Selasa, April 15, 2008

Beny Uleander

Revolusi Hasrat

Kita menjejak kaki di sebuah jaman yang penuh ketakmengertian dengan rombongan manusia yang menapak pasti ruang-ruang kegilaan. Demikian teropong kegelisahan para pengamat postmodernisme yang berupaya meretas batas-batas kesadaran baru. Kultur sosial yang serba anyar terbangun cepat. Gaya hidup yang semula asing begitu mudah diserap golongan muda yang paling dinamis. Dan, jejak langkah perangkat digital terutama televisi menjadi matahari yang berputar mengeliling tata peradaban baru. Serta merta, terciptalah generasi bermental instan yang terperangkap dalam kerapuhan hedonistik dan terpasung mental konsumtif.
Ketika televisi ditemukan sebagai kotak ajaib, manusia kian sadar bahwa masih banyak kejutan potensial dalam rahasia semesta yang belum terungkap. Alam masih menyimpan berbagai penemuan untuk masa depan, tinggal manusia yang berupaya keras mendalami ilmu pengetahuan dan merakit teknologi untuk mendapatkannya. Kini, televisi telah menjadi industri hiburan dan informasi yang menyerap angkatan kerja yang amat besar.
Di ranah media massa pun telah terjadi pergeseran. Era media cetak memasuki fase buram. Masyarakat digital lebih suka menikmati berita daripada membaca berita. Gambar yang bergerak jauh lebih menyapa daripada gambar mati –hitam putih.
Masyarakat juga lebih merasa terbangun empati dan simpati dengan musibah tokoh publik yang disiarkan di televisi. Pemirsa melihat langsung air mata dan tangis sedih selebritis pujaannya. Sekelebat, televisi menjadi jembatan temu kangen dan tali kasih yang efektif tanpa komunitas face to face. Lantas demam publisitas pun dikemas dalam berbagai audisi yang menawarkan glamoritas hidup menjadi bintang selebritis dadakan. Tidak sedikit remaja muda yang terjerat rayuan dan sihir ingin menjadi artis instan. Gairah kompetisi lewat polling SMS terbukti cuma kedok bisnis perjudian terselubung. Banyak di antara mereka menjadi bintang lalu menjadi buntung. Jatuh miskin dan hidup terlunta-lunta di ibu kota Jakarta.
Publisitas televisi direfleksikan sebagai kejahatan terkini “dunia baru” bagi tegaknya nilai-nilai humaniora. Dalam lorong-lorong penalaran yang merdeka, industri televisi saat ini berarak menuju gerakan pembebasan diri –khususnya “pembebasan hasrat”- dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara. Bahkan agama dianggap menghalangi “kebebasan total” manusia. Itulah “revolusi hasrat” yang menggiring generasi tua muda menapak tangga-tangga pembebasan hasrat, sebagaimana dikatakan Felix Guattari, berarti “…menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas (normality) yang ada di dalam masyarakat.” Dan, tanpa kita sadari program-program acara yang ditayangkan di televisi menghipnotis penonton untuk melawan realitas-realitas terberi. Contohnya, sinetron remaja didesain apik menonjolkan kemewahan dan kekayaan. Dunia kampus yang seharusnya menjadi laboratorium penelitian ilmiah menjadi laboratorium cinta eros dan narsisme. Virus-virus false love -cinta yang memberi dampak negatif dalam hidup seseorang- seperti jadi penipu demi cinta, seks karena cinta, putus sekolah karena cinta dianggap sebuah sikap satria. Padahal jenis cinta ini (false love) selalu berakhir dengan kehancuran. Ada juga pemuda yang mengagungkan captive love, yaitu cinta yang membelenggu seseorang, sehingga tidak ada hal lain yang dipikirkan dan dikerjakan kecuali cinta. Akhirnya bagi pemuda digital membagi cinta adalah sebuah seni mengantar kekasih ke lembah kekecewaan. Toh jatuh cinta adalah sebuah petualangan untuk mencari cinta sejati.
Itulah aksi-aksi kriminal kebudayaan yang secara langsung menyuntik kultur baru bagi generasi muda. Tak heran bila etos kerja keras disertai keuletan dianggap sebagai “kebudayaan kolot” masa lalu. Padahal bagi bangsa Jepang dan Cina, kerja keras dengan pikiran fokus penuh dedikasi adalah kunci peradaban super modern. Jangan heran bila perilaku korupsi susah diberangus di Indonesia karena budaya kerja keras telah luntur.
Dalam perspektif teologis, manusia adalah tuan atas ciptaan. Ia diberi kekuasaan untuk menggunakan “ciptaan” (termasuk televisi) untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Tapi di jaman komputerisasi ini, ciptaan-ciptaan (produksi) sosial adalah semata produksi hasrat itu sendiri. Itulah sebabnya, setiap industri televisi secara piawai mengeksplorasi dan mengeksploitasi hasrat demi hasrat terpendam dalam diri manusia dalam rupa-rupa program tayangan. Ditambah lagi dengan iklim kompetisi pertelivisian yang “saling sikat” merebut rating dan kue iklan, membutakan mata “tim kreatif”. Mereka kadang membiarkan berbagai ketidakpantasan terpampang di layar kaca demi rating. Dan, tentu saja memuaskan hasrat pemirsa. Siapa yang salah? Benarkah hidup kita mengalir mengikuti energinya sendiri? Hidup kita dikondisikan di dalam keadaan “keseketikaan” dan “kesesaatan” (temporality) yang terus-menerus, menurut Yasraf Amir Piliang, tanpa ada konsistensi menuju tujuan yang pasti, misalnya “apa kehendak” Tuhan. Semoga kiprah televisi swasta lokal kian arif menghindarkan diri dari pusaran hasrat televisi swasta nasional yang terlanjur mengorbit dalam lintasan kapitalistik-hedonistik. (Beny Uleander/KPO EDISI 150/APRIL 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :