Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Gelombang Indie

"Aku ingin tangan-tangan mendirikan bangunan yang megah, memainkan harmoni surgawi dan melukiskan gambar keagungan. Aku ingin kaki-kaki menjalankan para pesuruh, mata-mata melihat keindahan, lidah mengucapkan kebenaran dan menyanyikan lagu-lagu menakjubkan," ungkap Wallace D. Wattles penulis The Science of Getting Rich (1910) ketika menemukan teknik visualisasi kreatif.
Cetusan kegembiraan Wattles lahir dari kesadaran hakikat diri manusia sebagai makhluk revolusif sekaligus evolutif dalam berbagai bidang kehidupan yang dilakoni. Perubahan menjadi kata kunci pertumbuhan jati diri, peradaban maupun awal melahirkan potensi-potensi terdalam (teleologis) manusia.
Dalam bidang musik, tumbuh dan berkembang beragam aliran musik dengan genre yang khas karena dorongan revolutif dan evolutif dalam nubari manusia.
Kunci perkembangan dalam dunia musik adalah ledakan kebebasan berekspresi di kalangan musisi. Perubahan itu tepat bila berbuah sukses. Contohnya, gelombang indie yang tumbuh subur di blantika musik Nusantara pada penghujung abad 20.
Gelombang indie bukan jenis musik. Indie berasal dari kata independent, sebuah gerakan kebebasan yang -di dunia seni- bisa diartikan menolak kemapanan dan mengusung independensi dalam berkarya. Di dunia musik, lantas berkembang wadah rekaman yang disebut indie label.
Sejarah industri rekaman di Indonesia dimulai pada awal tahun 1960-an, tatkala Studio Irama mulai merekam lagu-lagu jenis hiburan (untuk menyebut 'lagu pop' jaman itu), melalui cakram (piringan hitam) untuk Nien Lesmana, Rachmat Kartolo dan Koes Bersaudara. Lalu, terjadi perkembangan berarti pada awal dekade 1970-an, tatkala almarhum Dick Tamimi mendirikan perusahaan rekaman Dimita, yang akhirnya merekam album Koes Plus (dengan drummer Murry menggantikan Nomo Koeswoyo), band wanita Dara Puspita dan grup Panbers. Pada jaya Dimita inilah Indonesia mulai memiliki band-band rekaman yang mulai menyemarakkan industri rekaman pop maupun panggung.
Dalam rentang waktu 1969-1980-an, ada sekelompok musisi yang populer dengan kebebasan berekspresinya. Pada awalnya bisa dilihat dari gaya panggungnya yang 'nyeleneh' dan komposisi lagu ciptaannya yang unik, antara lain dapat ditemui pada karya The Gang of Harry Roesli, The Rollies dan Giant Step (Bandung), God Bless (Jakarta), dan AKA Group (Surabaya).
Bayangkan tentang penampilan God Bless dengan peti mati atau AKA Group yang ke panggung dengan membawa roda pedati raksasa. Sementara band Rawe Rontek dari Banten manggung di belakang Gedung Sate (Bandung) pada tahun 1976 dengan memakai atraksi debus lengkap dengan penggorengannya di atas kepala vokalis.
Pada tahun 1994, Pas Band dari Bandung memulai revolusi rekaman band indie melalui mini album rock 4 lagu. Meski mini album Pas Band awalnya beredar terbatas di Bandung dan sekitarnya. Komunitas indie ini terendus oleh Aquarius Musikindo yang kemudian memutuskan mengontrak Pas Band untuk bergabung. Lantas, terbitlah album berisi lagu-lagu di album indie plus lagu-lagu baru Pas Band melalui major label Aquarius Musikindo (1995). Terobosan ini dilanjutkan dengan direkrutnya Suckerhead oleh Aquarius, dan juga direkamnya grup cadas Edane pada tahun berikutnya. Guna menampung puluhan band indie lainnya, Aquarius resmi membuka label baru dengan bendera Independent dan Pops pada 1997. Nama-nama Type-X, Betrayer, Rumah Sakit, solo album Agus Sasongko, adalah sebagian dari musisi yang pernah ber-indie ria.
Memasuki tahun 2000, album indie yang masuk hitungan laku keras di pasar. Ledakan band indie dengan sejuta penggemar dialami grup Slank, Padi, Naif, Dewa, Gigi dan kini Peterpan. Juga jangan lupa, Lolot Band yang tetap bertahan membawakan lagu pop Bali di tengah impor syair dan lagu barat. Album mereka, Meong Garong terjual 70 ribu kopi di pasar lokal Bali. Mereka pun tetap terobsesi masuk jagat musik dan band nasional.
Kehadiran dan kiprah mereka yang umumnya masih muda belia menjadi rujukan bahwa pembaharuan dan perubahan ada pada semangat kemudaan. Prestasi mereka memantapkan pamor musik Indonesia yang eksis di rumah sendiri dan tetap berprestasi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Gelombang indie begitu fenomenal di Indonesia karena di sana ada kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Amat kontras dunia musik dan dunia politik yang penuh intrik dan borgol ketidakbebasan dalam menyatakan diri dan pendapat.
Paling tidak independen label merujuk pada kebenaran bahwa setiap gagasan orisinal selalu melahirkan gagasan lainnya. Sebab, kesadaran kita terus berkembang. Setiap fakta yang kita pelajari membawa kita kepada fakta-fakta lainnya. Pengetahuan itu terus bertambah. Setiap talenta yang kita tekuni membawa pikiran kita kepada hasrat untuk mengembangkan talenta lainnya. Sebab, kita adalah subyek dari desakan kehidupan, yang mencari ekspresi, yang mengarahkan kita untuk mengetahui lebih banyak, mengerjakan lebih banyak dan berkembang menjadi lebih dari sebelumnya.
Gelombang Indie mengajak kita untuk menerima esensi manusia sebagai homo-creator. Anda ada untuk mencipta, bukan untuk berkompetisi memperebutkan apa yang sudah diciptakan sebelumnya. Anda harus menjadi seorang pencipta bukan peserta kompetisi.
Kekayaan yang mengantungkan diri pada sarana persaingan atau perebutan sumber daya tidak akan pernah memuaskan dan permanen sifatnya. Inilah pesan sejati yang dapat kita timba dari medan laga para musisi.
Sudah selayaknya kita menaruh apresiasi dan hormat kepada para musisi. Sebab musik adalah suara abadi kehidupan yang mempersatukan umat manusia. Karena itu amat disesalkan bila dunia musik disesaki penyanyi yang cuma mencari ketenaran sesaat lantas miskin kreasi. Bukankah di tengah krisis kehidupan dan bencana alam yang bertubi-tubi,kita masih mendengar dendang harmoni surgawi yang mengingatkan kita bahwa hidup adalah pengharapan. Harapan itu ada pada syair-syair bermutu yang membangkitkan gairah kehidupan di dada berjuta-juta rakyat miskin di negeri ini. Mari kita ber-indie ria dalam parade generasi kreatif, kreator dan pembawa kebebasan sejati, termasuk dalam kebebasan beragama dan mendirikan rumah ibadat yang layak. (Beny Uleander/KPO EDISI 89)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :