Senin, Juli 04, 2005

Beny Uleander

Waria, Manusia Biasa Yang Harus Dicintai

Uskup Denpasar Mgr. Dr. Benyamin Yosep Bria, Pr.

Menjadi seorang waria atau seorang homoseks, bukanlah perkara yang mudah. Mereka adalah kelompok minoritas secara seksual dengan perjuangan yang berat untuk mempertahankan hidup. Sama seperti kelompok minoritas lainnya, kaum waria harus berhadapan dengan kaum mayoritas dalam sebuah interaksi yang kerap tidak bersahabat, penuh kecurigaan, tekanan, diskriminasi, bahkan tindakan kekerasan. Padahal mereka adalah manusia biasa seperti yang lain, yang mempunyai kebutuhan yang sama. Sepak terjang waria memang harus diakui banyak yang menyimpang dari kebiasaan yang lazim. Namun demikian tidak semua kesalahan itu seratus persen dilimpahkan kepada mereka

Waria juga manusia seperti kita. Mereka juga harus dicintai dan dilindungi. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana posisi waria dalam masyarakat, ikutilah petikan wawancara Koran Pak Oles dengan tokoh agama Katolik, Mgr. Dr. Benyamin Y. Bria, Pr., Uskup Denpasar.

Menurut Anda, apa itu waria atau banci?

Waria atau banci artinya orang yang secara seksual berjenis kelamin laki-laki, tetapi tingkah laku dan pembawaannya seperti kaum wanita. Artinya mereka tidak mempunyai jenis kelamin tertentu. Ada beberapa pengertian, misalnya laki-laki yang tampak kewanitaan. Ada juga wanita yang tampak seperti laki-laki. Ada juga istilah lesbi yaitu wanita yang mempunyai ketertarikan kepada sesama jenis. Ada juga yang disebut gay yaitu laki-laki yang mempunyai kecenderungan tertarik kepada jenis kelamin yang sama. Sedangkan homoseks itu bisa gay, bisa juga lesbian. Homoseks orang yang memiliki kecenderungan seksual kepada sesama jenisnya. Kalau perempuan disebut lesbi dan kalau laki-laki disebut gay. Perlu diperhatikan bahwa mereka juga manusia.

Faktor penyebabnya?

Menurut pengetahuan saya, ada yang dari kodratnya memang begitu, artinya ini merupakan pembawaan sejak lahir. Ada juga yang kemudian dalam perjalanan waktu menjadi waria atau gay. Bila ini adalah pembawaan sejak lahir, berarti dipengaruhi oleh beberapa unsur hormon. Akibatnya mereka bertingkah laku seperti wanita, mengenakan pakaian wanita, bahkan berbicara pun seperti wanita. Tetapi ada yang dalam perjalanan waktu setelah ia lahir baru menjadi waria atau gay. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan dan pengalaman traumatis, misalnya sering bergaul dengan para waria, tinggal di tengah-tengah komunitas yang mayoritas wanita, pengalaman disodomi, pengalaman dikecewakan dan yang sejenisnya.

Bagaimana pandangan moral Katolik tentang perilaku seksual mereka?

Dalam pandangan moral Katolik, dan juga agama-agama lainnya, hal ini sama sekali tidak dibenarkan. Alasannya, orientasi seksual manusia yang benar harus terarah dan menuju kepada lawan jenis atau jenis seks yang berbeda. Sedangkan para gay, waria, lesbi tertarik pada jenis seks yang sama. Hal ini tidak dibenarkan dalam pandangan moral Katolik. Hal ini bukan berarti kita harus menghukum, membenci, menindas para waria, gay, lesbi. Bila perlakuan seperti ini terjadi, maka dianggap melanggar moral dan HAM.

Tetapi faktanya, kekerasan terhadap para waria seringkali terjadi?

Ini termasuk tindakan melanggar HAM. Tindakan seperti ini bukanlah solusi yang benar. Solusi yang dianjurkan adalah bagaimana mereka bisa hidup secara normal sebagaimana layaknya seorang manusia. Sudah menjadi kodratnya mereka harus hidup seperti itu. Semua orang perlu memahami secara luas dan mendalam tentang kodrat para waria, gay, lesbi sebagaimana adanya. Perlu melakukan pendekatan kemanusiaan, bukan pendekatan kekerasan. Pendekatan dengan kekerasan sama sekali tidak menyelesaikan persoalan, bahkan akan menciptakan persoalan baru.

Bolehkah seorang waria menikah?

Dalam hukum gereja Katolik, yang boleh menikah hanya seorang laki-laki yang benar-benar laki-laki dengan seorang wanita yang benar-benar wanita, dan bukan antara dua laki-laki atau dua wanita. Bahkan kita bisa katakan secara ekstrim bahwa Allah pun tidak pernah menghendaki perkawinan antara seorang pria dengan seorang pria (waria). Allah hanya menciptakan pria dan wanita dan mereka akan saling membutuhkan dan saling melengkapi dalam hidup perkawinan.

Banyak praktek penyimpangan seksual yang dilakukan waria. Bukankah lebih baik mereka hidup terikat dalam suatu perkawinan resmi baik secara agama maupun secara sipil?

Penyimpangan seksual yang dilakukan oleh para waria tersebut tidak bisa diselesaikan dalam pernikahan atau perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki. Penyimpangan tersebut harus dimengerti dalam berbagai faktor secara menyeluruh. Pertama, kita harus mengerti bahwa secara seksual mereka tertarik dengan laki-laki. Ini adalah faktor keturunan yang terbawa sejak lahir. Kedua, faktor lingkungan. Setiap hari ia bergaul dengan lingkungan yang memberi peluang dan kesempatan untuk melakukan tindakan penyimpangan seksual. Artinya, penyimpangan ini terjadi karena ada pihak yang menikmati tindakan penyimpangan tersebut. Ketiga, yang tidak kalah pentingnya juga adalah faktor ekonomi. Banyak waria, (tidak semua), yang tidak memiliki akses untuk memperoleh lapangan kerja hanya karena mereka adalah seorang waria. Mereka tidak mempunyai pendapatan atau penghasilan untuk hidup. Akibatnya, mereka harus menjual diri untuk memperoleh penghasilan.

Tetapi kenyataan, ada juga pernikahan kaum homo, walaupun belum diakui baik secara sipil maupun institusi religius?

Pernikahan kaum homo bukanlah berita baru. Sejauh yang saya tahu, sudah ada dua negara di dunia yang mengakui atau melegalkan pernikahan kaum homo, yaitu Kanada dan Belanda. Bahkan, ada orang Indonesia (laki-laki) yang kawin dengan orang Belanda (perkawinan kaum homo).Banyak kaum homo Amerika yang pindah ke Kanada hanya untuk menikah dengan berbagai macam alasan, demi kebahagiaan hidup, memperoleh wak warisan dan berbagai macam alasan lainnya.Tetapi ini baru pengakuan secara sipil, sedangkan institusi religius belum pernah mengakuinya. Di Washington, ada Gereja yang disebut The Holy Church for Gay and Lesbian. Banyak pasangan homo yang menikah dalam gereja tersebut. Istilah yang dipakai untuk menikah bukan married atau matrimoni tetapi disebut Holy Union, yang artinya ikatan atau persekutuan yang kudus. Sedangkan dalam hukum Gereja Katolik, sampai dengan saat ini belum bisa menerima dan bahkan tidak pernah akan menerima perkawinan kaum homo. Bahkan Paus terakhir sekarang juga telah memberi penegasan terhadap penolakan pernikahan kaum homo.

Pada umumnya, masyarakat belum menerima kehadiran Waria. Bagaimana pendapat Anda?

Menerima atau tidak menerima kehadiran para waria hanyalah soal perasaan semata. Banyak masyarakat yang tidak menerima waria juga harus bisa dipahami, karena mereka sudah terbiasa dengan hal yang normal, yang wajar. Artinya, hanya ada laki-laki atau wanita, sedangkan waria berada antara keduanya. Organ seksnya laki-laki tetapi tingkah lakunya seperti wanita. Oleh karena itu kehadiran waria akan terasa asing, jijik, laknat, terkutuk dan sebagainya. Dan ini adalah kenyataan yang ada. Tetapi masyarakat juga harus sadar bahwa waria tidak pernah menginginkan terlahir seperti itu. Ada banyak waria yang sudah berusaha untuk hidup normal sebagaimana adanya. Namun usaha itu sia-sia, bahkan usaha itu membawa penyiksaan diri yang luar biasa. Dari pada tersiksa dengan usaha yang sia-sia, lebih baik mereka tampil apa adanya. Berhadapan dengan masyarakat yang tidak menerima kehadiran waria, bahkan cenderung melakukan tindakan kekerasan, maka usaha yang harus segera dilakukan oleh semua pihak adalah dengan mengadakan pendekatan kemanusiaan dan membangun kesadaran baru bahwa waria itu memang benar-benar ada.

Bukankah waria ingin diakui keberadaanya dalam masyarakat?

Tetapi perlu dijelaskan, diakui dalam arti apa? Diakui bahwa mereka adalah anggota masyarakat. Mereka tidak perlu didiskriminasi. Mereka mempunyai hak untuk berakses ke dalam berbagai bidang kehidupan, sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Diakui dalam masyarakat tidak berarti bahwa mereka bisa melakukan tindakan amoral, melayani kebutuhan seksual laki-laki yang berkeliaran di tempat-tempat tertentu.

Bolehkah waria diberi hak-hak istimewa dalam masyarakat?

Pada umumnya, semua orang di negeri yang bernama Indonesia ini, mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Semua orang dijamin oleh hukum untuk hidup sejahtera dan tidak ada diskriminasi. Namun dalam pelaksanaanya, masih terjadi banyak kekurangan sana sini. Misalnya diskriminasi terhadap kaum waria tadi. Tetapi harus diakui bahwa diskriminasi seperti ini hanyalah praktek manusia semata, sedangkan substansi dari konstitusi negeri ini sebetulnya tetap menjamin hak-hak individu untuk hidup sejahtera. Dalam pengertian ini, waria tidak perlu diberi hak-hak istimewa dalam masyarakat karena semua orang sama di mata hukum.

Banyak waria yang mengganti kelaminnya menjadi wanita. Bagaimana pendapat Anda?

Sebetulnya, pandangan Gereja Katolik lebih menekankan untuk menerima apa yang diciptakan Tuhan bagi dirinya. Segala yang diciptakan Tuhan itu baik adanya. Pergantian kelamin sama sekali tidak dianjurkan. Tetapi oleh karena berbagai macam alasan kemanusian, misalnya tidak pernah merasa sebagai laki-laki, tersiksa dengan hidup yang dijalani, demi kebahagiaan hidup dan yang sejenisnya, maka pergantian kelamin itu wajar-wajar saja. Semua hukum apa pun akan gugur demi suatu kehidupan yang lebih baik. Tetapi pandangan moral Katolik belum bisa menerimanya. (Arnold Dhae & Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)

Biodata:
Nama : Mgr. Dr. Benyamin Yosep Bria, Pr.
TTL : Belu-Atambua (NTT), 7 Agustus, 1956
Tahbisan Imam: 29 Juni 1956
Tahbisan Uskup: 6 Agustus 2000
Sekarang Beliau Menjabat Sebagai Uskup Denpasar

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :