Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Pasar Impian

David Morley, kelahiran Amerika 1958, tercatat sebagai pria yang sukses memasarkan berbagai produk mobil. Kunci kesuksesannya ada dalam upaya tiada henti membangun dan menata impian demi impian. Impiannya, hari ini ketegaran hati konsumen luluh oleh presentasinya yang sederhana namun meyakinkan. Besoknya, lagi diimpikan ada ketokan subuh di pintu rumahnya. Siapa lagi kalau bukan konsumen yang tergesa-gesa ingin membeli produknya. Lusa, ada tantangan yang akan mematangkan impiannya. Begitulah seterusnya, impian itu dihidupi dan tentu saja diberi ‘injeksi’ harapan.
Di bawah kolong langit yang beradab, selalu terjadi gesekan nilai horizontal versus nilai vertikal. Pertarungan nilai dimulai ketika hadir wakil-wakil Sang Pencipta di berbagai kelompok masyarakat, suku dan negara. Mereka ‘menerima’ sebuah nilai adikodrati lewat suatu lintasan kesadaran baru yang memandang keseharian dengan perspektif nilai ilahi. Makanan itu penting tetapi manusia juga tak bisa hidup tanpa cinta kasih. Kepintaran itu harus diusahakan tetapi lebih mulia meraih kebijaksanaan. Harta benda harus dimiliki namun berbahagialah manusia yang merdeka dari perbudakan nafsunya. Itulah nilai vertikal yang turun dari atas langit dan dihidupi suatu kelompok masyarakat lalu berkembang pula ke berbagai belahan dunia lewat kegiatan perwartaan.
Sementara manusia sebagai individu dalam ziarah peradaban selalu menggagas aneka ide teleologis dengan keterahan tertentu. Juga, manusia seakan bakal tak lepas dari determinisme kausal. Salus vestra in manu vestra, demikian pepatah Latin, nasibmu ada di tanganmu sendiri. Masa depan bukanlah suatu ruang yang sudah layak dan siap dilalui siapa saja dengan perasaan lega. Masa depan bukanlah penantian akan hari esok dalam parade waktu. Masa depan adalah kehidupan hari ini. Masa depan adalah impian yang dibangun ketika pikiran mencari kepastian dan hasrat menuntut dipenuhi.
Bisakah tanpa ajaran agama, manusia sanggup menyadari pentingnya cinta kasih? Mampu manusia menjadi bijaksana tanpa tuntunan nilai-nilai keabadian? Layakkah manusia hidup demi memuaskan nafsu yang selalu meningkat dalam kuantitas dan kualitas? Buku sejarah dengan apik mencatat kebanggaan sejati perkembangan peradaban dari abad ke abad dan dari milenimum lama menapak milenium baru yang ditandai dengan penemuan nilai-nilai humaniora.
Kita tak boleh putus asa hidup dalam suatu zaman yang gelap. Meski langit-langit runtuh, harapan tak boleh pudar. Kekuatan masa depan yang cemerlang ada pada energi harapan di dada yang optimis. Tanpa kekuatan pengharapan maka manusia sudah tak layak menjalani kehidupannya. Alasannya sederhana. Hidup manusia bukanlah suatu rumusan baku matematis. Sebaliknya hidup adalah ‘pameran’ seribu kemungkinan: keberhasilan dan kegagalan, penderitaan dan kebahagiaan, kekenyangan dan kelaparan, kepahlawanan dan kekonyolan. Bagaikan angin yang berlalu demikianlah umur hidup mansuia, pendek dan singkat.
Republik yang kita bangun ini tengah sakit payah. Penyakit sosial dan penyakit ragawi benar-benar mengganyang anak-anak bangsa. Di Jakarta ada yang menderita ‘penyakit busung lapar di hatinya’. Mereka lapar akan kekayaan dan haus kekuasaan. Harta kerabat dan saudara ditilep, disruduk dan diklaim dengan pedang hukum legal. Di NTB, ada yang menderita busung lapar di perut. Mereka kekurangan gizi karena hidup dalam lilitan kemiskinan yang amat menyakitkan.
Seorang Indonesia sejati di zaman ini akan selalu menderita lahir batin. Ia menderita bukan karena perbuatannya yang buruk dalam hukum determinisme kausal. Batinnya terluka bisa karena bangsa yang besar ini gagal membangun dan menemukan landasan nilai-nilai humaniora. Bisa juga, ia menderita oleh kemunafikan anak bangsa yang protes aksi pamer aurat Miss Indonesia, Artika Sari Devi di forum dunia. Sementara aksi bugil ria di setiap tempat hiburan diberi tepukan aplaus supaya sexy dancer tambah liar dan binal menanggalkan busana satu per satu. Memang moral dan norma agama itu penting tetapi sungguh naif kalau dipraktekan pada ruang formalitas dan sekat verbalisme semata.
Kalau memang bangsa ini meniti hari-hari hidupnya dalam tuntunan nilai-nilai adikodrati pasti kehadiran lansia tidak menjadi beban sosial bagi masyarakat dan negara. Pasti ada jaminan hari tua dan tatakelola sistem asuransi yang dijamin negara. Pasti, banyak nyawa yang mati terbakar karena hubungan pendek arus listrik alias korslet bukan karena ledakan bom yang direncanakan dari kota ke kota. Akan ada banyak janda yang hidup kesepian karena teman hidupnya ‘ditakdirkan’ mati muda bukan karena aksi kawin cerai seperti binatang yang punya musim kawin. Kelakuan beberapa anak bangsa ini memang menjadi tumbal kehancuran negeri ini di semua bidang. Arah pendidikan nasional tidak jelas. Pembangunan ekonomi sekedar tambal sulam. Penataan kebudayaan bangsa cuma atraksi gagah-gagahan.
Anehnya, ada anak bangsa yang ingin menunjukkan identitas dirinya dan bangsanya di jagat global dituding amoral dan asusila. Memang haruskah kita sama-sama menjadi orang ‘gila seragam’ di pentas ortodoksi-formalisme keagamaan? Memang tidak harus demikian. Barangkali harapan akan bangsa yang beradab dan sejahtera lahir batin tidak dinanti pada tahun 2050 tetapi dimulai dengan impian saat ini. Ya, kita layak mengimpikan ada pemimpin bangsa (baca: mudah-mudahan Presiden SBY) yang sanggup mengoptimalkan potensi-potensi kekayaan luar biasa yang dikandung bumi Pertiwi ini. Sehingga kita layak berdiri sejajar dengan negara maju. Impian itu penting tetapi lebih penting lagi HARAPAN.
Di persimpangan ini, kita juga berharap industri kerajinan rakyat diberdayakan Pemerintah dan stakeholders dengan suatu visi: menggali khasanah budaya, mendukung kreativatas anak bangsa dan membangun armada eksportir yang tangguh. Kenapa orang Amerika bisa. Orang Cina dan Jepang juga mampu. Padahal tubuh mereka sama seperti kita terdiri dari daging, darah dan tulang yang rapuh.
Kesuksesan mereka terletak pada kemampuan membangun impian. Sedangkan kita hanya mampu menjadi pasar ‘turis-turis’ manca benua menjual impian mereka. Kunci pembenahan industri kerajinan tangan dimulai dengan penataan sistem industri kerajinan terpadu yang dapat mengintegrasikan berbagai kekuatan pendukung produksi, antara lain kekuatan SDM dan divisi pengembangan penelitian, serta lebih mendekatkan strategi perusahaan dan sistem produksi dengan apa yang dikehendaki pasar.
Untuk itulah perlu adanya riset yang tak kenal lelah. Artinya, kekayaan SDA harus disinergiskan dengan peningkatan kualitas SDM secara berkesinambungan. Karena ada produsen yang cepat merasa puas dengan apa yang telah mereka peroleh sehingga tidak mengembangkan diri. Padahal memulai perubahan yang berarti dapat memberikan dampak positif bagi masa depan perusahaan dan industri. Di samping itu, harus ada pola manajemen yang mampu menggerakan roda industri yaitu menciptakan sistem pemasaran, manajemen kompetitor dipelajari kelemahan dan keunggulannya, serta teknologi kerja yang profesional ditunjang dengan pengelolaan informasi yang tepat. KPO/EDISI 82

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :