Rabu, Juli 30, 2008

Beny Uleander

Kalkulasi Kenikmatan

Dua goresan hitam menyilang tebal pada wajah peradaban negeri ini. Dua guratan duka mengawali kematian sebuah negeri. Pertama, mega skandal korupsi massal legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, rentetan eksekusi mati para terpidana mati yang melakukan aksi kriminal karena motif ekonomi.
Dari kedua pahatan peristiwa historis itu, bergulir topik debat publik nan hangat. Bagaimana kalau para koruptor digiring ke tiang pancung -hukuman mati. Alasannya, uang negara yang dicuri selama ini menjadi biang keladi kemiskinan yang menggurita dan membelit rakyat negeri yang kaya sumber daya alam ini. Sedangkan para pelaku kriminal yang ditembak mati hanya menghilangkan nyawa segelintir orang. Sementara kerakusan para koruptor membuat jutaan rakyat hidup terlunta-lunta di medan kemiskinan.
Montesquieu dengan cemerlang menggagas trias politika sebagai pilar-pilar penyangga eksistensi rakyat dan negara. Sebuah cetusan ide yang progresif dalam tataran sistem. Tapi apakah pernah terlintas dalam benak Montesquieu pada tahun 1748 bahwa tiga pilar demokrasi itu pada moment tertentu akan “berselingkuh ria” menghancurkan negara. Ya fakta telanjang “perselingkuhan” terpampang setiap hari di layar kaca dan kertas koran di negeri ini. DPR telah menjadi mafia korupsi uang negara. Kejaksaan diobok-obok karena sudah dari dulu tidak dipercaya kredibilitasnya. Setali tiga uang, aparat birokrat, termasuk mantan pejabat banyak yang dicokok KPK karena ada dugaan mark up tender dan proyek pembangunan.
“Permainan kotor” tiga tiang penyimbang kekuasaan itu menyebabkan angka golput terus meningkat secara signifikan dalam beberapa event pilkada gubernur maupun bupati yang dilakukan secara langsung di berbagai daerah. Meski begitu, negeri ini belum mati. Itu karena masih ada laskar-laskar mandiri yang tidak mau mencicipi sensasi kenikmatan hidup dengan uang haram. Mereka bukan pengikut setia Epikuros (342-271 SM) yang menganjurkan agar orang menjauhkan diri dari kesibukan ber-polis karena kegiatan itu berisiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Mereka juga bukan pengusung idealisme Kantian dan Fichte yang tidak mau menaklukkan diri kepada benda-benda berharga yang ada di alam ini. Siapa mereka?
Para laskar mandiri tidak lain adalah pribadi-pribadi yang tidak mau menjadi budak harta. Tujuan hidup tertinggi bukan pada kepuasan hidup bertabur emas dan dollar. Kalkulasi kenikmatan tertinggi ada pada kebebasan dan kreasi untuk menghasilkan karya berharga lewat sketsa pekerjaan. Kehidupan adalah ruang berbagi cinta, perlindungan, penghargaan, ketulusan dan gairah untuk menciptakan surga damai di dunia. Kru legislatif boleh serakah! Tim Yudikatif silahkan menebar jurus-jurus pemerasan! Grup eksekutif bebas menilep uang proyek! Tapi selama kebeningan nurani belum punah dari bumi pertiwi, detak jantung Republik ini akan terus berdenyut.
Kebahagiaan sejati ditakdirkan menjadi milik pribadi-pribadi yang bukan “tukang-tukang” kekuasaan. Juga kedamaian bersemayam dalam batin yang puas menikmati kehidupan dengan hasil karya. Mereka tidak membunuh karena kemiskinan dan mereka tidak merampok uang negara karena tahu letak sesungguhnya sumber-sumber kenikmatan batin. Karya agung hanya lahir dari jiwa yang setia menatap keluhuran kemanusiaan. Kemalangan selalu menghampiri pribadi yang bersandar pada kekuatan sihir kuasa dan uang. (KPO EDISI 157/AGUSTUS 2008)
Read More