Rabu, Desember 05, 2007

Beny Uleander

Salam Hangat Hok Gie

Hasrat tak bertepi menggugah nurani kesadaran Soe Hok Gie. Kerapkali dalam kesendirian dibalut keheningan daerah pegunungan, pemuda kelahiran 17 Desember 1942 ini bertanya dalam diam. “Apa itu sebuah cita-cita penuh gelora muda?” Kegundahan pemuda Gie bermuara pada gaya hidup generasi muda pada zamannya. Semangat mereka berapi-api membicarakan kecurangan penguasa, tapi miskin aksi. Visinya mengkilat di langit idealisme, tapi kelimpungan menerapkan misi. Mimik pidato mereka amat meyakinkan, setelah turun mimbar mereka cengar-cengir mabuk, dugem, bolos kuliah dengan alasan bahwa seorang aktivis berada di luar kampus.
Kaum muda memang berjiwa progresif namun hanya segelintir orang yang memiliki inovasi nilai. Itulah sebabnya, Hok Gie rajin memprodusir teropong kesadaran konseptual soal peran dinamis dan potensial kaum muda di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerak dinamis pemuda bukan gerakan sloganistis dengan pakem-pakem hiperbola. Saat ini kita membutuhkan kiprah kaum muda yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Itulah guratan inovasi nilai yang membuka ruang kesadaran gerak kaum muda Indonesia bukan saja pada zaman Gie, tetapi juga saat ini. Dan, Gie telah lantang mengumandangkannya dalam barisan tulisannya.
Padanan konseptual pemuda dan patriotisme memang harus terus ditafsirkan secara baru di setiap jaman. Hanya esensi patriotisme tidaklah berubah, tetap satu dan sama, yaitu keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Karena itu, paradigma kaderisasi kepemimpinan nasional harus dikawal dalam sebuah “rel ideologi”. Sebab karakter bangsa ini amat mudah melupakan sejarah masa lalu, termasuk sejarah keluarga dan diri sendiri. Akibatnya bisa kita rasakan saat ini. Kaderisasi pemuda dipatok sebatas regenerasi jabatan politis di tingkat partai dan ormas. Selanjutnya, pewaris jabatan ikut serta mewarisi bakat korupsi, bermental instan, menggampangkan pekerjaan dan mencari selaksa pemasukan demi gaya hidup elitis. Itulah realitas saat ini yang pasti akan dikecam Hok Gie, kakak kandung sosiolog Arief Budiman, bila ia masih hidup.
Memasuki tahun 2008, wacana kepemimpinan nasional kembali mencuat seiring kian dekatnya suksesi kursi kepresiden. Di tengah hingar-bingar tebar pesona politisi gaek ataupun negarawan tua, ada satu ruang kesadaran yang amat kosong melompong yaitu kaderisasi pemimpin visioner. Kaderisasi pemimpin nasional ditiupkan ke tengah publik tanpa busana ideologis.
Selama ini diskusi kaderisasi dipetakan secara dangkal sebatas “kader-kader partai”. Fenomena banyaknya politisi pusat yang turun ke daerah memperebutkan kursi di kabupaten dan propinsi menjadi tanda bahwa partai gagal atau tidak punya konsep melahirkan pemimpin yang berkualitas di daerah. Itu salah satu contoh bahwa kini partai politik yang ada tidak memiliki visi yang matang soal kaderisasi pemimpin visioner. Memang di alam demokrasi, kita tidak bisa menampik peran partai sebagai esensi kedaulatan rakyat dan yang melahirkan pemimpin.
Pemimpin visioner adalah pemimpin, entah tua atau muda, yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai kepedihan jiwa, aset-aset bangsa sebagai warisan pusaka di jari manisnya dan tegas menolak ekspansi kapitalis yang kerap menghancurkan kedaulatan negara.
Bagaimanakah mencetak pemimpin visioner yang militan? Inilah panggilan bagi kaum muda saat ini untuk berbenah diri baik dalam konsep, ruang gerak, cita-cita dan ambisi politik, tentunya. Negeri ini mendambakan kaum muda yang berpolitik dengan konsep matang mewujudkan Indonesia yang mandiri di bidang budaya (kepribadian), sumber daya alam (ekonomi) dan kemerdekaan hak asasi (tumpas pemiskinan hak-hak rakyat kecil).
Pemimpin visioner adalah pemimpin revolusioner yang mengagungkan kekuatan rakyat di pedesaan, menebar konsep membangun desa membangun bangsa. Inilah saatnya media massa sebagai pilar keempat demokrasi meretas kesadaran publik bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan visioner.
Pemimpin visioner adalah cara baru kepemimpinan yang berpikir ke depan sekaligus merintis pola-pola dasar kemanusiaan. Artinya, rakyat tidak diasingkan dari hasil-hasil pembangunan, buruh tidak dialienasikan dari produk yang dihasilkan (anti kejahatan kapitalis) dan itu berarti pemimpin yang mampu mendorong rakyat di setiap daerah agar menghasilkan produk sendiri yang khas dan unggul.
Selama ini di tingkat partai politik bergulir kaderisasi koruptor, penjilat, penjahat berdasi, penindas rakyat, anti kemandirian, menyandarkan diri pada tipu muslihat kapitalis barat, dsb.
Segala ideologi yang menyengsarakan rakyat (manusia) harus dilawan. Pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat pun harus dihentikan dan dikoreksi. Saatnya kita menimba spirit dari puisi agung karya Soe Hok Gie dipublikasikan harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973:

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?

(Beny Uleander/KPO EDISI 141)

Beny Uleander

About Beny Uleander -

Beny Ule Ander, wartawan dan penulis di Denpasar, Bali. Kini fokus menulis potensi-potensi positif warga NTT diaspora di Bali yang bergabung dalam paguyuban Flobamora Bali.

Subscribe to this Blog via Email :