Apa pintu pembaharuan sebuah negara? Ujung bedil atau sebait puisi! Pilihlah salah satu di antaranya. Tapi mana yang lebih efektif? Kekuasaan memang seharusnya lahir dari laras senapan, itulah doktrin Mao Tse Tung. Lantas jadi landasan ide Dipa Nusantara Aidit, pimpinan PKI, agar dibentuk angkatan kelima. Buruh dan petani dipersenjatai. Kaum marxis ingin mencetak masyarakat sosial tanpa kelas. Tapi mereka tak punya kekuasaan untuk bertindak. Alat mereka adalah senjata sebagai pembuka gerbang masyarakat proletariat.
Setali tiga uang dengan kaum republikan. Monarki harus ditumbangkan dengan revolusi. Dan, revolusi selalu meminta korban anak kandungnya sendiri. Kekuatan senjata senantiasa diyakini sebagai baja sejarah yang terbukti tangguh untuk menegakkan menara kekuasaan. Pamor senjata inilah yang dipamerkan junta militer di Myanmar. Aksi demonstrasi biksu dan masyarakat sipil diredam dengan dar dor pelor.
Berdirinya Republik ini ternyata tidak lepas dari andil tentara rakyat yang bersenjatakan bambu runcing dan lembing. Setelah duel yang sengit, Belanda pun angkat kaki dari bumi Indonesia. Di atas serpihan fakta sejarah ini, masyarakat modern masih melihat senjata sebagai alat untuk pembaharuan sebuah negara. Perlu diingat serdadu Belanda dengan senjata modern! Sedangkan alat perang para pejuang kemerdekaan hanyalah senjata tradisional. Tidak seimbang, memang. Tapi mengapa para pejuang bisa mengalahkan penjajah yang punya mesiu dan mortir? Aspek inilah yang kerap dilupakan penulis sejarah termasuk kaum muda.
Harga diri sebagai sebuah bangsa! Itulah pemantik gairah founding fathers untuk berjuang hingga titik darah terakhir. Patah tumbuh hilang berganti, memang menjadi jargon yang digunakan di kemudian hari untuk melukiskan spirit (élan vital) para pejuang kala itu. Memang banyak rakyat yang mati di medan tempur. Tapi darah mereka justru menyuburkan bara nasionalisme yang bersemayam hangat di dada anak-anak bangsa.
Ternyata jauh sebelum Bandung Lautan Api dan moment historis 10 November di Surabaya, cikal bakal negeri ini lahir dari puisi. Ya kekuatan kata-kata awalnya. Dan, itu terjadi pada 28 Oktober 1928. Sutan Syahrir bersama kaum muda lintas suku, agama dan etnik mendengungkan puisi agung: satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa. Ikrar inilah yang lalu dikenang sebagai bukti otentik jiwa pluralis kaum muda saat itu. Tak heran bila Sumpah Pemuda dipancang sebagai validitas "Bhineka Tunggal Ika".
Sangat menggetarkan jiwa saat kita menyadari adanya serat-serat puisi yang membangkitkan rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Seorang Soekarno pun menjalin simpul-simpul puitif itu dengan sihir agitasi maha dasyhat. Serta merta api nasionalisme itu membakar perbedaan agama, menghanguskan rasa primordial dan melumat kebanggaan etnik. Semuanya lebur dalam jati diri baru: Indonesia. Sebuah kisah peradaban baru yang luar biasa hadir di sebuah kawasan Asia tenggara.
Kini, Indonesia menjadi negara yang luar biasa tercecer di berbagai bidang pembangunan. Jawabannya satu: generasi muda mengabaikan kekuatan puisi. Ya, dunia sastra yang terbengkelai. “Sastra adalah pintu budaya pembaharuan yang sangat bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan nasib bangsa,” tegas Isbaedy Setiawan dalam Seminar Sastra Internasional Relevansi Karya Sastra Dalam Kehidupan di Aula Balai Bahasa Denpasar, Jl Trengguli I/20 Denpasar, Kamis (27/9).
Pesan terdalam yang mungkin ringkas diungkap adalah rendahnya minat baca di kalangan kaum muda. Apalagi arus konsumtif menyedot hasrat penduduk negeri ini untuk berlomba mengoleksi materi dan memanjakan selera lidah. Perut diisi tapi sayang otak di kepala tidak diisi dengan bacaan-bacaan bermutu. Akibatnya, negeri ini dengan mudah ditindas serbuan peradaban Barat yang selalu merasa superior.
Bayangkan saja, biaya untuk membeli rokok dalam setahun mencapai 47 triliun, namun biaya untuk membeli buku dalam setahun cuma 1 triliun. Penerimaan cukai dalam tiga tahun terakhir rata-rata naik 14,9 persen per tahun, yaitu Rp 29,2 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB tahun 2004 menjadi Rp 33,3 triliun atau 1,2 persen dari PDB tahun 2005, dan Rp 38,5 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB. Tahun ini, penerimaan cukai rokok dipatok Rp 42,03 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 3,53 triliun dibanding target penerimaan APBN 2006 sebesar Rp 38,52 triliun. Sebuah angka yang pincang untuk sebuah negara berkembang. Bisa disebut sebagai cacat mental. Kapan kita bisa bersaing dengan negara-negara lain di medan global?
Sejarah bukan terminal kenangan. Sejarah adalah kekuatan dan kompas masa depan. Pemikir budaya dan para bapak bangsa adalah penggila sastra seperti tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, Muh. Yamin serta tokoh-tokoh lainnya. Kita juga mengenang intelektual besar Soedjatmoko, yang pada Agustus 1985, terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Di masa mudanya, kakak Prof Miriam Budiarjo ini mengasingkan diri ke Solo. Ia tenggelam dalam keasyikan membaca buku-buku loakan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu Soedjatmoko menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa.
Kita agaknya cemas dengan sepak terjang berbagai organisasi masyarakat di era eforia ini. Ada yang dalam aksinya menciderai ikrar puisi agung warisan generasi 1928. Apakah ini tanda bahwa kita miskin tokoh-tokoh budaya di kalangan generasi muda. Sehingga banyak kaum muda yang tidak tercerahkan, berpikir sempit, primordial dan sektarian! Jangan-jangan kita terpuruk lagi pada asumsi bedil sebagai penegak Republik ini. Mungkin ini tumbal dari buta tulinya pemerintah yang menjadikan sektor pendidikan sebagai anak tiri dari dulu hingga kini??? (Beny Uleander/KPO EDISI 138)
Setali tiga uang dengan kaum republikan. Monarki harus ditumbangkan dengan revolusi. Dan, revolusi selalu meminta korban anak kandungnya sendiri. Kekuatan senjata senantiasa diyakini sebagai baja sejarah yang terbukti tangguh untuk menegakkan menara kekuasaan. Pamor senjata inilah yang dipamerkan junta militer di Myanmar. Aksi demonstrasi biksu dan masyarakat sipil diredam dengan dar dor pelor.
Berdirinya Republik ini ternyata tidak lepas dari andil tentara rakyat yang bersenjatakan bambu runcing dan lembing. Setelah duel yang sengit, Belanda pun angkat kaki dari bumi Indonesia. Di atas serpihan fakta sejarah ini, masyarakat modern masih melihat senjata sebagai alat untuk pembaharuan sebuah negara. Perlu diingat serdadu Belanda dengan senjata modern! Sedangkan alat perang para pejuang kemerdekaan hanyalah senjata tradisional. Tidak seimbang, memang. Tapi mengapa para pejuang bisa mengalahkan penjajah yang punya mesiu dan mortir? Aspek inilah yang kerap dilupakan penulis sejarah termasuk kaum muda.
Harga diri sebagai sebuah bangsa! Itulah pemantik gairah founding fathers untuk berjuang hingga titik darah terakhir. Patah tumbuh hilang berganti, memang menjadi jargon yang digunakan di kemudian hari untuk melukiskan spirit (élan vital) para pejuang kala itu. Memang banyak rakyat yang mati di medan tempur. Tapi darah mereka justru menyuburkan bara nasionalisme yang bersemayam hangat di dada anak-anak bangsa.
Ternyata jauh sebelum Bandung Lautan Api dan moment historis 10 November di Surabaya, cikal bakal negeri ini lahir dari puisi. Ya kekuatan kata-kata awalnya. Dan, itu terjadi pada 28 Oktober 1928. Sutan Syahrir bersama kaum muda lintas suku, agama dan etnik mendengungkan puisi agung: satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa. Ikrar inilah yang lalu dikenang sebagai bukti otentik jiwa pluralis kaum muda saat itu. Tak heran bila Sumpah Pemuda dipancang sebagai validitas "Bhineka Tunggal Ika".
Sangat menggetarkan jiwa saat kita menyadari adanya serat-serat puisi yang membangkitkan rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Seorang Soekarno pun menjalin simpul-simpul puitif itu dengan sihir agitasi maha dasyhat. Serta merta api nasionalisme itu membakar perbedaan agama, menghanguskan rasa primordial dan melumat kebanggaan etnik. Semuanya lebur dalam jati diri baru: Indonesia. Sebuah kisah peradaban baru yang luar biasa hadir di sebuah kawasan Asia tenggara.
Kini, Indonesia menjadi negara yang luar biasa tercecer di berbagai bidang pembangunan. Jawabannya satu: generasi muda mengabaikan kekuatan puisi. Ya, dunia sastra yang terbengkelai. “Sastra adalah pintu budaya pembaharuan yang sangat bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan nasib bangsa,” tegas Isbaedy Setiawan dalam Seminar Sastra Internasional Relevansi Karya Sastra Dalam Kehidupan di Aula Balai Bahasa Denpasar, Jl Trengguli I/20 Denpasar, Kamis (27/9).
Pesan terdalam yang mungkin ringkas diungkap adalah rendahnya minat baca di kalangan kaum muda. Apalagi arus konsumtif menyedot hasrat penduduk negeri ini untuk berlomba mengoleksi materi dan memanjakan selera lidah. Perut diisi tapi sayang otak di kepala tidak diisi dengan bacaan-bacaan bermutu. Akibatnya, negeri ini dengan mudah ditindas serbuan peradaban Barat yang selalu merasa superior.
Bayangkan saja, biaya untuk membeli rokok dalam setahun mencapai 47 triliun, namun biaya untuk membeli buku dalam setahun cuma 1 triliun. Penerimaan cukai dalam tiga tahun terakhir rata-rata naik 14,9 persen per tahun, yaitu Rp 29,2 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB tahun 2004 menjadi Rp 33,3 triliun atau 1,2 persen dari PDB tahun 2005, dan Rp 38,5 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB. Tahun ini, penerimaan cukai rokok dipatok Rp 42,03 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 3,53 triliun dibanding target penerimaan APBN 2006 sebesar Rp 38,52 triliun. Sebuah angka yang pincang untuk sebuah negara berkembang. Bisa disebut sebagai cacat mental. Kapan kita bisa bersaing dengan negara-negara lain di medan global?
Sejarah bukan terminal kenangan. Sejarah adalah kekuatan dan kompas masa depan. Pemikir budaya dan para bapak bangsa adalah penggila sastra seperti tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, Muh. Yamin serta tokoh-tokoh lainnya. Kita juga mengenang intelektual besar Soedjatmoko, yang pada Agustus 1985, terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Di masa mudanya, kakak Prof Miriam Budiarjo ini mengasingkan diri ke Solo. Ia tenggelam dalam keasyikan membaca buku-buku loakan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu Soedjatmoko menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa.
Kita agaknya cemas dengan sepak terjang berbagai organisasi masyarakat di era eforia ini. Ada yang dalam aksinya menciderai ikrar puisi agung warisan generasi 1928. Apakah ini tanda bahwa kita miskin tokoh-tokoh budaya di kalangan generasi muda. Sehingga banyak kaum muda yang tidak tercerahkan, berpikir sempit, primordial dan sektarian! Jangan-jangan kita terpuruk lagi pada asumsi bedil sebagai penegak Republik ini. Mungkin ini tumbal dari buta tulinya pemerintah yang menjadikan sektor pendidikan sebagai anak tiri dari dulu hingga kini??? (Beny Uleander/KPO EDISI 138)