Rabu, Februari 15, 2006

Beny Uleander

Citra Bangsa

Rekayasa citra maupun upaya pemaknaan atasnya yang dikerjakan secara konseptual akan membuahkan suatu kekuasaan pendiktean terhadap suatu komunitas/publik. Di zaman digital ini, kita tidak lagi berkubang dalam kontroversi ideologis manakah yang benar: revolusi komunisme dalam balutan marxisme, sosialisme atau kapitalisme. Setiap bentuk, metode maupun ajaran sebuah revolusi memang mengandung sedikit kebenaran. Sehingga masyarakat manusia jaman ini terus berburu kebenaran yang utuh di belantara revolusi masa ini yaitu revolusi otak alias ilmu pengetahuan. 
Mungkin Fidel Castro yang masih menabur sebuah periode penantian hujan kesejahteraan bagi rakyatnya sudah jatuh dalam jurang utopia yang akut. Sementara rakyat Kuba yang sabar menerima segala pelayanan publik yang terbatas tidak mampu menghindarkan diri mereka dari terjangan revolusi ilmu pengetahuan yang bergentayangan di mana-mana seraya menabur selaksa perubahan di bidang sosial politik, ekonomi, budaya dan industri. Sebab, di era ini setiap negara, korporat bisnis maupun individu sedang berjalan bak semut beriringan di kereta ilmu pengetahuan.
Knowledge is power memang sebuah aforisme yang enak didengarkan tetapi tetaplah sebuah ungkapan abstrak di alam realitas. Pengetahuan sejatinya menghasilkan kekuasaan di bidang apa saja. Ilmu pengetahuan pun telah menjadi konsumsi publik dan jutaan penduduk di berbagai belahan dunia tanpa membedakan strata social maupun ras. Pada awal 1990-an, ada 500 jaringan televisi yang menawarkan aneka pengetahuan bagi pemirsa, laporan Time, tetapi kini ada jutaan website yang tidak terhitung. Ilmu pengetahuan bergentayangan di mana-mana. Institusi konvensional yang berkelas dan bermutu pun tunduk dan takluk. Ilmuwan elektronik Amerika angkat topi terhadap kualitas kinerja tenaga ahli elektronik dan telekomunikasi di Bangalore, India. Sementara universitas sekelas Barkley mulai membuat system kuota untuk membatasi mahasiswa dari luar Amerika yang sangat berprestasi. Inilah sebuah gambaran terkini bahwa kita hidup dalam gelombang revolusi ilmu pengetahuan.
Tak heran, ilmu pengetahuan benar-benar ‘mujarab’ ketika didesain untuk upaya pembentukan citra diri (personal image), citra produk (brand image), dan citra korporat atau institusi (corporate image), juga citra yang lebih luas yang terkait dengan sektor industri (industrial image) seperti asosiasi, perhimpunan, era, rezim, atau dinasti. 
Rekayasa citra yang sukses memang mendatangkan kekuasaan riil. Juga, bisa melahirkan sebuah selera dan keinginan menjadi kebutuhan sekaligus harapan. Lihat saja di era pilpres 2004 lalu, SBY dengan tim suksesnya berhasil mensketsa citra diri SBY yang positif. Akhirnya SBY yang tidak memiliki basis massa terpilih sebagai presiden. Ini sebuah bukti bahwa suatu pembentukan citra yang berjalan sistematis akan membawa upaya pendiktean terhadap sebuah pilihan atau selera publik. 
Pada tikungan kesadaran ini, kita perlu menyimak sebuah lapisan citra terluar dan terbesar yaitu citra bangsa (country image) yang terbentuk dari citra personal, produk, korporat, industri, bahkan citra kota dan kawasan. Indonesia kalah dalam mensetting citra bangsa. Jakarta sebagai gudang koruptor menimbulkan citra negatif bahwa para pejabat di negeri ini sulit dipercaya. Sementara citra bangsa formalin semakin menegaskan bahwa Bumi Pertiwi kini dilirik sebagai ladang strategis untuk pembuangan sampah dan limbah industri. Buktinya, pemerintah sendiri tidak memiliki visi yang jelas bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dengan langkah-langkah strategis. Kelambatan birokrasi pun menjadi pemicu kecilnya geliat investasi maupun rendahnya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. 
Citra bangsa yang negatif ini terus dililit dengan hilir-mudiknya isue-isue yang lahir tanpa konsep. Ambil contoh, Rancangan UU Antipornografi & Pornoaksi dikerucutkan pada aksi goyangan ngebor Inul Daratista dan heboh bakal terbitnya Playboy versi Indonesia. Sementara publik selama ini diam seribu satu bahasa ketika aspek pluralisme dan humanisme dikebiri lewat aksi primordial yang bermunculan di berbagai daerah. Publik pun jarang mengumandangkan atau melawan peredaran VCD porno, bajakan maupun lokalisasi (panti pijat plus) yang mulai bertebaran di setiap sudut kota di Indonesia. Sebuah lembaga pornoaksi yang terselubung dibiarkan. Kita tidak bisa mengontrol remaja muda yang belajar dan menerima pendidikan seks liar di pangkuan paha seorang pelacur atau di pundak seorang waria jalanan. Citra bangsa yang gemar mengkonsumsi isu-isu dangkal menjadi petunjuk sejauh mana kualitas pendidikan anak-anak negeri ini. Masih ada persoalan mendasar yang terabaikan. Sebenarnya pada diri bangsa ini telah melekat citra bangsa yang tuli dan cuek dengan kemerosotan moral di sekeliling kita. 
Mau tidak mau budaya belajar menjadi keharusan menuju tatanan perubahan yang bermutu dan beradab. Inilah sebuah gerakan revolusi yang perlu digagas serius, konsisten dan disertai dukungan dana yang riil. Kita bukan negara miskin bila para pejabat dan elite politik memiliki nurani untuk menolak amplop dan aneka tunjangan wah di tengah minimnya alokasi dana pendidikan. Bila pendidikan dipinggirkan dalam merumuskan kebijakan nasional maka cepat atau lambat anak-anak negeri ini akan menjadi budak potensial bagi berbagai produk luar negeri tanpa mampu menawarkan potensi diri maupun produk tandingan yang berkelas. Berhentilah menjadi bangsa yang suka cuap-cuap dengan isu-isu dangkal padahal masalah substansial diabaikan. Jangan-jangan kita tidak tahu mana inti masalah dan mana ornamen. (Beny Uleander/KPO EDISI 99 FEBRUARI 2006)
Read More
Beny Uleander

Jangan Dulu Merasa Hebat, Bung!!!

Pendidikan itu mahal. Menjadi orang pintar pun butuh proses. Belajar lihat, bertanya, membaca dan mendengar adalah simpul pembelajaran yang efektif sekaligus penuh mobilitas otodidak. Karena itu, orang bijak senantiasa menampilkan profil diri dalam kualitas gelas kosong. Bukan gelas yang penuh terisi air. Logika filsafat gelas kosong amat sederhana. Untuk menjadi pandai, terlatih dan bersikap profesional seseorang harus menempatkan diri sebagai individu yang selalu dilanda sebuah gelombang kegelisahan eksistensial dan intelektual. Dengan kedua belah mata pisau bedah ini, seorang individu terpacu menggugat realitas, mempertanyakan seluk-beluk sebuah profesi dan lebih dari itu selalu merasa kurang dan kosong. Ia siapkan dirinya diisi penuh dengan tuangan ilmu kehidupan. 
Demikian pula, sumber daya manusia yang berkualitas dalam sebuah perusahaan ditumbuhkembangkan melalui sebuah proses belajar dan pelatihan yang berjalan kontinyu, sistematis, terprogram dan mengangkat tema-tema lapangan yang akurat, penuh pergulatan masalah orthodoksi dan pergumulan praksis. 
Keengganan untuk belajar bisa terlihat dari hasil karya, daya cipta dan kualitas kerja yang keropos, mudah luntur dan tidak berbobot. Dalam analisis manajemen pemasaran, sebuah produk barang dan jasa diakui dan diterima pasar karena berkualitas. Jadi kualitas bukan hasil pengakuan diri sendiri tetapi lahir dari pengakuan publik. Di sinilah tersembunyi pundi-pundi kebijaksanaan dan kebersahajaan hidup. 
Mengakui kelebihan orang lain sebagai sebuah prestasi ketimbang merasa diri hebat tetapi produk yang ditelurkan tidak matang. Karena itu, jangan dulu merasa hebat Bung. Di atas langit masih ada langit. Memang susah mengajak orang untuk rendah hati belajar dari senioritas, pengalaman terberi, buku dan data riwayat masa silam. 
PT Karya Pak Oles Tokcer gencar menggelar pemantapan karyawan, serangkaian workshop dan kunjungan lapangan demi memotivasi karyawan untuk belajar hingga akhir hayat. Mari belajar bersama sebelum mati tiarap di jurang kebodohan yang diciptakan sendiri. (Beny Uleander/KPO EDISI 99 FEBRUARI 2006)
Read More