Rabu, Desember 31, 2008

Beny Uleander

Menapaki 365 Hari Di Tahun Baru

Inspirasi selalu bernyanyi; karena inspirasi tidak pernah menjelaskan! (Paul Amalo).
Waktu dalam ruang imajinasi adalah gudang yang setia menampung barisan ide. Serba luas, tanpa kapasitas dan setiap orang bebas menghapusnya hanya dengan lupa.
Di sana juga kita dimanjakan untuk menyimpan bayang-bayang kelepasan hidup. Impian kesuksesan dipahat dengan semangat kerdil yang tertatih-tatih. Setiap kita bebas menabur mimpi-mimpi “terkotor” hingga “tersuci” di alam khayal. Mungkin tentang sekeping keenakan hidup tanpa ternoda keringat susah payah. Atau harapan yang membara meraba-raba kerinduan hati yang tak pernah terpenuhi di ruang kesadaran.
Waktu dalam bilik imajinasi selalu penuh dengan ekspresi instant diri ideal. Itulah sisi lain “waktu” sebagai “bintik-bintik sejarah” yang menguap tanpa menjelma jadi fakta. Kekecewaan mencengkram pribadi-pribadi yang menganggap barisan impian tak lebih dari dongeng.
Ketidakmengertian misteri waktu menyeruak hadir saat kita coba mengartikan waktu sebagai perjalanan hidup. Waktu adalah kesadaran! Hidup menjadi berarti ketika manusia sadar “orgasme spiritual” adalah penemuan indah jati diri manusia. Gairah mengumbar hawa nafsu badani hanyalah mengotori waktu hidup yang amat pendek. Bahkan merusak waktu hidup yang indah. Sayang semua orang perlu waktu untuk menyadari hidup adalah berbagi hati, empati dan kasih.
Spirit memaknai waktu inilah yang kerap hilang saat warga dunia merayakan pergantian tahun. Waktu dengan amat rendah disanding dengan keinginan manusiawi. Padahal hasrat insani dimatangkan dalam parade waktu. Semoga kita tidak terbuai dalam kemeriahan pesta tahun baru tanpa meluangkan waktu merefleksikan tujuan hidup hakiki.
Manusia lahir dan bertumbuh dalam waktu. Kitapun jatuh cinta dan merasakan kehangatan pelukan penuh kasih sayang tidak setiap waktu! Sewaktu-waktu kegelisahan dan rintihan batin dalam pagutan kepahitan hidup akrab menghampiri manusia.
Makna waktu hanya ditemukan mereka yang membiarkan inspirasi selalu bernyanyi, karena inspirasi tidak pernah menjelaskan. Kita menyanyikan syair Indonesia yang makmur. Umat Allah menapak tangga kuil dengan perut terisi. Saudara kita sujud bersyukur dengan badan bugar. Dan, teman terdekat duduk bersila dengan wajah tenang karena isteri anaknya hidup sejahtera.
Mari kita gunakan waktu hidup yang terus bergulir untuk membuat hidup jadi makin bermakna. Karya jadi amal dan doa jalan penuntun hidup kita. Selamat menempuh hidup baru di tahun BARU!
Koran Pak Oles/Edisi 166/1-15 Januari 2009
Read More
Beny Uleander

Belby Enterprise Mendidik Model Profesional

Oleh: Beny Uleander
Industri hiburan menjadi ladang usaha yang digarap serius Pipiet Fitria, wanita berdarah Bandung yang lahir dan besar di Surabaya.
Setelah lama bekerja di beberapa event organizer, akhirnya sejak tahun 2002, ia pun mantap mendirikan EO sendiri dengan nama Belby Enterprise.
Fokus garapan di bidang modelling, sexy dancer, cheerleaders, aerobic, management artis, party organizer dan costum. Agency Belby Enterprise sejak tahun 2004 membuka sekolah kepribadian yang mendidik calon model profesional “Saya awalnya ikut dengan teman-teman dalam sebuah event, tapi saya selalu melihat ada hal yang selalu kurang. Karena itulah saya tertantang untuk membuat sendiri event organizer lengkap dengan bagian produksinya. Model kami sering tampil dalam berbagai event expo produk di Bali Galeria,” ujarnya.
Pipiet, sapannya, mengawali karir dancer di Bandung dan Surabaya. Ia menguasai beberapa jenis tarian, termasuk tarian perut yang kini diajarkan kepada para remaja dan model yang bergabung di Agency Belby Enterprise. “Mereka diajarkan tari kontemporer, dancer, modern dance, hiphop, belly dances (tarian perut), R&B, cabaret dan cheerleaders,” sebut Pipiet.
Saat ini Agency Belby Enterprise memiliki modeling yunior 180-an orang (TK-SMP) dan senior mencapai 60-an orang yang berasal dari kalangan remaja dan mahasiswa.
Sekolah kepribadian seminggu penuh pada sore hari untuk yunior dan senior. Mereka diajarkan materi kepribadian dan tatarias. Pada hari Rabu dan Sabtu khusus mendalami kepribadian. Hari Senin dan Jumat khusus tata rias dan modeling. Sedangkan latihan diisi pada hari Selasa dan Kamis yang didampingi 6 instruktur, 3 orang fokus di bidang modeling dan sisanya mendampingi para model di bidang dances.
Selama setahun pendidikan, ada kegiatan wisuda yang bertepatan dengan hari jadi Belby Enterprise tanggal 1 Mei. Saat itu, lulusan Belby Enterprise menerima sertifikat dan piala penghargaan untuk siswa yang berprestasi. Belby Enterprise sudah melahirkan 200-an angkatan siswa modeling. Sekali wisuda bisa mencapai 100-an orang. “Model dan dancer kami sering tampil regular setiap minggu di tempat hiburan Kuta dan Nusa Dua,” ujar Pipiet.
Menurut Pipiet, tidak ada kriteria khusus untuk anak-anak TK, SD maupun SMP yang ingin bergabung dengan Agency Belby Enterprise. Karena sekolah kepribadian di Belby Enterprise khusus menanamkan rasa percaya diri anak-anak untuk tampli di depan umum. “Ada pendidikan mental untuk anak yang minder dan kurang bergaul agar bisa bersosialisasi, pede berjalan di panggung, tahu cara bergaya dan berpose di depan kamera,” urainya.
Bagi calon model senior ada persyaratan tinggi badan: 165-172 cm untuk perempuan dan untuk pria berkisar 170-an cm. Para model dituntut bisa menamplikan kecantikan secara total, luar dalam, bukan cantik secara formalitas. “Misalnya, wajah yang eksotik dan bisa mengekspresikan jati diri dengan jadi model. Tentu saja mereka harus menunjukan prestasi dan kemampuan. Jadi bakat harus nomor satu di bidang catwalk, inner beauty, cara busana, tata rambut dan sebagainya,” tukas Pipiet yang membuka studio di Komplek Pertokoan Kertha Wijaya Jl Diponegoro No. 124 Denpasar dan Jl Tangkupan Perahu, Kuta.
Koran Pak Oles/Edisi 166/1-15 Januari 2009
Read More

Senin, Desember 15, 2008

Beny Uleander

Kita Perlu Jalan Baru

Untuk menjadi bangsa yang maju dan memiliki daya saing global, pembangunan di Indonesia memerlukan jalan baru! Carut-marut wajah reformasi selama 10 tahun terakhir menjadi bukti bahwa spirit menuju Indonesia baru masih sebatas wacana.
Agenda reformasi berantakan karena pergesekan kepentingan politik dan hegemoni kelompok aliran. Nilai-nilai Pancasila yang mengakomodir kebhinekaan dicampakkan. Perbedaan agama, budaya, adat istiadat, maupun suku kerap diperdebatkan dengan sikap batin yang jauh dari kematangan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Akibatnya bangsa ini mengalami kemunduran dalam menata misi kebudayaan dan kemanusiaan.
Saatnya, negara membentuk ‘dewan reformasi’ yang beranggotakan kelompok kecil lintas agama, suku dan tidak mewakili kepentingan politik partai tertentu. Mereka adalah budayawan dan filsuf yang berdiam di setiap kota/kabupaten.
Peran dewan reformasi ibarat nabi yang terus “berteriak-teriak” di jalan-jalan kebenaran. Artinya, agenda-agenda dasar reformasi di bidang pendidikan, hukum, ekonomi, politik dan pertahanan negara perlu dirumuskan dan dikawal secara strategis. Mana substansi permasalahan dari setiap bidang yang mendesak untuk diperbaharui. Mana hal-hal ideal masa lalu yang harus dipertahankan demi kemajuan bangsa.
Di bidang politik, harus diakui bahwa ada perubahan dan perbaikan amat mencengangkan di ranah demokrasi. Bila dibandingkan dengan negeri tetangga seperti Thailand dan Myanmar, kita bersyukur masih unggul dalam kematangan berdemokrasi. Namun biaya politik saat ini sangat menguras keuangan negara. Kita gagal membangun fondasi kepartaian yang kuat. Ini karena akrobat politisi di Senayan yang kerap terjebak dalam kepentingan politik temporer. Rakyat kini bingung menjatuhkan pilihan pada partai yang berjumlah puluhan itu. Bisa-bisa, pilihan rakyat pada partai tertentu karena terjebak pada “kamuflase iklan” untuk pencitraan partai.
Di bidang pendidikan selama era reformasi terjadi kemerosotan mutu pendidikan yang luar biasa. Siswa sekolah tidak terpacu lagi untuk belajar lebih gigih. Contohnya, saat ujian tiba, siswa-siswa sekolah tidak “jatuh-bangun” mempersiapkan diri. Sebaliknya, kepala sekolah dan para guru yang “pontang-panting” berpikir bagaimana agar anak didik mereka lulus ujian. Hal yang amat lucu, usai ujian kita mendengar ada kepala sekolah atau oknum guru yang dijemput polisi karena dugaan pembocoran soal ujian.
Di bidang sejarah bangsa terjadi kemunduran mahadashyat. Politik rekonsiliasi tidak berjalan lancar. Padahal sejarah masa lalu yang jelas dan terang adalah harta karun untuk membangun masa depan. Kita gagal memetakan mana sejarah kelam yang perlu diluruskan. Contohnya, generasi muda masih bingung soal fakta kelam 30 September 1965: apakah PKI sebuah partai politik saat itu punya senjata dan strategi militer untuk membunuh pucuk pimpinan militer angkatan darat yang berpengaruh saat itu? Demikian juga dosa-dosa kebijakan rezim Sukarno sampai Suharto perlu diungkapkan secara hukum, lalu dimaafkan sebagai bagian dari persoalan masa lalu. Sayang spirit reformasi ini hilang ditelan akrobat kepentingan politik. Generasi mendatang yang amat dirugikan!
Demikian pula di bidang pertahanan dan keamanan negara masih mengikuti “strategi kependudukan” militer penjajah dengan membangun pangkalan militer di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Padahal negeri ini adalah negeri kepulauan yang membutuhkan visi baru pertahanan regional. Basis-basis pertahanan militer apa salahnya ditempatkan di setiap pulau terluar di negeri ini. Dengan demikian, migrasi lokal ke pulau-pulau yang masih kosong disenergiskan dengan kebijakan transmigrasi. Rakyat merasa aman bermigrasi karena dilindungi oleh pertahanan militer.
Sementara bidang pertanian dan agroindustri yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan tidak menjadi lokomotif perekonomian negara. Padahal dari sektor pertanianlah kita berharap tumbuh industri-industri lokal berskala nasional. Yang terjadi selama ini, Indonesia menjadi pasar produk-produk jadi pertanian dari negara lain. Ironisnya, bahan bakunya berasal dari Indonesia.
Dari catatan di atas yang masih jauh dari lengkap, agenda reformasi perlu dikawal budayawan dan filsuf, termasuk mahasiswa dan duta-duta kemanusiaan yang tersebar di berbagai kampus dan daerah! Mereka akan selalu menjaga “jalan baru” kebangkitan Indonesia.
Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008
Read More

Minggu, November 30, 2008

Beny Uleander

Harus Tahu Tempat

Devi Sandra Dewi
Setiap manusia normal pasti punya cita-cita khusus yang ingin diraih dalam hidup ini. Begitu juga Devi Sandra Dewi, Miss Suzuki Denpasar 2007. Dara yang biasa disapa Sandra ini ingin mewujudkan impian masa kecil, yakni menjadi pemain sinetron dan model terkenal.

Kemahiran jalan di atas catwalk itu pula yang mengantar cewek setinggi 170 cm dan berat 45 kg tersebut digaet sebuah agency model untuk menjadi model Tabloid Otomotif MONTORKU. Karena sudah terbiasa dengan sesi pemotretan, Sandra cukup centil dan tidak kikuk terjepret kamera kala bersanding sama motor gede (moge) dan mobil modif lain sesuai arahan fotografer.

Kecintaan dunia modeling membuat pelajar SMP Harapan Denpasar ini sadar bahwa tanpa campur tangan orangtua, cita-citanya mungkin tidak dapat tersalurkan. ‘’Keberhasilanku karena dukungan bokap nyokap,” kata cewek yang beralamat di Jl Tukad Banyusari 75 A Denpasar itu. Seandainya aku di posisi anak broken home, mungkin hidupku akan seperti temanku.

‘’Menyalurkan kesepian ke hal-hal yang negatif. Ada teman aku yang hobi balap liar. Karena notabene hanya sebagai kesenangan, doi tak kapok-kapoknya meski sering dirazia dan dikejar-kejar aparat keamanan. Yang penting puas. Boleh saja friend kita trek-trekan, yang penting tahu tempat dan waktu,’’ saran Sandra. (Wiliz Zuraidah)

BIODATA:
Nama : Devi Sandra Dewi
Panggilan : Sandra
TTL : Denpasar, 18 Juni 1994
Nama Orang Tua : Putu Arta Suardana dan Ni Putu Dewi
Prestasi : Miss Suzuki tahun 2007
Alamat : Jl Tukad Banyusari 75 A, Denpasar
Lokasi Pemotretan : Puri Asih Hotel, Jl Pantai Kuta 40
Hair Stylist & Make Up : Hanzen (Puri Asih Salon)
Mobil :
- Karimun, Swift (Club Browniez)
- Jimny Katana (Club Fingers)
- BMW 318i (Club Victory)
- Escudo (Club Speed People)
Fotografer : Gede Sustrawan & Putu Wirnata
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
Read More

Jumat, Oktober 10, 2008

Beny Uleander

Terimakasih Buat Rekan-rekan Blogger

Kata internet mulai singgah di telingaku saat mengenyam pendidikan teologi dan filsafat di STFK Ledalero, Nita, Maumere. Ada rasa penasaran untuk tahu apa itu teknologi internet. Maklum di tahun 1990-an, kami masih mengetik tugas-tugas kuliah seperti paper atau makalah dengan mesin ketik manual. Memang sudah ada komputer tapi masih versi Windows 90-an. Perintah-perintah pemrograman harus dengan mengedit dan menghafal ctrl oj on, dll...(sudah lupa). Saya ingat betul kakak kelas John Kopong terkenal mahir dan master dalam urusan ctrl oj on itu.
Sementara kehadiran Windows 95 terasa suatu badai baru bagi kami yang masih gagap mendalami dunia ctrl oj on WS 90 itu. Di tahun 1998, teman-teman yang sudah bisa mengoperasikan Windows 95 dihormati sebagai "kalangan melek" teknologi.
Saya sendiri lebih cenderung mempertahankan kebiasaan mengetik tugas-tugas kuliah dengan mesin ketik. Alasannya amat sederhana. Untuk apa belajar komputer? Wong pegang tuts aja susah sekali. Maklum komputer di biara hanya satu. Dipakai oleh seluruh penghuni biara. Hanya tim redaksi majalah Ziarah saja yang dapat hak istimewa untuk menggunakan komputer kapan saja...(kisahnya bersambung...)

Read More

Kamis, Agustus 14, 2008

Beny Uleander

Jurang Dijadikan Pasar

I Gusti Rai Putrayasa, SH Perintis Pasar Pengosari
Tidak banyak orang yang mau ribet mengurus sebuah pasar tradisional. Termasuk para pejabat pemerintahan. Belum masalah pedagang, sampah, semrawut dan lain-lain. Memang sangat sulit. Namun lain halnya dengan I Gusti Rai Putrayasa, ayah dua anak yang mendirikan sebuah Pasar Pengosari di kawasan Kerobokan, Badung. Pendirian pasar tersebut semata-mata karena rasa kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar.

Ia mendirikan Pasar Pengosari pada tahun 1991. Luasnya mencapai 50 are dengan jumlah pedagang sebanyak 300 pedagang. “Dulunya tempat tersebut adalah sebuah jurang yang kemudian saya timbun untuk mendirikan pasar,” ungkapnya kepada Koran Pak Oles.
Ternyata pasar yang dirintisnya menjadi “ladang usaha” pedagang sekitar Kerobokan dan dari luar Bali. Begitu pula dengan pembeli. Mereka datang dari berbagai penjuru tapi memang kebanyakan berasal dari lokasi sekitar pasar. “Hampir semua kebutuhan ada di sana, terutama kebutuhan untuk masyarakat Bali yang memiliki budaya cukup kental,” ujar pria kelahiran Badung, 31 Maret 1962 silam.
Untuk pengamanan dan kebersihan lingkungan pasar, anggota DPRD Badung ini melibatkan 6 orang warga sekitar pasar Pengosari tepatnya di Banjar Gede Kerobokan. “Sementara untuk kebersihan saya percayakan ke perusahaan swasta untuk mengangkut sampah untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah,” tambah suami dari Herawati yang pernah menimba pengalaman kerja di beberapa hotel berbintang di daerah wisata Kuta.
Melihat kiprah pasar tradisional sebagai jantung perekonomian masyarakat kecil, Rai Putrayasa berharap pemerintah daerah merespon dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, pribadi atau desa adat untuk mendirikan sebuah pasar jika ada yang ingin mendirikannya. Apalagi melihat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh pasar sangat tinggi.
Read More
Beny Uleander

Pasar Badung; Denyut Ekonomi Yang Berdetak 24 Jam

Pasar Badung sebuah pasar tradisional di Kota Denpasar yang hidup 24 jam sebagai jantung ekonomi rakyat jelata. Letaknya bersebelahan dengan Pasar Kumbasari yang kini dalam tahap renovasi paska terbakar tahun 2007 lalu. Terletak di sisi timur dan utara tukad (sungai) Badung.
Pasar Badung dan Kumbasari dihubungkan tiga jembatan. Sebuah jembatan besar dalam lintasan Jl Gajah Mada yang dilalui mobil, sepeda motor maupun pejalan kaki dan bisa tembus Jl Gunung Kawi. Kedua jembatan lain dibangun khusus bagi para pejalan kaki, konsumen atau pedagang selebar 1 meter. Tak heran pengunjung sering berdesakan kala melintasi jembatan itu.

Selain 'ladang' yang menyiapkan ragam bahan kebutuhan pokok, pasar juga tempat pertukaran kebudayaan. Pasar Badung telah menjelma menjadi ruang interaksi sosial antara masyarakat lokal dan pendatang. Ada transaksi tukar-menukar dan jual beli produksi pertanian, barang kerajinan, perlengkapan upacara adat atau agama dan industri rumah tangga.
Pasar Badung menyimpan sejarah nan panjang. Konon tukad Badung jadi lintasan pasukan ekspedisi Belanda yang bergerak menuju Pamecutan dari Denpasar pada peristiwa Puputan Badung, 20 September 1906.
Aktivitas ekonomi yang tinggi sejalan citra Denpasar sebagai kota budaya yang ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Secara tidak langsung turut berpengaruh peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan pokok dan barang. Wisatawan kerap belanja di pasar itu. Sebagai ibu kota propinsi, Pasar Badung menjadi penyangga nadi ekonomi pedagang kecil dan penyedia kebutuhan pokok yang murah meriah. Tak heran, Pasar Badung yang dibangun tahun 1977 sempat hangus dilalap api tahun 2000 dan kembali direnovasi yang berakhir tahun 2001.
Pagi dini hari, pukul 02.00 WITA para pedagang, pemborong sayur dan buah-buahan sudah berdesakan. Kendaraan tumpah ruah di areal parkir. Di emperan pertokoan Jl Sumatera, ada gadis-gadis dakocan (dagang kopi cantik) yang menjual nasi jinggo dan minuman. Memang tampang mereka cantik-cantik. Biasanya para dakocan berjualan dari pukul 24.00 sampai 03.00 Wita dini hari. Pengunjung dapat memasuki Pasar Badung via Jl Gajah Mada (dari Utara), di sebelah Barat Pos Pecalang dan Candi Bentar, Jl Sulawesi (dari Timur dan Selatan), atau lewat jalan masuk Pasar Kumbasari dan Jl Gunung Kawi.
Bangunan Pasar Badung dengan konstruksi arsitektur Bali tergolong bangunan monolit, berlantai 4, berdiri di atas lahan 6.230 m2, dengan luas lantai 8.016.00 m2. Gedung induk memiliki 8 tangga; 6 di pojok-pojok gedung, 1 di tengah dan 1 di barat.
Pasar Badung kini menampung banyak pedagang, yang menempati 295 kios, 1363 los, 495 di pelataran dan 7 kios yang dibangun pedangan di tanah kosong dalam kompleks pasar. Lantai I digunakan untuk pedagang canang, bunga, buah, sayur dan jenis kue (bagian depan dan tengah), ikan, unggas, telur dan daging (bagian belakang). Lantai II bagi pedagang beras, kacang atau sembako. Lantai III (depan dan tengah) untuk pedagang kain, baju, pakaian sembahyang ke pura dan perlengkapan upacara, serta bagian selatan (belakang) ditempati pedagang makanan dan minuman.
Khusus lantai IV untuk kegiatan perkantoran PD Pasar Kota Denpasar, yang dilengkapi ruang aula, pertemuan terbatas, sekpri, dirut, dirut I, Dirut II, bagian umum, keuangan, teknik, pengawasan, kebersihan dan pertamanan, koperasi, pelayanan kesehatan reproduksi milik Yayasan Rama Sesana (YRS), kepala unit Pasar Badung, Dharma Wanita Persatuan dan toilet. Di 3 sudut bangunan (lantai bawah) ada 3 buah toilet publik (di barat laut, barat daya dan tenggara).
Rancangan arsitektur memang menjelimet namun ada terobosan elegan dan holistik. Menyiasati suasana gelap di beberapa sisi ruangan lantai II dan III ada gubahan dinding terbuka yang didukung dua buah void (lubang), salah satunya tembus ke lantai satu, sehingga masuknya penerangan sinar matahari dan udara segar dari luar. Pasar Badung memang dikenal sebagai pasar yang padat dan ramai. Di dalam areal pekarangan, membludak mobil dan sepeda motor pembeli dan penjual, dekat Posko Informasi, Keamanan dan Trantibnas.
Pasar Badung memiliki dua keunikan. Pertama, bertebaran para WTS (wanita tukang suun) yang menawarkan jasanya untuk mengangkat barang (suun) belanjaan dari konsumen. Jasa ini kian marak karena penataan parkir yang cukup baik di sekitar areal pasar.... yang justru menyebabkan jarak tempuh dari pasar dan tempat parkir jadi cukup jauh. Apalagi bila ada konsumen yang harus membawa belanjaan dari dalam pasar sedangkan parkir mobil ada di Jl Kartini. Lumayan jauh jarak yang ditempuh para wanita tukang suun dengan patokan harga Rp 5000, Rp 10.000 sampai Rp 20.000.
Keunikan kedua; ada tempat suci (unsur parahyangan) pasar atau pura pasar, yang lazim disebut Pura Melanting. Dalam balutan arsitektur Bali, areal Pasar Badung dibatasi tembok panyengker gaya Badung/Denpasar. Di sebelah Utara bangunan ada Pura Melanting Sari Buana, dan di Selatan ada Pura Beji Pasar Badung. Aspek ini sejalan dengan religiositas masyarakat Hindu Bali yang selalu berpegang pada konsep Tri Hita Karana, dengan berlandaskan ajaran Agama Hindu guna tercapainya hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam lingkungan. Mengamati suasana harian di kompleks bangunan pasar, PD Pasar perlu meningkatkan standar pengawasan sanitasi pasar tradisional yang meliputi pembuangan limbah, sampah, kebersihan MCK, sirkulasi, pencapaian, penanggulangan bahaya kebakaran, keamanan dan kenyamanan konsumen dalam berbelanja. (KPO EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Kala Pintu Liberalisasi Kian Terbuka Lebar

Pemerintah Indonesia membuka pintu liberalisasi ekonomi yang selebar-lebarnya kepada perusahaan-perusahaan raksasa internasional. Sebuah kenyataan ekonomi yang sulit dikelit negara berkembang. Lantas, rakyat kecil tertatih-tatih menggarap celah-celah usaha medioker dengan omzet di bawah Rp1 jutaan.
Mal, supermarket maupun hypermarket, misalnya, secara simultan dikelola pemodal asing. Carefour misalnya, mulai menancapkan jejaring usahanya di beberapa kota besar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan eksistensi pasar tradisional dengan ciri komunikasi interaktif pembeli dan penjual itu? Tak bisa dipungkiri kini pasar tradisional di daerah perkotaan kian termarjinal oleh pembangunan supermarket, swalayan dan puluhan outlet. Padahal pasar tradisional menjadi penyangga dan tulang punggung perekonomian rakyat kecil. Dosen Undiknas Drs Ida IDM. Rai Mahaputra MS berharap pemerintah daerah sepatutnya memproteksi keberadaan pasar tradisional.
Jangan lupa, para pelaku ekonomi pasar tradisional adalah kalangan dan komunitas kelas bawah, pebisnis pemula yang baru belajar menjadi entrepreneur. Sebagai ciri budaya bangsa, pasar tradisional perlu dipertahankan dan dipelihara karena memiliki daya pikat bagi pelancong luar.
Suasana pasar yang kumuh, kotor dan perparkiran yang semrawut dilihat sebagai akibat perhatian pemerintah yang setengah hati dan memarjinalkan peran pasar tradisional yang ada. Padahal pasar tradisional memiliki potensi dan andil yang cukup besar dalam menghidupkan roda perekonomian rakyat dan juga mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia tahun 1997.
Langkah proteksi pemerintah meliputi penyediaan fasilitas dan sarana fisik berupa kios, los, kenyamanan, keamanan, kebersihan, parkir dan akses transportasi serta pemberdayaan SDM para pelaku pasar. Bila langkah pemberdayaan pasar tradisional berjalan efektif bukan tidak mungkin pasar rakyat ini akan menampilkan citra "One Stop Shoping" yang dimiliki pasar modern. Sekali berbelanja berbagai kebutuhan bisa terpenuhi mulai dari produk sampai dengan sarana hiburan lainnya tersedia.
Ada kesan kuat mencuat, pemerintah daerah kurang cerdas mengatur tata ruang lokasi pasar modern dan pasar tradisional. Hampir semua daerah tidak memiliki zona jelas dan tegas terkait kompleks bisnis, ruang sosial, kawasan pemukiman, dan termasuk pasar. Ada alih fungsi tata ruang yang tidak terkendali, misalnya kompleks yang semula dijadikan pemukiman masyarakat, tiba-tiba berubah jadi swalayan atau supermarket dan kompleks ruko.
Akibatnya daya saing pasar tradisional melemah bahkan sekarat dalam segala macam persoalan, --pemasaran, modal dan produksi. Produk-produk yang dipasarkan hanya kelas dua atau kelas tiga. Sedangkan yang kelas satu, kelas super atau kelas istimewa sudah disadap dan dipasarkan pasar modern seperti hypermarket, supermarket dan hotel.
Pemerintah terkesan begitu longgar memberikan payung proteksi kepada pasar tradisional, khususnya sosialisasi aturan dan tata tertib yang berlaku. Misalnya pedagang (pelaku pasar) cenderung berjualan pada sembarang tempat sehingga mengurangi tempat-tempat penimbunan barang atau parkir. Pemda tidak cukup hanya menyediakan tempat berupa gedung, tetapi pembinaan agar pelaku pasar mampu mengadapi persaingan dengan modal yang memadai. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Selebritas Pemberitaan

Setiap insan dalam segala keelokan talenta menyisir alur kehidupan terberi. Jejak fase kehidupan menghidangkan kerumitan dari masa kana-kanak, remaja hingga dewasa. Di belahan pengalaman kegembiraan maupun semburat duka bercampur tangis bersemi sinar harapan. Ya…manusia mencari dan terus mencari hari demi hari sebuah alasan eksistensial. “Untuk apa saya hidup dan ke mana saya akan melangkah!”
Kegamangan yang amat mendalam ini kerap mendorong manusia masuk dalam alam refleksi. Ada saat di mana seseorang diam hening berbincang intens dengan dirinya. Ia mematangkan pandangan hidupnya secara rohaniah dengan menekuni kitab-kitab keagamaan yang diyakini. Ia menenangkan kegelisahan nurani dengan menyerap butir-butir kebijaksanaan dari orangtua, guru, sahabat dan teman hidup yang dijumpai. Muara penemuan diri berujung pada kerendahan hati: setiap insan –yang berbeda ras, agama dan budaya—adalah duta-duta kehidupan.
Keajaiban terjadi kala seseorang menyadari dirinya sebagai pribadi yang mandiri, bebas dan otonom. Pribadi yang memiliki potensi pengembangan diri dan aktualisasi karakter. Hanya ada satu Barack Obama. Cuma ada satu Sheila Marcia. Juga Osama Bin Laden berbeda dengan Mike Tyson. Setiap pribadi mengukir kisah hidupnya sendiri. Kita tidak ditugaskan untuk bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Namun kesadaran kita akan benih-benih kebaikan membuat kita lebih awas untuk tidak melukai kehidupan dengan amarah, dendam dan irihati.
Saat ini gendang pengungkapan korupsi terdengar ramai. Silat lidah politikus muda dan tua seperti sebuah ketoprak humor. Pengurus partai maupun tokoh independen gencar mengiklankan diri. Sementara rombongan aktor dan artis yang terlanjur tersohor mencoba peruntungan di panggung politik maupun kekuasaan. Koruptor, aktivis, penjahat sekelas Verry Idam Henyansyah alias Ryan hingga elite politik di negeri ini menjadi “tokoh publik”. Itulah kekuatan selebritas pemberitaan maupun parade iklan yang berlangsung kontinyu.
Setiap saat selalu ada wajah baru maupun lama yang nongol di layar kaca menyapa kita lewat akrobat peran mereka dalam kisah tertentu. Wajah Artalyta Suryani begitu familiar bak artis dadakan. Sosok Roy Surya sang pengamat IT dengan suara analisis terekam akrab di telinga pemirsa. Tawa renyah Oprah Winfrey menyapa bintang tamu sudah seperti suara orang terdekat di hati kita.
Selebritas pemberitaan membuat obyek pemberitaan menjadi subyek tontonan mengasyikkan. Tragedi maupun bencana seperti pentas kolosal di sebuah tempat. Masyarakat digital kerap tak peduli dengan masalah-masalah krusial kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri.
Demikian pula di pentas politik, rakyat digiring mendewakan tokoh-tokoh muda yang dicitrakan dinamis dan penuh daya dobrak. Tapi, perangkat-perangkat pencitraan “lupa” bahwa yang tersajikan adalah selebritas wacana, opini, asumsi dan prediksi. Bukan selebritas aksi.
Itulah kelemahan krusial yang membuat kita lupa bahwa setiap kita adalah duta kehidupan. Pribadi-pribadi yang menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Karya kita adalah eksistensi kita. Bakti kita adalah kualitas kemanusiaan kita. Itulah yang tidak tertanam sebagai gerak kesadaran untuk membangun bangsa dengan kerja keras dan karya cerdas. Akibatnya kita (bangsa Indonesia) lamban membaca peluang-peluang usaha. Saatnya kita meneladani bangsa Cina dan India yang mulai menawarkan kejayaan peradaban baru di tengah pudarnya dominasi “peradaban Amerika”. Mereka bangsa yang tekun dan pekerja keras. Apakah manusia Indonesia jarang berkomunikasi dengan dirinya, memasuki alam refleksi sehingga tidak mau tahu bahwa hidup adalah berkarya bukan bermimpi. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More

Rabu, Agustus 13, 2008

Beny Uleander

Memetik Hikmah Pemimpin Pro Rakyat

Sharing “Gubernur Jagung” Fadel Muhammad (4-habis)
Pusaran arus pergulatan pembangunan pro rakyat di kawasan Amerika Latin mulai meluas di negara-negara berkembang. Hugo Chaves sukses meraih dukungan rakyat Venezuela untuk kedua kali. Meski sejarah masih menyisakan kisah yang belum terjawab: apakah Chaves akan tergoda oleh kenikmatan kekuasaan. Demikian pula, mayoritas petani miskin Bolivia mendaulat Evo Morales yang sukses menasionalisasi perusahaan asing untuk mengembalikan kedaulatan kekayaan negara.
Trend mengejutkan datang pula dari jantung Amerika Latin, yaitu Paraguay. Uskup Emeritus Fernando Lugo yang dikenal gigih menerjemahkan teologi pembebasan option for the poor terpilih menjadi pemimpin negeri itu. Kembali arsip sejarah yang akan bercerita sukseskah Lugo sebagai pemimpin agama berkiprah di panggung politik yang kotor dan serakah? Yang pasti percikan ideologi kesejahteraan mulai tercecer di berbagai belahan dunia.
Ideologi kesejahteraan entah berbaju sosialisme atau neososialisme tetap sebuah gerakan kesadaran baru era digital ini. Pergulatan pasar bebas yang kapitalistik membentang kenyataan pahit: penjajahan ekonomi yang amat keji. Negara-negara kaya dengan perusahaan raksasa berkolaborasi menancapkan mega proyek pengerukan kekayaan alam di sebuah negara. Jurus lain kolonialisme di abad 21 yang penuh eksploitasi sumber daya alam maupun manusia. Indonesia pun terjepit genggaman arus modal asing dalam berbagai perusahaan asing maupun “blasteran” dari Sabang sampai Merauke.
Seiring debur kencang “tsunami” ideologi kesejahteraan, regenerasi kepemimpinan yang diproduksi kalangan elite politik mulai memudar. Kini pemimpin pinggiran yang tidak terkenal, tapi dengan dukungan rakyat bisa menggapai poros kekuasaan. Uniknya lagi, di tengah “ideologi baru”, rakyat merindukan pemimpin muda yang dianggap segar, penuh vitalitas, dinamis dan jiwa yang terbuka menggapai kemungkinan terjauh menuju perubahan baru.
Lalu apa hubungan ideologi kesejahteraan dan jejak pembangunan yang dirintis Gubernur Fadel Muhammad di Propinsi Gorontalo? Di saat para pengamat politik dan aktivis mencalonkan diri sebagai calon presiden, diam-diam Fadel yang berada di lingkaran elite partai Golkar memilih kembali mengabdi di daerah. Ketika perguliran rezim dikritik gagal memberantas kemiskinan, diam-diam pula Fadel membuat grand desain pembangunan ekonomi lokal yang memadukan kinerja birokrasi dan potensi kerakyatan sebagai tonggak pembangunan daerah.
Sepak terjang Fadel Muhammad memang tidak serta merta mendaulat sosok pemimpin muda itu layak “melirik” kursi RI 1. Namun setidaknya, langkah-langkah pembangunan agraris bisa diretas di negeri ini dan oleh seorang pemimpin muda. Entah tua ataupun muda…pemimpin negeri ini harus berani dan tegas merintis penguatan ekonomi kerakyatan. Tentunya berani menggusur jejaring kapitalis-neokolonialisme modern yang memiskinkan rakyat.(KPO EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More

Minggu, Agustus 10, 2008

Beny Uleander

Alya Rohali Siapkan Bahan Bakar Buat Andjani

“Andjani kalo ke sekolah berangkatnya jam tujuh. Waktu TK, dia sering sarapan di mobil. Saya lalu berpikir tidaklah baik kalo itu jadi kebiasaan,” kenang Alya Rohali (32) mengawali kisah bagaimana ia membiasakan puterinya Namira Andjani Ramadina, berusia 9 tahun, gemar sarapan pagi.
Presenter dan bintang sinetron Alya Rohali hadir di Denpasar bersama puteri semata wayangnya Andjani --buah perkawinan dengan suami pertama Eri Surya Kelana--
membagi tips dan pengalaman kepada orangtua terutama kaum ibu untuk mengisi “bahan bakar” anak sebelum memulai aktivitas seharian.
Sarapan pagi identik dengan mengisi “bahan bakar” sehingga anak memiliki kecukupan energi untuk beraktivitas. Sarapan adalah kegiatan makan yang terpenting bagi anak, setelah makan malam kira-kira 12 jam sebelumnya. Setelah berjam-jam tidak memperoleh asupan makanan, maka tubuh anak membutuhkan sarapan sebagai bekal kegiatannya sepanjang hari.
Riset memperlihatkan bahwa sarapan berperan mendukung prestasi belajar anak di sekolah. Alya Rohali telah membuktikan bahwa anak-anak yang rajin sarapan bergizi, termasuk sereal, akan lebih baik di sekolahnya. “Saya melihat ada korelasi kebiasaan Andjani sarapan pagi dengan prestasinya di sekolah. Andjani jadi jarang sakit, prestasi bagus dan absensinya juga bagus. Andjani jadi jarang jajan di sekolah. Untuk ibu-ibu jangan lupa perhatikan sarapan pagi dan pilih sereal yang bernutrisi,” saran Puteri Indonesia 1996 itu saat menjadi bintang tamu Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut konsultan gizi Nestle Farida Nuryati, sarapan memberi 20-23 persen kebutuhan nutrisi. Sarapan juga mencegah kegemukan dan anak bisa jarang jajan. “Sarapan yang baik terdiri dari biji-bijian yang mengandung karbohidrat, protein dan vitamin yang biasanya terdapat dalam produk gandum utuh,” ujarnya.
Data European Breakfast Cereal Assosiation mengatakan, anak-anak yang sering sarapan sereal lebih tercukupi kebutuhan vitamin dan mineralnya dibanding dengan anak yang jarang sarapan sereal. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Melirik Jajan Alami

Nena Mawar Sari, S.Pi
Anak-anak umumnya doyan jajan alias camilan. Tapi kebiasaan jajan lebih banyak rugi daripada untungnya, seperti diungkap konsultan gizi dan psikolog Nena Mawar Sari, S.Psi. saat ditemui dalam ajang Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut Dosen Akbid Kartini Denpasar itu, jajan tidak bisa menjadi pengganti makanan. Karena jajan tidak cukup mengandung kadar gizi seperti protein, karbohidrat, mineral dan vitamin yang penting untuk pertumbuhan fisik anak.
Ia mengaku prihatin melihat semakin banyak jenis jajan pabrikan dengan bahan pengawet yang beredar di pasaran. “Ibu-ibu sebaiknya membuat sendiri camilan alami seperti singkong. Ngga mungkinlah kita melarang iklan dan penjual jajanan di supermarket,” ujar dara kelahiran Denpasar 16 April 1982.
Ditanya kenapa anak-anak doyang jajan, dosen yang masih lajang ini menyebutkan bahwa anak-anak cepat jenuh atau sulit makan menu yang tidak bervariasi di rumah. Ia mengusulkan kepada para orangtua agar membuat variasi menu makanan yang bisa mengundang nafsu makan anak. “Orangtua sebaiknya tahu dasar-dasar makanan bergizi dan menu dengan sayuran untuk pencernaan perut anak,” ujar Nena Mawar Sari yang juga konsultan LK3.
Misalnya, jelas psikolog muda itu, perpaduan menu yang mengandung daging dan sayuran. Nena Mawar Sari menyebut pangsit isi sayuran yang mengandung vitamin, karbohidrat dan protein bisa jadi alternatif. Atau omlet mie yang terbuat dari telur. “Anak-anak makan di rumah lebih efektif daripada membeli jajanan di supermarket,” urai alumni Universitas Wisnuwardhana Malang tahun 2003. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More
Beny Uleander

Biarkan Anak Panah Melejit

IGA Diah Fridari, S.Psi.
Berbicara lugas, cerdas dan penuh perhatian. Itulah gaya komunikasi yang dibangun praktisi psikologi industri dan organisasi IGA Diah Fridari, S.Psi. Saat disinggung dunia tumbuh kembang anak, ibu tiga anak itu dengan sigap menanggapi. Anak-anak adalah sosok kepribadian otonom. Mereka memiliki karakter dan kepribadian sendiri. “Ya seperti ditulis penyair Khalil Gibran, anak itu ibarat anak panah yang dibiarkan melejit,” tukas Diah, demikian sapaannya.
Karena itu, orangtua tak perlu membentuk sepenuhnya kepribadian anak sesuai selera ayah ibu. “Memang ada teori tabula rasa. Anak seperti kertas kosong, tapi sebenarnya dalam diri anak ada potensi karakter yang bakal bertumbuh,” urai Diah yang menyelesaikan Magister Profesi Psikologi Unair Surabaya 2006 lalu.
Lantas wanita kelahiran Denpasar, 2 Februari 1974 silam itu mengusulkan orangtua lebih menerapkan pola pengasuhan otoratif yang mengutamakan cinta orangtua tanpa pamrih kepada anak. Ada komunikasi yang terbangun antara anak dan orangtuanya. Selain itu, anak dibawa ke arah empati sehingga anak kelak memiliki kecakapan sosial. Tentunya berbeda dengan pola asuh otoriter atau permisif yang serba membolehkan anak tanpa disiplin. “Orangtua harus jadi pendamping dengan rasa respek kepada anak dan memandang dunia dari sudut pandang anak,” saran istri dr IB Krisna Wiweka itu.
Selain memperhatikan faktor gizi dan makanan anak, Diah Fridari, mengajak orangtua memperhatikan kesehatan psikis anak. Pola pendampingan orangtua berpengaruh pada pertumbuhan mental anak. “Pikiran itu sumber penyakit. Stres dan depresi terjadi karena pikiran. Memang sih ada virus dan bakteri yang mendatangkan penyakit,” ujarnya.
Diah lebih menekankan pendampingan orangtua yang membuat anak memiliki konsep diri yang matang. “Anak-anak jadi lebih optimis secara mental bukan kognitif. Kita lihat saja anak-anak yang tinggal di panti asuhan melihat kasih sayang sebagai barang yang mahal. Akibatnya secara psikologis timbul penolakan terhadap diri sendiri yang terungkap dalam sikap agresif, psikopat atau minder sebagai mekanisme pembelaan diri dari rasa tidak nyaman atau kompensasi,” urainya lagi. (KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Read More

Rabu, Juli 30, 2008

Beny Uleander

Kalkulasi Kenikmatan

Dua goresan hitam menyilang tebal pada wajah peradaban negeri ini. Dua guratan duka mengawali kematian sebuah negeri. Pertama, mega skandal korupsi massal legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, rentetan eksekusi mati para terpidana mati yang melakukan aksi kriminal karena motif ekonomi.
Dari kedua pahatan peristiwa historis itu, bergulir topik debat publik nan hangat. Bagaimana kalau para koruptor digiring ke tiang pancung -hukuman mati. Alasannya, uang negara yang dicuri selama ini menjadi biang keladi kemiskinan yang menggurita dan membelit rakyat negeri yang kaya sumber daya alam ini. Sedangkan para pelaku kriminal yang ditembak mati hanya menghilangkan nyawa segelintir orang. Sementara kerakusan para koruptor membuat jutaan rakyat hidup terlunta-lunta di medan kemiskinan.
Montesquieu dengan cemerlang menggagas trias politika sebagai pilar-pilar penyangga eksistensi rakyat dan negara. Sebuah cetusan ide yang progresif dalam tataran sistem. Tapi apakah pernah terlintas dalam benak Montesquieu pada tahun 1748 bahwa tiga pilar demokrasi itu pada moment tertentu akan “berselingkuh ria” menghancurkan negara. Ya fakta telanjang “perselingkuhan” terpampang setiap hari di layar kaca dan kertas koran di negeri ini. DPR telah menjadi mafia korupsi uang negara. Kejaksaan diobok-obok karena sudah dari dulu tidak dipercaya kredibilitasnya. Setali tiga uang, aparat birokrat, termasuk mantan pejabat banyak yang dicokok KPK karena ada dugaan mark up tender dan proyek pembangunan.
“Permainan kotor” tiga tiang penyimbang kekuasaan itu menyebabkan angka golput terus meningkat secara signifikan dalam beberapa event pilkada gubernur maupun bupati yang dilakukan secara langsung di berbagai daerah. Meski begitu, negeri ini belum mati. Itu karena masih ada laskar-laskar mandiri yang tidak mau mencicipi sensasi kenikmatan hidup dengan uang haram. Mereka bukan pengikut setia Epikuros (342-271 SM) yang menganjurkan agar orang menjauhkan diri dari kesibukan ber-polis karena kegiatan itu berisiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Mereka juga bukan pengusung idealisme Kantian dan Fichte yang tidak mau menaklukkan diri kepada benda-benda berharga yang ada di alam ini. Siapa mereka?
Para laskar mandiri tidak lain adalah pribadi-pribadi yang tidak mau menjadi budak harta. Tujuan hidup tertinggi bukan pada kepuasan hidup bertabur emas dan dollar. Kalkulasi kenikmatan tertinggi ada pada kebebasan dan kreasi untuk menghasilkan karya berharga lewat sketsa pekerjaan. Kehidupan adalah ruang berbagi cinta, perlindungan, penghargaan, ketulusan dan gairah untuk menciptakan surga damai di dunia. Kru legislatif boleh serakah! Tim Yudikatif silahkan menebar jurus-jurus pemerasan! Grup eksekutif bebas menilep uang proyek! Tapi selama kebeningan nurani belum punah dari bumi pertiwi, detak jantung Republik ini akan terus berdenyut.
Kebahagiaan sejati ditakdirkan menjadi milik pribadi-pribadi yang bukan “tukang-tukang” kekuasaan. Juga kedamaian bersemayam dalam batin yang puas menikmati kehidupan dengan hasil karya. Mereka tidak membunuh karena kemiskinan dan mereka tidak merampok uang negara karena tahu letak sesungguhnya sumber-sumber kenikmatan batin. Karya agung hanya lahir dari jiwa yang setia menatap keluhuran kemanusiaan. Kemalangan selalu menghampiri pribadi yang bersandar pada kekuatan sihir kuasa dan uang. (KPO EDISI 157/AGUSTUS 2008)
Read More

Senin, Juni 30, 2008

Beny Uleander

Bandit Kapitalis

Kesejahteraan tidak selalu dipungut dari perut bumi. Kesejahteraan juga bukan hujan yang meluncur turun dari langit. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan berkelana ke setiap jengkal benua baru. Segala hasil alam yang ada di perut bumi dilihat sebagai sumber-sumber kesejahteraan baru.
Namun catatan sejarah membagi pengalaman berharga. Bukan perkara gampang memungut bulir-bulir kesejahteraan. Perebutan kekayaan alam antar bangsa melahirkan penjajahan dan perang. Itulah awal kesadaran setiap komunitas membangun pertahanan diri. Sebuah visi baru bahwa kehidupan adalah hak setiap manusia. Demikian pula kekayaan alam adalah anugerah bukan kutukan. Dalam perspektif yang lugas, pengkhiatan terhadap ruang-ruang kehidupan dan kemanusiaan adalah awal kemiskinan.
Gairah mengumpulkan hasil-hasil alam akan berbeda di tangan kapitalis maupun humanis. Penyembah kapitalis terpesona penuh takjub melihat sumber-sumber kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Di mata batin kaum humanis, alam dan segala isinya adalah anugerah kehidupan. Alam adalah bentangan ladang kesejahteraan.
Mosaik kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan sudah bergulir sejak era kekaisaran klasik hingga kepresidenan konstitusional modern. Siapakah yang menyalakan lentera kemiskinan di muka bumi ini? Mengapa kemiskinan yang diperangi setiap zaman selalu tampil lagi dengan potret yang lebih memilukan hati? Kemiskinan selalu terlahir di tengah komunitas yang sebagian warganya melihat kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Rona kemelaratan adalah buah sejati dari upaya sistematis dan strategis mengusir yang kecil tak berdaya menikmati kekayaan alam.
Di medan perang, prajurit-prajurit kapitalis adalah serdadu barbar yang menyebar virus-virus kematian. Mereka menertawakan Republik Ide yang dibangun Plato sebagai khayalan akan hadirnya surga dunia. Bagi mereka, De Civitate Dei yang dirindukan filsuf Agustinus pada abad ke-5 adalah tiran baru anti kedai anggur dan rumah bordir. Itu berarti, tak ada kesempatan buat merayu, tak ada tempat pertemuan rahasia yang selama ini dinikmati penyembah kapitalis.
Mereka juga mengejek kisah perjalanan Raphael Hythlodaeus, satu dari 24 orang yang dibawa sang penjelajah termashur, Amerigo Verpucci, dalam perjalanan dan ditinggal di Cabo Frio, Brazil. Bagi dedengkot kapitalis, penemuan pulau utopia oleh Raphael Hythlodaeus -tokoh rekaan- Sir Thomas More pada tahun 1515 itu tak lebih dari ungkapan frustrasi “orang-orang saleh”.
Kehidupan adalah sebuah petualangan sekaligus pertarungan. Memang benar adanya. Petualangan untuk mencari dan mengusahakan merekahnya keadilan, kebaikan dan keluhuran dari rahim bumi. Bukanlah hal yang mustahil untuk terwujud selama kita percaya pada pengembangan dan penemuan terdalam kemanusiaan itu sendiri. Hanya pribadi-pribadi yang sudah mencapai “pencerahan humanis” yang berani tampil sebagai pemimpin yang menghancurkan benteng-benteng kapitalis. Hak-hak rakyat harus dilindungi di tengah pasar bebas yang sangat menguntungkan para tengkulak. Negara dan pemerintah belum berani melakukan intervensi terbatas kebijakan harga sembako dan produk pertanian yang selama ini tidak bersahabat dengan rakyat kebanyakan. Tapi apa yang mau dikata, negeri ini masih dipadati pemimpin-pemimpin karbitan yang dibesarkan kampanye media massa dan iklan.
Bisakah kesejahteraan bersemi di negeri kita? Bila ditanya dari mana datangnya kesejahteraan, maka jawaban historis amat panjang mengurai debat ideologi. Setiap ideologi pembangunan berlomba-lomba menawarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Yang pasti, jalan menuju kesejahteraan akan dipandu oleh pemimpin yang melihat kekayaan alam sebagai rahmat bukan kutukan. Hatinya sakit dan menderita melihat rakyat agraris hidup miskin di tanah pertanian.
Tak ada salahnya di tengah pertarungan iklan calon pemimpin bangsa jelang pilpres 2009, kita terus berdoa lahir tokoh pemimpin yang mendesain sketsa besar tapi membumi bagaimana dengan cara-cara singkat membuat rakyat di pedesaan sejahtera.
Karena itu, seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang terus-menerus menerapkan ideologi kesejahteraan yang diyakini membawa kemaslahatan bagi bangsa.
Ideologi bukan sekedar kumpulan ide atau gagasan yang dipahami Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 sebagai "sains tentang ide". Ideologi adalah perbuatan yang membangkitkan rasa percaya rakyat. Sehingga rakyat pun terdorong untuk bekerja lebih keras. Karena rakyat tahu buah hasil kerja keras mereka akan mendatangkan peningkatan pendapatan.
Saat ini, rakyat terus diteror dengan kanaikan-kenaikan harga. Pelaku pasar bebas dengan santai berujar pada akhirnya rakyat akan menyesuaikan daya belinya. Wahhh…kasihan, rakyat miskin-papa-hina-dina-lemah- dibantai serdadu-serdadu kapitalis yang berpikir Jakarta adalah Indonesia. Mereka tak peduli menajamkan ideologi dan visi bagaimana 70 persen uang yang beredar di ibukota negara itu terdistribusi juga ke daerah-daerah. Bangsa kaya raya, tapi pemimpinnya idiot ataukah bandit-bandit kapitalis baru? Sejarah yang akan bercerita lagi kepada anak cucu kita, siapa itu pemimpin sejati di negeri ini. (KPO EDISI 155)

Read More

Minggu, Juni 15, 2008

Beny Uleander

Menata Agrowisata Terkonsep

Sudah saatnya, pembangunan industri terutama industri pertanian berada di desa. Bukankah segala sumber daya yang berhubungan dengan industri pertanian berada di desa? Desa, dengan segala aktifitas dan potensi pertaniannya tetap menjadi aset utama pembangunan industri di seluruh wilayah perkotaan. Bila masyarakat desa sejahtera, maka Indonesia juga akan sejahtera.
Untuk mengembangkan industri pertanian di desa, misalnya PT Karya Pak Oles Tokcer menggulirkan lima gagasan pokok. Pertama, Konsep Pengembangan. Konsep pengembangan industri pertanian harus lebih banyak menggunakan bahan baku lokal, yang diproduksi petani setempat. Petani dibina agar mampu memproduksi hasil pertanian sehingga hasilnya bisa ditampung oleh industri dengan harga yang telah disepakati, masing-masing mendapatkan keuntungan nyata untuk saling menghidupi antara petani dan pengusaha industri. Industri pertanian hendaknya terletak tidak jauh dari sentra pengembangan bahan baku demi menekan biaya transportasi, mampu menyerap tenaga kerja di pedesaan.
Industri memberikan pendapatan kepada desa berupa pajak desa dan bantuan insentif yang bertepi pada pembangunan desa. Industri mampu meningkatkan investasi Pemerintah Daerah untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa, sekitar lokasi industri. Dengan begitu industri mampu meningkatkan daya beli masyarakat desa karena adanya aktivitas ekonomi dalam bidang jasa dan perdagangan di desa.
Kedua, Teknologi Pengembangan. Industri pertanian dikembangkan berdasarkan teknologi lokal atau nasional (bukan impor), mesin-mesin dirakit dan dimodifikasi secara nasional. Teknologi yang digunakan hendaknya dikembangkan berdasarkan budaya lokal yang dimodifikasi untuk kebutuhan industri modern. Modifikasi teknologi merupakan tugas lembaga penelitian yang dibiayai pemerintah daerah untuk mengembangkan industri pertanian, sehingga efisiensi, kualitas dan kontinyuitas produksi dapat ditingkatkan. Penggunaan teknologi lokal dapat menghasilkan harga jual produk yang dijangkau masyarakat luas, sehingga rakyat terpenuhi kebutuhannya dengan harga yang riil dan industri dapat menghidupi dirinya, karena pangsa pasar mampu membeli dan memberikan keuntungan riil.
Ketiga, Konsep Pemasaran. Pangsa pasar produk industri adalah masyarakat lokal (Indonesia). Potensi penduduk sebanyak 220 juta jiwa merupakan pangsa pasar yang sangat besar dan belum tergarap. Selama ini, justru negara lain yang datang untuk berdagang produk industri pertanian ke Indonesia, karena kita selalu menganggap enteng potensi pasar yang dimiliki. Industri dari hasil pertanian sebagian besar berupa produk makanan dan minuman, yang hasilnya bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia, jika produknya didukung kualitas, jaringan pasar dan informasi yang kuat.
Keempat, Konsep Permodalan. Industri pertanian hendaknya didukung permodalan dari bank dalam negeri, yang uangnya bersumber dari dana masyarakat. Uang yang dipinjamkan secara perlahan akan membesar sesuai kemajuan perusahaan. Untuk mengembangkan industri pertanian tidak diperlukan modal yang besar karena faktor produksi seperti bahan baku, sumber daya manusia. Industri juga harus didirikan dari kecil dan perlahan menuju yang besar. Modal yang dimaksud bukan semata-mata uang yang dibutuhkan dari bank, tapi jauh lebih penting adalah modal kreatifitas, ilmu pengetahuan dan modal keberanian untuk menjalankan usaha. Bila semua modal itu cukup kuat dan saling menopang, jelas memberikan nilai tambah secara terus-menerus kepada produk, dan itulah yang menghasilkan penjualan dan keuntungan bagi sebuah perusahaan.
Kelima, Konsep Pemanfaatan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang digunakan hendaknya direkrut dari SDM lokal (asal Indonesia). Kita bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing-masing mempunyai keahlian (bakat alami) sesuai adat istiadat setempat. Perlu menempatkan SDM pada tempat yang tepat sesuai keahliannya, dan meningkatkan SDM melalui program pendidikan dan pelatihan secara kontinyu. Gunakan sesedikit mungkin atau tidak sama sekali tenaga-tenaga dari luar negeri karena biayanya sangat besar. Kalaupun ada SDM luar negeri, segera diserap ilmu dan pengalaman mereka untuk diajarkan kepada SDM lokal. Dengan cara ini, SDM lokal miliki nilai keahlian yang lebih untuk bekerja di bidang menejerial menengah ke atas.
Pola pikir industri pertanian bukan berarti harus membangun dalam skala besar, memakai teknologi tinggi dan mahal, alat canggih dan perizinan ketat. Industri pertanian berarti produksi yang kontinyu, harga produk stabil, kualitas terstandar, pemasaran terjamin dan keuntungan jelas. Konsep pembangunan pertanian harus dibalik dari hilir ke hulu, dari industri pasca panen ke produksi budidaya pertanian.
Konsep tersebut akan merubah pola pikir petani dari pemasaran ke produksi. Pasar yang jelas akan memperkuat produksi budidaya. Sebaliknya produksi budidaya tidak menjamin pasar yang baik, dan sebaliknya justru bisa merusak pasar. Membangun industri di desa adalah usaha mendidik dan mengajarkan kepada para petani untuk memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Salah satu nilai tambah, yakni dengan memperluas cakrawala berpikir petani ke arah industri, baik perorangan (industri rumah tangga), kelompok (koperasi) maupun perusahaan. Secara ilmiah, aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian itulah yang lebih dikenal sebagai pengolahan pasca panen, dan dalam bahasa menejemen, menjalankan industri pertanian. (KPO Edisi 154)

Read More

Selasa, Juni 03, 2008

Beny Uleander

Suara Nurani JB Mangunwijaya

Masyarakat dunia terkejut campur heboh. Tepatnya, Jumat (30/5), ekspedisi organisasi Survival International yang mendukung suku-suku pedalaman di seluruh dunia, mengambil gambar Suku Indian langka yang dikira sudah punah di pedalaman Hutan Amazon perbatasan Brasil dan Peru. Foto mereka tertangkap dari pesawat udara sedang mengarahkan busur dan panah ke arah pesawat.
Apa hikmah penemuan menggemparkan tersebut bagi bangsa Indonesia? Di tengah sergapan peradaban modern, kita lupa bahwa gaya hidup materialistik demi perut dengan mengekploitasi alam membuat kehidupan penduduk asli di tanah Papua kian terpinggirkan dan tergusur. Sebagian suku ada yang punah sementara hasil alamnya dijarah habis-habisan. Di Sumatra, habitat hidup suku anak dalam yang hidup bersatu dengan alam pun mulai terusik akibat revolusi hutan jadi perkebunan kelapa sawit.
Penggalan kegusaran kembali melukai rasa bangga sebagai orang Indonesia. Pada tahun 2007 lalu, Candi Borobudur tergusur dari penilaian masyarakat internasional sebagai 7 keajaiban dunia. Kembali tahun ini, dalam pemilihan 7 Keajaiban Alam yang dilakukan secara online di situs http://www.new7wonders.com/, tiga tempat wisata nominator Indonesia: Gunung Krakatau (Banten), Danau Toba (Sumatera Utara,) dan Taman Nasional Komodo (NTT) masuk nomor buncit.
Dalam survei The New7Wonders Foundation tersebut, Taman Nasional Komodo mendapat urutan nomor 36, Gunung Krakatau urutan 70, dan Danau Toba urutan 71. Posisi ketiga tempat wisata Indonesia ini masih jauh di bawah tempat-tempat wisata di Asia. Saat ini 7 Keajaiban Dunia yang baru adalah The Great Wall of China, Petra, Chichen Itza , the Statue of Christ Redeemer, the Colosseum, Machu Picchu and Taj Mahal.
Minimnya suara pemilihan destinasi wisata dunia ini tidak lepas dari ketidakpekaan Departemen Pariwisata Indonesia untuk menggalang dukungan lokal dan internasional lewat kampanye dan sosialisasi. Padahal destinasi wisata yang masuk 7 keajaiban dunia dengan sendirinya akan menyedot perhatian dan kunjungan masyarakat dunia.
Mosaik fakta ketertinggalan dan kerapuhan pembangunan menandai peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Pada era Budi Utomo, semangat kebangkitan dipicu oleh gairah melawan satu musuh yaitu penjajahan kolonial Belanda. Dari satu muara perlawanan itu mengalir rasa kebangsaan, persatuan dan pengorbanan materi maupun nyawa.
Pertanyaan penuh gugatan kritis dilontarkan saat bangsa ini merindu-kenang kebangkitan nasional di era reformasi ini. Siapakah musuh bersama bangsa ini? Merumuskan dan mengidentifikasi musuh bersama amat penting. Sebab energi bangsa ini akan terhimpun untuk melumpuhkan musuh yang satu dan sama.
Menilik situasi sosial Indonesia, kita melihat bahwa wajah kemiskinan terbentang dari Sabang sampai Merauke. Warisan kekayaan sumber daya alam tinggal kebanggaan semu. Negara yang sempat dijuluki macan Asia itu sudah menjadi macan ompong, dalam iklan layanan masyarakat HKTI oleh Prabowo Subianto, ada benarnya.
Krisis ekonomi yang kembali mencekik bangsa ini bisa dilihat sebagai “padang gurun” refleksi bahwa ada yang keliru dengan strategi pembangunan di negeri ini. Kemelaratan hidup adalah akibat ketidakcerdasan mengelola potensi dan peluang. Ada arah pembangunan yang salah dan perlu segera diperbaiki. Menurut bahasa mantan Presiden BJ Habibie, pembangunan Indonesia yang macet ini perlu “direstart” meminjam istilah sistem kerja mesin komputasi.
Perombakan paradigma untuk membangun Indonesia baru dalam perspektif sederhana dimulai dengan menata hati nurani. Politik hati nurani yang dulu gencar disuarakan budayawan (alm) Jusuf Bilyatar Mangunwijaya pada tahun 1995 seperti hilang ditelan pertikaian agama, konflik antar etnis dan gontok-gontokan antar partai politik. Hati nurani adalah pelita yang bercahaya dalam jiwa. Menerangi lorong-lorong kehidupan. Suara yang menuntun ziarah langkah kita. Tekad yang membenihkan harapan di tengah himpitan kehidupan. Percikan keluhuran manusia yang tak bisa ditukar dengan uang. Hidup akan berakhir dan raga menuju kebinasaan, tetapi hati nurani tetap hidup di segala zaman. Saatnya kita merasakan sentuhan jari jemari nurani untuk merasakan detak jantung bangsa ini.
Hati nurani yang bening bisa melihat dengan jelas sumber masalah di negeri ini. Pendidikan bergaya kapitalis harus ditinggalkan agar semua anak Indonesia dapat menempuh pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi. Pemberantasan korupsi tidak sekedar tebang pilih sehingga keadilan hukum menjadi roh di negeri ini. Uang negara pun akhirnya efektif untuk pengembangan fasilitas layanan sosial dan prasarana fisik lainnya.
Hati nurani yang jernih memberi visi baru: kebangkitan pasar dengan menajamkan daya saing (pendidikan untuk kecerdasan rakyat bukan untuk mempertebal kantong), merangsang investasi asing dengan persyaratan ketat merekrut dan memperdayakan SDM pribumi, menajamkan filosofi Pancasila sebagai identitas bangsa yang plural dan bermartabat. Akhirnya modal dasar kekayaan SDA dan tenaga kerja tidak lagi menjadi kutukan karena hati nurani yang berbicara. (Beny Uleander/KPO EDISI 153/JUNI 2008)


Read More

Selasa, Mei 27, 2008

Beny Uleander

Lumbung Padi Dunia

James Simpson, penemu Chloroform, ketika ditanya apakah penemuan terbesarnya? Ia memberikan jawaban yang mengguncang kepongahan manusia. “Penemuan terbesar yang pernah kubuat adalah bahwa aku adalah orang berdosa yang tersesat,” ujarnya mantap. Secuil kisah pengakuan Simpson memberikan gambaran faktual bahwa manusia adalah pribadi-pribadi yang menghidupi tiang-tiang peradaban. Kerapuhan, kebodohan dan kesombonganlah yang membuat manusia jauh tersesat dari rahasia kekayaan alam.

Kemampuan manusia mengekplorasi alam dan tatanan sosial tidak lahir dari kipasan mimpi, tapi dari pencarian nilai-nilai abadi. Tentu saja, rasa rindu imanen tertanam rapi dalam lubuk jiwa. Ya rindu akan perdamaian abadi, kesejahteraan dan kerukunan hidup membuat kita tetap bertahan sebagai satu bangsa dan negara. Meski hidup makin sulit, tapi optimisme bahwa kesejahteraan itu benar-benar ada di muka bumi ini. Kemakmuran bukanlah ideologi “pepesan kosong”.

Dalam ranah kegelisahan melihat situasi sosial politik Indonesia, kita dapat mengambil sketsa tubuh sebagai penjara jiwa versi Plato. Komponen tubuh merujuk pada kebijakan politik artifisial yang mengikat dan mengatur kehidupan rakyat. Sedangkan “ruang jiwa” berisi daya hidup dan daya cita pendirian bangsa ini yaitu: masyarakat adil makmur dan terciptanya perdamaian dunia.

Potret riil konstelasi politik saat ini mengingatkan kita bahwa sejarah tengah berulang. Ya, pemerintah dan elite politik tanpa kita sadari telah menjelma menjadi raja-raja feodal klasik. Rakyat jelata terus diberi beban membayar upeti yang terus meningkat. Tapi apa yang terjadi? Upeti itu bukan untuk meringankan biaya pendidikan, membantu pengobatan gratis atau memperbaiki fasilitas publik! Dana publik bergulir ke mana? Kenapa anak jalanan terus meningkat? Jiwa muda mereka laksana embun yang mongering di pagi hari tanpa merasakan kasih sayang. Kenapa gelandangan dan fakir miskin terlunta-lunta di pinggir jalan? Padahal kita punya departemen sosial? Dan, konstitusi kita –barisan tulisan ayat dan bab- mengatakan bahwa negaralah yang akan menjamin dan memelihara hidup mereka.

Rasa syukur dan bangga kembali terpatri saat kita melihat sederet anak bangsa dengan hati suci membuat berbagai gerakan pemberdayaan bagi kaum papa. Suatu pertanda bahwa di tengah bangsa yang bebal hatinya masih ada orang-orang yang mengaktualisir rindu rasa hati nan abadi.

Selama gairah menumpuk harta menjadi hawa kompetisi di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, maka semakin jauhlah bangsa ini dari peradaban modern. Di bidang ekonomi terasa sekali berbagai bantuan untuk orang miskin justru jatuh ke tangan orang kaya. Memang wajar bantuan “kembang gula” selalu direbut semut-semut yang rakus untuk ditimbun sebagai persiapan di musim hujan.

Hal yang menggelikan melanda dunia pendidikan kita. Saat musim ujian nasional tiba, siswa-siswa “bebas dari tekanan mental”. Sebaliknya para guru dan orangtua yang cemas dan bingung bagaimana meluluskan anak-anak mereka. Memang lucu kita menyaksikan sekarang sebuah ujian sekolah dikawal polisi. Lebih tragis lagi, ada guru dan kepala sekolah yang digiring ke kantor polisi karena membocorkan soal ujian.

Bangsa ini membutuhkan “sumber air” yang mengaliri sungai peradaban. Dan, sumber air itu adalah kemampuan untuk menerima perbedaan. Itulah sumber kecerdasan sejati yaitu menempatkan keragaman sebagai mosaik peradaban. Selama berbagai perbedaan pendapat, pandangan hidup, budaya dan suku dilihat sebagai ancaman, maka sendi-sendi kebangsaan yang kita bangun selama ini penuh guratan kepalsuan.

Itulah sebabnya kita berharap pemerintahan SBY-JK tidak tumpul hati. Bahwa bantuan tunai langsung kepada orang miskin adalah bantuan yang sia-sia. Kenaikan BBM otomatis harga barang dan jasa turut naik. Toh hidup makin sulit. Janganlah rakyat disiksa terus-menerus dengan upeti-upeti demi kelanggengan kursi kekuasaan. Padahal garong besar dan lintah darat di tubuh Pertamina dibiarkan saja menggelapkan distribusi BBM bersubsidi.

Bantuan Rp 100 ribu per bulan selama ini belum dievaluasi total. Lebih baik dana yang besar itu digunakan untuk membuka lembaga-lembaga kursus yang mengasah ketrampilan putra-putri Indonesia. Kelak di tanah rantau –entah di Malaysia atau Arab Saudi- mereka dihargai sebagai orang-orang yang “berilmu”. Para majikan pun segan untuk menyiksa atau memperkosanya karena ada rasa hormat. Jarang kita dengar ada tenaga kerja asal Filipina yang diperlakukan kurang ajar. Karena mereka rata-rata dikirim sebagai tenaga perawat atau dokter dengan kualifikasi pendidikan yang baik.

Kunci perbaikan DNA manusia Indonesia ada pada akar “peradaban Shindu”. Kita lahir dari satu rumpun, tentu saja kita memiliki konstruksi budaya yang satu dan sama. Inilah sebenarnya “ikatan tersembunyi” yang jarang dieksplorasi demi penyegaran kontrak sosial budaya kita sebagai satu bangsa. Memang dari luar dunia internasional terkagum-kagum. Bangsa yang besar dengan keanekaragaman budaya, suku dan agama selalu kompak mendukung tim kesayangan entah timnas sepak bola maupun tim merah putih Thomas & Uber Cup.

Perbaikan konstruksi budaya adalah agenda besar yang tidak bisa ditawar lagi. Tapi itu adalah syarat utama membuat mimpi kita menjadi kenyataan. Kita bermimpi menjadikan Indonesia sebagai LUMBUNG PANGAN DUNIA! Laut dan daratan kita memiliki potensi tersebut. Kita tinggal perlu kemauan dan kemampuan mengerahkan kerja keras dan kerja cerdas kita di semua lini --iptek, sosial, ekonomi dan politik. Semoga seperti James Simpson, elit politik, garong besar dan lintah darat di negeri ini sadar bahwa mereka telah tersesat. (Beny Uleander/KPOEDISI 152/MEI 2008)

Read More

Senin, Mei 12, 2008

Beny Uleander

Virus Kutukan Klasik

Peluang pasar dan kunci sukses. Itulah dua topik hangat bidang ekonomi yang kini tengah tren di kalangan tua dan muda. Banyak buku telah beredar yang berupaya mengupas tuntas dari berbagai sudut pandang tentang rahasia sukses, kiat-kiat bisnis dan meretas manajemen usaha yang sehat, kokoh, dan dinamis. Perusahaan-perusahaan papan atas hingga kelas “sandal jepit” mengirim calon-calon manajernya mengikuti seminar-seminar smart yang membahas konsep manajer dan kepemimpinan yang tangguh di era global.

Ternyata di dalam lalu lintas literatur dan seminar yang menggodok ilmu kesuksesan maupun seni menjual terdapat satu virus kutukan klasik. Apalagi kalau bukan “omelan” tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Di saat “peradaban marketing kapitalisme” membutuhkan tenaga kerja outsourching yang handal, lagi-lagi SDM Indonesia selalu kalah masuk bursa kerja internasional. Itulah sebabnya mengapa kini manufaktur raksasa dengan brand mashyur membangun offshoring –pembukaan pabrik-pabrik perwakilan sebuah produk— jarang melirik Indonesia. Sebaliknya produsen hanya membidik potensi pasar Indonesia sebagai lahan empuk perdagangan produk mereka. Selain pertumbuhan penduduk yang mencengangkan, mental dan budaya konsumsi orang Indonesia amat menggiurkan.

Bukan berarti manusia Indonesia bodoh dan pandir. Kita adalah cucu dari leluhur terhormat yang telah menghidupi peradaban gemilang masa lalu. Warisan nilai-nilai adat yang imanen (luhur, satria, suci, manusiawi) hingga artefak kebudayaan amat mengagumkan. Dan, ada segelintir anak-anak genius dari rahim bumi pertiwi yang tersebar di berbagai kolong langit dengan keahlian di bidang tertentu. Sungguh sayang rezim yang berkuasa tidak memiliki komitmen merekrut ataupun mengundang mereka berbagai ilmu di kampung halamannya. Mereka lebih merasa nyaman dan cocok mengeksplorasi bakat dan talentanya di negeri orang. Itu berarti ada peluang bagi generasi mendatang menjadi angkatan pembaharuan yang superhebat bagi Republik ini. Asalkan, atribut-atribut pendidikan yang sudah kedaluwarsa dicopot dari kurikulum maupun “mainstream” pendidikan nasional.

Tiang-tiang pendidikan formal di negeri ini kerap dituding turut memperkeruh kompetisi kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi maupun daya saing kita terpuruk di kancah internasional. Pola-pola pengajaran sekolah yang “mencuci otak” siswa untuk melihat dunia selebar ruang kelas sudah saatnya tinggalkan. Padahal anak bisa menimba hikmah kehidupan dari realitas alam yang terberi. Demikian pula jurus-jurus menghafal teori dan kunci-kunci jawaban soal ujian nasional harus dilihat sebagai tragedi kecelakaan intelektualitas. Ruang kecerdasan dan kemandirian dalam berpikir untuk memecahkan sebuah persoalan telah hilang dari ‘sel-sel otak’ anak didik. Sebab sejak pendidikan dasar daya nalar siswa telah dibekukan dengan kebiasaan menghafal rumus-rumus mati. Kesuksesan pendidikan dikerdilkan dengan glamoritas gelar akademik ketimbang kehebatan otak kanan dan kiri membedah persoalan hidup, menata kepribadian dan merumuskan masa depan diri.

Harapan akan perubahan arah hidup bangsa ini tidak dimulai dengan melontarkan kutukan demi kutukan kepada generasi tua dari Orde Lama hingga Reformasi. Setiap generasi ditakdirkan oleh hukum sejarah untuk menulis kisahnya sendiri. Itulah hukum perubahan (the law of change) yang tidak dapat dibantah. Dan, skenario membantah maupun menolak perubahan adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Tentunya kita berubah menjadi makin terbelakang atau makin progresif. Amatlah tepat bila generasi tua untuk belajar kembali kepada generasi muda yang dinamis. Atau sekurang-kurangnya, salah satu kunci berubah menuju istana kesuksesan adalah belajar memikirkan masa depan. Bukanlah saatnya lagi generasi tua mendikte generasi muda. Zaman telah berubah, termasuk di panggung perpolitikan nasional. Calon-calon pemimpin tua yang direstui DPP yang dihuni kalangan tua kalah telak dalam pemilihan langsung gubernur maupun bupati/walikota di beberapa daerah.

Pada tepian fakta lain, calon-calon manajer yang sukses adalah kalangan yang selalu merasa gelisah akan kemapanan status sosial dan ekonomi. Sehingga gairah dan nafsu belajar merupakan menu harian. Entah belajar menciptakan sesuatu yang baru ataupun belar dari jalan-jalan sukses perusahaan tertentu. Pemimpin harus bisa menciptakan sesuatu yang baru di jaman yang baru dan dengan semangat yang baru (the law of cause and effect).

Akhirnya kita berharap tokoh-tokoh pemimpin maupun manajer muda tidak terperosok dalam ketidakfokusan generasi sebelumnya (the law of justice). Dan, para pemimpin tua entah di organisasi swasta maupun birokrasi tak ada salahnya untuk terus memimpin asalkan memiliki semangat muda dan peka membaca perubahan zaman. Tantangan dan cobaan hanya bisa dilalui oleh perusahaan maupun negara yang cermat mengantisipasi perubahan itu sendiri. Musuh hanya bisa dikalahkan dengan belajar mengenal seluk beluk kelemahannya. Sudahkah kita mengindentifikasi “musuh-musuh sosial” yang bersemayam di dalam diri, organisasi, institusi, masyarakat dan negara? Saatnya kita depak virus klasik: lari dari tugas dan tantangan hanya karena tidak mau belajar dan merasa sudah pandai. (Beny Uleander/KPO EDISI 151/MEI 2008)

Read More

Selasa, April 15, 2008

Beny Uleander

Revolusi Hasrat

Kita menjejak kaki di sebuah jaman yang penuh ketakmengertian dengan rombongan manusia yang menapak pasti ruang-ruang kegilaan. Demikian teropong kegelisahan para pengamat postmodernisme yang berupaya meretas batas-batas kesadaran baru. Kultur sosial yang serba anyar terbangun cepat. Gaya hidup yang semula asing begitu mudah diserap golongan muda yang paling dinamis. Dan, jejak langkah perangkat digital terutama televisi menjadi matahari yang berputar mengeliling tata peradaban baru. Serta merta, terciptalah generasi bermental instan yang terperangkap dalam kerapuhan hedonistik dan terpasung mental konsumtif.
Ketika televisi ditemukan sebagai kotak ajaib, manusia kian sadar bahwa masih banyak kejutan potensial dalam rahasia semesta yang belum terungkap. Alam masih menyimpan berbagai penemuan untuk masa depan, tinggal manusia yang berupaya keras mendalami ilmu pengetahuan dan merakit teknologi untuk mendapatkannya. Kini, televisi telah menjadi industri hiburan dan informasi yang menyerap angkatan kerja yang amat besar.
Di ranah media massa pun telah terjadi pergeseran. Era media cetak memasuki fase buram. Masyarakat digital lebih suka menikmati berita daripada membaca berita. Gambar yang bergerak jauh lebih menyapa daripada gambar mati –hitam putih.
Masyarakat juga lebih merasa terbangun empati dan simpati dengan musibah tokoh publik yang disiarkan di televisi. Pemirsa melihat langsung air mata dan tangis sedih selebritis pujaannya. Sekelebat, televisi menjadi jembatan temu kangen dan tali kasih yang efektif tanpa komunitas face to face. Lantas demam publisitas pun dikemas dalam berbagai audisi yang menawarkan glamoritas hidup menjadi bintang selebritis dadakan. Tidak sedikit remaja muda yang terjerat rayuan dan sihir ingin menjadi artis instan. Gairah kompetisi lewat polling SMS terbukti cuma kedok bisnis perjudian terselubung. Banyak di antara mereka menjadi bintang lalu menjadi buntung. Jatuh miskin dan hidup terlunta-lunta di ibu kota Jakarta.
Publisitas televisi direfleksikan sebagai kejahatan terkini “dunia baru” bagi tegaknya nilai-nilai humaniora. Dalam lorong-lorong penalaran yang merdeka, industri televisi saat ini berarak menuju gerakan pembebasan diri –khususnya “pembebasan hasrat”- dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara. Bahkan agama dianggap menghalangi “kebebasan total” manusia. Itulah “revolusi hasrat” yang menggiring generasi tua muda menapak tangga-tangga pembebasan hasrat, sebagaimana dikatakan Felix Guattari, berarti “…menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas (normality) yang ada di dalam masyarakat.” Dan, tanpa kita sadari program-program acara yang ditayangkan di televisi menghipnotis penonton untuk melawan realitas-realitas terberi. Contohnya, sinetron remaja didesain apik menonjolkan kemewahan dan kekayaan. Dunia kampus yang seharusnya menjadi laboratorium penelitian ilmiah menjadi laboratorium cinta eros dan narsisme. Virus-virus false love -cinta yang memberi dampak negatif dalam hidup seseorang- seperti jadi penipu demi cinta, seks karena cinta, putus sekolah karena cinta dianggap sebuah sikap satria. Padahal jenis cinta ini (false love) selalu berakhir dengan kehancuran. Ada juga pemuda yang mengagungkan captive love, yaitu cinta yang membelenggu seseorang, sehingga tidak ada hal lain yang dipikirkan dan dikerjakan kecuali cinta. Akhirnya bagi pemuda digital membagi cinta adalah sebuah seni mengantar kekasih ke lembah kekecewaan. Toh jatuh cinta adalah sebuah petualangan untuk mencari cinta sejati.
Itulah aksi-aksi kriminal kebudayaan yang secara langsung menyuntik kultur baru bagi generasi muda. Tak heran bila etos kerja keras disertai keuletan dianggap sebagai “kebudayaan kolot” masa lalu. Padahal bagi bangsa Jepang dan Cina, kerja keras dengan pikiran fokus penuh dedikasi adalah kunci peradaban super modern. Jangan heran bila perilaku korupsi susah diberangus di Indonesia karena budaya kerja keras telah luntur.
Dalam perspektif teologis, manusia adalah tuan atas ciptaan. Ia diberi kekuasaan untuk menggunakan “ciptaan” (termasuk televisi) untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Tapi di jaman komputerisasi ini, ciptaan-ciptaan (produksi) sosial adalah semata produksi hasrat itu sendiri. Itulah sebabnya, setiap industri televisi secara piawai mengeksplorasi dan mengeksploitasi hasrat demi hasrat terpendam dalam diri manusia dalam rupa-rupa program tayangan. Ditambah lagi dengan iklim kompetisi pertelivisian yang “saling sikat” merebut rating dan kue iklan, membutakan mata “tim kreatif”. Mereka kadang membiarkan berbagai ketidakpantasan terpampang di layar kaca demi rating. Dan, tentu saja memuaskan hasrat pemirsa. Siapa yang salah? Benarkah hidup kita mengalir mengikuti energinya sendiri? Hidup kita dikondisikan di dalam keadaan “keseketikaan” dan “kesesaatan” (temporality) yang terus-menerus, menurut Yasraf Amir Piliang, tanpa ada konsistensi menuju tujuan yang pasti, misalnya “apa kehendak” Tuhan. Semoga kiprah televisi swasta lokal kian arif menghindarkan diri dari pusaran hasrat televisi swasta nasional yang terlanjur mengorbit dalam lintasan kapitalistik-hedonistik. (Beny Uleander/KPO EDISI 150/APRIL 2008)
Read More

Rabu, April 09, 2008

Beny Uleander

Megakorupsi & Megakonspirasi BLBI

Kenyataan menyedihkan menimpa negeri kita. Apalagi kalau bukan kerugian negara akibat skandal korupsi terbesar penyaluran dana Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI). Para penikmat dana BLBI terbesar tidak pernah tersentuh roh keadilan hukum pidana negeri ini.
Dengan konspirasi sangat sempurna, konglomerat “plat merah” era pemerintahan Soeharto sukses merampok uang negara (sejak 1999) lebih dari Rp 650 triliun plus bunga obligasi rekap yang harus ditanggung negara pertahunnya Rp 60 triliun sampai tahun 2030. Itu berarti kerugian yang harus ditanggung negara mencapai 250.000 triliun, ungkap Ismed Hasan Putro, Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Keprihatinan berubah menjadi “rasa sakit” bagi generasi muda yang masih peduli dengan nasib negara kepulauan ini. Betapa tidak, meski negara telah dirugikan triliunan rupiah tapi tidak ada tindakan hukum atas kejahatan ekonomi dan megakorupsi yang mereka lakukan. Beban keuangan negara amat berat “menutupi” kerugian yang mencapai triliunan rupiah selama bertahun-tahun. Padahal kita tahu sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur negeri ini perlu segera dibenahi dan memang membutuhkan modal yang amat besar.
Kasus BLBI secara singkat dapat dibagi menjadi dua. Pertama, para debitur yang telah mengantongi surat keterangan lunas dan debitur yang belum melunasi BLBI, seperti Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim International), Thee Nan King (Bank Danahutama), Hendra Liem (Bank Budi Internasional) Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (BCA). Untuk kelompok kedua aparat penegak hukum harus mengecek aset yang dijaminkan para debitur BLBI apakah sesuai dengan nilai aset yang dilaporkan ke BPPN. Selain itu, langkah pidana penggelapan yang dilakukan debitur, karena sebagian aset diagunkan kepada pihak lain, padahal kepemilikan aset sudah di tangan BPPN. Kita berharap Surat Keterangan Lunas (SKL) yang telah dikeluarkan untuk dibitur bermasalah kembali dikaji ulang.
Kelompok kedua adalah para pemegang saham yang mengemplang dana BLBI. Ada tagihan dari 8 debitur mencapai Rp 9,4 triliun. Mereka adalah Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Bira), James Januardy dan Adi Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), Lidia Muchtar (bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa) dan Agus Anwar (Bank Pelita). Untuk kasus ini, polisi dan jaksa diharapkan memproses secara hukum.
Sebelumnya kita bangga utang luar negeri kita berlahan-lahan bisa dilunasi. Sayang kini muncul utang baru akibat mismanajemen perbankan, campur tangan kekuasaan dan politik. Lagi-lagi rakyat yang menanggung bebannya. Bukankah kerugian negara itu ditutupi dari uang negara yang dipungut dari rakyat?
Terkuaknya kasus dugaan penyuapan Artalyta Suryani alias Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan dilihat sebagian kalangan yang masih murni hatinya sebagai mukjizat di tengah megakonspirasi konglomerat, pejabat negara dan politisi. Sentuhan “Tangan Tuhan” inilah menjadi momen bagi aparat penegak hukum untuk berkomitmen membongkar berbagai kebusukan seputar penyaluran dana BLBI. Ini berarti kinerja kepolisian dan kejaksaan dipantau pers secara konsisten agar roh hukum yaitu rasa keadilan tegak di negeri ini. Bukan hanya penyalur dana yang mendapat sanksi pidana, sementara pihak penerima tidak tersentuh tangan hukum.
Kita mendukung langkah pemerintah yang menempuh beberapa langkah alternatif di antaranya mempercepat proses pengembalian uang negara melalui instrumen yang tersedia, melakukan tindakan hukum terhadap obligor yang tidak kooperatif dan menempuh langkah-langkah solutif yang harus menjamin keadilan, bebas intervensi dan bebas korupsi tentunya.
Kasus BLBI sesungguhnya merupakan pertaruhan harga diri dan kehormatan eksistensi negeri ini. Penyelesaian lewat jalur hukum yang seadil-adilnya menjadi indikator negeri ini masih dipimpin pemerintahan demokratis atau pemerintahan boneka buatan kaum kapitalis alias pemilik modal.
Ketidakseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum menangani kasus ini kian melukai perasaan warga negara yang masih melihat eksistensi negara sebagai penyerahan kedaulatan rakyat.
Nilai yang kita petik dari megakorupsi BLBI adalah membangun usaha dengan semangat entrepreneur sejati tidaklah berarti menghalalkan segal cara. Kehormatan terletak dalam kerja keras yang jujur, tulis Grover Cleveland. Rasanya tepat kita memahat warisan mental Abraham Lincoln. “Ayahku mengajariku untuk bekerja; ia tidak mengajariku untuk mencintainya”. Kerja keras disertai kejujuran adalah ruang pertumbuhan bagi jiwa-jiwa muda progresif di negeri tercinta ini. (Beny Uleander/KPO EDISI 149/APRIL 2008)

Read More

Rabu, Maret 19, 2008

Beny Uleander

Pendobrak Tapal Batas

Raut wajah adalah ruang ekspresi getaran dan gejolak terdalam jiwa manusia. Wajah pucat menandakan jiwa yang sedang tergoncang. Wajah ketakutan mencuat saat keselamatan diri terancam. Suasana hati yang riang terpatri menjadi wajah berselimut kegembiraan. Lalu wajah-wajah kusut masai dijumpai pada individu yang frustrasi. Ibarat cermin, ketulusan jiwa terpancar pada wajah yang bersahaja. Ketegaran dan pahit getir kehidupan yang dijalani seseorang terpahat di wajahnya. Dalam refleksi kolosalnya, Charles Kingsley menyebut kecantikan wajah adalah tulisan tangan Tuhan. Terimalah itu di setiap wajah yang cantik, di setiap hari yang indah, di setiap bunga yang indah. Ada pertanda apa saat kita menyaksikan wajah-wajah gelisah dan pasrah rakyat di negeri ini pada babak awal tahun 2008 ini?
Kerumitan ekonomi global membuat pemerintah bingung. Harga minyak mentah dunia meningkat tajam melampaui prediksi pemerintah. Imbasnya, RAPBN 2008 yang rampung akhir September 2007 langsung kedaluarsa. Demikian pula harga komoditas dan pangan melonjak naik. Pelaku usaha ketar-ketir memikirkan kelanjutan investasi mereka. Pada saat yang sama, mulai mencuat berita anak-anak menderita busung lapar. Maklum, daya beli masyarakat terkapar di tangga-tangga kenaikan harga sembako. Kepasrahan di tengah kemiskinan menjadi mosaik kepedihan.
Di saat bangsa kita tengah terjerat gejala “resesi global”, terbit mentari optimisme bahwa kita akan dan harus menjadi bangsa yang memiliki harga diri dan kemandirian di bidang ekonomi. Tentu saja lantunan litani harapan ini bukan impian kosong atau khayal semu. Tanda-tanda kebangkitan Indonesia baru sudah mulai terlihat pada barisan pengusaha dan kalangan swasta yang tak mau pasrah pada situasi kelam Indonesia saat ini. Ya, kita kagum pada prestasi para chief executive officer atau CEO Indonesia. Dalam usia muda, 28-40 tahun, mereka fokus merintis karir maupun bisnis dari nol dan akhirnya mencetak prestasi gemilang di bidang usahanya.
Dalam bilik-bilik nuraninya, mereka menanam benih visioner bahwa kehidupan adalah rajutan investasi manajemen diri dan ekonomi. Dengan sikap ambisi yang positif, mereka pertama kali mendisiplin dirinya. Ini sebuah perkara tidak mudah. Sebab manusia dalam segala kerapuhannya berjuang memilah mana cita-cita dan mana keinginan. Disiplin kerja hanya tercapai bila setiap individu mulai menata kehidupan pribadi dan merumuskan cita-cita yang ingin ditorehkan dalam kehidupan yang cuma sekali ini. Dan disiplin diri adalah gerak sadar menata hasrat-hasrat liar yang kerap menghambat pertumbuhan diri. Seperti rasa malas, pasrah pada nasib, menyombongkan kepintaran “yang seujung kuku” dan sikap mental menggampangkan pekerjaan.
Kita bisa bertanya dari mana mereka menimba sumber inspirasi yang menggerakkan mereka untuk selalu menghargai waktu, bekerja keras penuh dedikasi dan tak jenuh mendorong sesamanya untuk maju. Dalam kajian pakar manajemen usaha Rhenald Kasali, perjalanan untuk menemukan jati diri dan mengeksplorasi potensi diri yang dahsyat tidak lain adalah gerak perubahan; recode DNA. Daya positif yang membangkitkan hasrat untuk maju, dalam teropong Kasali, bermuara pada kesadaran bahwa setiap manusia tercipta untuk sukses. Sayang potensi diri dengan segala keunggulan dan keunikannya sering terkubur karena lingkungan pergaulan yang salah, cara pandang yang sempit dan masih berkutat dengan pikiran-pikiran negatif bahwa hanya orang kaya saja yang akan terus sukses.
Lalu di mana titik picu yang menyebabkan terbangunnya kesadaran intelektual dan kepekaan bisnis tersebut? Kembali lagi pada mutiara kehidupan bahwa hanya orang yang rajin membacalah yang bisa menjadi pemimpin. Artinya gairah belajar tiada henti dari pengalaman, studi kepustakaan dan bercermin dari pergulatan hidup sesama mencari makna terdalam kehidupan adalah sumber inspirasi kehidupan yang tak pernah kering.
Dari secuil kisah kaum muda yang merengkuh sukses, kita memetik keyakinan mental bahwa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara berkembang maupun maju sekalipun. Lalu dari mana kita bisa mulai memacu atau menabur benih-benih keyakinan itu? Di bangku sekolah? Ah, jarang cepat sukses karena tidak banyak guru yang sanggup membangkitkan potensi diri anak didik. Banyak guru yang lihai membangkitkan memori ingatan alias kemampuan menghafal teori demi kelulusan ujian. Lalu di keluarga? Memang keluarga adalah sel komunitas terkecil. Banyak generasi muda yang cerdas, berakhlak mulia dan sopan budi pekertinya, tapi menjadi pengangguran?
Belajar pada pengalaman terberi, manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan. Dalam alur ungkap sederhana, kesuksesan adalah proses individual dalam memotivasi dirinya sendiri. Melihat kegagalan sebagai bagian integral kemajuan diri dan usaha. Jatuh bangun dalam berusaha dirasakan sebagai kenikmatan tiada tara. Pengalaman gagal adalah garam yang membuat kehidupan tidak tawar. Dengan kekuatan pikiran positif mereka berucap bahwa kesuksesan adalah milik setiap manusia yang harus dicari, diperjuangkan dan dipelihara terus menerus.
Rumus kemandirian bangsa bisa kita gapai bersama dengan (1) bergerak dari wajah konsumen menuju wajah produsen. (2) Bergerak dari wajah “tuan tanah” yang malas menuju wajah “penggarap tanah” yang saling percaya. (3) Bergerak dari wajah mayoritas rakyat yang membisu menuju wajah minoritas yang berpikir kritis-konstruktif. (4) Bergerak dari wajah calon penguasa menuju wajah calon manajemen. (5) Bergerak dari wajah penonton di pinggiran sejarah menuju pendobrak pada tapal batas. (6) Bergerak dari penerima dan pelaksana menuju pencipta, penyebar dan pelaku. (7) Bergerak dari pola cendekiawan pembela rumusan baku kepada cendekiawan penggali kebenaran. (Beny Uleander/KPO EDISI 148/MARET 2008)
Read More

Selasa, Maret 04, 2008

Beny Uleander

Petaka Jurus Mabuk

Kelaparan adalah tragedi kutukan mengerikan bagi negeri yang subur dan kaya sumber daya alam. Kelaparan itu adalah murni kebijakan politik strategis! Mengapa demikian? Demokrasi tidak bisa bertumbuh ideal saat perut rakyat kosong. Urusan perut harus ditahtakan kembali pada kursi peradaban. Seperti kata pepatah Yunani kuno, engkau tidak dapat berpikir dengan perut yang lapar, karena perut tidak punya telinga. Padahal salah satu sendi demokrasi adalah terbangunnya ruang dialog dan pemahaman sinergis kepentingan pribadi dan umum, keberimbangan simbiosis urusan privat dan ruang kekuasaan negara.
Derita balita busung lapar, bocah-bocah polos kurang gizi, ibu hamil dan anaknya yang mati kelaparan di sebuah kamar kos menjadi ironi di tengah gegap gempita uang miliaran untuk dana kampanye dan pilkada. Seuntai kesadaran mengalir dari kejernihan nurani bahwa wajah kelaparan tengah tergolek bonyok di tangan-tangan kekar kekuasaan. Mulai dari kepala desa hingga presiden, dari pengurus anak ranting partai hingga elite politik di lingkup DPP, dari kemewahan kursi DPRD hingga kemegahan Senayan. Ya, kelaparan adalah buah sistematis dari tumbuh kokoh-kuat-jaya pilar-pilar kekuasaan. Aneh untuk dinalar sekedar dengan minum secangkir kopi di pagi hari.
Di balik awan yang pekat, matahari terus bersinar menerangi bumi. Sebuah contoh alam yang indah untuk dikalungkan pada loh hati. Bahwa serunyam apapun kehidupan, kemerdekaan berpikir dan perpendapat harus terus diperjuangkan dan dipertahankan. Layak bila dikedepankan lagi kebeningan nurani tanpa kebohongan. Sudah banyak litani dusta yang ditebar partai-partai politik dan pemimpin pilihan rakyat. Seorang pemimpin setelah berkuasa –banyak diberitakan media massa—didemo konstituennya karena mereka lupa merealisasikan janji-janji manis saat kampanye. Pendidikan gratis, kesehatan gratis adalah hiburan bagi rakyat dengan perut lapar yang masih ingin anak-anak mereka cerdas, yang masih berharap buah hati mereka tidak kekurangan gizi. Kog tega ya, rakyat miskin terus-menerus dikibuli demi menapaki tangga-tangga kekuasaan!
Bencana kelaparan dan nafsu kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Siapa yang mencintai rakyat negeri ini, yang tulus dan suci hatinya, pasti mengamini bahwa kelaparan bukan kutukan alam! Kelaparan dan kemiskinan bukan semata-mata karena kebodohan. Sebab kemegahan masa lalu telah mewariskan kebanggaan bahwa kita adalah keturunan dari para leluhur yang berbudaya dan berkepribadian adiluhung. Kearifan etis mereka bisa kita temukan dalam lontar dan naskah kuno. Rasa estetis mereka bisa kita nikmati dalam warisan megah Borobudur yang menjadi keajaiban dunia. Kerja akur dan kompak secara organisatoris dalam komunitas dan paguyuban dibangun nenek moyang kita dengan mata rantai gotong-royong, dedikasi, pengabdian dan pengorbanan. Betapa kaya norma-norma sosial yang hidup di berbagai suku dan etnik di negeri ini. Sebuah bukti unggul bahwa kelaparan dan kemiskinan terjadi akibat negeri ini salah diurus.
Kerumitan hidup rakyat negeri ini tidak dilihat sebagai tanda kekalahan. Seting kisah kelaparan massal adalah kisah miris zaman digital. Kebrutalan kapitalistik adalah “jenderal besar” yang otoriter dan anti demokrasi. Pemberdayaan potensi rakyat dan menggali keunggulan lokalitas agar memiliki daya saing di dunia usaha adalah musuh terbesar “jenderal besar kapitalistik”. Upaya melibatkan peran rakyat dalam berbagai kebijakan publik adalah rintangan sebesar pegunungan Jaya Wijaya yang bakal menghambat laju eksploitasi kekayaan alam. Itulah sebabnya tidak ada wakil rakyat di Senayan yang gigih berani memperjuangkan nasib rakyat korban lumpur Lapindo. Sebagian wakil rakyat telah menjadi boneka-boneka kekuasaan rezim kapitalistik yang angkuh, picik, licik dan kejam.
Kebiadaban rezim kapitalistik tidak bisa ditudingkan kepada negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Dalam ranah otonomi dan keberdikarian, kita masih berharap terbitnya wakil rakyat dan pemimpin negeri yang berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Satria yang berani melawan tekanan rezim kapitalistik. Kita meyakini, bila tampil pemimpin demikian, ia akan populer karena dicintai rakyatnya. Lebih dari itu, pemimpin sejati adalah insan yang merayakan kemanusiaan manusia di segala bidang. Itu bukan hal yang mustahil. Gandhi telah membuktikannya. “Luhurlah manusia itu. Baik hati dan suka menolong! Inilah yang membedakannya dari segala makhluk yang kita kenal,” kata Goethe. Dalam humanitas yang terwujud secara nyata inilah, kealamiahan dan kerohanian bersatu. Hugo Chaves telah merintis jalan ke sana. Evo Morales pun demikian, dan masih banyak lagi pemimpin di belahan negara lain yang telah sadar akan penjajahan modern.
Itulah sebabnya Wilhem von Humboldt (1767-1835) menekankan bahwa manusia etis-estetis bukan matematis rasional. Perbaikan mutu batiniah perlu didorong menjadi proyek bersama semua penghuni negara demokratis. Begitu juga di Indonesia. Agar para pemimpin kita berhenti saling mengolok dan menebar jurus mabuk. Agar rakyat tidak terus turun berdemo di jalanan kota hanya karena menagih janji-janji palsu! Semoga!!! (Beny Uleaner/KPOEDISI 147/MARET 2008)
Read More

Jumat, Februari 15, 2008

Beny Uleander

Politikus Paternalistik

KETIKA kebohongan dibicarakan setiap hari, maka orang akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Demikian pula saat posisi wanita dalam tatanan sosial ditempatkan sebagai makhluk kelas dua, maka eksistensi wanita sebatas menjadi pelayan bagi kaum pria. Serta merta, hak-hak kaum wanita dalam ranah publik dipangkas. Selebihnya, ruang gerak wanita --makhluk yang lemah-lembut-- ada di rumah saja. Paradigma yang telah terbangun ini butuh waktu berabad-abad untuk memperbaikinya. Sampai-sampai Friedrich Nietzsche (1844-1900) mengatakan bahwa wanita adalah kesalahan terbesar Allah yang kedua!
Pada era Winston Churchill (1874-1965), banyak kalangan memprediksikan bahwa para wanita akan menguasai dunia pada tahun 2010. Lantas apa tanggapan Churchil? Ia terhenyak sambil berkata, “Tapi….? Hanya itu kata sanggahan Churchill. Singkat, padat dan jelas kandungan artinya. Meski hanya kata “tapi”, khalayak umum sudah paham kalau Churchill sealiran dengan Sokrates yang berpendapat bahwa sekali disamakan dengan pria, wanita menjadi superiornya. Maklum di daratan Eropa, pandangan filsuf Philo amat dominan, yaitu para isteri harus bekerja untuk suami-suami mereka. Mereka harus bekerja dengan mengembangkan ketaatan dalam segala hal.
Di jaman digital ini, posisi wanita yang layak dan bermartabat menunjukkan kemajuan sosial tertinggi sebuah komunitas. Sebab, wanita adalah manusia istimewa. Di mata Rudyard Kipling dalam Plain Tales from The Hills, tebakan seorang wanita adalah lebih tepat daripada kepastian lelaki. Wanita dengan sejumlah keunggulan adalah teman sepadan bagi pria. Apalagi Joseph Conrad menegaskan bahwa menjadi seorang wanita adalah ketrampilan yang sangat sulit, karena pada dasarnya tugasnya adalah menangani pria. Luar biasa apresiasi yang disematkan Conrad pada kualitas keibuan yang diemban kaum wanita.
Pergumulan menempatkan eksistensi wanita di kancah domestik dan publik tak pernah tuntas. Sinetron komedi “Suami-suami Takut Istri” yang ditayangkan Trans TV memantulkan “kelucuan yang lahir dari ketidakpantasan” sikap para istri terhadap suaminya. Perguliran wacana emansipasi dan demokratisasi peran setara pria dan wanita terus diprodusir dari lembaga agama hingga intelektual kampus. Sayang seribu sayang, saat debat dan perjuangan pengakuan akan kiprah wanita di ruang publik kian gencar, para aktivis hak wanita lupa akan rajutan moral kesehatan reproduksi wanita. Ya, termasuk batasan kewajiban negara menjamin kesehatan ibu dan anak sejak dalam kandungan.
Apalah artinya perjuangan emansipasi wanita, sementara banyak kaum ibu dan anak yang jauh dari pelayanan kesehatan. Perhatian negara terhadap kesehatan ibu dan anak merupakan ekspresi peradaban yang luhur. Sebab, negara dibentuk oleh komunitas pria dan wanita. Aktivitas seksual pria dan wanitalah yang terus menambah daftar penghuni planet bumi ini. Tidak ada kisah mitologi sekalipun yang mengisahkan pria melahirkan anak. Yang ada adalah kisah nenek masih bisa melahirkan anak. Dan, tidak ada cerita rakyat soal seorang manusia yang keluar dari rahim batu.
Perjuangan emansipasi wanita yang sejati terkandung di dalamnya perjuangan menjaga panggilan suci ibu dalam mengandung, melahirkan dan merawat anak. Kita akan menjadi bangsa yang prematur bila terus membiarkan angka kematian ibu dan anak terus meningkat, yakni 307/100.000 kelahiran. Reformasi gagal memperbaiki persoalan perempuan Indonesia. Kasus kekerasan, perdagangan, tekanan budaya dan adat istiadat, rendahnya pendidikan, serta dominasi kaum pria dalam rumah tangga masih terjadi. Dalam hal ini, pemerintah sekarang tidak perlu malu meniru gebrakan posyandu yang dahulu dipopulerkan Presiden Suharto. Bagaimana posyandu masuk sampai di desa-desa pelosok. Ada tenaga medis yang telah dikondisikan untuk mengabdi di daerah terpencil.
Saat gerakan posyandu redup,kita terkejut melihat fakta busung lapar yang menyayat hati. Pada simpul ini kita bisa menggugat bahwa kematian ibu dan anak yang terus bertambah dari tahun ke tahun menjadi tanda bahwa kaum wanita masih dijajah “politikus paternalistik”. Bukankah negara dikelola oleh lembaga-lembaga yang beranggotakan manusia? Jadi kepedulian negara terhadap kesehatan reproduksi wanita menjadi barometer tingkat kepedulian sebuah komunitas sosial.
Pertanyaan terbesar…yang belum dapat kujawab, meskipun aku telah melakukan penelitian selama 30 tahun mengenai jiwa wanita adalah “Apakah yang diinginkan oleh wanita?” Itulah kata Sigmund Freud (1856-1939). Mungkin pertanyaan kegelisahan Freud ini layak pula diajukan kepada kaum wanita Indonesia. Di mana suaramu sebagai mayoritas penduduk Indonesia? Ataukah sebagian besar wanita Indonesia masih dininabobokan petuah Aristoteles bahwa kaum perempuan adalah kaum laki-laki yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dihasilkan oleh ketidakmampuan seorang ayah atau oleh pengaruh jahat dari angin selatan yang basah! Pada simpul ini kita mengamini bahwa perjuangan demi kesejahteraan kaum ibu dan anak (juga kaum yang lemah) adalah perjuangan peradaban yang menjadi tanggung-jawab setiap individu. Pria dan wanita mengembangkan tugas terberi untuk menyucikan kehidupan ini demi kelanjutan generasi yang berkualitas, sehat rohani dan jasmani. (Beny Uleander/KPO EDISI 146/FEBRUARI 2008)
Read More