Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Namaku Cassandra

Hari itu, Selasa sore (10/7) 2007, sebuah kebanggaan yang sudah lama pudar kembali bercahaya di langit-langit Kota Jakarta. Gairah nasionalisme tumpah ruah dari Stadion Gelora Bung Karno mengalir sampai pelosok-pelosok desa. Pekik gempita 70.000 suporter membahana pada menit 64 saat Bambang Pamungkas menjadi pahlawan penentu kemenangan tim Merah Putih atas Bahrain. Kemenangan 2-1 memang fantastis dan istimewa. Semua orang mafhum, kualitas sepak bola tanah air kita masih di bawah standar dan miskin pengalaman internasional.
Sukses memetik 3 poin, menyalakan optimisme yang sudah lama padam. Ternyata kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Selama ini, mental sebagian besar anak bangsa terjebak dalam rasa minder akut. Tenaga kita adalah mesin-mesin manual di perkebunan-perkebunan kelapa sawit Malaysia. Ibu-ibu kita adalah jongos-jongos lugu di Jazirah Arab.
Budayawan YB Mangunwijaya rajin memprodusir makna kebangkitan generasi baru. Ia tidak mau masuk dalam kerangkeng pesimistik bahwa bahwa orang Indonesia ditakdirkan menjadi manusia kelas dua dalam persaingan global. Mangunwijya berupaya menatap jauh akar-akar jiwa minder yang tersemai di rahim putra-putri Pertiwi. Ia melihat kultur penjajahan Belanda yang feodalistik dan monopolistik telah menjadi roh gerak pertumbuhan bangsa ini. Meski penjajahan telah berakhir secara fisik, namun insting dan nafsu menaklukkan plus birahi eksploitasi masih bersemayam subur di hati anak-anak inlander. Apa jadinya? Rakyat miskin papa kembali menjadi tungganan elite borjuis modern. Pelayanan birokrasi menjadi sistem yang menindas kreatifitas dan inisiatif masyarakat dalam menapak hidup mandiri. Wajar bila aturan biroktratis banyak yang tidak bermuara pada pemberdayaan masyarakat, apalagi menjurus ke terminal kesejahteraan rakyat (bonum commune).
Jurnalis Mochtar Lubis pernah dilanda suatu kerinduan mahadahsyat untuk melihat wajah anak Nusantara era Majapahit dan Sriwijaya yang telah lenyap dalam arus peradaban. “Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?” Itulah pelbagai pertanyaan-pembuka yang dilontarkan oleh budayawan-wartawan senior Mochtar Lubis dalam ceramah yang sempat menimbulkan kontroversi seru di kalangan masyarakat kita. Beberapa nama menanggapi ceramahnya tersebut, seperti almarhum Margono Djojohadikusumo --ayah almarhum begawan ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah.
Dalam refleksi panjang ihwal manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyampaikan secara terbuka, terus terang, dan tanpa tedeng aling-aling meski menyulut bara kontroversi.
Menurut Mochtar, ada enam ciri negatif manusia Indonesia. Pertama, munafik --berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Ciri ini merupakan ciri utama manusia Indonesia yang telah ada sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Menurut Mochtar, sifat munafik ini bersumber dari sistem feodal kita di masa lampau, yang menekan dan menindas segala inisiatif rakyat.
Ciri kedua, manusia Indonesia enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya. “Bukan saya” adalah jawaban untuk mengelak dari tanggung jawab itu dan kerap dilontarkan oleh pejabat dan masyarakat kita. Sangat sedikit pemimpin kita yang tulus-ikhlas menyatakan bertanggung jawab atas segala tindakan, pernyataan, dan kebijakannya. Belakangan, ada jurus baru untuk mengelak dari tanggung jawab, yaitu menyalahkan pers sebagai “salah kutip” atau “tukang pelintir”.
Ciri ketiga, manusia Indonesia memiliki jiwa feodal. Mochtar mencatat, kendati tujuan proklamasi kemerdekaan adalah untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru kian berkembang dalam diri masyarakat Indonesia. Sikap-sikap ini, menurut Mochtar, dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian. Dalam hubungan yang timpang ini sikap asal bapak senang (ABS) tumbuh subur. Akibatnya tak ada dialektika dan pikiran baru yang berkembang. Hubungan (komunikasi) antara penguasa dengan rakyat berjalan satu arah.
Ciri keempat, manusia Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau takhayul, klenik, dan mistik (aliran kebatinan). Manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, patung, keris, kuburan, memiliki kekuatan ghaib, keramat dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan semua itu. Untuk menyenangkan dan tak membuat mereka murka, maka kita harus memberi sesajen, meruwat, kuburan disiram kembang, dan meminta berkah kepada mereka. Selain itu, manusia Indonesia juga percaya dengan hari atau bulan baik atau sial.
Ciri kelima manusia Indonesia adalah artistik. Manusia Indonesia lebih banyak hidup dengan mengandalkan naluri (insting), perasaan, atau perasaan sensualnya. Dari sini lahirlah berbagai kerajinan tangan seperti tenun, batik, patung, ukiran kayu, dan semacamnya. Selain itu, lahirlah musik, seni tari, folklore, yang semua itu, menurut Mochtar, merupakan koleksi yang dibanggakan dan digemari. Bagi Mochtar, inilah sisi positif yang paling menarik dan mempesonakan yang bisa menjadi sumber dan tumpuan harapan bagi masa depan manusia Indonesia.
Ciri keenam, manusia Indonesia berwatak lemah, dan kurang kuat memegang atau memperjuangkan keyakinannya. Bahkan demi untuk survive, seseorang rela mengorbankan idealisme atau kredibilitas intelektualnya. Munculnya istilah “pelacuran” intelektual di kalangan masyarakat akademis menunjukkan sisi gelap watak manusia Indonesia tersebut.
Pesona steoretip yang ditebar Mochtar Lubis menempatkan dirinya sebagai Cassandra modern. Dalam mitologi Yunani kuno, Cassandra adalah putri raja Priam dan Hecuba dari Kerajaan Troya. Cassandra dianugerahi keistimewaan oleh Dewa Appolo sekaligus kutuk. Ia bisa meramal kejadian di masa depan dan melihat peristiwa di masa lalu. Tapi, kutukkannya yaitu tidak ada seorangpun yang percaya pada apa yang dikatakan Cassandra.
Lalu, bagaimana kita sebagai manusia Indonesia, mencermati berbagai ciri buruk di atas? Saatnya kita menjejak dialog otentik ala Martin Buber (1878-165) dalam bingkai i-thou (subyek-subyek). Manusia Indonesia adalah subyek bukan obyek. Sementereng apapun pembangunan harus berbaju orientasi pemanusiaan (human being). Ataukah, benar pula prediksi Eric Fromm bahwa ciri relasi manusia post-modern i-it, yaitu mengeksploitasi ide, ketulusan,pengorbanan untuk meretas pembangunan prestise-being. Semoga kita “bebas dari kutukan” Appolo; menjadi orang yang percaya bahwa begitulah isi jiwa manusia Indonesia yang harus diubah. (Beny Uleander/KPO EDISI 132)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :