Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Wisatawan Sandal Jepit

365 hari yang membentuk rangkaian 12 bulan pada tahun 2005 menorehkan suatu realitas sosial politik dan ekonomi bangsa yang amat meresahkan. Pengelola negara dan elite politik menjelma menjadi gurita yang membelit berbagai sumber pendapatan negara. Rakyat kebanyakan ditindih kenaikan harga barang dan jasa yang berlipat-lipat. Rakyat sudah terlampau tabah di tahun 2005, sedangkan elite politik sudah kelewatan batas menikmati gaji dan tunjangan yang berlebihan.
Di bidang ekonomi, sektor swasta sebagai penopang ekonomi negara berjalan tertatih-tatih. Ribuan buruh menyambut akhir tahun dengan bayang-bayang ancaman PHK. Sementara pemerintah tidak memperlihatkan kegeniusan dalam kebijakan yang mempertajam sektor-sektor potensial. Contohnya, dunia pariwisata Indonesia kini terancam kolaps. Pariwisata Bali yang kini lesu menjadi barometernya. Apa langkah konkrit pemerintah pusat?
Faktor keamanan sesungguhnya bisa menjadi alasan klise menutup ketidakmampuan dan keseriusan pemerintah menggarap sektor pariwisata sebagai sektor potensial. Data tahun 2000 sebelum bom Bali I tahun 2002 sudah memperlihatkan Indonesia lemah dalam mempromosikan pariwisata negeri ini. Buktinya kunjungan wisatawan asing ke Malaysia 10,58 juta, Thailand 9,51 juta sedangkan Indonesia cuma dikunjungi 5,06 juta wisatawan. Secara absolut kelihatannya memang besar, tapi kalau kita bandingkan dengan wisatawan yang datang ke Malaysia (10, 58 juta), jumlah ini belumlah seberapa. Bahkan dari satu negara saja (Singapore), Malaysia berhasil menangguk 7, 55 juta wisatawan. Kunjungan sebesar 5 juta orang itu sudah termasuk turis-turis asing yang hanya turun beberapa jam dari kapal cruise yang merapat di Tanjung Benoa (Bali).
Bukti lainnya, Bali yang menjadi destinasi wisata dunia kini kehilangan roh karena nilai-nilai tradisional dan tatanan sosial seperti subak kian terpinggirkan. Pertanian Bali tersisihkan dan menuju kehancuran karena tanpa subsidi proteksi.
Sistem distribusi pun tidak adil. Karyawan hotel berpakaian rapi mengerubuti pedagang kaki lima saat istirahat makan siang. Ini semua dilema bagi masyarkat Bali. Praktisi pariwisata Bali sudah berani bersuara lantang –belum terlambat dan harus lebih lantang lagi- kalau Bali selama ini menjadi sapi perahan tangan-tangan pusat. Strategi pemasaran ‘versi pemerintah’ hanya terbatas di atas kertas. Tidak ada strategi cluster yang memadai, dan servisnya buruk. Kita masih ingat komplain wisman yang harus antri berjam-jam di bandara saat diberlakukan visa on arrival. Padahal di negara-negara tetangga mereka bebas masuk tanpa visa. Sudah begitu airline dari kontinen tertentu dibebaskan landing fee selama 2 tahun sehingga tiketnya lebih murah.
The World Travel and Tourism Council (1991) mengungkapkan bahwa pariwisata adalah industri penting dan terbesar di dunia, negara-negara pun sibuk mereposisi industrinya. Pada awal abad ini, seorang ahli ekonomi mikro, Joseph Pine II dan James H. Gilmore, menyebutkan negara-negara industri telah mereposisi ekonominya dari brand-based economy (ekonomi manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy (ekonomi berbasiskan experience atau kesan).
Experience adalah kegiatan ekonomi produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Segala sesuatu yang berakhiran ing dalam bahasa Inggris, seperti diving, skiing, dogsledding, hot-air ballooning, whale kissing, snorkeling, dan seterusnya masuk dalam kategori ini. Dan semua itu, merupakan kemasan pariwista modern yang menimbulkan pengaruh kenaikan lapangan kerja sebesar 5,3% (jauh di atas jasa yang hanya tumbuh 2,7%, atau manufaktur yang hanya naik 0,5%) dalam perekonomian Amerika antara 1959-1996.
Kelesuan pariwisata Indonesia selain karena teror bom, juga kelemahan di bidang pemasaran dan promosi. Lihat Malaysia setelah memperoleh kekuatan hukum melalui Malaysia Tourism Promotion Board Act 1992 sangat serius mencetak kantong-kantong kunjungan baru seperti area sirkuit balap Formula I di Sepang, membangun kota air di Kuching, memasarkan Orang Utan Serawak, dan sebagainya. Sedangkan iklan promosi pariwisata Indonesia ”Never Ending Asia” tidak memiliki gema di kalangan pelaku pariwisata. Ketidak seriusan semakin terlihat ketika kita membuka situs informasi pariwisata (www.indonesiatourism.go.id). Selain informasinya tidak up to date, kita juga tidak mencantumkan kantor perwakilan luar negeri. Lebih menyedihkan lagi, saat link-link pada situs yang memuat file video multimedia mengenai lokasi pariwisata Indonesia diklik, yang keluar ternyata pidato menteri. Jadi tepat usulan Prof Dr Ir I Nyoman Sutjipta, MS agar pemerintah berbenah diri dengan berpromosi lewat media teknologi seperti internet dan website sehingga Indonesia tidak melulu menampung wisatawan kelas sandal jepit tetapi juga wisatawan berdasi.
Dengan visi yang jelas, industri pariwisata diarahkan sebagai industri berkelanjutan yang tak boleh berhenti sedetikpun karena peristiwa-peristiwa politik. Arahnya tidak boleh berubah hanya karena berganti pemerintahan. Demikian juga tidak bisa dihadang hanya karena ada negara kuat yang melarang warganya bepergian ke sana. Kekuatan destinasi (Image of a destination) yang dibangun secara sistematis, konseptual dan bertahap akan mampu menembus semua itu. Itulah yang diperoleh Israel yang turisnya tetap berkunjung ke Yerusalem kendati perang terus berkecamuk.
Thailand sendiri merumuskan konsep ”Amazing Thailand” lewat sebuah proses visioner yang panjang. Visi itu dituangkan dengan baik dalam “Thailand 2012”. Kecenderungan kita adalah melebih-lebihkan apa yang dapat kita capai dalam satu tahun dan menyepelekan apa yang dapat kita capai dalam sepuluh tahun. (Richard Foster). (Beny Uleander/KPO EDISI 96)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :