Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Banjir Darah

Negeri ini banjir darah, Tuan! Pertaruhan nyawa menjadi ajang kebanggaan yang sangat ekspresif, komunal sekaligus individual di jaman revolusi kemerdekaan. Ketakutan lenyap, sikap kecut sirna, jiwa pengecut menguap dan batin gemetar haru di hadapan kematian. Gemercik darah untuk bumi pertiwi seakan setua padang gurun dan semuda embun bagi. Darah yang tercecer menjadi sumber inspirasi dan itikad kuat menata identitas baru di sebuah planet bumi dan peta dunia. Sungguh heroik bila mengenang dalam-dalam pertaruhan nyawa putera/i bangsa ini demi sebuah hasrat untuk bebas mandiri di kampung halaman; tanah kelahiran.
Negeri ini bau anyir darah, Bang! Berlusin-lusin anak bangsa ‘dipaksa’ naik kereta kematian karena perbedaan ideologi, di periode ‘pengganyangan PKI’. Tanah dari Sabang sampai Merauke menjadi ladang pembantaian. Di atas lumuran darah, Rezim Orde Baru menegakkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Bahasa Indonesia yang kaya pemaknaan akan realitas dibuat versi baru: Ejaan Yang Disempurna. Rezim Orba memang sukses menyempurnakan semua sistem ketatanegaraan, ekonomi, dan sosial budaya. Semua serba baru di atas banjir darah.
Negeri ini banjir darah, Pak! Anak-anak muda dengan jaket ‘kampus-idealisme’ mati berserak dirobek timah panas. Kaum muda militan yang gemar berorasi di ranah aktivis tiba-tiba hilang ditelan bumi hingga kini. Darah mereka sudah tertumpah atau tidak, kita tidak tahu. Mungkinkah suatu saat Wiji Thukul akan kembali membaca sajak-sajaknya dengan satu kata: LAWAN!!!
Negeri ini banjir darah, Bu! Perang dan amuk massal mewarnai kematian sia-sia penghuni Nusantara karena terlahir berbeda dalam etnis, agama dan golongan. Orang Maluku yang selalu tampil elegan dalam khasanah musikal mendendangkan lagu-lagu pembantaian. Syukur, semuanya tinggal kenangan pahit. Dayak dan Madura berseteru penuh dendam. Mudah-mudahan kisah traumatis tersebut tidak terulang lagi. Memang masih banyak menyebut ‘litani’ konflik demi konflik yang tak berujung di negeri ini.
Negeri ini banjir darah, Sobat! Bali menangis duka. Tidak ada aksi bunuh-membunuh, tapi ada parade pembantaian dan teror yang amat menakutkan. Cukup sudah darah-darah tak berdosa menggenangi Pulau Dewata –tempat sisa-sisa peradaban Sindhu; koleksi identitas masa lalu kita yang masih terpelihara apik.
Negeri ini banjir darah, Kang! Kembali ribuan jiwa direnggut oleh alam yang ‘mendadak’ tidak ramah terhadap penduduk negeri ini. Pantai ‘telanjang’ tanpa hutan bakau diterjang tsunami. Rumah-rumah yang dibangun dengan investasi keringat runtuh berantakan digoncang gempa. Kampung-kampung di lereng bukit digilas tanah longsor dan banjir. Alam yang tidak bersahabat ataukah kita yang telah melukai alam? Atau cara alam menegur kita dengan lembut?
Negeri ini banjir darah, Dinda! Disertai air mata duka. Di layar televisi yang ‘ngotot’, kita melihat evakuasi jasad suami, isteri, anak, paman, ayah dan kakek kita yang tenggelam di laut lepas, mati tertindis gerbong kereta api dan hangus terpanggang di kabin pesawat.
Apakah darah-darah yang mengalir dari jasad-jasad anak-anak bangsa serta merta menyuburkan bumi pertiwi? Kepada siapa kita akan mendapat jawaban pasti akan kegelisahan yang merayap di kalbu kita. Sungguh kehidupan yang penuh haru biru di Republik ini. Kemerdekaan dimulai dengan tetesan darah dan negeri yang merdeka ini menandai babak-babak pembangunan dengan genangan darah putra/i-nya di mana-mana. Lantas kita pun tergoda untuk bertanya dengan rasa hati remuk redam, masih berharga nyawa manusia di negeri ini? Kalau manusia berkorban nyawa untuk kejayaan negerinya adalah kisah ksatria yang ditulis dengan tinta emas. Namun, nyawa-nyawa yang digadaikan untuk kejayaan pembangunan dan perjalanan negeri ini menjadi tanda (alarm merah) negeri ini sepenuhnya belum merdeka di usia ke-62 tahun.
Pembangunan adalah sebuah proses yang panjang. Demikian pula menjadi sebuah bangsa bukanlah sebuah kata akhir. Di peta dunia setiap tahun dan dasawarsa selalu tersedia ruang untuk mencatat kelahiran negara baru dan akhir suatu negara. Karena itulah, kebangsaan adalah sebuah dinamika peradaban dan proyek bersama sepanjang rakyat dan pemerintah satu kata, satu hati dan satu visi. Tatkala kita melihat mutu pendidikan nasional yang amburadul, pengangguran yang kian getir dan kemiskinan yang mencemaskan di panggung negeri ini, masih beranikah kita berucap lantang: rakyat dan pemerintah satu hati? Yang terjadi, pundi-pundi penguasa dan elit (bangsawan politik) tambah tebal. Di gubuk-gubuk reyot, periuk nasi penuh ‘air tajen’. Negeri ini belum merdeka. Kita dijajah oleh “Belanda-Kapitalis dan Jepang-Hedonis”. Itulah penjajah baru kita. Siapakah yang masih sudi mengalirkan darahnya untuk sebuah kemerdekaan mental dan budaya??? Pahlawan baru itu adalah ANDA! Selamat berjuang! MERDEKA! (Beny Uleander/KPO EDISI 134)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :