Fenomena mencuatnya wacana homoseksualitas, baik gay maupun lesbianisme, akhir-akhir ini, lewat berbagai forum dan media merupakan sebuah bagian dari politik identitas kelompok untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari kelompok dominan. Seperti politik identitas lainnya, wacana homoseksualitas menggunakan buku sebagai senjata untuk mendapatkan pengakuan tersebut.
Telaah sosiologis atas fenomena tersebut dikemukakan pendiri GAYa Nusantara Dede Utomo dalam diskusi dan bedah buku Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlina Tien Suhesti di Kampus B Universitas Airlangga (Unair). "Jika kita tempatkan dalam konteks sosial, lesbianisme adalah bagian dari politik identitas," ujarnya.
"Melalui observasi yang sangat dekat dan akrab dengan mereka yang memilih menjadi lesbian, saya memahami lesbian adalah given (terberi-Red), bukan to be (menjadi-Red)," ujar Herlina. Mereka yang terberi menjadi lesbian tidak menampakkan dan mengakui diri karena konstruksi sosial di masyarakat tidak memberi ruang untuk pengakuan itu.
"Bahkan, keluarga tempat individu itu lahir dan dibesarkan sulit dan cenderung tidak dapat menerima," ujar Dede. Perlakuan diskriminatif oleh masyarakat menurut Dede dalam era demokrasi sekarang ini tidak dapat dibenarkan. "Pasal 28 (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang diamandemen, menjamin hal itu," tambahnya.
Lagi pula, pandangan negatif dan diskriminatif masyarakat atas mereka yang 'menjadi' kaum homoseks disebabkan kesesatan informasi di mana kaum homoseks (gay dan lesbian) melulu hanya berpikir dan membicarakan masalah seks. "Kaum lesbian yang saya temui umumnya pintar dan memiliki andil dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, tidak melulu berpikir soal seks saja," ungkap Herlina.
Terkait pemilihan judul buku atau lebih tepatnya novel yang dibuatnya lima hari empat malam, yaitu Garis Tepi Seorang Lesbian, Herlina mengatakan hal itu sebagai cerminan dari apa yang dialami kaum homoseksual di tengah masyarakat, yaitu terpinggirkan. Namun, dengan makin terbukanya masyarakat saat ini, Herlina yakin, lesbianisme sebagai politik identitas akan mendapat tempat.
Keyakinan itu didasarkan kenyataan di masyarakat kita saat ini di mana seksualitas dan hal-hal yang terkait dengannya dirayakan dengan sangat intens. Selain maraknya penerbitan buku senada yang disambut luar biasa oleh publik seperti buku Jakarta Undercover karya Moamar Emka, perayaan seksualitas juga intens tampil dalam acara dan program di televisi.
Di tengah penolakan dan resistensi kaum konservatisme dalam memandang wacana dan gerakan homoseksualitas, Herlina yang cerdas dan masih muda belia ini, berujar penuh harap, "Masyarakat harus mulai dapat memahami".
Pepatah "jangan menilai buku dari sampul (judul)nya" tepat untuk buku ini. Buku bersampul gelap setebal 324 halaman karangan Herlinatiens ini memang menarik perhatian ditilik dari judulnya, Garis Tepi Seorang Lesbian. Menarik, karena dalam sejarah perbukuan di
Novel yang ketika pertama kali dilihat tampak sangat cerdas dengan tambahan foreword yang ditulis antropolog University of Amsterdam, Dr Saskia Wieringa, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah senior, Nin Bakdi Soemanto. Itu pun masih ditambah epilog oleh J A Yak, filsuf dan pengamat sastra. Biar makin kelihatan berisi, buku ini pun dilengkapi dengan footnote pada bagian isinya. Namun semua itu malah membuatnya jadi ‘bergaya
Hampir seisi buku ini ditulis dengan