Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Akselerasi Kesadaran Sosial

Sekeping mimpi tentang negeri impian menaungi George Washington menyatukan Amerika Utara dan Selatan untuk hidup rukun berdampingan. Visi tentang modal sosial sebagai sumber kecerdasan menata organisasi kenegaraan dan kebangsaan menggelitik naluri renung Soekarno merajut falsafah bangsa ini: Pancasila. Kesadaran bahwa perut rakyat yang lapar tidak bisa menapak tangga-tangga gereja memicu Hugo Chavez Presiden Venezuela itu menganak-emaskan pendidikan. Kemandirian di bidang ekonomi tercapai bila rakyat cerdas. Bagaikan matahari yang terbit di ufuk timur, itulah simbol harapan setiap penghuni bumi bahwa kehidupan adalah rahmat. Tanah dan kekayaan alam adalah karunia kehidupan. Tinggal bagaimana manusia (pemerintah) dan negara (organisasi) mengolah dan mengoptimalkan potensi negerinya demi kesejahteraan hidup warganya.
Jejak cerita abad 14-18 adalah koleksi kisah penemuan demi penemuan pusat-pusat peradaban di berbagai belahan dunia. Manusia Eropa saat itu adalah manusia yang memandang kekayaan alam sebagai pilar-pilar pembangunan tata masyarakat Mesir, Babilonia, Mesopotamia, Inca, Astek, Yunani, Romawi-Bizantium-Konstantinopel hingga Shindu di Asia Tengah. Karena itu sejarah penemuan “dunia baru” sekaligus menjadi mosaik tragedi perampokan dan penjarahan harta karun. Hasrat untuk menguasai dan menjajah tidak lain adalah ekspresi kemiskinan negeri Barat. Kerajaan Spanyol dan Portugis berkompetisi mengisi lumbung-lumbung istana dengan emas dan rempah-rempah terbaik dari Asia. Belanda surplus gulden usai memanen program tanam paksa yang menyebabkan warga pribumi Hindia Belanda (Indonesia) dilanda kelaparan hebat. Itulah sepenggal contoh dan kajian kiblat historis bahwa sumber daya alam saat itu masih dilihat sebagai sumber keunggulan sebuah negara.
Lalu di awal abad 19, perlahan-lahan lahir sebuah kesadaran bahwa hidup bisa dipermudah dengan teknologi. Lantas akselerasi ilmu pengetahuan melahirkan masyarakat industri, lalu menurunkan masyarakat informasi dan kini hadir “cucu sosial” masyarakat digital. Dalam hal ini kita harus acung jempol sekali lagi buat bangsa Barat. Setelah puas menikmati kekayaan negeri jajahan, mereka terpental oleh gerakan kemerdekaan dan separatis atas dasar nasionalisme. Apa upaya mereka? Mereka kembali ke negerinya yang minim sumber daya alam, tapi mulai mengembangkan dengan tekun sumber daya manusia. Luar biasa. Penemuan demi penemuan meramaikan jagat teknologi. Jerman, misalnya, tidak memiliki laut tapi menjadi pengekspor ikan terbesar di dunia. Kakek buyut Oliver Kahn bukan pelaut, namun kapal laut buatan mereka disebut terbaik di dunia.
Kilasan fakta di atas menjadi kerangka validitas di abad 21. Buktinya, orang terkaya di dunia versi Forbes 2007 adalah pendiri Microsoft Corp Bill Gates –dengan harta sekitar 59 miliar dollar AS (sekitar 560 triliun). Lalu di urutan 4 ada Larry Ellison, perintis dan CEO Oracle dengan kekayaan 26 miliar dollar AS. Sergey Brin dan Larry Page, dua pendiri perusahaan Google Inc berada di urutan 5. Kekayaan mereka sejak tahun 2004 mencapai 18,5 miliar dollar AS. Nilai kekayaan mereka jauh melampaui kekayaan sumber daya alam negara-negara dunia ketiga. Kajian ini mempertegas paradigma baru bahwa penguasaan ilmu pengetahuan adalah sumber utama kelangsungan hidup sebuah negara. Percuma suatu bangsa seperti Indonesia yang kaya sumber daya alam tapi warganya miskin. Karena penduduknya tidak kompetitif mengembangkan keahlian untuk mengelola potensi alam negerinya. Ditambah lagi kenyataan pahit bahwa pendidikan masih menjadi anak tiri di Bumi Pertiwi. Kita ibarat induk ayam yang mati kelaparan di atas tumpukan jerami.
Bercermin pada situasi sosial di atas, kita hendaknya progresif memproklamirkan Indonesia sebagai negeri impian. Sebuah negeri yang menjanjikan kenyamanan hidup, kesejahteraan sosial dan perlindungan negara terhadap hak-hak dasar manusia. Optimisme baru ini bisa tumbuh bila orang Indonesia mulai berpikir. Bisakah orang Indonesia berpikir? Ini adalah sebuah pertanyaan yang menohok harga diri dan mengejek kualitas intelektual manusia Indonesia. Sebab, sebagai bangsa kita memiliki identitas diri atau jati diri dan ideologi atau falsafah hidup.
Menurut Kishore Mahbubani (2005), bangsa-bangsa yang menyadari kelemahannya, bisa jadi justru bisa bangkit dan mencapai derajat kesuksesan seperti bangsa Barat. Jepang, Cina dan India adalah negara yang sudah mengadopsi “pola pikir” negara maju bahwa penguasaan teknologi adalah hal mutlak dalam kompetisi global. Menurut dugaan sejumlah ahli, pada tahun 2020 Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat ini saja tingkat pertumbuhan per kapitanya sudah sangat tinggi, mencapai rata-rata 5,5% per tahun dibandingkan pencapaian negara-negara OECD yang hanya 2,5%. Terlebih lagi Cina mampu mencapai tahap berkembang hanya dalam tempo 10 tahun, dibandingkan dengan bangsa Inggris, 58 tahun, AS 47 tahun, dan 33 tahun bagi Jepang. Sungguh sebuah keajaiban.
Beberapa dekade lalu, Indonesia tampil sebagai macan Asia Tenggara yang diperhitungkan dunia internasional. Tapi sekarang tingkat pertumbuhan ekonomi kita kalah jauh dan beda tingkat dengan Malaysia, negara pulau kecil Singapura –seperti Pulau Flores-NTT, bahkan pertumbuhan ekonomi Vietnam mulai meninggalkan Indonesia. Padahal kita punya kekayaan dan cadangan sumber daya alam yang melimpah.
Karena itu, masyarakat dan pers harus terus ‘menekan’ pemerintah agar sungguh-sungguh memperhatikan subsidi sektor pendidikan yang amburadul. Biaya sekolah amat mahal dan jadi milik anak orang mampu. (Beny Uleander/KPO EDISI 137)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :