berani tampil sebagai pionir media yang memberitakan pengembangan pertanian organik dengan sebuah teknologi ramah lingkungan yang dibutuhkan dunia terkini. Lingkungan alam tempat manusia menyandarkan hidup dan kehidupan anak cucunya telah rusak oleh praktek-praktek pertanian modern yang menggunakan bahan-bahan kimiawi dan pupuk pestisida. Siapa dan institusi manakah yang berani menggugat praktek pertanian di Indonesia yang ‘menipu’ petani dan akhirnya produksi pangan nasional menurun drastis setiap tahun? Akademisi manakah yang kini berani berteriak lantang sembari memberi contoh peningkatan kualitas dan kuantitas pangan kepada para petani di desa?
Koran Pak Oles telah memberi warna pembangunan pertanian dengan mengangkat sebuah ‘desa laboratorium’ yaitu Desa Bengkel, Banyuatis, Buleleng, Bali. Di sana berdiri Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA). Banyak petani, kalangan instansi pemerintah, pelajar, ilmuwan, praktisi pertanian dan peternakan datang dari Sabang sampai Merauke belajar pertanian organik dan aplikasi teknologi EM untuk peningkatan produksi tanaman, ternak, dan pengolahan limbah. Di Desa Bengkel juga mereka melihat langsung tanaman pertanian dan peternakan yang dikelola dengan teknologi EM, juga menyaksikan kegiatan industri pertanian dengan menyambangi pabrik yang memproduksi Ramuan Pak Oles, berbahan baku tanaman pertanian dan perkebunan. Di sana, mereka menyadari, masyarakat pedesaan tidak perlu berduyun-duyun pindah mencari kerja ke dan di kota. Karena bukankah urbanisasi tidak lain sebagai upaya memindahkan kemiskinan dari desa ke kota.
“Scripta manent verba volant,--Yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” Koran Pak Oles dalam rubrik-rubriknya akan terus merekam semua langkah, contoh dan upaya pembangunan desa yang identik dengan pembangunan negara. Desa maju, kota sukses dan negara pun sejahtera. Sebelum berlari seribu langkah, seseorang setidaknya mulai dengan satu langkah. Sebelum berwacana membangun negara, adalah tepat secara diam-diam memberi contoh pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Kalau Drs Moh Hatta masih hidup ia akan tersenyum bangga melihat ekonomi masyarakat pedesaan terus mengepul di sela-sela pucuk tanaman pertanian dan perkebunan. KPO/EDISI 109 JUNI 2006

Read More
Beny Uleander

Pendidikan Bukan Selembar Kertas

Ujian akhir nasional (UAN) telah usai. Hasilnya cukup mengejutkan para murid, orang tua, para guru, praktisi pendidikan, pemerintah dan berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Betapa tidak. Standar minimal kelulusan 4,26 rasanya sangat sulit dicapai peserta didik. Peserta didik yang memperoleh nilai di bawah standar minimal dinyatakan tidak lulus. Walaupun semua mata pelajaran memperoleh nilai 9, tetapi bila ada satu mata pelajaran yang tidak memenuhi standar minimal 4,26 maka peserta didik tersebut akan dinyatakan tidak lulus. Tidak heran jika banyak siswa yang berprestasi ternyata tidak lulus.
Dengan alasan ingin meningkat mutu pendidikan Indonesia, maka sistem yang diterapkan ini tidak dapat diganggu gugat. Bila menoleh ke belakang, kita akan mengetahui bahwa sistem yang ada pernah diterapkan di Indonesia, mulai tahun 1945 dan telah membuahkan hasil pada era 60-an sampai 70-an. Tidak heran jika pada waktu itu hanya sedikit orang yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai ke Perguruan Tinggi, karena seleksi yang sangat ketat. Walau demikian hasilnya sungguh luar biasa, karena banyak orang Indonesia yang menjadi guru di luar negeri alias diimport oleh berbagai negara tetangga Indonesia terutama Malaysia.
Pertanyaan muncul ketika ada orang yang berprestasi ternyata tidak lulus. Salah satu jawaban yang hampir pasti benar adalah bahwa sistem yang diterapkan perlu menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang ada. Teks (sistem) perlu disesuaikan dengan konteks. Pada zaman 45 sampai generasi tahun 70, penekanan utama lebih pada keunggulan atau kecerdasan intelektual. Keberhasilan seseorang hanya dilihat dari kemampuan yang ada di atas kertas. Kepincangan akan terjadi bahwa tidak semua soal yang keluar pada saat ujian adalah apa yang didapatkan dari keseluruhan proses pendidikan yang ada. Pada hal hasil akhir dari pendidikan yang diharapkan adalah pembentukan pribadi yang utuh dan integral dari peserta didik itu sendiri.
Idealnya, dalam proses pendidikan, para peserta didik perlu diberikan suatu gambaran kehidupan yang multi dimensi, yang disusun dalam suatu kurikulum yang menjawab semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik. Dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan berbagai peraturan dan birokrasinya, kurikulum yang bisa menjawabi semua bakat dan kemampuan peserta didik menjadi hal yang utopis. Namun sebenarnya, hal ini bisa dijalankan dengan sederhana, karena kemampuan seorang siswa tidak ditentukan oleh apa yang diraih di atas kertas saat ujian akhir berlangsung.
Kurikulum yang menjawabi semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik akan berkisar pada pembentukan kepribadian yang multiple intelligence atau inteligensi ganda. Teori ini dikemukakan oleh Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul “Frames of Mind” (1983). Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk alam dalam suatu seting atau kelompok tertentu yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Dalam pengertian ini, inteligensi bukan hanya kemampuan seseorang untuk menjawab suatu test tertulis dalam kamar tertutup atau dalam ruang kelas yang terlepas dari lingkungan sekitarnya. Inteligensi seseorang tampak dalam kemampuan untuk memecahkan persoalan yang nyata dalam situasi yang beragam, bukan kemampuan di atas kertas, walaupun kemampuan ini juga sangat penting.
Untuk itu, Gardner memberi klasifikasi inteligensi yang ada dalam diri manusia, yang terdiri dari 9 macam inteligensi yaitu, inteligensi linguistik, inteligensi matematis-logis, inteligensi ruang visual, inteligensi kinestik badani, inteligensi musikal, inteligensi interpersonal, inteligensi intrapersonal, inteligensi lingkungan, inteligensi eksistensial. Inteligensi linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis. Kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa. Kelompok ini akan berbicara dengan bahasa yang lancar, jelas, lengkap, mudah mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, mudah belajar beberapa bahasa, mudah mengerti urutan kata, arti kalimat, mampu menceriterakan dan menjelaskan pemikirannya kepada orang lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah penyair, orator, sastrawan, jurnalis, editor, aktor, dan dramawan.
Inteligensi matematis logis berkaitan dengan kemampuan dalam mengunakan bilangan dan logika. Mereka dapat memikirkan sistem-sistem yang abstrak seperti matematika dan filsafat. Pikirannya sangat rasional, mampu berpikir induktif, merangkumnya dalam suatu kesimpulan ilmiah, menjelaskan kenyataan fisis yang terjadi dengan sains. Inteligensi ruang visual, adalah kemampuan untuk menangkap ruang visual secara tepat, seperti para pemburu, navigator, arsitek, dekorator. Mereka mudah membayangkan benda dalam ruang berdimensi tiga, mengenal relasi benda-benda dalam ruang secara tepat, mampu melihat, memperkirakan, memandang dari segala sudut.
Inteligensi kinestik-badani adalah kemampuan untuk mengunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau pikiran, perasaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penari, pemahat, atlet, aktor, ahli bedah. Mereka dengan mudah mengungkapkan diri dalam gerak tubuh. Inteligensi musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Ada kepekaan yang tinggi terhadap ritme, melodi, intonasi, kemampuan memainkan alat musik, menyanyi, menciptakan lagu atau syair. Mereka mudah belajar dan memainkan musik secara baik.
Inteligensi interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain, mampu menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain, mudah bekerja sama dengan orang lain, pandai bergaul, dan bisa akrab dengan siapa saja tanpa perlu banyak persoalan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para fasilitator, komunikator, penggerak massa. Inteligensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri, bertindak secara adaptif berdasarkan pada pengenalan diri, serta mampu berrefleksi dalam keseimbangan. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan segala gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi, sadar akan tujuan hidupnya, pandai mengatur perasaan dan emosinya, sehinga kelihatan tetap tenang walau didera berbagai persoalan. Cirinya, tenang, kalem, suka menyepi, mampu bekerja sendiri,
Inteligensi lingkungan yaitu kemampuan akan pemahaman flora dan fauna, mampu membuat distinksi konsekuensi lain dalam alam natural, mampu memahami dan menikmati keindahan alam, mengembangkan pengetahuan akan alam, melestarikan alam, merawatnya dengan kesadaran yang tinggi. Cirinya, bisa hidup di luar rumah, di alam terbuka, bisa cepat akrab dengan situasi dan kondisi alam setempat. Inteligensi eksistensial yaitu kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam tentang keberadaan hidup, dunia, dan Tuhan. Ia suka mencari jawaban terdalam atas berbagai persoalan hidup secara eksistensial; mengapa aku ada, mengapa aku hidup, dari mana aku datang, dan kemana aku pergi. Untuk mengetahui inteligensi mana yang terdapat dalam diri peserta didik sangatlah sulit.
Dengan mengetahui inteligensi yang dimiliki oleh seorang anak, maka para guru dapat mengarahkan dan mendampingi para murid sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Inilah tugas lembaga pendidikan dan semua orang yang mengabdi dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak identik dengan format baku, yang bisa mencetak manusia sesuai dengan format tersebut. Bila sistem pendidikan yang ada mampu mengakomodir bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, maka keberhasilan seorang peserta didik bukan terletak pada pencapaian standar minimal yang ditetapkan dalam lembaran ujian melainkan kemampuan seorang manusia dalam menyelesaikan persoalan yang ada, termasuk persoalan ujian akhir nasional.
KPO/EDISI 109 JUNI 2006
Read More

Kamis, Juni 15, 2006

Beny Uleander

Sasar Ruang Publik, Buat Kunjungan Privat

Keelokan Kiprah SPG
Cukup gampang mencari sebab-sebab kehancuran suatu perusahaan tetapi amatlah sulit menemukan sisi lemah perusahaan-perusahaan sukses sepanjang sejarah dan dikelola dengan baik tetapi kehilangan posisi puncaknya. Praktik manajemen yang amat penting untuk kebaikan perusahaan –seperti memenuhi kebutuhan pelanggan terbaik dan memfokuskan investasi pada bidang yang sangat menguntungkan –pun dapat menyebabkan kegagalan. Demikian komentar Michael E Raynor dalam Solusi Sang Inovator.
Di penggalan situasi berbeda, kerap kita mendengar seruan, ‘’Jangan pakai kacamata kuda alias berjalan sendiri dalam membesarkan perusahaan tanpa mau menoleh pada dinamika pasar’’. Sebuah saran yang bercita rasa elegan tetapi harus dikritisi dengan berpijak pada visi dan misi perusahaan. Selama manajemen dan karyawan bersinergi dalam alur visi seirama dan selaras, maka dapatlah dipastikan bahwa ada sekelompok ‘orang gila’ yang sedang meretas sebuah masa depan gemilang. Titik-titik kelemahan dikelola bijak jadi ‘silabus’ pelajaran menuju perusahaan sukses. Itulah inti inovasi dalam perspektif E Raynor: ‘meng-upgrade’ kualitas intelektual bermuara pada peningkatan kualitas produk dan jasa.
Sesungguhnya, kejar-mengejar segmen pasar, kategori selera konsumen dan intrik persaingan bisnis perusahaan menuju pertumbuhan yang sukses berpangkal pada keelokan teoretis, cendekiawan yang keras hati, analisis data yang kreatif dan berjalannya fungsi manajerial.
Salah satu pendampingan manajerial adalah upaya melahirkan salesman atau sales promotion group (SPG) yang siap jadi ‘manusia gila’ tapi punya penghasilan halal untuk minum kopi di Bakery Corner atau beli kudapan. Indonesia yang dibandrol sebagai negeri 1001 keanehan terus berdiri. Rakyat negerinya tetap butuh pekerjaan dan pendidikan. Pekerjaan halal bermuara pada pembaktian diri kepada kesejahteraan sesama manusia. Meski dalam skala kuantitas amat kecil tapi bernilai dari segi kualitas. Itulah satu dimensi mulia kiprah para SPG PT Karya Pak Oles Tokcer yang menegakkan kesehatan manusia berbasis herbal, alami dan nyaman tanpa efek samping. SPG menjadi obor dan pembawa suara kehidupan bahwa alam menyiapkan berbagai fasilitas dan sarana untuk kesehatan manusia. Sebut saja madu organik/budidaya, tanaman berkhasiat obat atau segala jenis tanaman mengandung antioksidan yang mendukung revitalisasi hidup.
SPG atau salesman yang mampu menjual pasir ke Arab, daerah padang pasir, patut diacungi jempol. Benarkah ia akan sukses menjual apa saja? Termasuk menjual gigi palsu untuk orang yang giginya masih lengkap? Setiap orang punya potensi membeli tapi yang paling penting apakah ada kesesuaian antara produk dengan kebutuhannya? Kalau orangnya tidak membutuhkan, tapi kita bisa mengakali supaya dia membeli, bukankah itu aksi manipulatif? SPG Pak Oles memasarkan produk kesehatan dan jamu yang sudah merakyat. Tidak ada strategi manipulatif. Karena SPG berlogo GNW itu memasarkan sebuah produk yang berkualitas, bermerek dan dikawal dengan informasi, Koran Pak Oles dan Tabloid Montorku.
Berbekal pemahaman produk (product knowledges), mereka menggelar promosi, menyasar ruang publik dan kreatif melakukan kunjungan privat dari rumah ke rumah. Menyapa konsumen dan pelanggan. Mereka memahami marketing sebagai segala upaya untuk membuat orang membeli. Kalau menjelaskan manfaat produk dengan baik membuat orang membeli, ya itulah pemasaran. Penguasaan manfaat materi produk bukan sebatas hafalan tetapi merasuk menjadi kebanggaan diri, kegembiraan citra dan fanatisme merek.
Dalam film “Life is Beautiful”, ada kata-kata indah dari Uncle Alicio. “Menunduklah seperti bunga matahari mencari sinar matahari. Bunga matahari yang terlalu menunduk itu bunga mati. Melayanilah tapi kamu bukan pelayan. Seperti Tuhan melayani manusia, tapi Tuhan bukan pelayan’’. Dalam proses penjualan itu, SPG tidak harus “melacurkan diri” karena asal laku, tapi bangun sikap keperwiraan dalam menjual. Hormat bukan untuk merendahkan diri, meskipun tetap rendah hati. KPO/EDISI 108 JUNI 2006




Read More
Beny Uleander

Pertaruhkan Visi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Lima Tahun Membangun KORAN PAK OLES (1)
OLEH: BENNY ULEANDER

Kiprah dan eksistensi Koran Pak Oles di jagat informasi meninggalkan bertubi-tubi jejak pertanyaan di benak khalayak ramai termasuk para pelaku pers. Visi apa yang diembannya dan di mana letak kekhususannya dibanding dengan media cetak lain yang kala itu bertumbuh bak cendawan di musim hujan? Sementara insan pers dengan memicingkan mata berkomentar dingin. ‘’Ah, itu adalah media murni promosi. Reinkarnasi elegan dari brosur dan jurus lain dalam menyalurkan dana iklan Ramuan Pak Oles.’’ Wajar saja bila ada yang berkomentar lepas demikian. Karena saat ini berbicara tentang Pak Oles, orang langsung menunjuk pada Ramuan Pak Oles. Padahal kiprah Pak Oles tidak sebatas sebagai pengusaha jamu dan obat tradisional.
Tulisan bersambung ini ingin mengupas kembali potret lika-liku membangun media informasi yang dikelola Pak Oles Centre. Pembaca pun diajak untuk mengetahui lebih dalam bahwa media ini lahir dari sebuah pertaruhan visi dan pemikiran yang matang soal membangun dan merawat sebuah idealisme agar tetap tumbuh, terarah dan meraih sukses di lapangan praksis. Di negeri ini, banyak orang pintar dan sarjana genius yang terampil meramu wacana glamoritas soal pembangunan. Sayang hanya segelintir orang yang berani merintis jalan kecil menuju pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sekarang jalan itu telah berkembang menjadi sebuah konsep hidup yang harus terus didukung kiprahnya. Sebab di negeri maling ini, apa yang benar bagi rakyat belum tentu sejalan dengan kemauan dan kepentingan rezim penguasa.
Koran Pak Oles lahir dari sebuah rahim idealisme membangun, mengelola dan mengawal sebuah informasi secara terpadu. Isi idealisme itu bertaut erat dengan sepak terjang seorang Gede Ngurah Wididana yang berupaya membawa secercah perubahan dalam pembangunan bangsa. Langkah awal yang ditempuh terbilang baru di bumi pertiwi, yaitu pionir pertanian organik berbasis teknologi Effective Microorganisms (EM) pada tahun 1990-an. Pak Oles juga sudah merambah kesehatan dengan produksi obat tradisional dan bidang otomotif dengan produk Spontan Power di tahun 1997. Awalnya terbit dalam bentuk buletin dengan nama Majalah Sehat 2000. Dikelola Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) & Humas PT Karya Pak Oles Tokcer.
Pada tahun 2001, Majalah Sehat berubah format dalam bentuk koran dengan nama Koran Pak Oles. Moto yang diusung: Organik, Lestari, Sejahtera (OLES). Uniknya, koran ini terbit setiap hari raya keagamaan. Sudut atas dihiasi logo Bunga Padma bertulis GNW yang merujuk nama asli Pak Oles (Gede Ngurah Wididana). Organik artinya teknis pengelolaan pertanian yang menghasilkan produk berkualitas tanpa penggunaan pupuk kimiawi dengan tetap mengutamakan standar higienes. Penerapan sistem pertanian organik yang baik membuat tanah subur, hasil panen meningkat, lingkungan tetap lestari, dan masyarakat (petani pedesaan) dapat hidup sejahtera. Moto ini secara sederhana menggambarkan revolusi kelola pertanian mikro yang dirancang-bangun Pak Oles. Pengelolaan potensi mikroorganisme selaku tiang utama mendukung revitalisasi pertanian.
Konsep agrobisnis harus dimulai dari desa, tempat (lokasi) pusat pertanian berada. Lalu dibentuk unit bisnis yang didukung produksi dan pemasaran yang baik. Roda agroindustri akan berjalan bila didukung informasi yang baik. Jika semua komponen berjalan terarah dan fokus, maka pertanian makro akan terwujud. Koran Pak Oles menempatkan diri sebagai media informasi aplikasi EM di bidang pertanian, peternakan, pengolahan limbah/sampah, kesehatan dan otomotif.
Tidaklah berlebihan Koran Pak Oles pun menjadi roh yang menghidupi eksistensi teknologi EM. Di bawah kolong langit ini peran media sebagai pembangun opini publik dan pencitraan produk barang dan jasa belum tergantikan. Buktinya media pun berkembang dalam arah horizontal diversivikatif. Media cetak, media elektronik (televisi & radio) dan kini media digital (inter networking). Itulah sebabnya wacana teknologi EM tidak mati muda di lalu lintas revitalisasi pertanian Indonesia yang kini lagi jeblok akibat kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah!!!
Koran Pak Oles tidak distel menjadi "pers priyayi" yang beritanya melingkar-lingkar di wilayah kepriyayian. Kecenderungan eksekutif dan masyarakat Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi permasalahan dan etika. Koran Pak Oles mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan visi, menampilkan ragam dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak ke belakang. Itulah makna peran Pak Oles Centre selaku pengelola dan pengawal informasi. (Lanjutan tulisan ini ada di blog www.bukuputih-pakolescenter.blogspo.com) KPO/EDISI 108 JUNI 2006


Read More
Beny Uleander

Pasar Konsumen

Lalu lintas pemahaman ilmu marketing terus berkembang dan diperkaya terus dengan temuan gagasan teoretis dan trend pasar yang dinamis. Contohnya, pemahaman konsep pasar tidak lagi dipatok pada sebuah tempat, terjadi transaksi jual beli produk atau jasa dan adanya permintaan pembeli dan penawaran penjual.
Pasar telah menjelma menjadi hutan rimba yang ganas. Di rimba maha lebat, ada pertarungan bisnis, gemerisik kompetisi antar perusahaan memasarkan produknya, dentingan produksi produk yang meluber melebihi jumlah konsumen dan strategi membentuk citra untuk menjinakan konsumen yang telah dititahkan sebagai raja hutan.
Ketika konsumen membeli sebuah produk untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya maka di sana tercipta ‘pasar konsumen’. Saat produk yang dibeli siap diolah lagi untuk dijual kembali maka disebut karakteristik ‘pasar produsen’. Kala produk dibeli untuk dipasarkan lagi dengan selisih harga maka itu adalah ciri ‘pasar pedagang’.
Di celah ini kita bisa memotret potensi budidaya anggrek di Indonesia yang kini mulai menggeliat merekayasa ‘pasar konsumen’, menembus ‘pasar produsen’ dan para distributor anggrek telah membangun ‘pasar pedagang’.
Indonesia menyimpan sejumlah potensi kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan sumber daya manusia. Dari sumber daya alam, Indonesia termasuk dalam wilayah tropis yang bisa memungkinkan tumbuhnya berbagai tanaman atau pohon-pohon. Penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa dari 40000 spesies yang ada di bumi, ada 30000 spesies yang ada atau bertumbuh di Indonesia. Semua spesies tumbuhan ini bisa memberikan nilai guna bagi manusia, asalkan manusia Indonesia bisa mengelolanya. Berbagai jenis tumbuhan ini dapat menjadi sumber makanan, obat-obatan, kosmetik, tanaman hias atau diolah menjadi berbagai produk turunan.
Pertanyaan yang muncul adalah sudah berapa persenkah ribuan spesies yang ada telah diolah sehingga bisa bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup orang Indonesia? Bila secara prosentase tidak seimbang, apa faktor penyebabnya, apa kendalanya? Bisa dibayangkan bahwa cukup dengan 50% dari semua kekayaan yang ada bisa dikelolah secara optimal maka Indonesia akan tampil setara dengan negara-negara industri yang kaya dalam segala bidang kehidupan. Ironisnya, Indonesia ibarat tikus mati kelaparan dalam karung beras. Indonesia masih terus menjadi negara miskin dalam kegelimangan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Salah satu kekayaan spesies yang belum menjadi perhatian serius dari berbagai pihak adalah anggrek. Letak Indonesia pada daerah tropis, memungkinkan untuk spesies yang satu ini bertumbuh dengan subur. Tidak heran jika Indonesia dikenal dengan negeri kaya anggrek karena spesies anggrek terbanyak ada dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ada 5000 spesies anggrek yang bertumbuh di Indonesia. Hanya sebagian kecil spesies ini yang berhasil dibudidayakan, dikawin-silangkan, sehingga menghasilkan bibit unggul dengan kualitas tinggi.
Sebagai bunga, anggrek memiliki keunggulan tersendiri. Warnanya beragam, keindahannya mempesonakan mata setiap orang yang melihatnya, baunya harum semerbak. Bahkan, kembangnya paling bertahan dalam tempo yang cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu dan ada beberapa jenis yang bisa bertahan berbulan-bulan. Keragaman warna, keindahan, keharuman serta ketahanannya menyebabkan anggrek menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang mencintai keindahan. Keunggulan anggrek seperti ini bisa dikembangkan menjadi produk bisnis yang mendatangkan keuntungan.
Sayangnya, potensi terpendam ini sangat terlambat dikembangkan di Indonesia. Sejak abad lalu, anggrek-anggrek unggul Indonesia telah diambil dan dibawa keluar negeri baik secara legal maupun ilegal, terutama oleh para penjajah. Di sana, anggrek tersebut dikawin-silangkan sehingga menghasilkan bibit unggul dan dijual dengan harga yang mahal serta menguasai pasar anggrek internasional. Baru pada tahun 1970-an, kesadaran akan budidaya anggrek mulai muncul, yang dipelopori oleh almarhumah Ibu Tien Soeharto, dan berhasil membangun jaringan kerja sama dengan Singapura dalam usaha kawin silang anggrek dari Indonesia. Sejak saat itu, mulai bermunculan para petani, pengusaha, pemasok anggrek yang tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara, tetapi masih dalam skala kecil-kecilan.
Geliat bisnis anggrek mulai tampak sejak 10 tahun terakhir, dengan keyakinan bahwa anggrek dapat menjadi lahan alternatif pendapatan, mata pencaharian, membuka lapangan kerja bagi para pengangguran. Kebutuhan akan anggrek kini seakan menjadi kebutuhan pokok. Setangkai anggrek bisa dijual dengan harga ratusan ribu. Bisnis anggrek kini bukan monopoli kelompok tertentu, tetapi milik semua orang mulai dari petani kecil sampai konglomerat. Daya pikat anggrek serta peluang bisnis yang ada telah membius banyak orang untuk terjun langsung dalam usaha anggrek. Diharapkan, perkembangan usaha anggrek Indonesia mampu membawa keunggulan anggrek Indonesia dalam bursa anggrek internasional, serta mampu menduniakan anggrek Indonesia.
Sejumput harapan terkembang mekar di rahim hati. Kesadaran akan potensi ekonomis dalam budidaya anggrek telah merambah berbagai kota. Lihat kini ada pengusaha yang membuka show room anggrek, ada lahan anggrek yang dijadikan arena wisata yang mampu memikat para wisatawan nusantara maupun mancanegara dan event pameran anggrek di Bali telah masuk dalam kalender insan pariwisata. Kita menanti dan terus berharap, mereka yang kehilangan pekerjaan kini bisa menjadikan bisnis anggrek sebagai salah satu alternatif menderek ekonomi rumah tangga. Kita pun menanti kiprah investor untuk mengembangkan anggrek Indonesia. Tak lupa pula secercah himbauan agar pemerintah dan pihak keimigrasian kian tegas ‘melawan dan memberantas’ para penyelundup anggrek illegal ke luar negeri. Investasi dan proteksi menjadi pendulum menduniakan anggrek Indonesia. KPO/EDISI 108 JUNI 2006
Read More