Senin, Januari 01, 2007

Beny Uleander

Wajah Multiwacana

Ilmu membuat hidup manusia kian terarah. Teknologi menjadikan hidup lebih mudah. Seni (agama dan budaya) membikin hidup tampak indah. Ilmu, teknologi dan seni adalah tiga bidang yang 'gagal' dikelola apik oleh manusia Indonesia. Tahun 2006 yang sarat bencana alam dan persoalan pelik sosial kemanusiaan menjadi petunjuk betapa hidup bangsa kian tak terarah, hidup makin sulit dan jauh dari keindahan.
Inilah penilian pesimistik ketika kita menelisik sebab-sebab bencana alam akibat tindak tidak etis manusia terhadap keseimbangan ekologis. Juga rendahnya titik bidik aspek teleologis yakni pengembangan tujuan terdalam hidup manusia Indonesia.
Apresiasi atas situasi kemanusiaan perlu dikedepankan untuk kembali meretas kesadaran kita bahwa manusia adalah makhluk yang perkasa sekaligus rapuh. Gerak hidupnya dipagari norma agama sekaligus dikeliling norma sosial serta kungkungan keterbatasan fisik. Wilayah Indonesia dipenuhi para pemeluk agama dan agamawan tetapi pelacuran, kekerasan, perdagangan manusia, konflik umat beragama, kerusuhan dan korupsi terus menggurita. Tanya kenapa?
Setiap daerah, razia pelacuran tidak pernah tuntas malah kian bertambah kuantitas dan kualitas. Ada gejala apa ini? Pelacuran dalam tatanan sosio-religius dan kultural dilihat sebagai penyimpangan moral dan penyelewengan norma-norma sosial. Selain itu, kaum muda menelur berlusin strategi membangun mosaik pencitraan diri ideal yang melangkahi norma-norma baku yang dianut generasi sebelumnya.
Apa yang terjadi? Pelacuran dilihat sebagai bagian integral dari kehidupan. Toh suatu ketika yang melakoni bisnis perlendiran itu akan mencapai taraf kemuakan. Bosan, jenuh dan akhirnya masuk dalam sangkar religius yakni bertobat. Mereka kembali menghidupi norma-norma moral keagamaan yang menentang perzinahan.
Ketika wacana pelacuran itu redup, anak-anak zaman kembali harus 'beradaptasi' lagi dengan wacana baru yakni maraknya perhimpunan kaum homo dan lesbi yang serentak diproklamirkan di mancabenua, termasuk Indonesia. Saling kecam antara 'penjaga' kemurnian agama dan pelaku penyimpangan kerap diulas media televisi yang berakhir dengan debat kusir.
Perguliran wacana pro dan kontra pun mengalir deras dari mimbar teori kuliah soal feminitas dan maskulinitas, turunlah serangkaian ortodhoksi teologis-keagamaan yang mengusung sejarah awali kisah penciptaan pria dan wanita, dan mengalirlah desahan keresahan dari warga sipil ketika kelompok 'garis tengah itu' (baca: lesbi dan homo) menuntut negara mengesahkan UU Perkawinan di antara mereka.
Penyimpangan gaya dan pilihan hidup ini dilihat selangkah lebih parah dari bisnis esek-esek. Pun lahir beragam alasan. Wajar ada pelacuran karena masih terjadi transaksi alamiah pria dan wanita meski di luar ikatan nikah. Tapi untuk dunia lesbianisme dan homoseksualisme apakah ada alasan atau paling kurang sebuah pembenaran yang bisa diterima masyarakat sosial. Bukankah substansi lembaga perkawinan adalah meneruskan keturunan?
Bantahan pun berhembus kencang dari kalangan garis tengah. Mereka mengklaim mencapai kepuasan seksual dengan pasangannya. Mereka mengaku bahagia dengan pilihan hidup itu. Lebih jauh lagi, mereka menjunjung individualisme sebagai falsafah hidup membangun citra diri. Apakah lembaga perkawinan kaum 'garis tengah ini' diterima masyarakat Indonesia sebagai suatu pilihan hidup yang wajar. Ataukah, kaum agawam hanya menerima karena ketegaran hati kaum garis tengah semata? Lihat saja makin banyak waria yang menjajakan tubuh di pinggir jalan karena permintaan konsumen yang tinggi.
Pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan imanensi kerap terpinggirkan apalagi nilai-nilai transenden yang turun dari langit. Publik kini seakan 'malas tahu' alias terserah pasangan gay mau membangun rumah tangga atau tidak. Toh, mereka juga yang menanggung akibatnya. Akibat di alam baka...sebuah pelemparan alasan yang mengunci perdebatan.
Realitas sosial lain kembali menguji kelanggengan keluarga batih (inti). Bola liar poligami dihujat sebagai pilihan yang penuh pengkhianatan pria terhadap wanita dan anak-anaknya. Di simpang lain, poligami dalam Islam disyaratkan bagi pria/suami yang telah mampu bersikap adil secara batiniah dan lahiriah serta atas seizin pertama. Para isteri yang sempat protes poligami umumnya mereka yang telah merasa bahwa sang suami tidak mampu bersikap adil. Di sinilah titik timpang sebuah pilihan poligami yang mewarnai debat kusir nasional sejak kyai tenar AA Gym memilih berpoligami.
Persoalan sosial manusia kembali dihantui ekspansi peredaran narkoba yang kian mengganas. Tewasnya penyanyi Alda Rhizma yang over dosis mengkonsumsi obat terlarang menohok kewaspadaan kita. Ketenaran, uang dan relasi bisa membawa maut jika jiwa goyah dan mabuk dalam kenikmatan hidup sesaat. Perlu diingat pula bahwa tidak ada istilah mantan narkoba. Mereka yang menjalani terapi narkoba pada suatu saat entah kapan akan kembali ke dunia narkoba karena memori otaknya telah rusak.
Dari catatan persoalan kemanusiaan di atas, kita mendapat jawaban bahwa faktor kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan menjadi alasan mengapa banyak generasi muda yang terjun jadi pelacur. Perkerjaan sulit tetapi tuntutan hidup terus meningkat. Banyak waria yang 'salah jalan' karena mereka disisihkan dalam akses lapangan pekerjaan. Akhirnya demi uang, mereka mencari pelanggan di pinggir jalan.
Situasi sosial yang kontras membangkitkan iri hati sosial. Pria yang kaya serta merta mengaku siap lahir dan batin untuk mengambil isteri kedua dan seterusnya. Artis dan tokoh publik yang bergelimang duit malah mati over dosis. Inilah kelemahan manusia Indonesia bagaimana memadu-padankan ilmu, teknologi dan seni (kejujuran batin). Inilah tantangan bagi kita dalam menapak perguliran 365 hari di tahun 2007. (Beny Uleander/KPO/ EDISI 119)
Read More