Selasa, Juni 03, 2008

Beny Uleander

Suara Nurani JB Mangunwijaya

Masyarakat dunia terkejut campur heboh. Tepatnya, Jumat (30/5), ekspedisi organisasi Survival International yang mendukung suku-suku pedalaman di seluruh dunia, mengambil gambar Suku Indian langka yang dikira sudah punah di pedalaman Hutan Amazon perbatasan Brasil dan Peru. Foto mereka tertangkap dari pesawat udara sedang mengarahkan busur dan panah ke arah pesawat.
Apa hikmah penemuan menggemparkan tersebut bagi bangsa Indonesia? Di tengah sergapan peradaban modern, kita lupa bahwa gaya hidup materialistik demi perut dengan mengekploitasi alam membuat kehidupan penduduk asli di tanah Papua kian terpinggirkan dan tergusur. Sebagian suku ada yang punah sementara hasil alamnya dijarah habis-habisan. Di Sumatra, habitat hidup suku anak dalam yang hidup bersatu dengan alam pun mulai terusik akibat revolusi hutan jadi perkebunan kelapa sawit.
Penggalan kegusaran kembali melukai rasa bangga sebagai orang Indonesia. Pada tahun 2007 lalu, Candi Borobudur tergusur dari penilaian masyarakat internasional sebagai 7 keajaiban dunia. Kembali tahun ini, dalam pemilihan 7 Keajaiban Alam yang dilakukan secara online di situs http://www.new7wonders.com/, tiga tempat wisata nominator Indonesia: Gunung Krakatau (Banten), Danau Toba (Sumatera Utara,) dan Taman Nasional Komodo (NTT) masuk nomor buncit.
Dalam survei The New7Wonders Foundation tersebut, Taman Nasional Komodo mendapat urutan nomor 36, Gunung Krakatau urutan 70, dan Danau Toba urutan 71. Posisi ketiga tempat wisata Indonesia ini masih jauh di bawah tempat-tempat wisata di Asia. Saat ini 7 Keajaiban Dunia yang baru adalah The Great Wall of China, Petra, Chichen Itza , the Statue of Christ Redeemer, the Colosseum, Machu Picchu and Taj Mahal.
Minimnya suara pemilihan destinasi wisata dunia ini tidak lepas dari ketidakpekaan Departemen Pariwisata Indonesia untuk menggalang dukungan lokal dan internasional lewat kampanye dan sosialisasi. Padahal destinasi wisata yang masuk 7 keajaiban dunia dengan sendirinya akan menyedot perhatian dan kunjungan masyarakat dunia.
Mosaik fakta ketertinggalan dan kerapuhan pembangunan menandai peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Pada era Budi Utomo, semangat kebangkitan dipicu oleh gairah melawan satu musuh yaitu penjajahan kolonial Belanda. Dari satu muara perlawanan itu mengalir rasa kebangsaan, persatuan dan pengorbanan materi maupun nyawa.
Pertanyaan penuh gugatan kritis dilontarkan saat bangsa ini merindu-kenang kebangkitan nasional di era reformasi ini. Siapakah musuh bersama bangsa ini? Merumuskan dan mengidentifikasi musuh bersama amat penting. Sebab energi bangsa ini akan terhimpun untuk melumpuhkan musuh yang satu dan sama.
Menilik situasi sosial Indonesia, kita melihat bahwa wajah kemiskinan terbentang dari Sabang sampai Merauke. Warisan kekayaan sumber daya alam tinggal kebanggaan semu. Negara yang sempat dijuluki macan Asia itu sudah menjadi macan ompong, dalam iklan layanan masyarakat HKTI oleh Prabowo Subianto, ada benarnya.
Krisis ekonomi yang kembali mencekik bangsa ini bisa dilihat sebagai “padang gurun” refleksi bahwa ada yang keliru dengan strategi pembangunan di negeri ini. Kemelaratan hidup adalah akibat ketidakcerdasan mengelola potensi dan peluang. Ada arah pembangunan yang salah dan perlu segera diperbaiki. Menurut bahasa mantan Presiden BJ Habibie, pembangunan Indonesia yang macet ini perlu “direstart” meminjam istilah sistem kerja mesin komputasi.
Perombakan paradigma untuk membangun Indonesia baru dalam perspektif sederhana dimulai dengan menata hati nurani. Politik hati nurani yang dulu gencar disuarakan budayawan (alm) Jusuf Bilyatar Mangunwijaya pada tahun 1995 seperti hilang ditelan pertikaian agama, konflik antar etnis dan gontok-gontokan antar partai politik. Hati nurani adalah pelita yang bercahaya dalam jiwa. Menerangi lorong-lorong kehidupan. Suara yang menuntun ziarah langkah kita. Tekad yang membenihkan harapan di tengah himpitan kehidupan. Percikan keluhuran manusia yang tak bisa ditukar dengan uang. Hidup akan berakhir dan raga menuju kebinasaan, tetapi hati nurani tetap hidup di segala zaman. Saatnya kita merasakan sentuhan jari jemari nurani untuk merasakan detak jantung bangsa ini.
Hati nurani yang bening bisa melihat dengan jelas sumber masalah di negeri ini. Pendidikan bergaya kapitalis harus ditinggalkan agar semua anak Indonesia dapat menempuh pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi. Pemberantasan korupsi tidak sekedar tebang pilih sehingga keadilan hukum menjadi roh di negeri ini. Uang negara pun akhirnya efektif untuk pengembangan fasilitas layanan sosial dan prasarana fisik lainnya.
Hati nurani yang jernih memberi visi baru: kebangkitan pasar dengan menajamkan daya saing (pendidikan untuk kecerdasan rakyat bukan untuk mempertebal kantong), merangsang investasi asing dengan persyaratan ketat merekrut dan memperdayakan SDM pribumi, menajamkan filosofi Pancasila sebagai identitas bangsa yang plural dan bermartabat. Akhirnya modal dasar kekayaan SDA dan tenaga kerja tidak lagi menjadi kutukan karena hati nurani yang berbicara. (Beny Uleander/KPO EDISI 153/JUNI 2008)


Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :