Senin, Februari 04, 2008

Beny Uleander

Biofuel: Antroposentris Vs Ekosentris

Penggunaan energi terbarukan yang berasal dari bahan bakar nabati (biofuel) sangat terlambat dikembangkan di Indonesia. Biofuel adalah hasil pemanfaatan energi biomassa yang dikonversi menjadi bahan bakar. Biofuel bisa diproduksi dari kelapa sawit, tebu, jagung, singkong, tanaman jarak dan beberapa tanaman lainnya. Biofuel terbagi dalam tiga jenis: bioethanol, biodiesel, dan biogas.
Negara-negara maju dan berkembang lainnya sudah memproduksi energi biofuel seperti Amerika, Brasil, Swedia, Jerman, Australia, Cina, dan Ghana untuk menunjang aktivitas ekonominya. Brazil telah menggantikan bahan bakar untuk transportasi dengan ethanol dari bahan dasar tebu. Sedangkan Amerika memproduksi ethanol dengan menggunakan bahan baku jagung.
Indonesia memang selalu tertinggal dalam mengembangkan dan mengadopsi sebuah teknologi baru terutama di bidang pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam. Anehnya, sejak program pengembangan biofuel baru ditetapkan tahun 2006, gemanya kini melemah dan terkesan menghilang. Ada apa? Padahal para peneliti menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan energi biofuel yang menyerap tenaga kerja dan menunjang perekonomian nasional. Selain itu masih terdapat ribuan hektar lahan tidur yang bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Terkait glamoritas wacana bioenergi, ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan matang oleh pemerintah dan sektor swasta yang ingin berinvestasi mengembangkan energi terbarukan dari minyak nabati. Perlu dikaji titik-titik matra antroposentris vs ekosentris pengembangan biofuel agar kebijakan yang berjalan kelak tidak tambal sulam. Pemilihan energi alternatif bertolak dari kesadaran ekologis atau lahir dari rasa cemas (manusia) akan keberlangsungan roda ekonomi.
Pertama, kita perlu memperhitungkan aspek ketersediaan bahan baku biofuel. Sebab akan terjadi tarik-menarik prioritas pemenuhan pasokan bahan baku seperti jagung, kedelai dan CPO/kelapa sawit untuk kepentingan pangan atau industri biofuel. Saat ini harga kedelai meningkat karena kedelai impor asal Brasil sebagian digunakan untuk menghasilkan bioethanol. Demikian juga harga minyak goreng akan terus naik karena sawit juga menjadi bahan baku industri biofuel.
Kedua, kebutuhan energi biofuel sangat besar karena digunakan setiap hari. Tentu saja kapasitas produksinya berskala besar dengan suplai bahan mentah yang sangat banyak. Itu berarti dibutuhkan areal penanaman bahan baku yang sangat luas. Padahal masa panen jarak, misalnya, hanya dua kali dalam setahun. Bila hal ini tidak diperhitungkan, maka akan terjadi penebangan hutan dan alihfungsi lahan pertanian untuk tanaman industri biofuel. Bukankah akan terjadi krisis pangan dan kehancuran ekologi bila hal ini tidak dikelola dengan bijak? Biofuel hanya membantu kita dalam hal pengadaan bahan bakar alternatif, tapi tetap tidak bisa memberikan solusi perbaikan kualitas lingkungan secara signifikan.
Ketiga, ada terobosan teranyar biofuel generasi kedua. Uniknya, bahan baku berasal dari limbah cair, residu, serta tanaman nonpangan. Tentu saja pemanfaatan limbah cair “perkotaan” ini sesuai dengan kondisi riil Indonesia. Selain itu tidak mengganggu tanaman tebu, jagung, kedelai, minyak sawit, ataupun bahan baku yang membutuhkan area lahan seperti biji jarak pagar. Teknologi generasi kedua biofuel ini memadukan teori biologi, kimia, maupun fisika mengolah limbah cair dari aktivitas rumah tangga, industri, perdagangan, pertanian, maupun fasilitas umum seperti rumah sakit menjadi energi alternatif yang ramah lingkungan.
Bahkan gas metana yang berasal dari sampah bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan hidrogen sebagai bahan bakar bio-fuel cell. Gas metana begitu melimpah di sekitar kita mengingat cara pembuangan sampah banyak memakai sistem open dumping. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tidak perlu lagi mengimpor gas metana untuk keperluan produksi bahan bakar hidrogen seperti yang dilakukan selama ini.
Kita perlu bertanya apakah anjuran pemerintah bagi rakyat untuk menanam jarak hanya untuk memenuhi permintaan industri biofuel Eropa? Hal ini beralasan mengingat parlemen Eropa tengah menggodok UU yang akan membebaskan pajak masuk bagi bahan baku nabati. Sebaliknya, bahan baku minyak bumi akan dikenai pajak 70 persen.
Pada konferensi dunia Biomassa untuk Energi dan Perubahan Cuaca II di Roma, tahun 2003, Volkswagen-Exxon Mobile menyebutkan bahwa berdasarkan jenis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia akan dihadapkan pada empat generasi bahan bakar transportasi. Generasi Pertama, merupakan generasi bahan bakar minyak (BBM) berbasis petroleum (minyak bumi) yang diperkirakan akan mendominasi pasar hingga tahun 2010. Generasi Kedua, merupakan generasi BBM mix atau campuran antara BBM terbarukan dan BBM petroleum yang saat ini telah cukup banyak digunakan, dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai dengan komersialisasi biodiesel dan bioethanol.
Generasi Ketiga, merupakan generasi BBM terbarukan (advance synthetic fuel), seperti flash pyrolisis oil (bio oil), Fischer Tropsch (FT) methanol, dan hydro thermal upgrading oil (HTU). Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran tahun 2050-2100. Generasi Keempat, merupakan generasi hidrogen. Pada tahun 2010, setelah minyak bumi benar-benar habis, hidrogen diprediksikan akan menjadi andalan, mengingat bahan ini memiliki nilai kalori yang tertinggi (143 MJ/kg) di antara sumber energi lainnya. Nilai kalori satu liter hidrogen setara dengan empat kali nilai kalori lima liter bensin atau empat liter diesel (solar). Semoga pemerintah Indonesia bijak membuat deregulasi yang mendorong tercapainya komersialisasi biofuel tanpa merusak hutan dan lingkungan sekitar. (Beny Uleander/KPO EDISI 145/FEBRUARI 2008)
Keterangan foto: Budidaya tanaman jarah sudah mulai dikembangkan di Nusa Penida, Klungkung, Bali. Di pulau berstatus kecamatan tersebut juga telah dibangun pembangkit listrik tenaga bayu dan surya.
Akankah penghuni bumi ini dengan aneka gaya hidup dalam glamour otomotif bersedia memanfaatkan kendaraan untuk menunjang aktivitas? Tidak gampang, dunia otomotif telah menjelma menjadi ruang rekreasi dan sketsa pencitraan gaya hidup.

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :