Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Agribisnis Kerakyatan

One district one commodity. Slogan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra menjadi inspirasi aktual mengedepankan idealisme agribisnis kerakyatan di Indonesia. Sebab birahi kapitalisme telah menggagahi kekayaan bumi dan alam Indonesia.
Pemerintah pun terlena oleh rangsangan devisa maha besar. Bahkan di era Soeharto, perusahaan-perusahaan manufaktur besar diberi suntikan modal gede dari pinjaman utang luar negeri. Asumsi pemerintah saat itu bahwa perusahaan besar bisa menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional. Mereka mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar.
Bangunan pola pikir tersebut hancur berantakan disapu “tsunami krisis moneter” yang menerpa Asia tengah dan tenggara. Perusahaan-perusahaan raksasa kelimpungan, banyak yang bangkrut dan akhirnya pilih tutup. Beban utang mereka dijadwal ulang dan lucunya kembali menjadi beban pemerintah. Itulah salah satu kesalahan mendesain struktur pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Lantas rezim penguasa dari era Habibie hingga pemerintahan SBY berputar haluan dengan mengembangkan dan mendukung usaha di sektor agribisnis (pertanian, perkebunan, tambak, peternakan, kehutanan, kelautan). Namun lagi-lagi kembali terjadi kepincangan struktural. Virus-virus warisan Orba belum punah total bahkan berevolusi dan beradaptasi secara serba baru. Pemerintah masih terbuai dengan kehadiran investor bermodal besar. Cengkraman jaringan usaha perusahaan raksasa bertebaran di pelosok Indonesia yang menggarap berbagai sektor agribisnis. Meski usaha mereka menukik langsung pada pemberdayaan potensi alam sebuah daerah, namun sekali lagi kita bertanya, sudahkah rakyat Indonesia merasa diberdayakan secara ekonomi?
Perusahaan besar dalam aktivitas ekspansi usaha tetap mengusung bendera profit-oriented. Karena itu mereka hanya merespon usaha di tempat yang strategis dan tentunya dilengkapi fasilitas infrastruktur yang memadai dari pemerintah. Terbentang kegelisahan bernada minor. Kenapa pertumbuhan ekonomi sangat lambat di daerah luar Jawa terutama Indonesia timur? Padahal setiap daerah memiliki keunggulan sumber daya alam tertentu. Mengapa belum digarap optimal? Tapi lagi-lagi oleh siapa; pemerintah atau investor? Lahir pula kekecewaan kenapa geliat sektor swasta sangat Jakarta-sentris, Jawa-sentris? Buktinya, pabrik-pabrik besar terpusat di daerah Jawa. Wajar bila terjadi migrasi penduduk besar-besaran ke kota besar terutama Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Denpasar. Sudahkah sektor agribisnis dikembalikan ke panggung kerakyatan?
Era abad 21 atau secara lokal di era reformasi ini, kreatifitas dan inovasi anak-anak muda bangsa ini patut diacungi jempol. Meski jumlah mereka sedikit, tapi karya-karya mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Memang masih skala mini di ranah usaha mikro, kecil dan menengah. Mereka merintis usaha dengan modal dengkul, tentu tanpa pinjaman lunak dari perbankan. Apa yang dapat kita petik dari kesuksesan mereka?
Pertama, mereka mengusung sebuah idealisme yang rasional dan membumi: bisa mandiri dan membantu sesama. Kedua, mereka menentukan bidang usaha yang akan digarap dengan mengandalkan atau mengolah bahan baku yang tersedia di daerah. Ketiga, mereka fokus menggarap pasar lokal, memasarkan dari rumah ke rumah lalu membuka stan dan outlet. Tak lama kemudian usaha mereka merambah luar negeri. Keempat, mereka terus belajar berinovasi tiada henti dalam soal produksi, packing, motif dan membaca selera pasar. Itulah jurus-jurus sukses kaum muda yang terjun di bidang agribisnis dan agroindustri. Mereka berada di daerah-daerah dan jauh dari perhatian pemerintah.
Dari kiprah perjuangan mereka kita dapat belajar bahwa pola-pola pembangunan mercusuar di negeri harus dikoreksi kembali. Seindah apapun upaya pemerintah tetaplah bahwa roda pertumbuhan ekonomi ada di tangan sektor swasta, yakni kumpulan rakyat yang memiliki jiwa wirausaha. Hal terpenting yang mendesak untuk menata agribisnis kerakyatan adalah perbaikan paradigma: membangun desa, membangun bangsa.
Bagaimana caranya? Ya, saatnya anak-anak muda di negeri ini dicegah keluar desa, diberi pendidikan (muatan lokal sekolah) dengan fokus menguasai komoditi andalan yang ada di daerah. Pabrik dibangun di desa dan industri eksis di desa. Bukan pabrik masuk desa yang cuma menebalkan kantong investor. Sementara penduduk desa menjadi buruh dengan upah minimum. Desa jadi ladang produksi, tapi penduduknya merasa terasing dengan produk yang dihasilkan. Inilah proses alienasi ekonomi yang meninabobokan intelektualitas dan kecerdasan finansial penduduk kecil; kaum buruh; kelas pekerja. Kemandirian ekonomi hanya dicapai dengan kebebasan berusaha memanfaatkan potensi alam dan segala usaha warisan leluhur yang bernilai ekonomis. Tugas pemerintah tinggal menjadi pelayan administrasi publik yang baik dan bebas pungli. Kenapa Cina sukses? Kenapa Jepang sukses? Karena pemerintah benar-benar mendukung usaha rakyatnya. Tapi di Indonesia ada kesan pemerintah sebatas jadi debt collector yang hanya menagih pajak, iuran dan berbagai beban tagihan tanpa mau peduli usaha tersebut berkembang atau tidak. (Beny Uleander/KPO EDISI 140)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :