Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Sketsa Idealisme

Air mata duka membasahi lubuk hati Soedjatmiko, Duta Besar RI untuk PBB pada era 1960-an, ketika mendengar kabar kematian tragis intelektual muda Soe Hok Gie di puncak Gunung Semeru, 19 Desember 1969. Soedjatmiko, si kutu buku yang mendulang ilmu sosial secara otodidak itu, memaknai alur idealisme dan laku hidup Hok Gie di ranah Nusantara ibarat sketsa tipikal sejati roh kaum muda Indonesia.
“Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok Gie, salah seorang intektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi pasca kemerdekaan….Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ….bagi saya memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat, 27 tahun,” ujar Soedjatmiko di dalam pertemuan The Asia Society di New York (Belok Kiri, Jalan Terus, hal 70, 2005).
Sejarah Bumi Pertiwi tidak pernah sepi dari torehan kisah pergumulan idealisme dan pencarian jejak jati diri bangsa yang mekar merunyak di sanubari kaum muda. Airlangga yang menjadi raja di usia 17 tahun sudah meretas aturan-aturan hukum negara yang melindungi hak asasi warga kerajaan, Soekarno dalam usia 27 tahun sudah menjadi target individu berbahaya di mata kolonialis Belanda, Syahrir muda mulai menggulirkan ide masyarakat sosialis sebagai masyarakat pembangun, Chairil Anwar mendendangkan bara api perjuangan yang patut dihidupi kaum muda hingga seribu tahun, dan masih banyak lagi penggalan kisah anak muda yang sudah mampu membangkitkan kesadaran baru di kalangan saudara sebangsanya.
Nama Soe Hok Gie kali ini menjadi sorotan berkat ucapannya yang ‘bertuah’ untuk situasi carut-marut pembangunan ekonomi, hukum dan politik di era pemerintahan SBY-JK ini. “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Masalah perut kini menjadi seuntai lagu duka di negeri ini. Rakyat kelaparan di atas negeri yang kaya sumber daya alamnya. Sementara kaum muda memilih jalan sendiri untuk bertahan hidup. Ada yang merantau ke Malaysia, Brunei, Jepang Amerika hingga Arab Saudi untuk menjadi pekerja kelas bawah. Sebagian sibuk membentuk kelompok pembela identitas agama/sekte lewat aksi kekerasan dengan pentung di tangan dan belati terselip di pinggang. Kalau di daratan Amerika ada cowboy yang memegang senjata api dengan menunggang kuda mengejar musuhnya. Di negeri ini, para ‘cowboy; menunggang atribut agama sambil membantai siapa saja yang bukan kelompok mereka. Aparat keamanan pun dibantai brutal hingga tewas bersimbah darah.
Di persimpangan lain, organisasi kepemudaan sulit merumuskan isi perjuangan bersama untuk dijalani di negeri ini. Tingkat kesulitan itu bukan pada tataran idealisme tetapi lahir dari kepentingan dan mata rantai menangguk untung sebesar-besarnya dari proposal proyek-proyekan –maaf termasuk proyek fiktif tetapi laporan operasionalnya dibubuhi meterai.
Terasa sekali, kaum muda saat ini kehilangan vitalitas dan kekeringan spirit kebangsaan dalam mengelola organisasi. Mereka yang terjun ke partai mulanya berteriak atas nama rakyat. Ketika jadi wakil rakyat berteriak soal tambahan tunjangan kesejahteraan. Mereka yang memilih jadi jurnalis mulanya mengaku terinspirasi oleh idealime. Ketika sudah memiliki nama dan pengaruh lantas menjadi corong menulis bait-bait keberhasilan penguasa. Tanpa peduli akibat dan fakta sesungguhnya di lapangan. Mereka yang berlomba jadi presiden mengeluarkan slogan bersama kita bisa. Setelah berkuasa, rakyat berjalan sendirian dalam kelaparan. Kini bersama kita sekarat, bersama kita serbu rumah ketua RT yang tak tahu menahu soal kriteria pendataan KK miskin dan bersama kita gorok leher kepala desa yang tidak mengerti proses pendataan warga miskin versi BPS.
Bangsa ini sedang dalam situasi sekarat. Kenaikan harga BBM yang gila-gilaan efektif memindahkan pokok persoalan ketidakjeniusan ‘orang-orang istana’ mengatur negara kepada masalah ‘baku hantam’ antar rakyat di tingkat akar rumput. Beban hidup kian berat ditambah daya beli yang rendah menyebabkan hampir semua warga berlomba-lomba mencatatkan diri sebagai KK miskin. Percuma kita mengutuk sesama warga menggadaikan harga diri sementara elite penguasa sudah tidak punya harga diri.
Apalagi berdasarkan teori dan fakta historis, rakyat yang miskin merana akan nekat berbuat apa saja. Tak sadarkah pemerintah negeri ini bahwa sebagian kasus kriminal maupun penyakit sosial yang menjamur di negeri dilakukan karena motif ekonomi? Suami jual ganja untuk beli pakaian lebaran buat isteri dan anak. Gadis SMP menjajakan diri ke om-om senang untuk menombok biaya sekolah. Seorang pemuda mencuri sepeda hanya untuk membeli makanan karena lapar. Apalah arti lantunan slogan dibalut kepiawaian berpidato sementara setiap hari masalah demi masalah di negeri ini beranak-pinak. Rupanya kita harus jujur kepada diri sendiri bahwa kita bukanlah generasi impian karena masih berkubang dengan kehebatan diri, egoisme, gila jabatan dan nikmat kekayaan dari tunjangan fasilitas negara. “Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh - - dan pemuda, bangkit dan berkata, stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apapun, dan bangsa apa pun, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik,” tandas Hok Gie yang lahir 17 Desember 1942. Inilah visiun Hok Gie yang harus menjadi sketsa menata pencarian identitas kaum muda Indonesia yang tak sekterian, pluralis dan melihat karya agung Tuhan terpampang indah dalam keragaman budaya, suku dan agama serta jejak eksotik alam sekitar.
Bangsa ini tetap merindukan hadirnya sosok-sosok kaum muda yang genius intelek, visi dan moralnya. Kita tetap optimis karena kita adalah keturunan dari nenek moyang yang sudah menghidupi sebuah peradaban yang tinggi di masa lampau. Hingga kini masih ada segelintir kaum muda negeri ini yang mampu menunjukkan prestasi cemerlang di bidang akademik, musik, perfilm, olahraga dan sebagainya. Sekarang tinggal pertanyaan bernada harapan. Sejauh mana pemerintah merespon api ‘sketsa idealisme’m kaum muda agar turut membakar gairah kaum muda yang lain. Persoalannya, selama korupsi masih dipelihara selama itulah berbagai penyakit sosial tumbuh subur di negeri ini. Juga semakin banyak generasi muda yang membudayakannya. Maukah kita terus berkubang di tubir-tubir keserakahan diri? KPO/EDISI 92

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :

2 komentar

Write komentar
EoB
AUTHOR
Jumat, Oktober 23, 2009 delete

salam sosialis!!
kunjungan perdana dan berharap kesedianya berkunjung ke gubuk saya

Reply
avatar
EoB
AUTHOR
Jumat, Oktober 23, 2009 delete

salam sosialis!!
kunjungan perdana dan berharap kesedianya berkunjung ke gubuk saya

Reply
avatar