Rabu, Agustus 30, 2006

Beny Uleander

Drama Hot Spot

Suatu hari, dada Copernicus berdegup kencang berhasil menyingkap rahasia alam; bumi berputar mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya. Matahari adalah pusat tata surya. Rahasia alam sedikit demi sedikit mengungkapkan dirinya kepada manusia. Tesingkap pula, Pluto bukanlah sebuah planet tapi sebuah bintang raksasa. Namun, pe­ngungkapan rahasia alam berjalan dalam hitungan abad demi abad. Masih banyak rahasia alam yang tersembunyi dan belum disentuh penelitian manusia. Uniknya, alam menyediakan segala kemungkinan terciptanya hal-hal baru. Sekarang, tinggal siapa yang bisa merangkum, menganalisis dan mendesain menjadi sebuah penemuan baru.
Wright bersaudara membuat baling-baling untuk mendo­rong pesawat terbang. Mereka pasti tambah kagum melihat manusia jaman ini menumpang pesawat jet tanpa baling-baling. Johan Guttenberg berseru riang berhasil membuat mesin cetak. Kini, komputer dan peralatan elektronik digital berkerja super cepat melampui kecepatan mesin percetakan konvensional. Masih banyak hal yang pada jaman sekarang dirasa mustahil tapi di masa mendatang bisa terwujud. Rahasia di balik semuanya itu adalah desain visi yang lahir dari intuisi dan kecerdasan spiritual individu tertentu.
Henry Ford hanya anak tukang kayu dan petani ladang yang tekun membuat percobaan kendaraan. Ia sempat dicemooh keluarganya dan ditertawai orang sekampungnya. Namun Ford tetap belajar jadi mekanik, mendalami otomotif dan te­rus membuat percobaan tiada henti. Tuan Henry tak membayangkan kalau mobil T rakitannya akan dikembangkan ge­nerasi kemudian dalam ragam varian dan jenis di abad 21. Sekelumit kisah Ford menunjukkan kekuatan visi seorang individu yang tak luntur dalam hidupnya meski cobaan dan kesulitan tingkat tinggi menghadang.
Visi adalah sebuah kesadaran batin ke mana saya harus berlangkah dan apa yang harus saya buat sekarang agar bisa mencapai keadaaan tertentu yang diidamkan. Orang sukses adalah orang yang menghidupi visinya secara cermat, konsisten dan terus menerus. Kesuksesan bukanlah sebuah keberuntungan belaka. Visi bisa diibaratkan sebagai mata batin yang bisa melihat kerajaan impian di masa depan. Orang yang memiliki visi adalah orang yang berani dianggap sebagai orang gila di jaman modern.
Visi memang ilmu yang abstrak sehingga tidak mudah dipahami banyak orang. Apalagi visi memiliki kepekaan untuk mempertemukan dan mempersatukan berbagai individu dalam suatu semangat, spirit dan cita-cita bersama. Perta­nyaan sekarang, apa visi kita sebagai bangsa Indonesia dalam konteks lokal dan global. Dalam ajang pemilihan Pu­teri Indonesia 2006, ada juri yang bertanya kepada salah satu kontestan, “Apa yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia? Jawaban salah satu puteri kontestan itu sangat tepat dan pasti mewakali kesadaran generasi muda saat ini. “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam hal suku, etnis, budaya, adat istiadat dan agama. Karena itu rasa nasionalisme menjadi kunci pemersatu bangsa ini”. Sebuah jawaban yang tepat.
Kunci pemersatu bangsa, itulah kajian historis, sistematis dan metodologis yang perlu digagas ulang berbagai elemen bangsa ini. Kenyataan di lapangan sekarang harus diungkap secara transparan dan jelas. Masyarakat perlu diberi tahu kondisi riil yang dialami warga bangsa kini. Pendidikan dan penanaman Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup diajarkan di sekolah-sekolah selama 30-an tahun bukan dalam semangat kebangsaan tetapi dalam alur kebijakan politis. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah bersatu dalam bahtera visi membangun bangsa. Etnis melawan etnis. Agama bangkit melawan agama. Anak-anak melawan ibu dan bapanya. Murid-murid menggelar demo menggugat guru dan kebijakan di sekolahnya. Partai politik saling memohok secara terbuka. Parahnya lagi, umat mulai melawan pemimpin agamanya. Ada gejala apa dengan bangsa Indonesia ini?
Rasa nasionalisme perlu digugat dan ditinjau kembali secara arif, jujur dan terbuka. Kita memang sudah merdeka dari penjajahan Belanda tetapi bangsa ini sama sekali masih hidup dalam ruang-ruang penjajahan yang sangat abstrak, terselubung dan rapi. Orang kaya semakin kaya. Sekolah-sekolah formal menjadi lembaga elitis yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi anak-anak konglomerat dan para cukong. Sementara, anak-anak dari keluarga miskin terpental dari ruang kelas akibat biaya sekolah yang mahal dan pungutan sukarela yang diwajibkan.
Jumlah orang miskin terus bertambah dari tahun ke tahun. Sementara, angka pengangguran di Cina dan Vietnam berkurang drastis. Angkatan pengangguran terus membludak. Rona kemiskinan dan kebodohan -kalau mau jujur-itulah situa­si riil ribuan anak bangsa saat ini. Kita bisa saja tertipu dengan tayangan televisi yang menampilkan kehidupan remaja dibalut kemewahan hidup. Daya beli masyarakat semakin menurun. Beban kehidupan terasa berat. Sementara di Senayan para wakil rakyat bergelimang uang tunjangan dari pajak yang dibayar rakyat.
Bangsa ini juga menderita penjajahan dalam bidang eko­logis. Hutan terus ditebang. Berita gencar di televisi tetapi lagi-lagi tidak ada penyelesaian. Siapa yang menjadi cukongnya tetaplah sebuah misteri. Maaf bukan rahasia, sebab sebuah rahasia pasti bisa terungkap suatu saat. Aksi pembakaran hutan terus terjadi, sementara alat-alat negara tidak berdaya sama sekali. Ributan titik api atau hotspot hanya menjadi tontonan jutaan pasang mata di layar kaca. Kemiskinan demikian telanjang mata dan kerusakan alam terpampang nyata, namun kita seakan merasa hal yang lumrah. Ada gejala apa dengan bangsa ini?
Bangsa ini membutuhkan seorang dokter jiwa yang mampu menginjeksi kesadaraan warga bangsa tentang sebuah visi yang satu, akbar dan terarah soal perjalanan bangsa ini. Biar bagaimanapun suatu saat ahli sejarah menulis sejarah perjalanan bangsa ini sebagai kisah perayaan dan selebrasi visi yang tertuang dalam program-program pembangunannya. Bangsa Cina menjadi bangsa yang besar karena sejarah mereka adalah sejarah bangsa yang lahir dari perayaan visi demi visi. Jepang menjadi bangsa yang paling disiplin di dunia karena mereka memiliki sebuah visi bagaimana menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.
Di tikungan kesadaran ini, manusia Indonesia sudah berjalan dalam lompatan sketsa sosial yang menggelinding cepat. Berbagai ideologi satu demi satu berguguran. Lokalitas keimanan maupun benteng-benteng primordialisme yang kokoh dan eksklusif mendadak runtuh ketika badai tsunami, lumpur panas dan kebakaran hutan menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup bersama. Kemarahan alam ke­rap menghancurkan dinding egoisme manusia. Akhirnya, visi soal bangsa yang besar dan mandiri adalah proyek masa depan yang mulai dirintis dalam skala kecil. Secara sederhana dimulai dari diri sendiri. Sudahkah kehadiran kita meri­ngankan beban orangtua, atasan, rekan kerja, isteri dan anak? Ataukah kehadiran kita ada di wilayah titik api (hotspot) antara ada dan tiada. Kita menjadi beban (baca: menjajah dan penjajah) yang memberatkan, membakar dan menghanguskan sesama. Revolusi visi selalu dimulai dari kesadaran individu yang mau mengartikan hidup sebagai lembaran pengabdian di dunia yang singkat dan fana. Apa sumbangsih kita untuk negara? Bertanyalah pada rumput yang bergoyang. (Beny Uleander/KPO EDISI 112/1-15 September 2006)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :