Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Make-Up Pembangunan

Usia 62 tahun perjalanan negeri ini dalam perspektif peradaban bangsa modern masih tergolong bangsa yang muda belia. Belum matang ikhwal berdemokrasi dan masih hijau dalam meretas evolusi mental menjadi anak bangsa yang tangguh dan berprestasi. Seperti halnya awal reformasi yang membawa eforia, demikian pula kemerdekaan seolah menjadikan kita serba baru dalam penampilan di bidang pemerintahan, sistem pendidikan, hukum dan praktik ekonomi.
Padahal di tengah ‘kebaruan’ itu terselip aroma ‘make-up’ di segala bidang kehidupan. Romantisme perjuangan Generasi 45 pun menyelip indah dalam kurikulum pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi. Betapa keroposnya generasi muda memahami semangat nasionalisme dari kegiatan baris-berbaris. Di era Orde Baru, begitu lugunya penduduk Jakarta sampai pelosok desa mewaspadai PKI dan antek-anteknya. Sementara mereka diperintah oleh rezim yang mempraktikkan secara nyata aksi-aksi yang lebih biadab dari kaum komunis. Dan, di zaman Reformasi ini, kita menelan secara mentah-mentah gaya hidup kapitalis-konsumtif dengan mengeksploitasi alam habis-habisan.
Kini negeri ini mulai panen bencana demi bencana karena birokrat yang bermental korup. Semua pelanggaran dibiarkan asalkan menguntungkan kantong mereka saat ini. Yang penting bisa bangun rumah gaya Spanyol, naik Mercy, parkir Harley-Davidson di garasi rumah, dan plesir dengan uang Negara ke Singapura. Itulah sejarah kita yang bangga dengan make-up pembangunan sehingga sampai detik ini, pemerintah (Negara) gagal menjamin hak-hak dasar warganya seperti: pendidikan yang murah, pelayanan kesehatan murah, lapangan pekerjaan, dan berbagai layanan sosial lainnya.
Kegagalan ini karena negara tidak memiliki konsep akan identitas dirinya yang panjang jauh sebelum kemerdekaan, kita mengubur dalam-dalam kejayaan ‘peradaban Sindhu’ yang melahirkan Indonesia. Kita lupa bahwa nenek-moyang kita hidup dalam satu peradaban. Agama dan identitas sosial kita jadikan sebagai pilar-pilar untuk pembangunan bangsa ini. Akibatnya, penduduk negeri ini terus bergumul-bertengkar-berkelahi bodoh dalam dikotomi mayoritas-minoritas, kota-desa, Jawa-non Jawa, pribumi-non pribumi, modern-primitif, dan selaksa dikotomi yang membuat kerdil identitas ‘peradaban Sindhu’. Keindonesiaan pun kian kabur.
Bangsa ini sebenarnya mempunyai sejarah cemerlang yang amat panjang dan membanggakan. Hanya selama ini, penguasa lintas rezim sukses mendoktrin ‘rasa kebangsaan’ yang dimulai dari fase pergerakan kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Kemerdekaan dijadikan garis start untuk merajut keindonesiaan. Kita (penguasa lintas rezim) lupa bahwa keindonesiaan bukanlah sebuah akhir tetapi sebuah proses. Tentunya keindonesiaan adalah proses historis yang dibangun di atas pilar-pilar ragam kerajaan, suku, dan adat-istiadat di Persada Nusantara.
Amatlah naïf bila generasi mudah terus didikte untuk melihat keindonesiaan yang dimulai dengan nama besar Pangeran Diponegoro sampai Soekarno. Jauh sebelumnya, di tengah rumpun Melayu, berdiri kerajaan-kerajaan besar di bagian timur dan barat Indonesia. Kerajaan Melayu Jambi, Tulang Bawang, Srivijaya, Keritang di Sumatera. Ada kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda Galuh, Kalingga, Mataram Kuno (Hindu), Medang, Kahuripan, Kediri, Kanjuruhan, Janggala, Majapahit, Pajajaran, Blambangan, Sailendra, Sanjaya di Jawa. Di Borneo (Kalimantan) ada kerajaan Kutai, Po Ni, Banjar, Negara Daha, Negara Dipa, Tanjung Puri, Nan Sarunai dan kerajaan Kuripan. Belum terhitung kerajaan-kerajaan kecil di Bali, Sulawesi, Papua, Ternate, Tidore, Bima, Flores, dan Timor Barat.
Mereka memiliki tata kenegaraan sederhana dengan seorang pemimpin (raja kecil), struktur masyarakat, tradisi, simbol-simbol sosial, aturan-aturan normatif dan nilai-nilai budaya serta paradigma berpikir soal identitas diri di tengah keragaman. Mereka paham akan cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah saling membangun interaksi, perdagangan dan hubungan diplomatik serta kerja sama di bidang tertentu. Bercermin dari kekayaan masa lalu, kita seharusnya sadar bahwa keindonesiaan adalah sebuah identitas historis. Kita berasal dari satu sumber peradaban, satu leluhur. Namun mengapa kini hanya karena agama dan perbedaan status ekonomi dan politik, kita saling memfitnah, menindas dan menjajah? Untuk apa kita menjadi negera merdeka tetapi miskin identitas diri?
Pertanyaan di atas adalah desakan kegelisahan melihat konsep-konsep pembangunan yang keliru dan naïf. Anak-anak bangsa mengukur keberhasilan dari sejumlah harta yang dapat dikoleksi. Kesuksesan ditimbang dari jabatan dan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dimiliki. Padahal sejatinya, keberhasilan adalah sejauh mana minat anak-anak bangsa untuk terus belajar mengembangkan diri dan keahlian di bidang tertentu. Sedangkan tolok-ukur kesuksesan bukanlah jabatan tetapi produk yang bisa diciptakan, meski sederhana tapi bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Paradigma inilah yang hilang dari khasanah pemikiran anak bangsa yang terjerumus dalam mental instan.
Kita mewarisi sebuah ‘masa lampau tradisi’ yang cemerlang dan penuh kebanggaan. Tinggal sekarang, kita belajar membangun sebuah negara bangsa dengan mengutamakan karya (produk barang dan jasa) bukan dengan mengedepankan perbedaan agama, suku dan budaya. Semoga. (Beny Uleander/KPO EDISI 133)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :