Senin, Mei 12, 2008

Beny Uleander

Virus Kutukan Klasik

Peluang pasar dan kunci sukses. Itulah dua topik hangat bidang ekonomi yang kini tengah tren di kalangan tua dan muda. Banyak buku telah beredar yang berupaya mengupas tuntas dari berbagai sudut pandang tentang rahasia sukses, kiat-kiat bisnis dan meretas manajemen usaha yang sehat, kokoh, dan dinamis. Perusahaan-perusahaan papan atas hingga kelas “sandal jepit” mengirim calon-calon manajernya mengikuti seminar-seminar smart yang membahas konsep manajer dan kepemimpinan yang tangguh di era global.

Ternyata di dalam lalu lintas literatur dan seminar yang menggodok ilmu kesuksesan maupun seni menjual terdapat satu virus kutukan klasik. Apalagi kalau bukan “omelan” tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Di saat “peradaban marketing kapitalisme” membutuhkan tenaga kerja outsourching yang handal, lagi-lagi SDM Indonesia selalu kalah masuk bursa kerja internasional. Itulah sebabnya mengapa kini manufaktur raksasa dengan brand mashyur membangun offshoring –pembukaan pabrik-pabrik perwakilan sebuah produk— jarang melirik Indonesia. Sebaliknya produsen hanya membidik potensi pasar Indonesia sebagai lahan empuk perdagangan produk mereka. Selain pertumbuhan penduduk yang mencengangkan, mental dan budaya konsumsi orang Indonesia amat menggiurkan.

Bukan berarti manusia Indonesia bodoh dan pandir. Kita adalah cucu dari leluhur terhormat yang telah menghidupi peradaban gemilang masa lalu. Warisan nilai-nilai adat yang imanen (luhur, satria, suci, manusiawi) hingga artefak kebudayaan amat mengagumkan. Dan, ada segelintir anak-anak genius dari rahim bumi pertiwi yang tersebar di berbagai kolong langit dengan keahlian di bidang tertentu. Sungguh sayang rezim yang berkuasa tidak memiliki komitmen merekrut ataupun mengundang mereka berbagai ilmu di kampung halamannya. Mereka lebih merasa nyaman dan cocok mengeksplorasi bakat dan talentanya di negeri orang. Itu berarti ada peluang bagi generasi mendatang menjadi angkatan pembaharuan yang superhebat bagi Republik ini. Asalkan, atribut-atribut pendidikan yang sudah kedaluwarsa dicopot dari kurikulum maupun “mainstream” pendidikan nasional.

Tiang-tiang pendidikan formal di negeri ini kerap dituding turut memperkeruh kompetisi kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi maupun daya saing kita terpuruk di kancah internasional. Pola-pola pengajaran sekolah yang “mencuci otak” siswa untuk melihat dunia selebar ruang kelas sudah saatnya tinggalkan. Padahal anak bisa menimba hikmah kehidupan dari realitas alam yang terberi. Demikian pula jurus-jurus menghafal teori dan kunci-kunci jawaban soal ujian nasional harus dilihat sebagai tragedi kecelakaan intelektualitas. Ruang kecerdasan dan kemandirian dalam berpikir untuk memecahkan sebuah persoalan telah hilang dari ‘sel-sel otak’ anak didik. Sebab sejak pendidikan dasar daya nalar siswa telah dibekukan dengan kebiasaan menghafal rumus-rumus mati. Kesuksesan pendidikan dikerdilkan dengan glamoritas gelar akademik ketimbang kehebatan otak kanan dan kiri membedah persoalan hidup, menata kepribadian dan merumuskan masa depan diri.

Harapan akan perubahan arah hidup bangsa ini tidak dimulai dengan melontarkan kutukan demi kutukan kepada generasi tua dari Orde Lama hingga Reformasi. Setiap generasi ditakdirkan oleh hukum sejarah untuk menulis kisahnya sendiri. Itulah hukum perubahan (the law of change) yang tidak dapat dibantah. Dan, skenario membantah maupun menolak perubahan adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Tentunya kita berubah menjadi makin terbelakang atau makin progresif. Amatlah tepat bila generasi tua untuk belajar kembali kepada generasi muda yang dinamis. Atau sekurang-kurangnya, salah satu kunci berubah menuju istana kesuksesan adalah belajar memikirkan masa depan. Bukanlah saatnya lagi generasi tua mendikte generasi muda. Zaman telah berubah, termasuk di panggung perpolitikan nasional. Calon-calon pemimpin tua yang direstui DPP yang dihuni kalangan tua kalah telak dalam pemilihan langsung gubernur maupun bupati/walikota di beberapa daerah.

Pada tepian fakta lain, calon-calon manajer yang sukses adalah kalangan yang selalu merasa gelisah akan kemapanan status sosial dan ekonomi. Sehingga gairah dan nafsu belajar merupakan menu harian. Entah belajar menciptakan sesuatu yang baru ataupun belar dari jalan-jalan sukses perusahaan tertentu. Pemimpin harus bisa menciptakan sesuatu yang baru di jaman yang baru dan dengan semangat yang baru (the law of cause and effect).

Akhirnya kita berharap tokoh-tokoh pemimpin maupun manajer muda tidak terperosok dalam ketidakfokusan generasi sebelumnya (the law of justice). Dan, para pemimpin tua entah di organisasi swasta maupun birokrasi tak ada salahnya untuk terus memimpin asalkan memiliki semangat muda dan peka membaca perubahan zaman. Tantangan dan cobaan hanya bisa dilalui oleh perusahaan maupun negara yang cermat mengantisipasi perubahan itu sendiri. Musuh hanya bisa dikalahkan dengan belajar mengenal seluk beluk kelemahannya. Sudahkah kita mengindentifikasi “musuh-musuh sosial” yang bersemayam di dalam diri, organisasi, institusi, masyarakat dan negara? Saatnya kita depak virus klasik: lari dari tugas dan tantangan hanya karena tidak mau belajar dan merasa sudah pandai. (Beny Uleander/KPO EDISI 151/MEI 2008)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :