Rabu, Maret 19, 2008

Beny Uleander

Pendobrak Tapal Batas

Raut wajah adalah ruang ekspresi getaran dan gejolak terdalam jiwa manusia. Wajah pucat menandakan jiwa yang sedang tergoncang. Wajah ketakutan mencuat saat keselamatan diri terancam. Suasana hati yang riang terpatri menjadi wajah berselimut kegembiraan. Lalu wajah-wajah kusut masai dijumpai pada individu yang frustrasi. Ibarat cermin, ketulusan jiwa terpancar pada wajah yang bersahaja. Ketegaran dan pahit getir kehidupan yang dijalani seseorang terpahat di wajahnya. Dalam refleksi kolosalnya, Charles Kingsley menyebut kecantikan wajah adalah tulisan tangan Tuhan. Terimalah itu di setiap wajah yang cantik, di setiap hari yang indah, di setiap bunga yang indah. Ada pertanda apa saat kita menyaksikan wajah-wajah gelisah dan pasrah rakyat di negeri ini pada babak awal tahun 2008 ini?
Kerumitan ekonomi global membuat pemerintah bingung. Harga minyak mentah dunia meningkat tajam melampaui prediksi pemerintah. Imbasnya, RAPBN 2008 yang rampung akhir September 2007 langsung kedaluarsa. Demikian pula harga komoditas dan pangan melonjak naik. Pelaku usaha ketar-ketir memikirkan kelanjutan investasi mereka. Pada saat yang sama, mulai mencuat berita anak-anak menderita busung lapar. Maklum, daya beli masyarakat terkapar di tangga-tangga kenaikan harga sembako. Kepasrahan di tengah kemiskinan menjadi mosaik kepedihan.
Di saat bangsa kita tengah terjerat gejala “resesi global”, terbit mentari optimisme bahwa kita akan dan harus menjadi bangsa yang memiliki harga diri dan kemandirian di bidang ekonomi. Tentu saja lantunan litani harapan ini bukan impian kosong atau khayal semu. Tanda-tanda kebangkitan Indonesia baru sudah mulai terlihat pada barisan pengusaha dan kalangan swasta yang tak mau pasrah pada situasi kelam Indonesia saat ini. Ya, kita kagum pada prestasi para chief executive officer atau CEO Indonesia. Dalam usia muda, 28-40 tahun, mereka fokus merintis karir maupun bisnis dari nol dan akhirnya mencetak prestasi gemilang di bidang usahanya.
Dalam bilik-bilik nuraninya, mereka menanam benih visioner bahwa kehidupan adalah rajutan investasi manajemen diri dan ekonomi. Dengan sikap ambisi yang positif, mereka pertama kali mendisiplin dirinya. Ini sebuah perkara tidak mudah. Sebab manusia dalam segala kerapuhannya berjuang memilah mana cita-cita dan mana keinginan. Disiplin kerja hanya tercapai bila setiap individu mulai menata kehidupan pribadi dan merumuskan cita-cita yang ingin ditorehkan dalam kehidupan yang cuma sekali ini. Dan disiplin diri adalah gerak sadar menata hasrat-hasrat liar yang kerap menghambat pertumbuhan diri. Seperti rasa malas, pasrah pada nasib, menyombongkan kepintaran “yang seujung kuku” dan sikap mental menggampangkan pekerjaan.
Kita bisa bertanya dari mana mereka menimba sumber inspirasi yang menggerakkan mereka untuk selalu menghargai waktu, bekerja keras penuh dedikasi dan tak jenuh mendorong sesamanya untuk maju. Dalam kajian pakar manajemen usaha Rhenald Kasali, perjalanan untuk menemukan jati diri dan mengeksplorasi potensi diri yang dahsyat tidak lain adalah gerak perubahan; recode DNA. Daya positif yang membangkitkan hasrat untuk maju, dalam teropong Kasali, bermuara pada kesadaran bahwa setiap manusia tercipta untuk sukses. Sayang potensi diri dengan segala keunggulan dan keunikannya sering terkubur karena lingkungan pergaulan yang salah, cara pandang yang sempit dan masih berkutat dengan pikiran-pikiran negatif bahwa hanya orang kaya saja yang akan terus sukses.
Lalu di mana titik picu yang menyebabkan terbangunnya kesadaran intelektual dan kepekaan bisnis tersebut? Kembali lagi pada mutiara kehidupan bahwa hanya orang yang rajin membacalah yang bisa menjadi pemimpin. Artinya gairah belajar tiada henti dari pengalaman, studi kepustakaan dan bercermin dari pergulatan hidup sesama mencari makna terdalam kehidupan adalah sumber inspirasi kehidupan yang tak pernah kering.
Dari secuil kisah kaum muda yang merengkuh sukses, kita memetik keyakinan mental bahwa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara berkembang maupun maju sekalipun. Lalu dari mana kita bisa mulai memacu atau menabur benih-benih keyakinan itu? Di bangku sekolah? Ah, jarang cepat sukses karena tidak banyak guru yang sanggup membangkitkan potensi diri anak didik. Banyak guru yang lihai membangkitkan memori ingatan alias kemampuan menghafal teori demi kelulusan ujian. Lalu di keluarga? Memang keluarga adalah sel komunitas terkecil. Banyak generasi muda yang cerdas, berakhlak mulia dan sopan budi pekertinya, tapi menjadi pengangguran?
Belajar pada pengalaman terberi, manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan. Dalam alur ungkap sederhana, kesuksesan adalah proses individual dalam memotivasi dirinya sendiri. Melihat kegagalan sebagai bagian integral kemajuan diri dan usaha. Jatuh bangun dalam berusaha dirasakan sebagai kenikmatan tiada tara. Pengalaman gagal adalah garam yang membuat kehidupan tidak tawar. Dengan kekuatan pikiran positif mereka berucap bahwa kesuksesan adalah milik setiap manusia yang harus dicari, diperjuangkan dan dipelihara terus menerus.
Rumus kemandirian bangsa bisa kita gapai bersama dengan (1) bergerak dari wajah konsumen menuju wajah produsen. (2) Bergerak dari wajah “tuan tanah” yang malas menuju wajah “penggarap tanah” yang saling percaya. (3) Bergerak dari wajah mayoritas rakyat yang membisu menuju wajah minoritas yang berpikir kritis-konstruktif. (4) Bergerak dari wajah calon penguasa menuju wajah calon manajemen. (5) Bergerak dari wajah penonton di pinggiran sejarah menuju pendobrak pada tapal batas. (6) Bergerak dari penerima dan pelaksana menuju pencipta, penyebar dan pelaku. (7) Bergerak dari pola cendekiawan pembela rumusan baku kepada cendekiawan penggali kebenaran. (Beny Uleander/KPO EDISI 148/MARET 2008)
Read More

Selasa, Maret 04, 2008

Beny Uleander

Petaka Jurus Mabuk

Kelaparan adalah tragedi kutukan mengerikan bagi negeri yang subur dan kaya sumber daya alam. Kelaparan itu adalah murni kebijakan politik strategis! Mengapa demikian? Demokrasi tidak bisa bertumbuh ideal saat perut rakyat kosong. Urusan perut harus ditahtakan kembali pada kursi peradaban. Seperti kata pepatah Yunani kuno, engkau tidak dapat berpikir dengan perut yang lapar, karena perut tidak punya telinga. Padahal salah satu sendi demokrasi adalah terbangunnya ruang dialog dan pemahaman sinergis kepentingan pribadi dan umum, keberimbangan simbiosis urusan privat dan ruang kekuasaan negara.
Derita balita busung lapar, bocah-bocah polos kurang gizi, ibu hamil dan anaknya yang mati kelaparan di sebuah kamar kos menjadi ironi di tengah gegap gempita uang miliaran untuk dana kampanye dan pilkada. Seuntai kesadaran mengalir dari kejernihan nurani bahwa wajah kelaparan tengah tergolek bonyok di tangan-tangan kekar kekuasaan. Mulai dari kepala desa hingga presiden, dari pengurus anak ranting partai hingga elite politik di lingkup DPP, dari kemewahan kursi DPRD hingga kemegahan Senayan. Ya, kelaparan adalah buah sistematis dari tumbuh kokoh-kuat-jaya pilar-pilar kekuasaan. Aneh untuk dinalar sekedar dengan minum secangkir kopi di pagi hari.
Di balik awan yang pekat, matahari terus bersinar menerangi bumi. Sebuah contoh alam yang indah untuk dikalungkan pada loh hati. Bahwa serunyam apapun kehidupan, kemerdekaan berpikir dan perpendapat harus terus diperjuangkan dan dipertahankan. Layak bila dikedepankan lagi kebeningan nurani tanpa kebohongan. Sudah banyak litani dusta yang ditebar partai-partai politik dan pemimpin pilihan rakyat. Seorang pemimpin setelah berkuasa –banyak diberitakan media massa—didemo konstituennya karena mereka lupa merealisasikan janji-janji manis saat kampanye. Pendidikan gratis, kesehatan gratis adalah hiburan bagi rakyat dengan perut lapar yang masih ingin anak-anak mereka cerdas, yang masih berharap buah hati mereka tidak kekurangan gizi. Kog tega ya, rakyat miskin terus-menerus dikibuli demi menapaki tangga-tangga kekuasaan!
Bencana kelaparan dan nafsu kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Siapa yang mencintai rakyat negeri ini, yang tulus dan suci hatinya, pasti mengamini bahwa kelaparan bukan kutukan alam! Kelaparan dan kemiskinan bukan semata-mata karena kebodohan. Sebab kemegahan masa lalu telah mewariskan kebanggaan bahwa kita adalah keturunan dari para leluhur yang berbudaya dan berkepribadian adiluhung. Kearifan etis mereka bisa kita temukan dalam lontar dan naskah kuno. Rasa estetis mereka bisa kita nikmati dalam warisan megah Borobudur yang menjadi keajaiban dunia. Kerja akur dan kompak secara organisatoris dalam komunitas dan paguyuban dibangun nenek moyang kita dengan mata rantai gotong-royong, dedikasi, pengabdian dan pengorbanan. Betapa kaya norma-norma sosial yang hidup di berbagai suku dan etnik di negeri ini. Sebuah bukti unggul bahwa kelaparan dan kemiskinan terjadi akibat negeri ini salah diurus.
Kerumitan hidup rakyat negeri ini tidak dilihat sebagai tanda kekalahan. Seting kisah kelaparan massal adalah kisah miris zaman digital. Kebrutalan kapitalistik adalah “jenderal besar” yang otoriter dan anti demokrasi. Pemberdayaan potensi rakyat dan menggali keunggulan lokalitas agar memiliki daya saing di dunia usaha adalah musuh terbesar “jenderal besar kapitalistik”. Upaya melibatkan peran rakyat dalam berbagai kebijakan publik adalah rintangan sebesar pegunungan Jaya Wijaya yang bakal menghambat laju eksploitasi kekayaan alam. Itulah sebabnya tidak ada wakil rakyat di Senayan yang gigih berani memperjuangkan nasib rakyat korban lumpur Lapindo. Sebagian wakil rakyat telah menjadi boneka-boneka kekuasaan rezim kapitalistik yang angkuh, picik, licik dan kejam.
Kebiadaban rezim kapitalistik tidak bisa ditudingkan kepada negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Dalam ranah otonomi dan keberdikarian, kita masih berharap terbitnya wakil rakyat dan pemimpin negeri yang berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Satria yang berani melawan tekanan rezim kapitalistik. Kita meyakini, bila tampil pemimpin demikian, ia akan populer karena dicintai rakyatnya. Lebih dari itu, pemimpin sejati adalah insan yang merayakan kemanusiaan manusia di segala bidang. Itu bukan hal yang mustahil. Gandhi telah membuktikannya. “Luhurlah manusia itu. Baik hati dan suka menolong! Inilah yang membedakannya dari segala makhluk yang kita kenal,” kata Goethe. Dalam humanitas yang terwujud secara nyata inilah, kealamiahan dan kerohanian bersatu. Hugo Chaves telah merintis jalan ke sana. Evo Morales pun demikian, dan masih banyak lagi pemimpin di belahan negara lain yang telah sadar akan penjajahan modern.
Itulah sebabnya Wilhem von Humboldt (1767-1835) menekankan bahwa manusia etis-estetis bukan matematis rasional. Perbaikan mutu batiniah perlu didorong menjadi proyek bersama semua penghuni negara demokratis. Begitu juga di Indonesia. Agar para pemimpin kita berhenti saling mengolok dan menebar jurus mabuk. Agar rakyat tidak terus turun berdemo di jalanan kota hanya karena menagih janji-janji palsu! Semoga!!! (Beny Uleaner/KPOEDISI 147/MARET 2008)
Read More