Kamis, April 15, 2004

Beny Uleander

Mesin Uang, Anak Durhaka Peradaban

Persoalan ketenagakerjaan mulai mencuat dalam rentang peradaban dunia ketika berhembusnya angin revolusi industri pada abad ke-17 di Eropa. Tatkala Johann Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak, manusia periode itu mulai memutar otak bagaimana mendesain sebuah alat yang sanggup mengerjakan sesuatu seperti yang dikerjakan manusia. Hanya saja lebih gampang, praktis, murah meriah dan efektif. Penemuan mesin uap, buah konstruksi mashyur seorang James Watt tahun 1769, merupakan era baru peradaban yang dinamai era industri. Sejak itu, pabrik-pabrik yang menghasilkan produk lewat sentuhan konkrit tangan manusia beralih ke suara-suara mesin. Rancang bangun mesin-mesin dari tahun ke tahun kian inovatif. Semula cuma memuaskan impian manusia yakni 'menggampangkan' hidup, namun rupanya melahirkan efek samping yang mengguncang tata sosial kehidupan masyarakat bangsa.
Mesin, seperangkat peralatan dengan sistem kerja tertentu, mencatat identitasnya sebagai 'anak durhaka' peradaban. Betapa tidak. Kehadiran mesin bagaikan raksasa kanibalis yang membantai tuannya sendiri. 'Kekejamannya' mulai tercium ketika petani-petani dari pelosok pedesaan Inggris banting stir menjadi buruh-buruh pabrik di daerah perkotaan terpaksa kehilangan lapangan pekerjaannya. Kebijakan rasionalisasi perusahaan yakni pemangkasan tenaga kerja terjadi karena tenaga mesin efektif menggeser tenaga manusia. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran bukan potret baru keburaman manusia jaman ini. Sudah dari sononya akar konflik antara buruh dan perusahaan, antara beban biaya operasional dan target keuntungan yang harus dicapai.
Meneropong problem buruh versus perusahaan, kita harus menyatukan visi bahwa buruh; pekerja; karyawan dan pengusaha; owner; majikan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Meski kehadiran mesin dengan kategori perangkat keras dan perangkat lunak menjadi bagian kehidupan harian, namun tenaga manusia tetap diperlukan. Secanggih apapun, mesin itu dikendalikan oleh tenaga-tenaga terampil. Demikian juga kemajuan sebuah perusahaan amat didukung oleh faktor SDM. Investasi modal boleh triliunan rupiah, gedung atau pabrik tampil wah, tetapi kalau human investment diabaikan maka perusahaan itu mengalami pembusukan dari dalam. Ini berarti karyawan secara substantif merupakan patner kerja. Inilah roh prinsip sinergitas simbiosis mutualisme.
Ada banyak faktor penyebab perselisihan antara pekerja dan perusahaan seperti hak dan kewajiban atau antara jam kerja dan tunjangan hidup. Belakangan ini, akar konflik bersumber pada penghasilan atau upah yang tak sepadan dengan pekerjaan. Kembali, sejarah purba ditorehkan dalam modus baru yakni tragedi eksploitasi kemanusiaan. Kita seakan 'dipaksa' menikmati kebangkitan semangat imperialis leluhur yakni berperang bukan untuk menguasai wilayah tetapi menjadikan penduduk setempat sebagai tawanan yang akan dipekerjakan sebagai budak belian. Ketika karya kaum buruh mulai dihargai dengan lembaran uang semata sebenarnya di situ mulai terpampang secara halus pelecehan terhadap citra diri manusia dan kemunduran peradaban itu sendiri.
Sejak uang sebagai alat pertukaran nominal dikenal berakhirlah era barter; barang ditukarkan dengan barang mengikuti gairah hukum purba, nyawa diganti nyawa. Sebuah horison kehidupan baru terbuka, yakni pintu ekonomi. Paradigma klasik, barang dan jasa ditukar dengan uang mendorong sejumlah besar manusia 'menggadaikan' tenaganya, pikirannya dan ketrampilannya. Lahir pula paradigma terkini, uang menghasilkan uang melalui prinsip investasi lewat badan-badan keuangan. Dari situ, bermunculan sejumlah pengusaha yang menanamkan investasinya dalam sebuah bidang usaha. Sudah pasti ada prinsip ekonomi diterapkan, pengorbanan sekecil-kecilnya tapi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pemodal tergoda untuk menumpuk uang demi investasi. Justru inilah kecelakaan sejarah perusahaan. Juga kecelakaan politikus yang menjadikan kekuasaan sebagai mesin duit.
Kala perusahaan menjadi mesin uang secara inherent, kolektivitas tenaga kerja dalam perusahaan menjadi kolektivitas 'mesin hidup'. Padahal manusia berkarya untuk merealisasikan dirinya sebagai homo faber (manusia pekerja). Bukan sekedar menggemukkan diri. Karena itu kita harus mendukung upaya penegakan hak-hak buruh dan perusahaan yang berpijak pada kemanusiaan itu sendiri. Kita merindukan lahirnya pengusaha berjiwa Martin Luther King. I have a dream, lontar Luther King, yang merindukan suatu masa keruntuhan sendi-sendi ideologi-eksploitasisme. Tragis, bila perusahaan bermetamorfosis menjadi badan keuangan dan buruh menjadi mesin uang!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 58/MINGGU II MEI 2004)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :