Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Penyakit Kambuhan

Robert Owen (1771-1858) dijuluki anak ajaib dari Welsh, Skotlandia. Pengusaha tekstil ini terobsesi membangun surga bagi para pekerjanya. Ia mendirikan rumah yang bagus bagi karyawan, 10 jam kerja sehari, anak-anak tidak boleh bekerja dan harus bersekolah yang baik dan tidak ada hukuman badan. Ia mendukung serikat pekerja, koperasi produsen dan konsumen. Owen sosok kapitalis yang penuh kasih.
Dalam koridor prinsip ekonomi dan sosial yang sehat, ia tertarik membentuk masyarakat utopian New Harmony pada 4 Juli 1826 dengan mengumumkan kebebasan dari hak milik, agama yang irasional dan perkawinan. Sayang dua tahun eksperimennya gagal total. Ia ditipu dan dicurangi. Seperlima harta kekayaannya ludes.
Sosok Robert Owen tergolong langka di jagat industri era merkantilisme yang bertumpu pada penumpukan emas dan perak kala itu. Di era ini, kaum kapitalis tidak lagi dipahami sebagai sosok pengusaha dengan berbagai anak perusahaan dan jaringan perdagangan yang luas. Juga bukan figur entrepreneur dengan kibasan dollar yang mampu membeli lahan pertanian yang luas untuk perkampungan industri. Kini, kaum kapitalis telah mengalami evolusi. Mereka memang kaya tetapi tanpa merintis suatu usaha fisik yang memeras keringat. Mereka adalah para fund manager yang bermain di pusaran bursa saham. Itulah kaum kapitalis modern.
Jumlah uang yang beredar di dunia 10 kali lebih besar dari asset dan sumber daya alam yang ada. Kalau para fund manager ini serakah mereka bisa seenak perut menggerus alam hingga dunia bangkrut. Sementara transaksi penjualan saham di dunia setiap hari mencapai 2 triliun dollar. Setiap tahun 600 triliun dollar. Sedangkan transaksi perdagangan riil setiap tahun 10 triliun dollar, seperenam puluhnya. Sungguh fantastik.
Dunia kini dalam genggaman para fund manager. Mereka tampil nyecis dengan pikiran tunggal: bagaimana menggandakan uangnya tanpa kerja nyata. Di Amerika, mereka memiliki uang 1 triliun dollar dan dengan margin trading 10 kali ganda. Mereka bisa memanfaatkan 120 triliun dollar dana sudah sanggup menggoyang ekonomi negara mana saja. Tahun 1997, negara-negara Asia sudah merasakan betapa sakitnya ‘jotosan’ para fund manager ini.
Di tengah keterpurukan perekonomian Indonesia saat ini, para kritikus ekonomi praktis mengeluarkan pernyatan keras. Presiden SBY harus berani merombak kabinet dan mendongkel para menteri yang condong berkiblat kepada spekulasi para fund manager. Memang, persoalan perbaikan ekonomi bangsa ini tidak sebatas dengan saling menyalahkan atau saling tuding swasta dan pemerintah atau rakyat dengan penguasa.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu berharap pada ‘ belaskasih’ para fund manager. Ini suatu pelajaran berharga bahwa pembangunan ekonomi negeri ini tidak bertumpu total pada dana para donatur. Tidak semua fund manager ketularan virus humanitarian dari Robert Owen. Buktinya upaya pembebasan utang luar negeri negara-negara miskin masih dipaksakan dan setengah hati.
Barangkali pemikiran ekonom Skotlandia, Adam Smith penulis The Wealth of Nations (terbit 9 Maret 1776) tentang perdagangan bebas dan kemakmuran layak disimak kembali. Argumen Profesor dari Skotlandia ini bahwa produksi dan perdagangan adalah kunci untuk membuka ‘kemakmuran negara’. Dengan kata lain sumber kemakmuran ada pada diri sendiri bukan dari pemberian dana para donatur. “Kemakmuran sebuah bangsa bukan hanya berasal dari emas dan peraknya, tetapi juga dari tanahnya, gedung-gedungnya, dan segala macam barang-barang yang dapat dikonsumsi (hal 418).
Kemakmuran harus diukur dari seberapa baik rumah, baju dan makanan yang dimiliki oleh penduduk. Pada 1763 Smith mengatakan,” Kemakmuran sebuah negara terjadi jika semua kebutuhan dan fasilitas untuk hidup tersedia dengan harga murah”.
Intinya, pemerintah atau negara perlu memberi kebebasan ekonomi kepada rakyat.
Pada simpul ini kita bisa memetakan kembali eksistensi pasar tradisional sebagai ‘ladang’ ekonomi masyarakat kelas bawah yang kini kian terpinggirkan dalam kebijakan pemerintah, dihadang pembangunan supermarket, dikepung ruko dan dikitari outlet.
Padahal sebagai pusat perdagangan rakyat kecil, pasar tradisional harus terus ditata dengan konsep yang lebih apik mengacu pada prinsip “One Stop Shopping”. Berarti pasar yang kumuh, kotor atau terlantar lantas digusur dan dibangun supermarket. Sayang. Pedagang kecil akan terpinggirkan. Rasanya berlebihan bila pusat-pusat perdagangan di kota diabaikan perannya. Namun ada sinyalemen pemerintah pusat sampai daerah masih dijangkiti sebuah penyakit kambuhan yaitu: kebanggaan semu di atas pembangunan semu. Laporan pertumbuhan ekonomi sampai 6 % tetapi kog pengangguran meningkat dan kemiskinan merajalela. Dari mana dan bagaimana asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipakai pemerintah.
Apakah tingkat pertumbuhan dilihat dari keberhasilan menarik investor menanamkan modalnya? Penyakit ‘mercusuar’ ini akar kebangkrutan Republik. Untuk apa pemerintah mati-matian memproteksi pasar demi keuntungan investor sementara hak-hak dan kepentingan warga dilangkahi. Untuk apa mati-matian membebaskan lahan untuk pembangunan mal atau perkantoran sedangkan di saat krisis para pemodal pindah ke luar negeri dan mencari sasaran baru di negara lain.
Dalam persoalan pasar tradisional, pemerintah daerah kabupaten/kota hendaknya menancap komitmen menjaga eksistensi pasar rakyat ini lewat cakar perda dan deregulasi. Itu yang diharapkan rakyat kecil. Selama ini para pedagang kecil sering digusur dan diusir tanpa penyelesaian akhir yang memuaskan. Terkesan anak-anak bangsa yang kebetulan menjadi pemerintah miskin kreativitas dan inovasi. Mungkin di bangku sekolah sudah terbiasa memilih jawaban ujian A-B-C atau D. Tanpa termotivasi mencari jawaban alternatif: K-H-U atau R.
Kunci eksistensi pasar tradisional ada pada itikad pemerintah memberikan rakyat ruang gerak dalam membangun perekonomian. Bukan cuma kepada para pemilik modal besar atau pedagang kelas atas. Itulah makna terdalam pesan Adam Smith: kebebasan ekonomi secara adil dan merata adalah kunci pertumbuhan ekonomi riil. Semoga, pemerintah tidak didera korupsi kolusi atau nepotisme yang kerap kambuh. (Beny Uleander/KPO EDISI 88)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :