Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Fundamentalisme Modal

Sumber dari segala sumber kehancuran bangsa Indonesia saat ini adalah penyakit korupsi yang akut dari aparat birokrat sampai ke tubuh institusi negara dan swasta. Kenapa korupsi begitu marak di negeri yang penduduknya beragama ini? Ada yang mencoba menjawab dengan jurus klise. Yakni faktor kemiskinan yang memicu orang korupsi. Lalu kenapa kemiskinan menimpa lebih dari setengah penduduk negeri ini? Jawabannya pun lugas. Ya, karena korupsi.
Menyimak premis dan konklusi paradoksal itu, kita sebenarnya disajikan sebuah ilusi alias kebohongan. Memang benar gara-gara korupsi, rakyat bisa jadi miskin. Dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat disunat sana-sini sehingga tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Juga tepat bahwa perilaku korupsi didorong oleh situasi kemiskinan. Namun, kemiskinan tidak bisa lagi dituding karena birokrat, profesional atau aparat yang korup. Akar-akar penyebab kemiskinan di negeri ini tidak bisa dan tidak pantas disebut sebatas akibat korupsi.
Kemiskinan adalah luka peradaban negeri ini. Pergumulan menghapus kemiskinan di negeri ini harus dimulai dengan paradigma baru. Yaitu kemiskinan adalah wajah lain dari kebodohan. Negeri ini kaya dengan para penghibur lewat berbagai audisi atau kontes nyanyi dan lawak. Tetapi negeri ini kekurangan anak muda yang memiliki ilmu untuk berinovasi di bidang tertentu. Wajar bila negeri kita kaya artis, tapi miskin seniman.
Di tikungan kesadaran ini, kita bisa menerima kemiskinan sebagai akibat implementasi politik material yang kental sejak Orde Baru hingga kini. Betapa tidak. Pendidikan masih dilihat sebagai anak tiri. Alokasi anggaran ideal 20% untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan SDM baru sampai 2-5% dari APBN. Sangat kecil dan menyakitkan bagi kaum humanis yang mendewakan pendidikan sebagai energi pencerahan, dewa matahari di negeri kegelapan ini. Hanya dengan modal ilmu pengetahuan, anak-anak bangsa ini dapat mengoptimalkan sumber daya alam yang ada di desa, kampung, hutan, gunung, laut, sungai, gua, terowongan, perut bumi dan udara.
Sebaliknya negeri tetangga seperti Malaysia, Vietnam, India dan apalagi Cina dan Jepang sudah lama mengalokasikan dana pendidikan yang sangat besar di bidang pendidikan. Mahatir Mohamad saat menjadi perdana menteri Malaysia langsung mencanangkan gerakan penghapusan buta huruf di negeri jiran tersebut. Pendidikan dilihat sebagai anak kandung yang perlu disusui (dibiayai negara). Buktinya, perekonomian Malayasia melejit jauh meninggalkan Indonesia. Padahal dahulu, tenaga guru dan pendidik berasal dari Indonesia.
Sedangkan kita yang mengabaikan pendidikan kini menjadi kuli perkebunan dan babu di apartemen. Dan, orang yang bodoh memang tidak layak dihormati. Itulah prilaku Malaysia yang selalu merendahkan harkat dan martabat bangsa ini. Kita sebagai bangsa boleh tersinggung, marah atau anti Malaysia. Tetapi sudahkah kita mengintrospeksi diri bahwa di balik semuanya ini adalah ketertinggalan kita di bidang pendidikan.
Ditambah lagi kini, biaya sekolah dan kuliah sudah semakin mahal. Sekolah menjadi milik anak-anak orang mampu. Banyak anak orang miskin yang banting stir mencari pekerjaan atau ikut kursus tertentu. Ada yang terpaksa merantau ke kota tanpa keahlian, lalu menggelandang, menjadi pelacur jalanan, atau bertindak kriminal dari kelas teri lalu menjadi kelas kakap. Lengkap sudah parade kimiskinan akibat kurang pendidikan. Jangan heran bila pengangguran terus bertambah tiap tahun. Penyakit sosial kian meresahkan. Dan, peredaran narkoba kian ganas karena pengedarnya adalah orang-orang miskin yang diperalat. Mereka sudah lama hidup menderita, lalu tergiur dengan keuntungan besar tanpa tahu akibat dari kolaborasi mereka dengan mafia narkoba.
Sementara pemerintah dan segala komponennya tidak lain dari lingkaran rezim demi rezim yang gagal mengorbitkan manajemen pelayanan publik yang bersih dan bebas virus ‘jam karet’ alias tidak disiplin. Rezim yang berkuasa terjebak dalam fundamentalisme modal. Uang adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah uang. Idealnya pemerintah menjadi pelayan administrasi publik yang baik. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemerintah seakan dilihat sebagai roda kemajuan bangsa. Sehingga lulusan perguruan tinggi beramai-ramai mengikuti tes CPNS dari propinsi sampai kota/kabupaten. Padahal kemajuan sebuah negara ada di tangan sektor swasta.
Pertanyaannya, mengapa para sarjana enggan terjun di sektor swasta atau setidaknya memiliki cita-cita menjadi entrepreneur dan seniman sejati. Jawabnya sederhana, pendidikan kita tidak mencerahkan alias penanaman doktrin kurikulum dengan metode menghafal sebanyak mungkin teori tanpa praktek dan aplikasi. Kembali menjadi keprihatinan kita bahwa pendidikan di negeri ini sungguh remuk redam. Partai mana yang peduli, komponen agama mana yang resah??? (Beny Uleander/KPO EDISI 139)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :