Jumat, Juli 08, 2005

Beny Uleander

Hukum Belum Memberi Ruang, Masyarakat Mulai Menerima

Antara ada dan tiada, kira-kira seperti itulah eksistensi Wanita pria alias WARIA di bumi nusantara ini. Sejatinya komunitas yang melakukan penyempalan dalam kehidupan normal ini secara sosiologis ada. Kendati jumlahnya relatif lebih kecil dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya, namun dari sisi hukum kaum ini sama sekali tidak dikenal. Artinya, praktis keberadaan mereka tidak diakui.

Dalam hukum positif hanya dikenal dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, sedangkan wanita pria atau pria wanita hingga kini sama sekali belum pernah disebutkan. Sehingga keberadaan mahluk yang satu ini ketika mengusung kesetaraan gender dan persamaan hak membuat banyak kalangan, bertanya tanya. Namun sejauh ini lembaga yang berkompeten di bidangnya juga melancarkan jurus ambigu untuk melakukan penyikapan terhadap fenomena yang lambat laun kian meruyak ke permukaan.

Keberadaan kelompok masyarakat yang satu ini, sebenarnya sudah cukup lama diketahui, namun baru beberapa dekade belakangan ini, kelompok ini semakin transparan dan semakin berani menampakan jati dirinya, sehingga mereka tidak canggung lagi tampil didepan publik, baik dalam mengenakan busana,memilih profesi maupun menyatakan status.

Keterbukaan bagian masyarakat ini terus bergulir selaras dengan perkembangan jaman, bahkan beberapa diantaranya bahkan tanapa tedeng aling-aling dalam sikap dan laku serta tindakan radikal mengubah bukan saja penampilan tetapi juga vermak pisik dengan melakukan penggantian kelamin dari laki-laki menjadi wanita, termasuk juga perubahan secara yuridis. Gejala semacam itu tidak menjadi porsi kalangan masyarakat metropolis tetapi sudah merebak ke daerah seperti apa yang dilakukan putra Bali asal Buleleng sekitar 80 km arah utara Denpasar.

Kahumas Kejaksaan Tingggi Bali Nunuk Sugiyarti, SH, ketika diajak mendiskusikan fenomena Waria menyebutkan, sepanjang kaum yang satu ini melakukan interaksi secara sosial dalam masyarakat tidak terlalu mencolok, kehadirannya dapat dipahami menyusul adanya sikap yang cukup permisif dan ‘cenderung sudah menerima’. Namun, ketika mereka semakin berani menuntut hak-haknya yang sama dengan masyarakat normal misalnya kawin sesama Waria, pasti akan menimbulkan persoalan sosial maupun hukum.

Dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur, pada dasarnya perkawinan sebuah perikatan antara laki-laki dan perempuan, kala dilakukan antar sesama jenis jelas tidak mencocoki perumusan UU, kecuali salah satu diantaranya merubah status hukum maupun pisik sehingga memenuhi perumusan UU. Dengan demikian secara hukum positif perkawinan sesama jenis tidak diberikan ruang, karena tidak dapat memenuhi unsur-unsur yang terdapat dan diatur dan UU perkawinan. Bilamana perkawinan seperti itu terjadi, dapat dikatagorikan sebagai sebuah pelanggaran hukum bisa saja dikatagorikan pencabulan “ujar Nunuk dengan nada sedikit ragu. Fenomena Waria ini semacam perkembangan hukum yang harus dikaji dan dicarikan jalan keluar untuk menyikapi realita semacam itu, lebih-lebih belum adanya aturan yang secara jelas mengatur hal-hal seperti itu.

Dasar hukum dari sebuah perkawinan di Indonesia adalah UU No 1/74 yang diimplementasikan ke dalam PP No 9 tahun 1975 dan hukum adat yang ada pada setiap etnik baik secara tertulis ataupun tidak, namun masih hidup dalam masyarakat, sehingga status hukumnya jelas. Perkawinan sesama jenis diakui secara yuridis sepanjang salah satu di antaranya telah melakukan perubahan fisik dan biologis melakukan penggantian alat reproduksi yang disertai perubahan status hukum melalui penetapan hakim. Perubahan status sangat penting karena erat kaitannya dengan terjadinya peristiwa hukum lain di kemudian hari. Dengan demikian secara yuridis formil perkawinan harus dilaksanakan dan diakui, seperti diatur dalam koridur hukum perkawinan UU no1/74.

Perkawinan antar sesama jenis tidak diakui dan tidak diatur oleh UU No 1/1974, termasuk nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, jelas Ka Humas dan Hakim senior pada Pengadilan Negeri Denpasar Made Suraatmaja SH, sembari mempertanyakan adakah tokoh masyarakat dan lembaga atau apapun namanya yang mau melakukan (menikahkan) perkawinan seperti itu?

Prilaku dan tindakan sebagian masyarakat terhadap perkawinan sesama jenis khususnya dikalangan kaum Waria yang dianggap kemudian sebagai pengekangan, adalah refleksi dari semacam penolakan baik secara sosiologis dari komunitas masyarakat tertentu maupun secara tidak langsung UU tidak mengatur, selama status menyangkut jenis kelamin pasangan tsb belum jelas secara biologis dan atau secara yuridis. Di Indonesia masyarakat secara hukum maupun secara sosiologis belum dapat menerima perkawinan sesama jenis seperti yang terjadi pada sejumlah negara di luar negeri.

Sistem perkawinan masyarakat Bali dengan perubahan status (nyentana) memiliki perbedaan yang sangat substansial dengan perkawinan ala waria, kendatipun sama-sama dilakukan perubahan status. Nyentana dalam hukum perkawinan adat masyarakat Hindu Bali, fisik biologis antar pasangan adalah normal, hanya saja status hukumnya yang berubah, dimana perempuan menjadi laki-laki (purusa) dan staus laki-laki menjadi perempuan (predana).

Hal ini terjadi diakibatkan sesuatu hal khususnya yang menyangkut keturan laki-laki dalam satu keluarga perempuan. karena masyarakat Bali menganut paham patrilinial, barangkali ini boleh disebut sebagai sebuah terobosan, karena salah satu fungsi hukum adalah mengakomodir perubahan, tambah hakim Made Suraatmaja.

Khusus mengenai Waria, sejauh ini belum ada satupun produk hukum yang mengaturnya, kendatipun demikian hal itu semestinya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pengekangan, apalagi dikait-kaitkan dengan HAM. Karena kedua permasalahan itu harus dapat dipisahkan secara jelas dan tegas.

Senada dengan hakim senior Made Suraatmaja, praktisi hukum belia, Ida Bagus Radendra Suastama SH, MH menyebutkan, kendati secara sosiologis waria itu ada dalam masyarakat, namun dalam hukum positif mereka bahkan tidak dikenal. Misalnya dalam pembuatan surat otentik atau pencantuman status dikenal hanya dua jenis kelamin yakni laki-laki atau perempuan.

Waria dapat dikategorikan dalam sebuah anomali dalam masyarakat normal, sehingga tidak memiliki ruang dan dapat diterima secara yuridis formal maupun hukum agama Hindu “jelas Ida Bagus Radendra. Persoalan adanya perasaan terkekang akibat tidak bebas melakukan perbuatan layaknya komunitas normal adalah cara pandang semata-mata dan belum layak dikait-kaitkan dengan HAM, karena perbuatan kaum ini juga bagi masyarakat normal dianggap menabrak norma-norma susila yang ada. Namun sesungguhnya hak sebagai manusia secara hakiki seperti hak hidup, bernapas, memilih tempat tingal dan memlih pekerjaan sama sekali tidak dibatasi.

Dewasa ini sejatinya sudah ada perubahan paradigma dalam masyarakat sehingga keberadaan Waria secara implisit telah diakui, dan karena itu kehadirannya tidak dianggap sebagai penyakit sosial, atau sampah masyarakat, namun dalam prilaku tertentu, khususnya dalam perbuatan hukum yang masih menjadi kendala, sebab tidak mudah untuk mengubah sebuah norma yang sudah mendarah daging dalam masyarakat.

Stigma anomali terhadap kaum Waria akan semakin membatasi ruang gerak mereka dalam kehidupan sosial, kendati hukum telah melakukan sedikit keberpihakan yang menerima mereka setelah merubah fisik dan biologis, tetapi mereka tidak akan pernah secara sempurna menerima kodrat sebagai wanita yang dapat menyusui, menstruasi dan hamil. (Agus Eriyana/Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :