Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Kebenaran Ganda

Kalau anda cinta kedamaian di Bali & hidup di Bali...
Mohon ikut demo untuk segera eksekusi mati Amrozi dkk!!
Pemerintah tidak serius hadapi teroris,
demonstrasi besar-besaran dilaksanakan 12 Oktober, jam 4 sore, di LP
Kerobokan. Tolong sampaikan pesan ini ke 10 teman yang lain...
Mari nyatakan perang dengan teroris!!!
Acara ini akan diliput langsung oleh 5 TV Lokal Indonesia dan CNN secara Live.
Cuma dengan cara ini kita bisa membuka mata. Terima kasih.


Itulah bunyi SMS yang beredar di antara krama Bali paska pemindahan Amrozi cs, pelaku bom Bali I, ke LP Nusakambangan, Cilacap,Jateng sehari sebelum peringatan tragedi Legian 12 Oktober 2002. Menarik mengkaji fenomen magnet sms yang mampu mengumpulkan ribuan massa secara spontan di depan LP Kerobokan Kuta itu.
Ternyata, ponsel sebagai media komunikasi yang praktis juga menjadi wadah curhat sosial akan suatu luka bersama yang dialami sebuah komunitas sosial.
Meminjam kajian Thomas Hobbes tentang persamaan nasib sebagai latar belakang persatuan sosial sekumpulan manusia, kita bisa membedah tentang realitas Bali sebagai Pulau Oase di Bumi Pertiwi. Bali adalah pintu masuk wisatan mancabenua.
Otomatis, Bali menjadi barometer pertumbuhan pariwisata Indonesia. Bali adalah perkampungan internasional. Sebagai tempat pertemuan dan perbauran sosial, Bali adalah ladang eksperimen kokohnya adat istiadat dan agama di tengah percaturan budaya asing. Setidaknya, pendapat John Naissbit bahwa keunikan budaya kian kokoh di tengah kemajemukan global dengan segala instrumennya menemukan kebenaran faktual.
Keunikan Bali di ataslah yang menyebabkan pulau ini memiliki prestise tinggi baik di kancah nasional maupun di gelanggang internasional. Berbagai event nasional maupun berskala internasional kerap diselenggarakan di Bali. Ketika, Bali kembali diporak-porandakan bom, kita -setidaknya yang memiliki nurani- terhenyak dalam kegamangan tak berujung. Apa yang menjadi obyek sasaran para pelaku yang dijuluki teroris ini? Persaingan dari mata rantai bisnis? Intrik politik mengalihkan pergolakan kenaikan harga BBM yang gila-gilaan? Permainan dari negara luar yang memiliki kepentingan tertentu. Memang ada banyak 'variabel' yang bisa mendukung kecurigaan publik mencari otak pemboman. Tetapi untuk saat ini, tuduhan mengerucut pada sekelompok aliran agama yang radikal dan menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan menuju realisasi cita-citanya.
"Tuduhan dan kecurigaan massal" yang masih diselidik kepolisian ini memang ditunjang dengan sejumlah variabel. Seperti pemboman Bali I dilakukan kelompok garis keras yang menggunakan aribut agama Islam untuk melegalkan aksi mereka. Kelompok ini menafsirkan doktrin keagamaan secara harafiah dan 'berat sebelah'.
Semakin 'fanatik' seseorang semakin tinggilah derajat sosialnya dalam
kelompoknya. Kelompok ini ada di Indonesia. Pemerintahan Megawati Sukarnoputeri pun sempat dihadang 'kerikil-kerikil kecil nan tajam ini'.
Masyarakat Bali kembali terluka 'kaki pariwisatanya' terantuk kerikil-kerikil tajam ini yaitu teroris. Pemandangan mayat yang bergelimpangan kembali terpampang di Pulau Dewata ini. Sementara pelakunya ikut tewas. Sungguh sebuah pengorbanan yang sulit dicerna akal sehat dan nurani yang bersih. Banggakah teroris membunuh bocah, pasangan suami isteri dan remaja yang sedang makan di pantai Jimbaran ditemani hembusan angin pantai.
Kelemahan para pelaku bom bunuh diri adalah jalan pikiran yang tidak
normal.Mereka adalah manusia gila bukan pembela kebenaran. Alasannya sederhana.
Manusia dikaruniai akal budi sebagai mutiara kehidupan. Dengan akal budinya manusia menimbang-nimbang baik dan buruk perbuatannya. Akal budi pula mendorong manusia mencari asal muasal dirinya, alam semesta dan Sang Pencipta.
Adalah Muhammad Ibn Rushd (nama Latinnya, Averroes, (1126-1198), pemikir Islam yang mempengaruhi dunia barat dengan komentar-komentarnya seputar kebenaran filsafat Aristoteles. Suatu saat, Rushd yang gemar merenung mencari jawaban demi jawaban atas realitas hidup mulai sampai pada pertanyaan tertinggi dalam ranah filosofis. Apa itu kebenaran, di mana sumbernya dan kaidah-kaidah apa yang mendukung eksistensi sebuah kebenaran. Lantas Rushd yang tak pernah puas mulai menggali 'kebenaran ilahi' dalam Alguran. Inilah awal bagi Rushd yang tergoda untuk mengupayakan suatu harmoni antara agama dan filsafat (akal budi).
Menurutnya, agama sejati dan akal budi tertinggi dapat didamaikan. Berkat penyelenggaraan ilahi manusia dapat mengetahui apa yang perlu diketahuinya. Filsafat adalah sahabat puteri dari agama dan saudarinya sesusu. Inilah pernyataan matang Rushd yang kemudian dikenal sebagai teologi populer dengan suatu metode tafsir. Intinya, kebenaran tdak bisa menentang kebenaran.
Allah sebagai penggerak yang tidak digerakkan. Inilah sumbangsih Rushd bagi manusia jaman ini bahwa pencarian kebenaran lewat dogma atau intisari ajaran agama tidak sampai melecehkan akal sehat. Para teroris menyodorkan suatu kebenaran ganda. Demi kebenaran intepretatif yang kedudukannya lebih tinggi dari kebenaran agama yang masih 'abu-abu' dan diselimuti misteri, mereka lantas mengorbankan nyawa. Kalau dalam bidang agama, layakkah demi 'kesucian Allah' kita membantai sesama. Apakah kekudusan Allah bertambah dengan tumbal darah manusia tak berdosa?
Barangkali, kesadaran Petrus Abelardus dalam buku Sic et Non (Ya dan Tidak), 1121, membawa pencerahan bagi generasi muda bangsa ini. "Aku mau mengumpulkan ajaran-ajaran dari para bapa Gereja yang saling bertentangan. Aku juga mau mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk merangsang kaum muda agar berusaha keras menemukan kebenaran. Lewat penyelidikanku, aku mau mempertajam pandangan mereka. Melalui keragu-raguan, kita sampai pada minat penyelidikan; dalam penyelidikan, kita memahami kebenaran, sesuai dengan pesan Sang Kebenaran itu sendiri pada kita.
Menurut Tomas Aquinas (1225-1274), iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat akan sampai pada suatu kebenaran hakiki. Hanya metodenya beda. Filasafat mulai dengan benda ciptaan (tentu dalam kawasan yang ilmiah) dan dari situ mencapai Allah. Sedangkan teologi sudah menerima Allah sebagai asal dan fundament kebenaran untuk penyelidikannya atas benda-benda ilmiah. Sayang, di benak para teroris rupanya tak berlaku hukum De Docta Ignorantia (Nicolaus Cusanus), 1440, ketidaktahuan yang diketahui. Semakin terpelajar seseorang, maka ia semakin mengetahui ketidaktahuannya. Dengan kesadaran inilah, Nicolaus Cusanus mau berusaha keras untuk menulis beberapa hal tentang ketidaktahuan yang diketahui itu. (Beny Uleander/KPO EDISI 91)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :