Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Visi Baru Merayakan Hidup

Tabrakan ide dan konsep di setiap jengkal kepentingan sesaat adalah latar kelam proses pembangunan di negeri ini. Filosofi tujuan pembangunan sejatinya untuk “menggampangkan” hidup tahap demi tahap. Seperti kayu api diganti kompor minyak tanah. Lalu meningkat, ibu-ibu rumah tangga mulai memakai kompor gas elpiji. Perjalanan dengan kereta kuda diganti dengan pesawat Garuda. Lebih cepat, efektif dan efisien dalam waktu dan biaya.
Sayang seribu sayang, arah dan rel pembangunan kita kerap terjebak dalam arus dehumanisasi. Manusia pun dikorbankan demi pembangunan. Lalu secara amat biasa kita mengabaikan jerit tangis penduduk miskin dari Sabang sampai Merauke. Kita merasa pantas kaum pengemis dan gelandang digiring Satpol PP untuk ‘dibina’ di aula dinas sosial. Sehari kemudian, mereka kembali menggantungkan hidup berdasarkan belaskasihan orang lain. Memangkah nasib mereka lagi tidak beruntung? Bahkan kadang dianggap sebagai takdir terberi!?
Kasus lumpur Lapindo seharusnya menjadi momen strategis merumuskan aplikasi riil prinsip corporate social responsibility (CSR) perusahaan. Apa yang terjadi? Warga korban lumpur Lapindo seperti digiring menuju barak-barak frustrasi. Mereka dibiarkan menikmati marah dan kesal. Lalu depresi adalah hasil akhir yang akut, bila ketahanan psikis lemah lunglai. Pada akhirnya, mereka menjadi korban yang apatis dan menerima tragedi sebagai garis nasib. Roda jaman menggilas hidup mereka. Tak ada yang menolong selain Dia di sana. Dialah Tuhan. Itu jawaban getir dalam larik lagu Ebiet G Ade.
Siapa yang peduli? Bencana lumpur menjadi komoditas politik. Wakil rakyat atau lebih tepat bangsawan politik justru berlomba-lomba menunjukan peduli. Ingin pamer bahwa merekalah sesungguhnya wakil yang paling peka dengan duka derita rakyat. Tapi, tidak ada tindakan strategis dan preventif apalagi langkah cepat mengatasi permasalahan yang ada. Nasib korban lumpur Lapindo kian tak jelas.
Kita menjadi bangsa yang gamang di tengah kemajuan jaman. Memang kita tidak bisa berlari sembunyi dari sergapan globalisasi. Sendi-sendi tua feodalisme sukses terkikis diganti dengan gempuran kompetisi penuh gairah di segala bidang kehidupan. Persaingan menjadi roh terdepan dan berbalut nafsu mengumpulkan materi sebagai puncak keberhasilan. Siapa yang tekun penuh percaya diri merajut mimpi dalam bidang apa saja, dia akan mencicipi hasil di alam nyata.
Itulah gaya hidup kapitalis dan konsumtif. Wajar bila penduduk negara-negara maju mengisi waktu luang menikmati teater modern. Atau menghamburkan uang untuk mengoleksi barang-barang elektronik-digital. Sebab mereka telah melalui sebuah proses panjang dari negara berkembang menjadi negara maju. Mereka sudah lama menginvestasikan kerja keras mereka. Tak ada salahnya seseorang menikmati hasil jerih payah setelah memeras keringat dan membanting tulang siang dan malam. Benarkah pendapat di atas?
Tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab gaya hidup global penuh kontradiksi dan paradoks. Kita yang hidup di negara berkembang dapat pula menikmati versi baru “gaya hidup kapitalis dan konsumtif”. Dan, rona kemiskinan sebenarnya bisa didepak perlahan-lahan dari peradaban negeri ini. Asalkan, kita bisa memadamkan konsep-konsep keliru yang tertanam sistematis akibat gaya hidup warna-warni yang menyesatkan.
Pertama, ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana dia dapat hidup mandiri dengan tingkat penghasilannya. Penjaga toko dengan upah Rp 400 ribu, tapi bisa mandiri, terkategori orang sukses. Hanya beda skala pendapatan. Kalau sudah mulai boros, ngutang dan mencuri bukan ciri-ciri keberhasilan.
Kedua, ukuran kesuksesan seseorang bila ia mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pedagang nasi goreng di emperan toko yang punya seorang karyawan, maka dia termasuk orang sukses. Sekali lagi, hanya beda jumlah karyawan. Sering banyak perusahaan besar dengan karyawan besar tapi menunggak pembayaran gaji karyawan dengan seribu satu alasan. Ketiga, orang bahagia adalah orang yang hidup sehat jiwa dan raganya. Orang sakit tentu tidak bahagia dan tidak bisa bekerja mewujudkan impiannya. Sebuah cara pandang hidup yang amat sederhana.
Itulah paradigma baru dalam mengisi pembangunan. Kerja keras dengan menggunakan seoptimal mungkin otot dan otak adalah spirit membangun bangsa ini. Untuk mendapatkan uang, kita tidak tergoda menempuh jalan pintas dengan menculik anak orang kaya. Hidup mandiri sesuai penghasilan membuat kita tidak mudah terbujuk gaya hidup konsumtif. Orang akan tegas menolak pendapatan haram. Akhirnya, nafsu korupsi yang menggurita penyebab kebangkrutan Republik ini bisa dikikis.
Dan, ketekunan dalam kerja akan membuka pintu-pintu keberhasilan sekaligus menjadi magnet yang menarik orang-orang lain ikut membantu dengan tulus. Orang kaya adalah orang yang bekerja dengan tangan orang lain. Artinya, kemajuan di sektor swasta adalah tolok ukur kemajuan negara. Generasi muda akhirnya terpacu mengembangkan usaha di berbagai bidang. Lapangan kerja terbuka. Pembenahan manajerial akan terus terjadi tahap demi tahap. Itulah visi baru merayakan kehidupan yang terberi di alam kemerdekaan.
Pemerintah pun menjadi pelayan birokrasi yang efektif dan efisien. Sayangnya kita tersesat dalam konsep-konsep pembangunan yang keliru dan kerdil. Pilihan menjadi PNS dianggap sebagai kunci sukses. Akibatnya, kita menjadi bangsa cengeng dan konsumen setia produk-produk luar negeri. Lebih parah lagi, karyawan-karyawan swasta di perusahaan asing didikte menjadi robot-robot hidup tanpa konsep. Jika kita sebagai bangsa yang terus dinaungi mental “inlander” (rendah diri) di percaturan global, sampai kapan kita bisa membawa negeri ini maju? Biarlah waktu menggilas wajah kelam dan legam masa lalu kita sebagai bangsa terjajah!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 135)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :