Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Kerendahan Hati "Sang Lubang Hitam"

Kegusaran ilmiah melanda Stephen Hawking selama 30 tahun. Pada tahun 1976, ia memproklamirkan adanya bintang raksasa dengan gravitasi yang sangat besar membentuk lubang hitam yang menghisap semua materi dan energi di dekatnya. Ia terus memikirkan teori black hole yang menobatkan dirinya sebagai pewaris Newton dan Einstein di jagat fisika. Pasalnya, teori tersebut bertentangan dengan teori fisika kuantum bahwa energi dan materi tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya berganti wujud.
Pada Konferensi Internasional Gravitasi & Relativitas ke-17 di Dublin Irlandia, Rabu (12 Juni 2006), yang dihadiri 800 fisikawan dari 50 negara, Hawking yang telah dimakan usia itu, meralat teorinya. Ia mengatakan bahwa materi dan energi tidak dimusnahkan tetapi “dimuntahkan” kembali dalam keadaan tercerai berai. Tentu saja pembatalan teori ini mengecewakan para pecinta fiksi ilmiah yang terobsesi bahwa lubang hitam adalah jalan menuju kehidupan jagat raya yang baru. Tapi itulah kerendahan hati ilmu pengetahuan yang siap terus-menerus dikoreksi agar mencapai kebenaran sejati.
Saat ini, bertebaran film, cinema dan animasi yang mencoba mengeksplorasi kehidupan baru di luar bumi. Ada juga yang coba mendeskripsikan ciri fisik alien sebagai makhluk tanpa rasa, empati, cinta dan tepo seliro. Memang menarik untuk mengikuti gelora imajinasi di alam khayal. Bebas, liar dan tak terkendali. Namun, dalam kisi-kisi refleksi, kebebasan berpikir adalah sebuah matra, sedangkan substansi pemikiran adalah kristalisasi kegelisahan manusia mencari jawaban tuntas atas kiprahnya di pentas kehidupan. Sosok alien yang kerap dilukiskan bergerak mekanis, kaku dan dingin tanpa rasa, sebenarnya tidak lain adalah “pemindahan” figur semata.
Di pentas realitas, manusia sejak jaman Plato diyakini dibentuk dari jiwa dan badan. Meski saat itu badan dilihat sebagai penjara jiwa, namun setidaknya manusia tempo klasik mengamini bahwa di dalam tubuh yang rapuh ada hasrat cinta yang abadi. Manusia pun dalam peta teologis agama ditugaskan sebagai duta yang menebarkan senyum ilahi, menjadi perpanjangan tangan Allah bagi sesama yang menderita dan hatinya adalah surga mini Sang Khalik.
Deretan kekejam dan pembantaian yang dipertontonkan angkatan bersenjata maupun gerilyawan di sebuah masa dan tempat, menegaskan bahwa manusia tidak sepenuhnya ditakdirkan berjalan dalam kedamaian. Bahkan kemerdekaan dirancang bangun dengan pertumbuhan darah. Kedamaian dipertahankan dengan proyek nuklir dan pembaharuan peralatan persenjataan tempur. Itulah wajah dan rona kehidupan manusia di planet bumi dari zaman monarki hingga republik demokratis.
Kehancuran dan aksi bumi hangus maupun pembantaian massal menunjukkan bahwa inti kemanusiaan kita amat dekat akrab dengan sebuah “lubang hitam” yang bertipe menghisap dan memusnahkan. Tragisnya, kita sebagai pelaku sejarah belum bisa membahas tuntas soal “lubang hitam” yang selalu membayangi kehidupan kita. Kadang kita hidup rukun, kadang kita ditarik oleh gravitasi kekuasaan, nafsu dan ego untuk menghancurkan segala yang menghalangi pencapaian hasrat binal tersebut.
Benarkah nafsu adalah lubang hitam yang sangat primitif terus bercokol lengket dalam sanubari manusia? Kini kita melihat daya isap “lubang hitam” bukan saja menelan habis manusia dengan sebaris atribut citra diri. “Lubang hitam” itu juga mulai menelan rakus kekayaan alam. Kepala gunung ditebas buldozer, hutan sebagai busana bumi ditelanjangi dan perut bumi disodok-sodok pipa penghisap minyak dan gas. Iklim global terus berubah. Musim hujan menjadi musim panas, musim semi berganti musim salju.
Benarkah manusia zaman ini menurut Sokrates menjadi manusia yang menjalani hidup tanpa kekuatan refleksi? Negeri dan ruang privat kita, misalnya, mulai dirayapi proyek-proyek mercusuar yang lahir dari ekspansi gairah kapitalistik. Materi adalah segalanya. Akibatnya, kepekaan sosial yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang punya hati dan rasa cinta mulai pudar. Kemiskinan sosial dan struktural adalah buktinya. Jutaan penduduk miskin terus bertambah tiap hari. Balita kurang gizi meningkat tajam setiap menit. Dan, setiap detik, dunia ini ditinggal pergi oleh mereka yang mati dalam kemiskinan mengharukan dan mengenaskan.
Sementara masyarakat bumi yang terkotak dalam berbagai agama dan aliran tidak mampu membangun dialog otentik akan panggilan kemanusiaan. Bahkan, di beberapa negara kita masih menyaksikan para pemuka agama dan pembela agama bertualangan di rimba orthodoxi. Padahal awal kehadiran sebuah agama adalah spirit perdamaian, kasih, dan selaksa sentuhan kemanusiaan. Sayang sungguh sayang, manusia dalam kekerdilan pikiran kerap menganggap dirinya harus mempertahankan kesucian Allah di dunia. Sejatinya kekudusan dan kesucian Allah bukan terbentuk berkat bantuan manusia.
Stephen Hawking adalah contoh manusia intelektual yang selalu gelisah dan terus merefleksikan pemikirannya. Zaman ini, kita dipanggil untuk merumuskan kembali warta agama yang berwajah kemanusiaan, demokrasi yang humanitarian dan kekuasaan yang melayani rakyat. Jika kita gagal merumuskan panggilan hidup yang baru, jangan-jangan kita adalah transformasi makhluk alien yang masuk ke bumi ini. Tanpa cinta, hambar hati, miskin empati dan hampa rasa sayang. Kehidupan yang tidak direfleksikan tidak patut dijalani, sergah Sokrates. Bulan suci Ramadhan menjadi momen strategis meretas jati diri dan fitrah manusia di tengah dunia. Selamat menuaikan Ibadah Puasa! (Beny Uleander/KPO EDISI 136)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :