Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Revolusi Integratif Media

Kejayaan media serentak adalah kebinasaan umat manusia. Itulah ramalan apokaliptif yang dilontarkan pakar semiotika Umberto Eco pada lembaran buku Tamasya Dalam Hiperealitas. Kontan, praktisi komunikasi dan pelaku pers ‘konvensional’ dibuat bingung menyerap ‘mazhab’ Eco tersebut. Tapi, di semester pertama tahun 2007 ini, pengamat media massa harus angkat jempol buat loncatan pemikiran elegan Eco yang didengungkan pada tahun 1987 silam. Tentu, cakrawala pemikiran Eco mulai dipahami seiring dengan pertumbuhan piranti masyarakat teknologi komunikasi (televisi, pers, perusahaan rekaman) yang berkembang dalam kecepatan dan percepatan (velocity).
Cho Seung-hui, pembantai patologis terhadap 32 mahasiswa di asrama Virginia Tech University, AS mendadak jadi selebritis dunia. Penyebaran foto-foto dan potongan video Cho yang menakutkan dipublikasikan gencar televisi sedunia dan situs internet. Penayangan tersebut akhirnya menimbulkan ketakutan mendalam penyebaran ‘virus patologis’ yang diderita Cho akan diikuti anak-anak. Pada titik inilah, kita membenarkan warta apokaliptik Eco bahwa media massa tidak menyebarkan ideologi karena media massa itu sendiri sudah merupakan ideologi. Nah, jika alat-alat komunikasi mewartakan secara konsisten aksi sadisme, maka pada saat itulah telah terjadi indoktrinasi ideologi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Tanda-tanda sejarah ‘apokaliptif’ media massa mulai menemukan habitatnya pada masa Perang Teluk tahun 1990. Reporter TV CNN mulai melaporkan langsung peristiwa perang dengan latar belakang ledakan bom yang dapat dilihat pemirsa. Konsep-konsep konvensional pemberitaan berguguran. Berita tidak sebatas hasil rangkuman peristiwa yang baru terjadi (timeless). Kini berita adalah sejarah yang tengah berlangsung (history in the making).
Amat sederhana visi seorang Eco itu. Ia tetap percaya bahwa media massa adalah agen terdepan dalam membentuk opini publik. Dahulu, untuk mengukur kekuatan politik suatu Negara, Anda tinggal mengontrol angkatan bersenjata dan polisi. Di era komunikasi, age of communication ini, langkah untuk menjadi penguasa ditempuh dengan mengendalikan media komunikasi. Langkah represif terhadap alat-alat komunikasi dipertontonkan oleh rezim militer Thailand pasca kudeta 2006 silam dalam mengontrol peredaran berita di negeri Gajah Putih tersebut. Bahkan, media AS sendiri berupaya mengendalikan berita-berita soal sepak terjang militer AS di Afghanistan dan Irak. Di bilik pemaknaan ini, pernyataan Eco sangat brilian bahwa kemenangan bukan di tempat komunikasi itu berasal, tetapi di mana komunikasi itu mendarat; beredar dan berada.
Dunia pers Indonesia kini diwarnai dengan pertumbuhan media alternatif yang dibangun kalangan pengusaha dalam aneka bidang bisnis. Bahkan, partai politik pun mulai menggelontorkan dana untuk membuat surat kabar sendiri. Awalnya, ada keraguan di kalangan jurnalis seputar kehadiran media massa tersebut akan jauh menggumuli berita-berita investigasi maupun laporan human interesting berbagai kepedihan sosial yang menimpa masyarakat akar rumput. Pada titik ini, mati hidup sebuah media komunikasi tidak lagi tergantung pada pilihan berita tetapi pada kontinyuitas distribusi prinsip yang terpahat nan strategis dalam visi misi.
Pada saat sebuah media hidup, serentak pula langkah indoktrinasi sistematis terbangun dalam lalu-lintas peradaban. Profesor Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media secara tegas menyatakan, informasi tidak lagi menjadi instrumen untuk memproduksi ekonomi perdagangan, tapi justru menjelmakan diri sebagai komandan dari segenap barang komersial. Komunikasi sudah tertransformasikan sebagai industri berat.
Dalam pemahaman nan strategis ini, tidak salah bila setiap pengusaha yang memiliki produk berkualitas dengan harga relatif terjangkau wajib ‘berjibaku’ untuk menguasai kekuatan media dengan menguasai dua momentum rantai komunikasi; sumber dan saluran (jaringannya). Inilah salah satu loncatan membawa bendera sebuah produk atau lebih untuk selalu berada dalam perguliran sejarah; saat ini dan di sini, sembari tetap mengaca pada setiap rubrikasi yang didesain apik sejak kemarin, hari ini dan besok-besok.
Jika, pemilik media sebatas menjadikan media sebagai sarana, maka itu hanya mengontrol bentuk kosong kejayaan media. Ingat, kemenangan bukan di tempat komunikasi itu berasal tetapi di mana komunikasi itu mendarat. Pilihan menjadikan media komunikasi sebagai komandan adalah gerak revolusi yang solutif dalam bingkai dan format integratif yang lebih sedap dipandang dan dimaknai. Semoga!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 127)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :