Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Dukaku Hidup Di Negara Propaganda

Konferensi Kolombo Plan di Yogyakarta tahun 1953 masih menyimpan mutiara spirit menumbuh-kembangkan revolusi mental di jantung kesadaran warga bangsa sebagai entitas internasional yang mandiri, potensial dan energik. Adalah lontaran pidato bertuah Ir Soekarno. “Rakyat padang pasir bisa hidup. Masa, kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup. Masa, kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan. Si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita sendiri yang tolol, kita sendiri yang maha tolol.”
Itulah pekik gugahan kesadaran diri yang coba ditiupkan Soekarno ke dalam mental dan jiwa warga bangsanya. Inilah secuil visi seorang Bapak Bangsa yang melihat Indonesia memiliki kemampuan dasar untuk bisa bersaing dengan bangsa lain di segala bidang. Namun, Soekarno tetaplah seorang manusia yang hidup dalam sebuah kurun waktu tertentu. Masa Soekarno adalah periode di mana gegap gempita pembangunan dikerucutkan pada kemandirian di bidang sandang, pangan dan papan. Pasca kemerdekaan, rakyat miskin di pedesaan mulai berbenah diri. Mereka mengolah lahan kebun, sawah dan ladang dengan tanaman produktif. Bila perut kenyang, maka rakyat pun akan mulai berpikir soal pengembangan bidang-bidang lain. Anak-anak mulai disekolahkan dengan ungkapan kata mengagumkan: menimba ilmu untuk masa depan.
Hidup terus bergulir. Perjalanan pembangunan bangsa Indonesia mencatat tinta emas kesuksesan. Indonesia mengalami surplus pangan. Lahan-lahan tidur yang luas di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mulai dikelola dengan kebijakan program transmigrasi. Pelayanan kesehatan masuk desa secara merata. Pabrik-pabrik berskala nasional dan internasional berdiri di berbagai daerah. Kota-kota metropolis berkecambah sebagai pusat administrasi, perdagangan dan pasar potensial produk barang dan jasa. Itulah sekilas kemajuan fisik yang telah ditorehkan bangsa ini.
Memasuki abad 21, UNDP mencatat Indonesia sebagai negara dengan tingkat pendapatan perkapita yang rendah, menjadi kampium di bidang korupsi dan amat memiluhkan adalah tingkat pendidikan warganya yang minim. Ada apa dengan bangsa yang besar ini? Rakyat miskin, gembel dan melarat menjadi etalase peradaban kota-kota besar Indonesia. Aksi kejahatan, pelacuran, anarkis dan bentrok sosial menjadi luka-luka sosial yang terus bernanah, kadang kambuh dan ujung-ujungnya pertumpahan darah. Tanah Bumi Pertiwi terus dibasahi darah putra dan putrinya. Kemerosotan pembangunan bangsa ini tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan menjadi dosa-dosa rezim penguasa. Toh, kehidupan politik memiliki dinamika tersendiri di negara kepulauan dan multikultur ini.
Mampukah Indonesia bangkit? Revolusi mental!!! Itulah spirit yang perlu diusung semua komponen bangsa. Selama ini, sepak terjang kemewahan pembangunan lebih karena pertumbuhan yang melompat. Sentra-sentra ekonomi (swasta maupun negeri) berjalan berkat dukungan fasilitas dan koneksi. Pertumbuhan ekonomi tidaklah diikuti dengan kultur industri yang bersendi kreativitas, inovasi dan kompetisi yang menjadi syarat pertumbuhan bangsa.
Rakyat jelata miskin melarat sudah ‘kenyang-puas’ dengan propaganda akbar soal kesejahteraan atau janji perbaikan taraf hidup. Perubahan dan revolusi pembangunan tidak ada di meja kebijakan strategis partai politik. Di meja parpol tersaji hidangan kursi, jabatan dan fasilitas mewah. Juga paradigma revolusi pembangunan tidak ditemukan di diari kepala desa, bupati, gubernur atau presiden. Di diari penguasa-birokrat adalah catatan tunjangan jabatan, jaminan asuransi, daftar mobil dinas yang siap diputihkan dan daftar personil ABS (Asal Bapak Senang) dan rombongan pengusaha yang siap memberikan biaya akomodasi dalam rangkaian kunjungan ke daerah pelosok.
Revolusi mental hanya didapat lewat pendidikan. Jiwa anak bangsa yang kreatif, inovatif dan kompetitif hanya diasah menjadi tajam, kritis dan ulet lewat jalur pendidikan formal maupun non formal. UUD 45 sudah memperingatkan bahwa pendidikan adalah upaya pencerdasan bangsa. Lihatlah, Israel, bangsa yang kecil namun tingkat pendidikan terendah warganya rata-rata adalah S2. Orang-orang Yahudi ini memegang berbagai pos-pos penting di berbagai negara di mana mereka menjadi warga negaranya. Tengoklah sistem pendidikan ala Jepang yang disiplin dan berorientasi mencetak SDM yang mampu berkompetisi dengan warga negara maju. Lantas negeri matahari terbit ini menjadi produsen mobil dunia seperti Honda, Mazda, Subaru, Toyota, Mitsubishi dan Daihatsu.
Lebih dekat, pandanglah biaya pendidikan di Malaysia dan Singapura yang bisa dijangkau semua lapisan warganya. Beda dengan Indonesia. Pendidikan sudah menjadi barang mewah. Biaya sekolah melambung tinggi dan sejumlah sekolah masih membebani orang tua murid dengan iuran-iuran dalam jumlah besar. Sepertinya, kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal di Indonesia disajikan untuk anak-anak kaum berduit. Pedih, pahit dan menyakitkan menyaksikan fakta pendidikan di Indonesia. Kapan anak-anak bangsa menjadi mandiri, cerdas dan inovatif bila tidak memiliki ketrampilan dan bekal ilmu? Berbagai sekolah singkat yang kian menjamur dengan biaya murah tidak serta merta menjadi pelipur lara bagi anak-anak dari keluarga miskin. Toh, ada yang bercita-cita jadi dokter hewan, peneliti, jurnalis atau pakar politik yang mau tidak mau harus masuk perguruan tinggi. Acungan jempol buat Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar yang memberikan program kuliah gratis kepada mahasiswa kurang mampu asal terus berprestasi. Ini sebuah pilar-pilar revolusi mental. Kapan PTN dan PTS lain mengikutinya?
Haruskah kita terus menjadi bangsa yang pragmatis? Kenapa Dinas Pendidikan Nasional terkesan tutup mata dengan penetapan biaya sekolah yang amat tinggi. Apakah cuma anak-anak orang kaya yang memperoleh privelese istimewa? Sementara, pelajar muda yang miskin harus putus sekolah. Akhirnya mereka menambah daftar panjang antrian kaum gembel di sudut-sudut kota. Lihatlah, berbagai aksi kejahatan umumnya dilakoni anak-anak yang kurang pendidikan. Mereka mudah diprovokasi untuk berbagai kepentingan elit penguasa. Juga mereka terus disuguhi janji-janji kesejahteraan di langit-langit kehampaan. Biaya pendidikan terus mahal, maka akan semakin panjang lorong keterpurukan yang harus dilalui negeri yang kaya raya tetapi penduduknya bodoh. (Beny Uleander/KPO EDISI 110/1-15 AGUSTUS 2006)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :