Sabtu, Desember 30, 2017

Beny Uleander

Dosa Besar Menghina Agama Lain

Narasumber: Beny Ule Ander, IKG Karyana Govinda, I Made Adi Surya Pradnya, K.H Nurul Huda dan K.H Mustofa
Dewan Pengurus Daerah - Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Provinsi Bali menggelar event refleksi akhir tahun perjalanan bangsa Indonesia dengan mengambil tema “Membangun Bali dengan Kerukunan Hidup Umat Beragama” di Pyxeleet CafĂ©, Renon, Denpasar, Jumat 29 Desember 2017.
Humas Flobamora Bali Beny Ule Ander tampil sebagai salah satu narasumber bersama aktivis NU Kyai H. Nurul Huda Pengasuh Pondok Pesantren Motivasi Indonesia, Dr I Made Adi Surya Pradnya Dosen Filsafat IHDN Denpasar, Kyai H. Mustofa Penasihat MUI Bali dan Sekum Walubi Bali Pendeta IKG Karyana Govinda, Mpd yang juga pengurus FKUB Bali.
Berbicara dari sisi sejarah perjalanan Gereja Katolik, Beny Ule Ander mengupas 3 hal: pusaka warisan, pusaka rohani dan deklarasi Nostra Aetate dari Konsili Vatikan II sebagai piagam “magna charta modern” yang bertumpu pada tinjauan biblis, teologis dan kristologis.
“Gereja adalah warisan dari ikatan spiritual antara Umat Perjanjian Baru dengan keturunan Abraham. Yahudi, Kristen dan Islam adalah putra putri Abraham dalam iman dan terangkum dalam panggilan Bapa bangsa itu,” urainya.
Menyinggung warisan rohani, Sekum Ikada Bali ini menyebut Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Ini bertumpu pada Deklarasi Nostra Aetate yang disebut sebagai piagam Magna Charta Modern Gereja Katolik yang diajarkan kepada segenap umat.
“Dalam bahasa gaul, haram hukumnya bagi umat Katolik untuk menjelekan dan menghina ajaran agama lain, nabi atau tokoh sakral agama dan rumah-rumah ibadat mereka. Dosa besar jika kita merusak rumah ibadat agama lain. Karena iman Katolik bersumber dari alkitab, tradisi dan ajaran magisterium Gereja,” jelasnya.
Lebih jauh alumni STFK Ledalero ini  mengeksplorasi pernyataan Santo Cyprianus di abad III tentang Extra Ecclesia Nulla Salus yakni di luar Gereja tidak ada keselamatan. Pendapat Cyprianus ini “dipelintir” dan menjadi bola liar yang menjadi catatan kelam perjalanan Gereja Katolik masa lampau yang  berlumuran darah. 
Awalnya pendapat Cyprianus untuk para bidaah jaman ini yang membuat ritus di luar Gereja Katolik. Pembaptisan mereka tidak sah. Hanya pembaptisan dalam Gereja Katolik yang membawa keselamatan. Lalu gagasan ini diteruskan oleh para Bapak  Gereja seperti Irenius dan Clemens dari Alexandria. Ditambah lagi dengan pernyataan St Agustinus bahwa di luar gereja ada apa saja, kecuali keselamatan.
“Nah, dalam perjalanan waktu pandangan ini mengkristal menjadi keeksklusifan Gereja. Salah tafsir ini terbawa sampai jaman kolonialisme abad ke-16. Dipelintir lagi oleh aliran sesat Yansenisme saat itu. Gereja hadir menendang agama-agama lokal dan menghancurkan tradisi budaya yang ada di suatu bangsa sebagai kebudayaan kafir,” paparnya.
Perang salib yang dirasakan sebagai luka sejarah hingga kini dan pengadilan inkuisisi di Spanyol sebagai sejarah kelam Gereja. Para ilmuwan dibunuh atas nama Gereja. Perempuan dan anak-anak dibantai atas nama agama.
Karena itu, ulas Beny, Gereja telah meninggalkan kisah memalukan masa lalu itu. Semua dikubur dengan lahirnya Deklarasi Nostra Aetate. Karya perwartaan Gereja bukan untuk keselamatan manusia. Tuhan yang menyelamatkan manusia. Tapi pewartaan ajaran Kristus dan Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup tetap berlanjut sampai akhir jaman. “Butuh waktu berabad-abad untuk mengkoreksi pemahaman yang kerdil dan keliru. Membunuh manusia atas nama agama dan ayat-ayat suci sebuah ketersesatan pikiran yang sudah ditanggalkan Gereja,” tegasnya.
Dalam konteks pembangunan di Bali, Beny mengutip etika global teolog Hans Kung. “Tidak akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama, tidak akan ada perdamaian agama tanpa adanya dialog antaragama, tidak akan ada dialog antar agama tanpa melacak nilai fundamental dari setiap agama.” Karena itu tugas dan panggilan Gereja di Bali adalah membangun dialog dan kerja sama denga semua penganut agama lewat dialog kehidupan, dialog karya dan dan dialog pengalaman iman.
“Bagi umat Katolik Pancasila dan UUD 45 sudah senafas dengan ajaran Katolik. Sekarang saatnya energi anak bangsa dikristalkan untuk pengembangan diri di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan bangsa maupun umat manusia. Stop sudah kita bertikai soal agama. Mari bangun Bali sebagai jangkar peradaban Nusantara kita. Menjaga dan merawat kebersamaan di Bali sebagai panggilan hidup umat Tuhan,” tutupnya.

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :