Rabu, April 09, 2008

Beny Uleander

Megakorupsi & Megakonspirasi BLBI

Kenyataan menyedihkan menimpa negeri kita. Apalagi kalau bukan kerugian negara akibat skandal korupsi terbesar penyaluran dana Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI). Para penikmat dana BLBI terbesar tidak pernah tersentuh roh keadilan hukum pidana negeri ini.
Dengan konspirasi sangat sempurna, konglomerat “plat merah” era pemerintahan Soeharto sukses merampok uang negara (sejak 1999) lebih dari Rp 650 triliun plus bunga obligasi rekap yang harus ditanggung negara pertahunnya Rp 60 triliun sampai tahun 2030. Itu berarti kerugian yang harus ditanggung negara mencapai 250.000 triliun, ungkap Ismed Hasan Putro, Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Keprihatinan berubah menjadi “rasa sakit” bagi generasi muda yang masih peduli dengan nasib negara kepulauan ini. Betapa tidak, meski negara telah dirugikan triliunan rupiah tapi tidak ada tindakan hukum atas kejahatan ekonomi dan megakorupsi yang mereka lakukan. Beban keuangan negara amat berat “menutupi” kerugian yang mencapai triliunan rupiah selama bertahun-tahun. Padahal kita tahu sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur negeri ini perlu segera dibenahi dan memang membutuhkan modal yang amat besar.
Kasus BLBI secara singkat dapat dibagi menjadi dua. Pertama, para debitur yang telah mengantongi surat keterangan lunas dan debitur yang belum melunasi BLBI, seperti Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim International), Thee Nan King (Bank Danahutama), Hendra Liem (Bank Budi Internasional) Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (BCA). Untuk kelompok kedua aparat penegak hukum harus mengecek aset yang dijaminkan para debitur BLBI apakah sesuai dengan nilai aset yang dilaporkan ke BPPN. Selain itu, langkah pidana penggelapan yang dilakukan debitur, karena sebagian aset diagunkan kepada pihak lain, padahal kepemilikan aset sudah di tangan BPPN. Kita berharap Surat Keterangan Lunas (SKL) yang telah dikeluarkan untuk dibitur bermasalah kembali dikaji ulang.
Kelompok kedua adalah para pemegang saham yang mengemplang dana BLBI. Ada tagihan dari 8 debitur mencapai Rp 9,4 triliun. Mereka adalah Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Bira), James Januardy dan Adi Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), Lidia Muchtar (bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa) dan Agus Anwar (Bank Pelita). Untuk kasus ini, polisi dan jaksa diharapkan memproses secara hukum.
Sebelumnya kita bangga utang luar negeri kita berlahan-lahan bisa dilunasi. Sayang kini muncul utang baru akibat mismanajemen perbankan, campur tangan kekuasaan dan politik. Lagi-lagi rakyat yang menanggung bebannya. Bukankah kerugian negara itu ditutupi dari uang negara yang dipungut dari rakyat?
Terkuaknya kasus dugaan penyuapan Artalyta Suryani alias Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan dilihat sebagian kalangan yang masih murni hatinya sebagai mukjizat di tengah megakonspirasi konglomerat, pejabat negara dan politisi. Sentuhan “Tangan Tuhan” inilah menjadi momen bagi aparat penegak hukum untuk berkomitmen membongkar berbagai kebusukan seputar penyaluran dana BLBI. Ini berarti kinerja kepolisian dan kejaksaan dipantau pers secara konsisten agar roh hukum yaitu rasa keadilan tegak di negeri ini. Bukan hanya penyalur dana yang mendapat sanksi pidana, sementara pihak penerima tidak tersentuh tangan hukum.
Kita mendukung langkah pemerintah yang menempuh beberapa langkah alternatif di antaranya mempercepat proses pengembalian uang negara melalui instrumen yang tersedia, melakukan tindakan hukum terhadap obligor yang tidak kooperatif dan menempuh langkah-langkah solutif yang harus menjamin keadilan, bebas intervensi dan bebas korupsi tentunya.
Kasus BLBI sesungguhnya merupakan pertaruhan harga diri dan kehormatan eksistensi negeri ini. Penyelesaian lewat jalur hukum yang seadil-adilnya menjadi indikator negeri ini masih dipimpin pemerintahan demokratis atau pemerintahan boneka buatan kaum kapitalis alias pemilik modal.
Ketidakseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum menangani kasus ini kian melukai perasaan warga negara yang masih melihat eksistensi negara sebagai penyerahan kedaulatan rakyat.
Nilai yang kita petik dari megakorupsi BLBI adalah membangun usaha dengan semangat entrepreneur sejati tidaklah berarti menghalalkan segal cara. Kehormatan terletak dalam kerja keras yang jujur, tulis Grover Cleveland. Rasanya tepat kita memahat warisan mental Abraham Lincoln. “Ayahku mengajariku untuk bekerja; ia tidak mengajariku untuk mencintainya”. Kerja keras disertai kejujuran adalah ruang pertumbuhan bagi jiwa-jiwa muda progresif di negeri tercinta ini. (Beny Uleander/KPO EDISI 149/APRIL 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :