Minggu, Maret 05, 2006

Beny Uleander

Kontrol Sosial Bisa Jadi Mesin Uang

Pendulum: Akar perilaku korupsi di Indonesia tidak semata-mata bertumpu pada kontrol hukum yang lemah tetapi seakan sudah merupakan masalah kultural. Karena itu ada banyak jalan dan sekaligus jalan panjang menuju pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Pemerintahan yang bersih lahir dari kontrol sosial masyarakat, pena kritis lembaga pers dan kinerja aparat penegak hukum yang berkualitas. Berikut Koran Pak Oles menurunkan ragam perspektif terkait partisipasi rakyat dalam mengupayakan terciptanya clean government yang disarikan dari Seminar Nasional ‘’Partisipasi Masyarakat Dalam Mendukung Terciptanya Pemerintahan Yang Bersih’’ di Aula St Yoseph Denpasar, Minggu (5/3), yang diselenggarakan PMKRI Denpasar.

OLEH: BENNY ULEANDER

Deretan persoalan yang menciderai wibawa hukum bagaikan seuntai litani yang terbentang panjang mengikuti perguliran pemerintahan SBY-MJK. Sebuah titah permakluman bahwa upaya menciptakan pemerintahan yang bersih tidak berhenti di tataran wacana kampanye legislatif maupun pilpres.

Hermawi Taslim, SH,MH, aktivis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyebut luka-luka KKN era SBY-MJK seperti korupsi di tubuh KPU, rekening gelap milik sejumlah perwira menengah atas, segelintir pejabat yang mengantongi ijasah palsu, tumpukan kredit macet tanpa sanksi yang tegas dan terakhir masalah surat Seskab Sudi Silalahi yang diklaim palsu tanpa bisa dibuktikan salinan aslinya.
Dari berbagai persoalan di atas, menurut Hermawi, upaya perbaikan citra pemerintahan yang bersih (clean government) harus dimulai dengan membersihkan halaman istana. Ada filosofi, ikan mulai membusuk dari kepalanya. Jika pemerintahan saat ini kembali terjebak dalam kultur KKN maka SBY-MJK harus siap mengikuti salah satu model turun tahta tradisi Asia Tenggara, people power ala Filipina atau Indonesia (1998) yang menumbangkan rezim Marcos dan Soeharto atau turun secara terhormat dilakoni Mahatir Mohammad dan Lee Kuan Yu.
Menyinggung keterlibatan masyarakat dalam ranah politik, Hermawi berpendapat harus disetting dengan strategi politik menimbang rakyat mempunyai hak dan kewajiban untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Ada tiga strategi yang bisa dikembangkan. Pertama, aksi massa yang tertib. Kedua, kampanye positif atau sosialisasi program pemulihan citra pemerintah dengan menggunakan media yang tepat. Ketiga, setiap elemen masyarakat bisa diberdayakan untuk memberikan kontribusi kontrol sosial. Hermawi mengingatkan agar kontrol sosial itu efektif jika tidak diupayakan untuk meningkatkan posisi tawar atau alat bargaining yang bisa mempresur pemerintah secara negatif. Posisi kontrol sosial bisa berubah menjadi mesin uang. ‘’Kontrol bukan alat bargaining, dikasih uang langsung diam,’’ tegas Ketua Badan Pengurus Nasional Forkoma PMKRI.
Diakuinya, masalah KKN memang sudah melembaga karena itu, upaya menciptakan pemerintahan bersih, bukan hanya ditegakkan melalui tindakan-tindakan hukum, juga membutuhkan langkah-langkah yang jelas dalam politik dan administrasi, di samping redefinition of morality. ‘’Kita harus mulai dari diri sendiri dalam hal yang terkecil dengan bertanya, korupsikah saya,’’ tandasnya.

Kampung Maling Skala Raksasa
OLEH: FRANS SARONG*

Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini merupakan tanggung jawab setiap warga masyarakat. Rohaniwan Romo Aloysius Budi Purnomo (Kompas, 1/3/06), berpendapat membangun budaya bebas korupsi supaya dimulai dari diri sendiri. Rohaniwan yang juga pemimpin Redaksi Majalah “Inspirasi, Lentera yang Membebaskan” itu mengatakan, korupsi di Indonesia begitu subur, berakar dalam, kuat dan luas. Juga wajahnya sudah multiganda, begitu rumit, kompleks dan kusut hingga sulit untuk diurai.
Menyoroti upaya “memerangi korupsi”, penulis teringat sajian sebuah artikel empat tahun lalu tentang sebuah kampung di Yogyakarta. Kampung itu bernama Kampung Maling. Nama itu konon beralasan karena rata-rata penduduknya memang maling. Dikisahkan, dari generasi ke generasi, Kampung Maling selalu punya seseorang yang disebut gegedhug atau gembong maling.
Kalau kisah kampung di timur laut Yogyakarta itu dibawa ke panggung Indonesia, maka tidak berlebihan untuk menyebutkan negeri ini juga sebagai “Kampung Maling Skala Raksasa”. Sebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Catat saja, sudah bertahun-tahun dunia memberi predikat kepada Indonesia sebagai negara paling korup di Asia, bahkan termasuk satu dari empat negara terkorup di dunia. Predikat memalukan itu hingga sekarang belum terhapuskan.

Tak Merasa Bersalah
Korupsi di Indonesia sudah massal dan semakin berakar pada lemahnya mekanisme kontrol, baik dari pemerintah maupun masyarakat umum. Atau seperti kata Haryatmoko (2002) -pengajar program pascasarjana filsafat di UI, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Sanata Dharma Yogya– korupsi di negeri ini sudah pada tahap sangat meresahkan. Para koruptor tidak lagi merasa bersalah karena banyak orang melakukannya. Berarti suatu yang biasa. Kebiasaan itu menciptakan hak. Itu berarti kalau satu orang dituntut, semua harus bertanggung jawab. Kalau semua bertanggung jawab, sebenarnya sama dengan tidak ada yang bertanggung jawab.
Juga seperti penjarahan atau pembunuhan. Kalau dilakukan banyak orang, maka seakan sah karena dilakukan beramai-ramai. Jika yang melakukannya secara beramai-ramai, seakan sama dengan untuk kepentingan umum. Kalau bersentuhan dengan kepentingan umum, maka jelas tidak ada lagi yang berani menantangnya.
Pengacara terkemuka Indonesia, Adnan Buyung Nasution (Jawa Pos, 17/2/06) melihat salah satu penyebab tumbuh-suburnya korupsi di negeri ini adalah karena semakin merosotnya moralitas para penegak hukumnya. Mereka itu apakah polisi, advokat, jaksa, hakim, termasuk panitera serta staf di pengadilan. Banyak di antara mereka yang tidak bisa lepas dari praktik korupsi dan mafia peradilan.
Diakuinya, saat ini sudah sangat sulit mencari aparat penegak hukum yang benar-benar bersih. Sistem peradilan kita sudah sangat bobrok, terlihat dari mencuatnya sejumlah kasus yang terkait aparat penegak hukum.
Kembali ke topik “memerangi Korupsi”, pertanyaannya ialah dari mana memulainya? Romo Aloysius Budi Purnomo meyarankan agar memulainya dari diri sendiri. Cendekiawan Muslim, Nurcholis Madjid (alm) ketika masih menjadi Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta (2002), pernah menyarankan sebuah lompatan, yakni dengan menampilkan sosok orang yang punya visi dan kuat. Yang dimaksud di sini adalah sosok yang otentik, yakni sosok yang cara hidupnya selalu mencerminkan apa yang ia serukan. Keotentikan itu menjadi sumber wibawa dan energi yang tidak saja bagi dirinya, tetapi juga orng-orang di sekelilingnya.
Agus Nur Cahyo -Staf redaksi LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga (Jawa Pos, 14/2) berpendapat, untuk memberantas korupsi di Indonesia memerlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah. Ia bahkan menyarankan agar Indonesia belajar dari China. Negeri China bertahun-tahun dalam belenggu korupsi. Sejak tahun 1998 dengan agenda khusus melibas korupsi. Upaya penindakannya tidak main-main. Sejak 2001 tercatat sekitar 4.000 orang yang ditembaki di depan umum karena korupsi. Bahkan selama kuartal pertama 2003 tercatat 33.761 anggota polisi dipecat karena menerima suap atau kasus lainnya. Jika Indonesia seperti Cina maka usaha peti mati dipastikan akan berkembang pesat karena begitu meluasnya korupsi di negeri ini.
Bahkan ada juga yang menyarankan bangsa ini sejak usia sekolah dasar didorong dan dirangsang agar akrab dengan dunia sastra. Seperti kata Ignas Kleden (Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, 2004), keakraban dengan dunia sastra pada saatnya membuat seseorang justru meremehkan hal-hal yang dianggap begitu penting oleh kebanyakan orang, seperti uang, popularitas, status, dan juga jabatan. Justru sebaliknya, alkitab dengan sastra diyakini membuat seseorang semakin menyadari betapa pentingnya hal-hal kecil dan indah yang tenggelam dalam gemuruh rutinitas.
Dari Atas
Upaya memerangi korupsi di Indonesia, mirip ilustrasi harapan dan upaya kaum ibu rumah tangga mendapatkan ikan segar di pasar atau di tempat lainnya untuk konsumsi di rumah. Untuk itu sangat dituntut kecermatan Sang Ibu memilih ikan yang diharapkan. Ikan yang segar dilihat dari bagian kepalanya. Jika kepala ikan sudah kelihatan sembab dan kebiruan terutama di bagian mata dan insangnya, maka sebenarnya adalah indikasi bahwa bagian tubuh ikan sudah mulai membusuk. Dengan kata lain, jika bagian kepala masih segar, maka segar pula bagian tubuhnya. Intinya, pemberantasan korupsi haruslah dari atas. Mereka adalah para pemimpin atau elit bangsa tingkat nasional hingga daerah. Juga jajaran elit politik dan terutama aparat penegak hukumnya.
Karena korupsi sudah massal, maka perlu penataan dan penyadaran kembali sikap hidup dengan mengedepankan nilai luhur seperti kerja keras, kejujuran, keikhlasan dan keterbukaan. Keserakahan mesti dilawan dengan keugaharian dan keikhlasan. Penipuan dan kebohongan mesti diretas dengan kejujuran. Lalu ketertutupan mesti dikalahkan dengan keterbukaan. Kesemuanya hanya akan efektif jika dimulai dari atas.
Namun jika sebutan Indonesia sebagai Kampung Maling Skala Raksasa tetap saja tidak tergusur atau malah terus tumbuh subur, maka barang kali layak saja untuk sekalian mengorbitkan gembong maling atau koruptor kakap sebagai presiden kita. Dengan demikian dunia pasti bertepuk tangan dan kagum karena Indonesia secara tidak langsung mengakui dirinya bangsa paling korup di dunia.
*) Wartawan, Kepala Biro KOMPAS Bali-Nusra, tinggal di Denpasar, saya merasa tertarik mempublikasikan langsung tulisan Om Frans Sarong karena pemikiran beliau terus berkembang. Selain itu, di Denpasar, Om Frans menjadi teladan dalam dunia tulis-menulis, figur yang hangat, santung, akrabn dan tegas serta disiplin dalam memenuhi janji.

KPO/EDISI 101 MARET 2006

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :