Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Rindu Suara Guru Bangsa

Hidup tanpa suara, mungkinkah? Manusia hidup tanpa kuping alias budek bin tuli masih mungkin. Namun hidup tanpa suara adalah sebuah kematian identitas, keruntuhan komunitas, kehancuran bangsa dan kemunduruan peradaban. Suara bukan sebatas bunyi, denting nada musik, lengkingan tangis bayi, desing bising raungan mesin Harley Davidson, ataupun lolongan panjang anjing hutan di tengah malam sepi. Manusia yang tuli tetap akan mendengar ‘bisikan suara’ yang menggema lembut di telinga batinnya. Itulah suara kehidupan.
Suara kehidupan adalah daya pertumbuhan yang menyertai jejak hidup manusia. Suara ini adalah serangkum kesadaran untuk menjalani semusim kehidupan. Tanpa suara kehidupan, manusia kehilangan arah hidup. Mereka yang bunuh diri karena terbelit kegelisahan dan kecemasan adalah mereka yang tidak lagi mendengar suara kehidupan berdentang di telinga batinnya. Memang suara kehidupan adalah milik manusia, sebuah anugerah dan harta karun kehidupan yang sering dilupakan dan terkubur sepi dalam tidur dogmatis.
Suara kehidupan adalah sebuah gerak pertumbuhan kejiwaan yang kadang bersifat menyapa, menghibur, menguatkan, menyadarkan dan bisa juga membawa manusia pada sebuah ruang keheningan untuk diam, tafakur dan siap mendengar Sabda Alam. Manusia prasejarah, klasik, modern, post modern, global atau hiperglobal tak pernah bisa lepas dari suara kehidupan. Itulah sebabnya, mengapa demi mendengarkan suara kehidupan dalam jejaring sosial, lahir para nabi, guru, rohaniwan/wati untuk menyebut kaum spiritualis, rahib dan pertapa. Suara kehidupan itu begitu agung, suci, mulia dan memiliki daya hidup. Kita pun sudah terbiasa atau pun pernah sekurang-kurangnya merasa disapa oleh suara hening alam, sapaan memanggil dari naas kitab-kitab suci, tergerak oleh tulisan-tulisan sastra di papirus atau lontar, terinspirasi oleh selarik pantun dan puisi yang indah menakjubkan.
Dari mana asal suara kehidupan itu? Suara kehidupan bisa datang dari langit dan bisa pula tumbuh mekar dari rahim bumi. Suara langit adalah suara transenden yang ‘dianugerahkan’ kepada seorang atau sekelompok nabi dalam sebuah komunitas, lalu disebarkan kepada komunitas masyarakat lainnya sebagai sebuah ajaran, sebuah agama, sebuah keyakinan transendental.
Suara kehidupan yang berasal dari bawah; bumi adalah hasil pergumulan batin manusia sepanjang sejarah peradaban dalam mencari yang baik, benar dan indah. Itulah kesadaran imanensi yang tidak bertentangan dengan suara dari langit. Keduanya saling melengkapi. Itulah sebabnya, kaum spiritualis berani mengatakan bahwa kebenaran ada dalam lubuk hati yang jernih ikhlas dan polos bening. Jauh lebih berani lagi, para rahib dan pecinta keheningan berujar bahwa Tuhan bisa ditemukan dalam lubuk hati sebagai guru, ayah-ibu ataupun sahabat yang mencintai kita. Ah, memang terasa indah akhir dari mencari suara kehidupan.
Bangsa Indonesia saat ini amat membutuhkan ‘nabi-nabi baru’; guru-guru bangsa baru yang membawa suara pencerahan tentang kesalahan mengurus bangsa saat ini. Kita membutuhkan suara-suara yang tidak sekedar suara formal sebagai wakil rakyat. Sebab, kini suara rakyat sudah kian kabur, abu-abu dan menjelma menjadi suara kelompok. Bangsa ini pernah dan masih memiliki putra-putra bangsa yang fasih membawa dan memperdengarkan suara kehidupan. Mereka menjadi pusat perhatian di kala revolusi menjadi barang dagangan, di saat idealisme mulai kehilangan makna dan pada waktu suara jutaan rakyat adalah komoditi.
Kenapa bangsa ini merindu suara profetis ‘nabi’ baru? Karena kaum cerdik pandai yang kita harapkan menjadi pembawa suara kehidupan ternyata hanya seorang jago membanyol. Mereka yang pintar dan terpelajar ternyata gagal menciptakan lapangan pekerjaan baru. Malahan orang pintar sering beramtem berebutan lahan usaha yang sama. Banyak orang mati kelaparan justru di samping makanan. Orang jujur hidup prihatin. Banyak orang berpangkat justru mengingkari tugas dan tanggungjawabnya. Orang lupa asal usul dan hakikat hidupnya. Itulah sebabnya kita sebagai bangsa kehausan akan suara-suara bijaksana yang mampu menyatukan negeri yang majemuk dan multikultural ini.
‘Nabi’ ataupun guru baru bukanlah manusia setengah dewa, tapi manusia yang berani untuk bertindak tegas dan berkata tidak kepada hal apa saja yang membuat harga diri bangsa merosot, rakyat menjadi menderita dalam kemiskinan dan yang membuat pengangguran kian meningkat. Rakyat yang kebingungan di tengah jalan mendamba suara-suara pencerah yang membuat kita berani bangkit menjadi bangsa yang besar. Amat menyesakkan hati, di saat yang sama ‘rakyat yang kebingungan’ adalah juga ‘rakyat yang dimanfaatkan’. Meski begitu, kita tetap terhibur bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang bisa mendengar suara kehidupan dari langit… (Beny Uleander/KPO EDISI 131)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :