Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Manusia Ingenerasi

Homo Proponit, Deus Disponit. Demikian pepatah Latin memaknai alur hidup manusia yang sudah ‘digariskan’ Sang Pencipta untuk dilalui. Manusia boleh merencanakan selusin proyek kehidupan masa depan tetapi hasil akhirnya ditentukan berdasarkan kehendak Tuhan. Inilah takdir atau suratan nasib yang tidak bisa dihindari. Benarkah demikian? Persoalan batasan takdir dalam wilayah tafsir teologis melahirkan ragam perspektif dan tercetus aneka mazhab yang mengklaim sebagai pemegang cara pandang yang tepat. Memang nilai-nilai agama selalu menjadi rujukan akhir ketika manusia menemukan titik batas kerapuhannya. Tubuh yang rentan oleh penyakit, tulang belulang yang mudah patah, fisik yang kian melemah dan tatapan mata yang memudar.
Manusia seperti bunga di padang yang bersemi di pagi hari dan layu di sore hari. Di manakah letak kekuatan manusia yang memiliki jiwa, getaran spiritual, rindu dendam, hasrat hati, cinta dan benci, empati dan antipati? Manusia sebagai individu hanyalah sebuah nama bukan sosok abadi. Gajah mati meninggalkan gading, manusia wafat mewariskan nama….Bagaimana nama itu bisa abadi dalam kenangan masa, itulah suatu seni tersendiri.
Ada manusia Mesir, manusia Romawi, manusia Babilonia, manusia Eropa, manusia Indian. Sebutan manusia berdasarkan lokasi yang merujuk pada sederetan parade peradaban dalam lembaran sejarah. Manusia adalah makhluk dinamis dengan sejuta kegelisahan eksistensial: bertanya dalam ketidaktahuan, mencari dalam rona penasaran, berziarah dalam ketidakpastian dan melangkah dalam gairah yang kadang berani; kadang berjalan surut dan seret. Ada kisah kepahlawanan, ada kenangan tentang pengorbanan tanpa pamrih, ada ceritera tentang penemuan rahasia-rahasia alam yang penuh misteri dan ada kisah tragis tentang pembantaian, pembunuhan dan hukum nyawa ganti nyawa yang bergema dalam syair-syair perang.
Waktu berlalu bersama selaksa taburan pengalaman di langit-langit kehidupan. Bumi tetap berputar pada porosnya seraya mengelilingi matahari. Masih banyak rahasia alam yang terpendam. Penemuan demi penemuan terus berjalan dalam rajutan interaksi kreativitas, inisiatif dan keberanian berpetualangan menggapai pengalaman baru. Manusia datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Inilah yang menjadi titik persoalan antara kualitas regenerasi atau ingenerasi.
Regenerasi dimaknai sebagai ruang tumbuh manusia dalam sebuah sistem dan tatanan nilai yang sudah terbangun. Daya cipta dan karsa dikerucutkan menjadi kesediaan mempertahankan jejaring nilai yang telah berdiri. Desain kreativitas adalah serangkum energi reformasi, yaitu kembali kepada tatanan awal, mempertahankan tradisi dan menumbuhkembangkannya kembali. Itulah ruang regenerasi. Lahirlah stigma manusia Mesir, Romawi, Eropa atau Indian dengan tipikal yang khas membentuk stereotip sosial.
Kecenderungan sekelompok manusia yang mempertahankan identitas diri bisakah dilihat sebagai suratan takdir? Sudah begitukah nasib tanah suci Palestina yang direbutkan Israel dan Palestina. Bangsa pilihan Allah –Yehuda-Israel Kuno mewariskan sebuah garis permakluman yang disucikan soal sebuah tanah terjanji dengan Yerusalem menjadi pusat tanda lahariah. Nabi Musa hanya melihat pemandangan tanah suci dari puncak Gunung
Sinai. Anak cucunya menyirami tanah itu dengan air darah. Itulah barangkali ungkapan sejati tanah tumpah darahku. Ini sekedar contoh ‘menggugat’ regenerasi sosial.
Bagaimanakah dengan konsep ingenerasi? Dalam paradigma ‘bhinneka tunggal ika’, perspektif ingenerasi mudah dijelaskan secara gamblang tanpa meminjam istilah ‘plularisme’ yang kini sudah mulai ‘babak belur’ disekat oleh ikatan mazhab-mazhab yang penuh saling curiga. Juga peminjaman istilah ‘leluhur’ ini bukan langkah inkosistensi dalam menggurat jati diri paradigma ingenerasi. Isi ingenerasi adalah pertumbuhan atau kelahiran seorang individu sebagai pribadi yang bebas sekaligus menjadi berkat bagi masyarakat manusia. Manusia tercipta berbeda satu dengan yang lain bukan untuk membangun persaingan sehabis-habisnya. Sebaliknya, manusia adalah makhluk rapuh yang memerlukan uluran tangan untuk mewujudkan jati dirinya. Aku sebagai subyek menjadi berarti karena keberadaan Anda. Aku menyatakan diri karena Anda ada. Aku sebagai subyek pun akan bertumbuh sama seperti Anda yang mengandung daya pertumbuhan. Inilah relasi eksistensial Aku dan Anda sebagai subyek yang bukan lahir dari rahim batu tetapi dari hasrat cinta dan nafsu.
Ingenerasi adalah kemandirian subyek memanfaatkan potensi diri secara bertanggung-jawab. Ketika Anda bertindak bebas tetapi melukai pertumbuhan Aku, maka Anda tidak bertindak dalam kebebasan yang bertanggung-jawab. Ingenerasi adalah gairah pertumbuhan batin dan jasmani secara serentak dan sinergis.
Manusia Indonesia sudah lama berkubang dalam ranah regenerasi. Dalam perspektif sosial telah terbukti bahwa berbagai aliran, mazhab maupun ideologi berguguran dalam ziarah peradaban umat manusia. Pada era pencerahan, di abad pertengahan, para filsuf dengan tunggangan kuda rasional berkelana di bentara wacana sambil mengejek segenap mitologi Yunani sebagai sekeranjang sampah ketidakmampun manusia membedah realitas hidupnya. Hidup dan peradaban dibangun dengan pilar-pilar sains dan teknologi sebagai anak kandung rasionalitas. Benarkah manusia di bawah kolong langit ini sejahtera lahir batin dengan rasionalitas yang mentereng?
Kini, remaja Harry Potter tertawa renyah melihat komunisme, sosialisme, nasionalisme dan kapitalisme sebagai dongeng alias mitologi modern. Saatnya pula remaja Indonesia bertumbuh dalam ranah ingenerasi. Tumbuh menjadi generasi yang mempertanyakan dan menggugat program demi program pembangunan semesteran, tahunan dan periodik yang berulang tanpa berujung pada kesejahteraan. Bencana datang jadi proyek. Penyakit yang mewabah dimanfaatkan sebagai ladang proposal. Dana yang tersisa dimanfaatkan untuk plesiran atau pengadaan sarana-prasarana fiktif. Program pembangunan harus dilihat sebagai mitos agar Aku dan Anda tetap bertumbuh dalam kebebasan yang bertanggung jawab.
Anak Indonesia tidak selamanya ditakdirkan menjadi generasi plagiat dari generasi tua. Biarlah generasi tua itu hilang lenyap seperti bunga yang layu di senja hari. Jika tidak demikian maka mereka yang berpenyakitan tetapi kita yang menderita sakit. Orangtua yang ketagihan narkoba, anak yang sakaw. Raihlah paradigma ingenerasi. Bertumbuh bersama dalam pemanfaatan bakat dan potensi yang beragam. Aceh berkembang sesuai sumber daya alamnya, Papua bertumbuh menyatu dengan alamnya dan Bali diselimuti budaya dalam balutan keindahan alam. Ingat keteledoran dan kerakusan penguasa dan elite politik menyebabkan penyakit dan benca serupa –contoh demam berdarah- terus terulang setiap tahun, bahkan dengan jumlah korban yang kian menggila. Manusia ingenerasi berupaya menciptakan peluang pembangunan, terbenihnya lapangan pekerjaan dan bertumbuhnya kesejahteraan Aku dan Anda…bukan melulu perut Aku…Kita mati meninggalkan nama sebagai manusia ingeneratif. Semoga hal ini sudah ditakdirkan bagi generasi Indonesia abad 21 !!! (Beny Uleander/KPO EDISI 95)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :