Jumat, Januari 16, 2009

Beny Uleander

Dewa Aristokrat Mati

Dunia memasuki malam gelap! Hitam dan gulita. Akhir tahun 2008 telah dikenang sebagai tahun kematian dewa kapitalis. Perusahaan-perusahaan raksasa sekelas Google yang menjadi simbol harta karun investasi masa kini kelimpungan. Sergey Brin dan Larry Page yang piawai mengasah naluri bisnis di ladang maya telah mem-PHK 100 karyawan di awal tahun 2009.
Jauh sebelumnya, perusahaan-perusahaan tua hingga medioker berlomba-lomba merumahkan karyawan. Semburat duka, kesedihan, dan kekalahan terpantul di setiap wajah penyembah dewa pencitraan kaum aristokrat Eropa itu. Pengusaha-pengusaha super kaya sekaliber Roman Abramovich menderita “virus migraine”. Was-was memikirkan pertumbuhan ekonomi yang melambat, lonjakan bunga bank dan beban utang yang bertambah.
Kematian dewa kapitalis di abad 21 ini diiringi suara tangisan yang membahana dari manusia-manusia lintas benua. Dukacita massal terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi membuat penghuni bumi akrab dalam mobilitas maupun interaksi. Dan, kematian itu menimpa dewa yang dikejar-kejar berkatnya oleh miliaran manusia.
Mistikus Spanyol Juan de la Cruz (24 Juni 1542 – 14 Desember 1591) dari desa kecil Fontiveros, menulis dengan rasa eksotik pengalaman malam gelap jiwa. Moment spiritual yang menghampiri setiap manusia yang merasakan Allah dekat namun jauh. Sangat jauh tapi amat dekat! Perasaan tersiksa di sekujur tulang jiwa menyadari Allah “seakan” telah mati. Harapannya sirna. Tonggak-tonggak keyakinannya roboh. Ia tak berdaya. Semua keindahan spiritual yang dikejar seperti menjadi fantasi kosong di siang bolong. Pengorbanan waktu, terutama hasrat batin sia-sia belaka. Itukah kado indah bagi mereka yang mengarahkan energi rohani untuk menyatu dalam sembah dan doa kepada Yang Kuasa?
De la Cruz dan para mistikus mewariskan satu kata hiburan untuk setiap manusia yang mengalami “malam gelap-pahit getir-duka nestapa” kehidupan: CINTA! Semua boleh hilang dalam kehidupan ini. Harta ludes tak masalah. Emas dan uang lenyap bukan persoalan berat. Sahabat, anak dan kekasih silahkan berlalu. Tapi gerak batin untuk terus mencintai tak boleh pudar.
Cinta adalah suara nurani yang terus berdetak lintas generasi. Ia tak pisah dipadamkan apalagi ditumpas oleh rudal rezim. Cinta adalah suara kebenaran yang bergema dalam relung sukma. Ia terus hidup meski berbagai peradaban tumbang dan tumbuh. Cinta adalah kendaraan terakhir sekaligus harta jiwa.
Ideologi kapitalis awalnya mengagungkan cinta sebagai “élan vital”; daya hidup untuk berkreasi. Manusia berlomba-lomba dengan gairah pengabdian kepada ilmu pengetahuan untuk mengungkap rahasia-rahasia alam. Dogma “cinta” inilah yang dijadikan senjata negara-negara kapitalis untuk memberangus komunisme dalam segala alirannya.
Sayang, kapitalisme pongah karena “cinta” hanya menjadi mesin raksasa penyedot kenikmatan badani. Kompetisi didewakan. Daya saing menjadi kredo iman kaum kapitalis. Wabah kerakusan adalah tipikal manusia yang sudah terjangkiti virus kapitalis. Kekuasaan dikejar dan dipertahankan dengan seribu satu cara. Tentunya menghalalkan segala jalan. Tak heran, penduduk-penduduk lemah hanya jadi penonton “ketidakadilan” hidup di alam yang satu, sama dan seudara.
Kita bersyukur dewa kapitalis telah terjungkal dari singgasananya. Meski kita harus melewati “malam gelap-krisis ekonomi” mahadashyat di tahun 2009, namun biarkan suara-suara cinta terdengar merdu dalam batin. Alam dalam segala kelimpahannya akan tetap memberi kecukupan untuk manusia, tapi tidak cukup untuk keserakahan! Dan, kekuatan alam pun akan melindungi cinta sejati yang tumbuh dalam jiwa yang berani berkorban dan memberi dengan tulus.

Koran Pak Oles/Edisi 167/16-31 Januari 2009

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :