Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Dusta Publik

Pengalaman dalam menititi karir sebagai politikus dan negarawan membuat Soekarno, presiden pertama Republik ini menyadari bahwa maju mundurnya perjalanan hidup sebuah bangsa terletak pada kekuatan visi generasi muda. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” tandas Bung Karno.
Pesan Putera Fajar ini amat menyentuh hati kita. Saat ini Indonesia memasuki masa-masa tersulit dalam kehidupan bernegara maupun berbangsa. Kenaikan bergelombang harga BBM pada bulan Mei dan Oktober menyulut aksi demonstrasi penolakan di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia. Semuanya bermuara pada kegelisahan akan beban dan biaya hidup yang terasa kian berat.
Kenaikan harga BBM memang sebuah keputusan yang mau tidak mau diambil pemerintah di tengah beragam alternatif. Tak ada salahnya kebijakan pemerintah sejauh demi kepentingan yang lebih luas yakni menyelamatkan perekonomian negara. BBM tak bisa terus-menerus disubsidi sehingga membebankan anggaran negara. Mana mungkin pemerintah melakukan serangkaian program kerja tanpa dukungan dana. Di samping itu, wacana pemerintah membantu fakir miskin di negeri ini memang layak didukung sebagai terobosan negara yang mau bertanggung-jawab terhadap hak-hak hidup rakyatnya.
Di tengah pro kontra kenaikan harga BBM ada beberapa catatan yang perlu ditanggapi pemerintah dengan serius. Pertama, jangan ada dusta antara pejabat dan kenyataan di lapangan. Pejabat berbicara dengan gaya meyakinkan bahwa harga BBM naik tetapi tidak akan membuat orang miskin terpukul. Fakta di lapangan berbicara lain. Harga kebutuhan pokok naik berlipat-lipat. Apalah arti bantuan RP 100 ribu untuk setiap KK jika biaya hidup di atas Rp 100 ribu.
Memang upaya mempertahankan kebijakan bagi pemerintah itu penting agar tidak ada kesan ambigu atau terombang-ambing. Tetapi langkah-langkah pendukung kebijakan publik tersebut kurang cerdas digagas pemerintah. Misalnya, pemerintah harus bisa tampil sebagai pengendali estabilan harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Nyatanya, ketika harga-harga naik sebelum harga BBM diumumkan naik, pemerintah terkesan tutup mata. Amat disayangkan.
Kedua, di atas segala persoalan ini sebenarnya, kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan rakyat bila pemerintah tegas, bersungguh-sungguh dan transparan menegakkan hukum di negeri ini. Contoh terkini soal korupsi dan penyelundupan BBM besar-besaran di tubuh Pertamina. Apa tindakan pemerintah? Rakyat merasa lucu dengan sikap pura-pura bodoh aparat negara. Cuma kaki tangan yang diringkus. Ada apa sebenarnya? Yang pasti bukan karena kebodohan tetapi lebih karena ketidakseriusan dalam memberantas korupsi di negara ini. Rakyat yang buta hukum pun sudah bisa menebak siapa setan dalam penyelundupan itu. Memang sulit maling teriak maling. Kenapa ada dusta publik?
Akibatnya dana kompensasi BBM untuk kesejahteraan rakyat dianggarkan untuk pendidikan dan kesehatan menjadi ladang korupsi besar-besaran. Kenapa? Karena terkesan mengisinkan korupsi. Di Jawa Barat, kartu keluarga miskin yang seharusnya dibagi gratis malah dijual Rp 100 ribu. Benar-benar sebuah tidakan jahanam dan keji. Sudah saatnya, pers kembali bangkit menggugat dan mendorong pemerintah yang dilegitimasi rakyat ini mau memberantas korupsi dengan serius. Rakyat nanti akan bosan dengan untaian pidato memikat tapi kosong dalam aplikasi dan praktek di lapangan.
Inilah situasi sulit di negeri ini. Pemerintah yang naik dengan dukungan rakyat pun belum menunjukkan tanda-tanda serius memberantas korupsi. Kenapa? Barangkali kita perlu menyimak kembali perkataan Bung Karno. “Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. Memang suatu prahara bagi rakyat miskin yang hidup di negeri penyamun.
Pro kontra kenaikan harga BBM mau tidak mau akan mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Bukan tidak mungkin akan terkisah teror, penculikan aktivis, bentrokan berdarah polisi dan rakyat, dan seterusnya. Mudah-mudahan tidak. Sebab dalam situasi sulit ini, ungkap Thomas Huxley, orang lupa bahwa yang penting bukanlah siapa yang benar, melainkan apa yang benar.
Kini kecerdasan keluar dari krisis ada dalam pikiran yang mandiri dalam benak penghuni negeri ini. Pikiran mandiri adalah rangsangan untuk meningkatkan kualitas diri. Generasi yang tidak sekedar mengecam lalu mengamuk brutal di jalanan tetapi diam-diam pulang ke rumah membolak-balik buku. Belajar. Hanya dengan belajar, tutur J. Sidlow Baxter,
kita bisa melihat perbedaan antara hambatan dan kesempatan. Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan.
Amat disayangkan pula bila LSM atau aktivis yang kini mulai menemukan habitatnya terjerembab dalam upaya mengagitasi rakyat dengan membeber sejumlah ketakutan. Takut akan tak ada makanan, takut akan tak ada masa depan hidup. Ingatlah kata mutiara Franklin D. Roosevelt bahwa satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. Benar. Ia yang datang, akan pergi. Seorang penguasa, pengemis atau pertapa - setiap orang yang lahir pasti mati. Menghembuskan nafas terakhir di atas tahta, atau diseret ke dalam kubur dengan kaki dan tangan terikat, apa bedanya?
Inilah peringatan bagi penguasa maupun aktivis agar berjuang demi kebenaran bukan demi perut atau eksistensi bendera politik. BBM naik oke tetapi benarkah demi rakyat? Tolak kenaikan BBM oke tetapi adakah tawaran solusi yang tepat? Kadang-kadang, rakyat bingung siapa kawan dan lawan. Mungkin secercah kesadaran Presiden Soekarno ini menggugah pejabat, politikus dan aktivis untuk selalu bercermin diri ketika dirinya menjalani tahanan rumah. “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Di persimpangan ini, rakyat miskin harus tetap diberi harapan dan diajak untuk bertumpu pada dua kaki dan tangannya untuk bekerja mencari makan sekaligus membangun masa depan. Pandanglah hari ini. Kemarin sudah menjadi mimpi. Dan esok hari hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini yang sungguh nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok sebagai visi harapan. (Beny Uleander/KPO EDISI 90)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :