Minggu, Agustus 15, 2004

Beny Uleander

Lokomotif Negara

Menelaah kamus Marxisme, kerja adalah suatu panggilan hidup individu dalam suatu negara. Karl Marx melihat, nilai kerja sebagai bentuk tanggung jawab individu atas kelangsungan hidup negara (komunitas sosial). Manusia pekerja adalah rakyat sejati dalam suatu negara. Kegiatan kerja menjadi tuntutan mutlak mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari suatu komunitas.
Dalam visi yang tegas, Marx menempatkan kerja sebagai napas eksistensi negara. Pada akhirnya, masyarakat pekerja diwajibkan jadi penggerak revolusi ketika sumber-sumber produksi dan kekayaaan hayati dipasok dalam gudang rumah tangga segelintir kalangan elite. Dengan begitu, di mata Marx, dunia kerja adalah lahan membenihkan kesadaran sosial tentang keadilan, persamaan nasib dan solidaritas absurd. Hanya saja, konsep Marx ini mengabaikan hakikat kemanusiaan. Begitu bernafsunya Marx mengejar ‘impian revolusi masyarakat tanpa kelas’ sampai-sampai bidang kerja sebagai ajang aktualisasi diri direduksi jadi lokomotif negara sosialis.
Dalam memaknai kerja, Marx sudah maju selangkah dari pemikir Inggris, Imannuel Kant yang memetakan kegiatan kerja sebagai tingkatan terendah perwujudan diri. Bagi Kant, penyempurnaan dunia intelek sebagai bidang pekerjaan terberi bagi setiap manusia yang terlempar ke dunia dari rahim ibu. Marx yang kepincut dengan dunia kaum buruh, lupa bahwa suatu pekerjaan akan menemukan artinya bagi manusia ketika manusia merasakan manfaaat pekerjaan itu bagi dirinya sendiri, dan baru berikutnya bagi dan untuk orang lain. Singkatnya, proses alienasi atau keterasingan antara manusia dan hasil pekerjaannya merupakan efek samping marxisme.
Dalam kajian ini, pekerjaan adalah aktivitas manusia yang dilandasi visi, pentahapan sistematis dan hasilnya pun dirasakan langsung sang pekerja. Amat naïf, jika menyama-ratakan semua aktivitas manusia sebagai pekerjaan. Sejauh, suatu kegiatan itu dirancang dalam terang akal budi dan diwujudkan dalam pola aktivitas, maka seperangkat tindakan disebut pekerjaan. Di sini, aktivitas tanpa konsep adalah kumpulan gerakan kosong. Inilah yang dialami orang yang lupa ingatan alias gila. Sesungguhnya dalam bekerja, manusia mewujudkan eksistensi. Artinya, manusia adalah makhluk pekerja (homo faber). Kreativitas, imajinasi, cita-cita dan visi menjadi roh. Sedangkan bidang kerja menjadi konduktor yang membentuk tubuh pekerjaan.
Secara terminologi, ada kerja intelektual dan kerja fisik. Ternyata, pembagian ini berakibat fatal dalam membentuk mainstream berpikir bahwa aktivitas manusia adalah gerakan-gerakan yang diatur, dikendalikan dan dikehendaki akal. Contoh, pekerja intelektual: dosen, wartawan atau konsultan keuangan. Pekerjaan fisik seperti menjadi pembantu rumah tangga, petani atau pemulung. Lantas, pembagian ini secara keliru memprodusir citra bahwa kerja intelektual lebih bergengsi daripada kerja fisik. Serta-merta, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencetak SDM yang berkualitas dan siap pakai. Kalau seseorang tidak berkualitas, maka ia harus siap-siap melakukan pekerjaan yang rendah karena kalah bersaing di dunia pekerjaan white colour.
Sadar atau tidak, orang-orang Indonesia yang mengharamkan Marxisme tetapi secara kasat mata menerima pemahaman Marxis tentang dunia kerja sebagai dunia eksistensi warga negara. Tanpa pekerjaan, angkatan penganggur memilih menjadi tamu di negeri orang, dan terus meningkat setiap tahun bagaikan barisan gerbong kereta api yang macet lantaran rel banyak yang terlepas. Artinya, lapangan pekerjaan kian terbatas dan kreativitas pun lumpuh. Banyak sarjana tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena ketimpangan dalam pola pikir dialektik antara Marx dan Kant.
Apa yang salah dalam situasi ini? Negara, sistem pendidikan atau ketiadaaan paradigma berpikir tentang kerja sebagai aktualitas diri. Bila konsep kerja sebagai perwujudan diri dimaknai secara esensial maka kisah pengusiran TKI dari Malaysia maupun kabar pemerkosaan para pembantu di negeri jasirah Arab tidak terdengar. Di satu sisi, masyarakat terperangkap dalam dikotomi pekerjaan intelektual dan pekerjaan fisik.
Di sini, paradigma berpikir baru perlu diciptakan, --menghapus pandangan kerja bersih dan kerja kotor. Meski secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang luas dan melimpah kekayaan alamnya, tetapi kenapa banyak anak negeri mesti mencari sesuap nasi di negeri orang? Kenapa malu jadi petani dan atau pemulung sampah? Kalau pemulung sampah ditatar menjadi profesional tentang manajemen kerja, bukan tidak mungkin bisa berpelesiran dengan mobil ke mana-mana. Pagi sampai tengah hari tetap menjadi pemulung sampah dengan wawasan baru. Pedagang K5 bila diarahkan untuk menjadi saudagar handal maka dalam perjalanan waktu bakal jadi milyader.
Di negeri ini, masyarakat berpola pikir bahwa para pekerja dan penganggur adalah asset negara. Hanya penganggur, asset yang tidak produktif. Akibatnya, kerangka kebijakan pemerintah cuma fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan. Meski lapangan kerja terbuka lebar tetapi tidak ada kesadaran bahwa kerja adalah aktualisasi diri maka kita tetap menemui orang-orang gila berpenampilan sehat. Mereka ini adalah virus yang menghancurkan perusahaan dan negara.
Sebaliknya, orang yang bekerja kasar tetapi disertai kesadaran bahwa dalam bekerja ia mengaktualisir bakat dan kemampuan, maka mereka adalah pribadi sejati. Kelompok inilah yang menjadi ‘lokomotif’ pertumbuhan dan peradaban bangsa yang lebih humanis. Sedangkan kelompok yang bekerja tanpa visi, inilah yang selalu jadi santapan empuk benih iri hati, dengki dan sumber berita dunia kriminal di Indonesia. Pekerja tanpa visi selalu menjadi pribadi terlunta-lunta baik di negeri sendiri maupun di luar negeri.
Lebih disesalkan, para cendekiawan gemar berkomentar bila SDM TKI rendah kualitasnya. Buktinya, mereka cuma menjadi pembantu. Padahal bagaimana menjadi pembantu yang profesional, sering lupa disinggung. Inilah kelemahan pola pikir dikotomis, kerja otak dan kerja otot. Sejatinya, pekerjaan adalah kesatuan aktivitas otak dan otot. Kerja otot tanpa otak, ibarat robot hidup dalam imajinasi konyol Karl Marx. Sebaliknya kerja otak tanpa fisik seperti orang yang bermimpi sedang bekerja padahal itu cuma pekerjaan menjaring angin. Khayalan sekalipun akan mencari bentuk penampilan dalam rupa guratan lukisan, coretan irama musik dan karya sastra yang terucap di mulut dan tertulis di buku. Fakta empirik ini sengaja diabaikan Kant yang juga menulis pikirannya di buku. Eh, Kant saja mau tidak mau masuk dalam dunia kerja, yakni aktivitas tulis-menulis. Hai, manusia Indonesia ingatlah hidup ini cuma sekali saja. Kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri tidak ditandai dengan pekerjaan glamour tetapi menghayati gerakan tangan, langkah kaki dan gerakan jiwa yang sadar. ‘’Cogito Ergo Sum; saya berpikir maka saya ada,’’ tegas Rene Descartes asal Perancis. KPO/EDISI 66
Read More