Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

IPDN, Borok Pendidikan Birokrat

Dunia pendidikan Indonesia diselimuti mendung duka. Satu lagi nyawa anak negeri ini terenggut sia-sia di sebuah ladang pembantaian bernama mentereng Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Jawa Barat. Selasa 3 April 2007, ia terkapar tanpa melawan aksi brutal seniornya. Sungguh sebuah peristiwa tragis yang amat menyesakkan dada.
Rakyat Indonesia pun disajikan horor menakutkan di kampus milik Departemen Dalam Negeri yang super mewah itu. Media massa terutama televisi 'ngotot' menayangkan video aksi-aksi brutal dan sadis mirip kamp konsentrasi di jaman Nazi-Hitler. Mata praja yunior ditutup dengan sapu tangan, lalu para senior mulai memamerkan naluri primitif mereka. Para yunior dipukul, ditendang dan ditinju sepuasnya atas nama penegakan disiplin. Aksi biadab itu tidak saja diperagakan di dalam ruangan, tetapi juga dipertontonkan dengan bangga di lapangan terbuka.
Rasa duka keluarga korban kembali tercabik-cabik oleh sikap rektorat IPDN yang berupaya rapi menyembunyikan penyebab kematian Cliff Muntu. Untung di dalam lembaga pendidikan yang bobrok itu masih ada seorang dosen berhati bening,jujur dan berani membongkar aib yang selama ini disimpan rapi dalam kemegahan gedung dan fasilitas sekolah gratis tersebut. Ya, Inu Kencana Syafiie, dosen yang sederhana, penulis beberapa buku dan kandidat doktor Universitas Padjajaran itu berbicara kencang kepada pers tentang kekerasan, aksi tutup mulut rektorat, kasus-kasus kematian misterius yang menimpa 35 praja, kasus narkoba dan aksi free sex di dalam institut itu.
Rakyat negeri ini mengikuti dengan cermat berita-berita bagaimana bobroknya manajemen sekolah pamong praja yang dulu bernama APDN dan STPDN itu. Rakyat juga melihat bagaimana pernyataan dan orasi Rektor IPDN kala itu I Nyoman Sumaryadi yang fasih membuat kebohongan publik. Seorang profesor yang berilmu tapi tidak memiliki jiwa pemimpin alias pengecut dan pembohong tulen. Nyoman Sumaryadi dengan gagah mengatakan kepada publik bahwa praja Cliff Muntu meninggal karena sakit lever yang dideritanya. Lebih jauh lagi, Sumaryadi kepada Detik.com mengatakan Cliff saat memasuki tingkat II sering berobat lever ke dokter. Ia juga mengaku bahwa aksi kekerasan itu dilakukan secara diam-diam oleh kalangan praja senior. Tetapi saat berdialog dengan Wapres Jusuf Kalla, Sumaryadi dengan fasih berceritera rinci dan mendetail detik-detik penyiksaan yang merenggut nyawa Cliff Muntu.
Sumaryadi juga sempat menonaktifkan dosen Inu Kencana yang membuka borok-borok di lembaga yang dipimpinnya. Lebih aneh lagi, Sumaryadi yang kini sudah non aktif itu tidak diperiksa intensif polisi terkait kebohongan publik yang dibuatnya. Ada kesan Sumaryadi 'diamankan' alias dibebastugaskan dari tanggung-jawab atas berbagai peristiwa yang pernah terjadi di kampus tersebut. Ini bisa menjadi sebuah gambaran bahwa Departemen Dalam Negeri tidak becus dan serius membenahi sekolah dinasnya tersebut. Publik pun mulai muak dan marah. Pantas saja bila tuntutan agar IPDN dibubarkan kini meluas di tengah masyarakat.
Publik dibuat shock dengan data-data kekerasan yang disampaikan Inu Kencana. Menurut Inu, sejak 1990-an terjadi kematian sekitar 35 praja. Namun yang terungkap hanya 10 kasus. Tahun 1994, Madya Praja Gatot dari Kontingen Jatim meninggal ketika menjalani latihan dasar militer dan dadanya retak. Tahun 1995, Alvian dari Lampung dan Fahrudin dari Jateng (tahun 1997), meninggal di barak tanpa sebab. Tahun 1999, Edi meninggal dengan dalih sedang belajar sepeda motor di lingkungan kampus. Tahun 2000, Purwanto meninggal dengan dada retak. Tahun 2000, Obed dari Irian Jaya, meninggal dengan dada retak. Tahun 2000, Heru Rahman dari Jawa Barat yang meninggal akibat tindak kekerasan. Kasusnya sempat menjadi bahan berita dan dilimpahkan di pengdilan. Tahun 2000, Utari meninggal karena aborsi dan mayatnya ditemukan di Cimahi. Tahun 2003, Wahyu Hidayat yang juga ramai diberitakan meninggal karena tindak kekerasan. Saat itu, Inu Kencana juga berbica blak-blakan sehingga ia sempat menerima teror akan dibunuh. Lalu tahun 2005, Irsan Ibo meninggal karena dugaan narkoba. Anehnya lagi, para tersangka yang pelaku penganiayaan Hidayat yang sudah divonis penjara ternyata menjadi PNS yang tersebar di lingkungan Pemda Jawa Barat. Setelah diberitakan pers, barulah Kejaksaan pura-pura bertindak menangkap mereka. Ada apa dengan IPDN yang menelan dana negara 130 milyar per tahun itu?
Menilik pola pendidikan dan pengasuhan di sekolah dinas tersebut yang kebablasan ala militer itu, saatnya pemerintah membubarkan IPDN. Bagaimana nasib para praja yang masih bersekolah? Pembekuan penerimaan siswa sebaiknya dijadikan 3 tahun sampai semua praja 'lama' lulus. Kalau cuma setahun, praja baru masih bertemu dengan senior mereka. Dan bukan tidak mungkin rantai kekerasan kembali terjadi. Para praja yang tersisa sekarang diarahkan pada perbaikan pemaknaan disiplin, paradigma dan suasana asrama mahasiswa. Tentunya dalam kontrol yang ketat semua aktivitas mereka.
Nah, selama periode 3 tahun itu, pemerintah memiliki waktu panjang untuk meletakan dasar sistem pendidikan yang kuat dan SDM yang tepat di lingkungan IPDN baru. Selain mata rantai kekerasan terputus, orang-orang lama di lingkup IPDN dipindahkan dan diganti orang baru. Sebab, negeri ini dengan 34 propinsi masih membutuhkan calon-calon birokrat yang handal dan bermartabat. Di samping itu, citra IPDN sebagai institut jagal dan preman ini bisa dipulihkan kembali.
Dalam IPDN baru, pemerintah perlu memastikan pendidikan kedinasan tidak bertabrakan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, yang menyebut pendidikan kedinasan hanya boleh dibuka untuk memberikan pelatihan tambahan bukan menyelenggarakan pendidikan yang setara dengan jenjang strata 1 ataupun diploma. Artinya IPDN baru ditempatkan dalam pengawasan Departemen Pendidikan Nasional. Dan, kurikulum pendidikan pun bisa dibuat sesuai dengan tuntutan sistem pemerintahan modern. Sehingga IPDN baru mencetak pamong praja yang genius dalam memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. (Beny Uleander/KPO EDISI 126)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :