Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Permata Hati

Immanuel Kant, lahir di Königsberg, 22 April 1724 dan wafat 12 Februari 1804, adalah orang pertama dari kalangan akademisi yang melontarkan sebuah penerawangan soal kehidupan di planet lain. Kant menyatakan suatu saat manusia bisa hidup di sebuah planet lain mirip Bumi. Ramalan Kant memang masih belum terealisir hingga kini. Meski saat ini, ada penemuan antariksa yang melihat ada sebuah planet di luar galaksi Bima Sakti yang memiliki massa serupa dengan Bumi. Entah di sana ada kehidupan atau suatu saat manusia dapat bertransmigrasi ke planet tersebut, kita tidak tahu. Sejarah perguliran kehidupan dan penemuan ilmiah akan terus berlanjut dengan catatan-catatan spektakuler di masa mendatang.
Ramalan Kant soal suatu kehidupan di planet lain menjadi latar dan alur untuk menerobos kekusutan memaknai arti wilayah, ruang dan waktu kekinian. Visi Kant melihat suatu kehidupan lain adalah sepenggal optimisme untuk terus mencari suatu ruang kehidupan yang baru. Kerinduan meraih kehidupan yang baru adalah sebuah orientasi ziarah manusia dalam merumuskan identitas diri dan jati diri bangsa.
Dalam sketsa peradaban dunia, akar globalisasi bisa dicari dalam diri seorang Colombus. Ia menebar mimpi bahwa ada kehidupan lain di luar negaranya. Di seberang lautan yang penuh misteri, mata batin Columbus melihat ada sebuah kehidupan lain, ada suatu peradaban dan tertata sebuah kebudayaan yang unik. Berkat kegigihan Columbus untuk terus berlayar di bawah bayang-bayang kematian, dunia baru dan asing ditemukan. Sejak saat itu, bangsa Eropa berlomba-lomba bertandang ke Asia, Afrika dan Amerika.
Kunjungan orang Eropa tercatat dalam buku sejarah sebagai awal mendefenisikan nasionalisme. Di saat kegiatan berlayar berubah menjadi aksi menduduki dan menaklukkan wilayah baru, bangsa-bangsa tertindas mulai melakukan perlawanan.
Visi perlawanan awalnya adalah perjuangan mengembalikan kedaulatan diri (suku, kerajaan) atas suatu wilayah, tanah kelahiran, kampung halaman, tanah tumpah darah. Spirit perlawanan lahir dari kerinduan untuk memasuki sebuah ruang kehidupan yang baru. Sementara gairah ofensif dan defensif penjajah adalah keengganan meninggalkan sebuah surga di bumi.
Selembar visi Kant kini adalah berderet persoalan pilu yang menghentak bangunnya rasa nasionalisme. Penjajahan fisik memang telah berakhir. Tapi bangsa Indonesia belum merdeka di jaman ini. Berbagai korporat asing sudah lama bercokol di bumi Indonesia. Mereka datang membawa visi investasi pembangunan. Yang terjadi adalah kekayaan laut, darat dan perut bumi Indonesia terus disedot atas nama investasi. Banyak korporat asing bagaikan srigala kelaparan tatkala melihat kekayaan negeri ini yang ranum dan molek bestari.
Negeri ini dijajah oleh sebuah visi globalisasi yang bertaut erat dengan roh gentayangan bernama: kapitalisme! Arus modal dan investasi masuk menyeruak di negeri ini, tapi mengapa rakyat Indonesia tiap tahun bertambah miskin. Mengapa pemerintah yang dipilih oleh rakyat kini lebih memihak kalangan korporat asing. Banyak tanah milik rakyat dengan sertifikat resmi masih tetap digusur oleh pemerintah untuk kepentingan tuan-tuan investor.
Apalah artinya nasionalisme di tengah percaturan global saat ini? Masih haruskah intisari nasionalisme dikerucutkan pada kepentingan menjaga kedaulatan sebuah wilayah? Namun aneh bin ajaib di negeri ini. Pulau-pulau kita tidak diserang oleh negara asing tetapi harta karun negeri ini perlahan ditelan oleh korporasi raksasa lintas negara. Pemerintah milik rakyat ataukah milik korporat asing? Dan, tinta sejarah akan mencatat perjalanan sebuah bangsa sebagai sebuah perguliran identitas.
Kini nasionalisme atau kebangkitan menuju perubahan di era ini harus berpijak pada sebuah visi untuk meraih kehidupan baru di negeri ini. Kehidupan baru itu adalah spirit bersama membangun sebuah ideologi baru. Namanya adalah ideologi kesejahteraan. Orde berganti orde dan rezim berganti rezim tapi selama ideologi kesejahteraan rakyat terus ditelantarkan, maka cepat atau lambat akan terjadi goncangan sosial politik yang mahadashyat. Apalagi negeri ini belum steril dari kuman-kuman pertikaian suku, ras, agama dan golongan!
Harus diingat pula bahwa hati nurani rakyat negeri ini masih peka. Rakyat tahu mana pemimpin srigala berbulu domba dan mana domba berbulu srigala. Sejarah telah mencatat bahwa berbagai ideologi telah berguguran dan mati suri. Yang masih hidup adalah ideologi kesejahteraan. Maju mundurnya bangsa ini tidak sepenuhnya lagi di tangan pemerintah. Maju mundurnya negara ini ada di tangan individu yang terus mengeksplorasi kemampuan dan potensi dirinya. Kita sebagai bangsa pun harus mendukung agar berbagai potensi pembangunan di sekor swasta harus menjadi asset bangsa. Dikelola dan dijaga sebagai permata hati. (Beny Uleander/KPO EDISI 128)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :