Kamis, Januari 17, 2008

Beny Uleander

Robin Hood, Kusni Kasdut & “Suharto Hood”

Dalam kehampaan dan kebisingan makna hidup, manusia selalu tampil kuat perkasa melempar orientasi dan visi di langit mimpi, impian dan harapan. Di angkasa mimpi bertebar khayalan komik yang membuat kita terkagum-kagum akan pesona Superman, Hulk, Batman dan kini Harry Potter. Dalam bilik-bilik legenda, kita disajikan kisah-kisah heroik Werdukoro alias Bima, Tarzan, Zoro, Winnetou kepala suku Indian Mescalero-Apache dengan tokoh Old Shatterhand, manusia free-man Robin Hood atau sosok preman Ignatius Kusni Kasdut.
Di atmosfer impian, kita melihat sepak terjang sensional dan penuh guratan visi para negarawan yang humanis maupun otoriter. Pernahkah kita membayangkan Che Guevara berpelukan dengan Goerge Bush? Martin Luther King bersalaman dengan Adolf Hitler? Atau Ibu Teresa dari Kalkuta duduk semeja dengan Saddam Husein? Kita pasti membayangkan tidak mungkin dalam ranah diskusi pandangan-pandangan mereka akan bersinergi bagi kemajuan masyarakat. Ada tokoh yang memperjuangkan kedaulatan dan identitas kelompok dengan menindas dan meniadakan (genosida) ras dan kelompok lain. Ada pemimpin yang awalnya humanis lalu tergoda kekuasaan sehingga makin membuat rakyatnya menderita. Ada anak manusia yang terobsesi oleh keindahan hidup dalam kebersaman sebagai harta abadi kehidupan. Raga manusia memang fana, tapi jiwa manusia adalah pesona kesucian yang tersamar oleh dengki, terbungkus oleh doktrin-doktrin sesat dan pendidikan yang keliru.
Itulah sebabnya di belahan dunia ini selalu lahir tokoh-tokoh besar. Kiprah mereka sangat orisinal dengan berorientasi pada pemanusiaan manusia itu sendiri. Ada Gandhi di India, Paus Yohanes Paulus II di Eropa, Muh Yunus di Bangladesh, Cak Munir di Indonesia, dan masih banyak lagi guru-guru kehidupan yang menyinari lingkungan tempat mereka tinggal.
Manusia-manusia besar dalam sejarah adalah sekelompok kecil orang yang mampu menggerakkan orang lewat visi yang hidup. Mereka merebut hati saudara dengan kasih yang tulus. Mereka memberdayakan sesamanya dengan terobosan ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat bukan profit-oriented. Mereka dihormati bukan karena harta tapi jejak-jejak luhur jasa-jasanya. Dalam lubuk hati mereka tidak ada terbersit secarik niat bulus untuk mengeksploitasi atau memanfaatkan kelebihan maupun kelemahan sesamanya.
Jenderal Suharto telah terdaftar sebagai salah satu manusia besar dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Ia efektif memerintah 30 tahun dari tahun 1968 hingga Mei 1998. Ia terkenal dengan konsep wawasan nusantara yang mengarah pada stabilitas dan nasionalisme yang direkat kuat nilai-nilai Pancasila. Usai diturunpaksakan oleh aksi demo mahasiswa setanah air, Suharto hingga saat-saat kritisnya –pergulatan dan tawar menawar dengan maut- dihujat dan didemo agar semua tuduhan pelanggaran HAM dan korupsinya dimejahijaukan.
“Generasi MTV” yang lahir tahun 1980-an pasti bertanya siapa sih opa Suharto itu? Dalam seri biografi Intisari “Reaching the Best”, Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menulis dengan kehalusan rasa detik-detik kejatuhan Rezim Orde Baru. “Saya sedih menyaksikan di televisi akhir tragedi pada pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, saat Suharto menyatakan pengunduran diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada BJ Habibie. Ia kehilangan segala pembelaan. Setidaknya sampai 48 jam sebelum mundur jadi presiden, tak ada satupun kekuatan yang menginginkan ia berhenti di tengah jalan. Sungguh sebuah kenyataan pahit. Tokoh yang mengangkat Indonesia menjadi macan ekonomi yang baru bangun, yang mendidik bangsa dan membangun prasarana bagi masa depan, terjungkal oleh ketidakmampuannya mengendalikan diri. Ia membiarkan ketidakadilan berkembang, dan pasa saat kritis salah memilih orang dalam posisi penting. Padahal selama 30 tahun ia menunjukkan kualitas tinggi dalam menilai situasi dan memilih orang-orangnya.”
Ya Suharto seperti Robin Hood dari hutan Sheerwood, Nottingham yang tetap dikenang sebagai pahlawan dan penjahat. Ada perbedaan di antara mereka. Robin Hood sering melakukan aksi perampokan terhadap orang kaya. Lalu ia membagikan hasil jarahannya kepada rakyat miskin. Kondisi orang kaya pada saat itu adalah penindas rakyat kecil. Di mata pemerintah ia adalah penjahat, sedangkan di memori rakyat kecil ia adalah seorang pahlawan.
Di Indonesia ada juga bandit Kusni Kasdut yang merampok dengan membunuh korbannya. Ia membagi-bagikan hasil rampokkannya kepada orang-orang miskin. Ia akhirnya diadili dan dimasukkan ke penjara Cipinang Jakarta dengan hukuman seumur hidup. Ia sempat melarikan diri, akhirnya ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman mati.
Sementara Suharto dituduh mengkorupsi uang negara dan melakukan pelanggaran HAM. Ada tudingan bahwa sekian juta uang haram itu disumbangkan ke berbagai yayasan sosial selain untuk mengenyangkan perut seluruh isi keluarga. Juga sebagian harta haram itu dibagikan kepada kroni-kroninya. Semuanya harus dibuktikan secara hukum dengan melihat segi keadilannya. Dan kalau korupsinya terbukti di pengadilan, maka tak ada salahnya harta korupsi itu dibagi-bagikan kembali ke rakyat. Dan kalau ada pelanggaran HAM yang telah dilakukan Rezim Suharto, maka sebagai bangsa yang besar kita menata jembatan rekonsiliasi nasional. Roh hukum adalah keadilan bukan pembalasan dendam.
Roh keadilan membantu bangsa ini meretas harapan hidup! Generasi baru lebih fokus mengejar keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Akankah mereka kembali menulis kisah fiksi bahwa Suharto duduk semeja dengan Wiji Thukul membahas masalah seni, budaya dan perubahan kosa kata bahasa Indonesia seperti kata “semangkin”, “daripada” dan frase “klopencapir”?(Beny Uleander/KPO EDISI 144/JANUARI 2008)
Read More